Minggu, 30 Desember 2018

PAPAN CATUR


Kira-kira pukul empat sore tadi, aku pulang kerja. Melewati Jalan Semolowaru seperti biasanya. Kali ini kugas motor lebih cepat. Sebab dari WA Group kutahu, teman-teman akan mengadakan rapat sesaat setelah finger print di kecamatan. Langit tampak gelap. Semakin tambah gelap tanda akan hujan. “Lebih cepat, mumpung hujan belum turun,” begitu pikirku.

Kira-kira dua ratus meter dari kecamatan, ban depanku bocor. Aku segera turun. Menuntunnya. Dan mencari tukang tambal ban terdekat. Setelah diperiksa, ternyata ban luarnya pecah. Meski tidak besar. Sudah terlalu tipis. Waktunya ganti. Gerimis sudah mulai berjatuhan. “Nanti didouble saja dulu,” kata penambal ban. Maksudnya antara ban luar dan ban dalam dilapisi ban dalam bekas dulu.

Sementara motorku dalam proses penambalan, rintik hujan semakin deras. “Saya ke warkop dulu ya Pak,” kataku pada penambal ban. Mampirlah aku ke warkop. Persis di sebelah penambal ban itu. Ternyata warkop ini milik penambal ban itu juga. Di warkop ini, ramai sekali oleh driver ojek online. Kursi-kursinya sampai penuh. Tampaknya mereka menunggu penumpang sambil ngopi sekalian berteduh.

Tua muda tumpah di warkop tersebut. Padahal warkopnya amat sangat sederhana. Rupanya di bagian belakang, warkop ini punya sebuah kamar kecil. Dari sanalah muncul pelayan perempuan muda yang kira-kira berusia 16 tahun. Pesananku segelas susu putih hangat dilayani oleh gadis seusia SMA itu. Kucomot satu keripik. Lalu aku duduk di samping orang yang sedang seru bermain catur.

Kuperhatikan pemain catur itu. Yang duduk persis di sebelahku, seorang laki-laki yang usianya masih 30-an. Memakai kaos biru, dan celana jeans biru tiga per empat. Rambutnya gondrong. Diikat belakang. Sedangkan lawannya, laki-laki kira-kira 50-an tahun dengan penampilan rapi. Rambutnya lurus disisir rapi. Kaos polo. Kumis tipis melintag di atas mulutnya yang sempit. Matanya agak sipit. Hidungnya mungil mancung.

Kedua pemain catur itu tampak begitu serius. Begitu santai. Tenang sekali. Aku lebih leluasa memerhatikan lelaki yang lebih tua. Bola matanya sesekali bergerak. Ke kiri. Kanan. Atas dan bawah. Sesekali ia hisap rokoknya. Dengan tangan kiri yang melingkar jam tangan, entah apa mereknya, dan cincin akik. Ia lebih tenang dari lawannya. Kalau gilirannya main, ia ambil jeda waktu untuk berpikir. Semenit kira-kira.

Meski bola matanya bergerak ke kanan, kiri, atas dan bawah, tapi tak pernah keluar dari batas tepi papan catur itu. Fokus sekali. Tenang sekali. Begitu damai. Posisinya putih saat itu. Tangannya begitu mantap saat mengangkat anak-anak catur itu. Aku sengaja ikut menikmati permainan kedua laki-laki tersebut. HP kubiarkan mati. Dua-duanya dalam posisi menyerang.

Sampai laki-laki berambut klimis tadi menemukan momentumnya. Yaitu, ketika ia memakan pion hitam yang berdiri persis di depan raja dengan bentengnya. Ya, ia korbankan bentengnya. Skak. Tentu saja dimakan oleh lawannya dengan raja. Baru setelah itu, skak bertubi-tubi dengan ster. Kemudian dengan peluncur. Dan terakhir, skak mat dengan benteng. Tersungging sedikit senyum di ujung bibirnya. Tampak kepuasan di wajahnya.

Rupanya dalam ketenangannya tadi, laki-laki necis itu, bisa berpikir tiga langkah setelah mengorbankan benteng pertamanya tadi. Cerdas!

Yang saya salut bukan hanya soal cerdasnya. Tapi soal ketenangan, fokus, dan cara pemain catur itu menikmati setiap momennya: menghisap rokok, mengangkat anak-anak catur, dan menyeruput kopinya. Melupakan segala hiruk pikuk urusan semesta. Lebih dari itu, cara keduanya membuang waktunya. Bahkan kalau boleh dibilang, menyia-nyiakan hidupnya. Begitu damainya ia menggunakan waktunya hanya untuk bermain catur! Itu pun tanpa hadiah apa-apa!!

Lalu bagaimanakah dengan kita? Bisakah kita menikmati aktivitas kita, yang mungkin sedikit lebih prestise dari sekadar bermain catur?? Yang keren menurut Tuhan dan bermanfaat bagi kemanusiaan???

QS. Al Hasyr[59]: 18
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah. Dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Salam,
Saiful Islam

Senin, 03 Desember 2018

DOKUMEN PEMBOIKOTAN


PERINGATAN MAULID 15 – 1440 H        

Umar biasa salat di depan Ka’bah dan mengajak muslim yang lain untuk salat bersamanya. Ia dan Hamzah kadang datang bersama sekelompok kaum mukmin ke Rumah Suci tersebut. Tahu itu, para pemuka Quraisy akan menyingkir.
Di bawah tekanan Abu Jahl, Quraisy memutuskan bahwa jalan terbaik adalah melakukan pemboikotan terhadap seluruh Bani Hasyim. Kecuali Abu Lahab bersikeras melindungi sanak keluarganya, baik yang percaya atau pun tidak terhadap kenabian Muhammad.
Sebuah dokumen dibuat berisikan larangan menikahi wanita Bani Hasyim. Juga tidak diperbolehkan memperjualbelikan apa pun kepada mereka. Pemboikotan itu berlaku sampai Bani Hasyim sendiri yang melarang Muhammad, atau sampai beliau menarik kembali pengakuan kenabiannya.
Tidak kurang dari empat puluh pemuka Quraisy mengokohkan perjanjian ini, meskipun tidak semua menyetujuinya. Beberapa di antara mereka harus mengalah. Bani Muththalib menolak untuk pemboikotan sepupu-sepupu mereka. Dokumen tersebut dipampangkan di Ka’bah.
Demi keamanan bersama, Bani Hasyim berkumpul di sekitar Abu Thalib, di perempatan Lembah Mekah—tempat ia dan kebanyakan anggota kabilahnya bermukim. Kedatangan Nabi dan Khadijah beserta keluarganya mendorong Abu Lahab dan istrinya pindah dan tinggal di rumahnya yang lain. Ini wujud solidaritas kepada kaum Quraisy.
Suatu hari, Abu Jahl bertemu dengan keponakan Khadijah, Hakim, bersama seorang budak membawa sekantong gandum yang tampaknya akan di bawa ke Bani Hasyim. Ia menyalahkan keduanya karena memberi makan kepada musuh dan mengancam akan menghukum Hakim di hadapan orang-orang Quraisy.
Ketika mereka sedang berdebat, Abu al Bakhtari, seorang Bani Asad, datang dan menanyakan apa persoalannya. Setelah dijelaskan, ia berkata kepada Abu Jahl, “Itu adalah gandum bibinya dan ia diutus untuk membawanya. Biarkan ia melakukan tugasnya!”
Baik al Hakim maupun Abu al Bakhtari sama-sama bukan muslim. Namun mengantarkan kantong gandum itu dari salah seorang warga Bani Asad kepada warga lainnya, bukanlah urusan orang di luar kabilah itu. Campur tangan orang Makhzum itu mengundang marah dan tak dapat dibiarkan.
Ketika Abu Jahl tetap bertahan, Abu al Bakhtari menyabetkan tali kekang unta ke kepalanya sekuat-kuatnya hingga ia setangah pingsan dan terjatuh. Lalu mereka menginjak-injaknya di tanah. Kebetulan Hamzah lewat saat kejadian itu.
Hakim berada dalam haknya. Namun orang lain berani melanggar pemboikotan itu karena rasa simpati kepada para korbannya. Hisyam ibn Amr, dari Bani Amir, bukan keturunan Hasyim. Tetapi keluarganya memiliki hubungan pernikahan yang dekat dengan kabilah itu. Malam hari, ia sering membawa seekor unta yang membawa makanan untuk masuk ke wilayah Abu Thalib.
Ikatan unta tersebut dilepaskan. Lalu unta itu dipukul punggungnya agar lari secepat-cepatnya melewati rumah-rumah mereka. Pada malam yang lain, Hisyam membawa baju-baju dan barang-barang lainnya.
Di samping bantuan dari orang-orang musyrik di atas, ada juga bantuan dari kaum muslim sendiri yang berasal dari kabilah lain. Khususnya Abu Bakr dan Umar. Mereka mengupayakan berbagai cara untuk melanggar pemboikotan itu. Ketika dua tahun telah berlalu, Abu Bakr tidak bisa disebut lagi sebagai orang kaya. Namun meski mendapatkan bantuan tersebut, masih terjadi kekurangan bahan pangan di dua kabilah korban pemboikotan itu. Terkadang mereka hampir kelaparan.
Selama bulan-bulan suci, saat mereka dibolehkan meninggalkan tempat mereka dan pergi dengan bebas, Nabi sering  pergi ke Rumah Suci. Di situlah para pemuka Quraisy mengambil kesempatan untuk menghina dan menyakitinya. Suatu ketika, beliau membacakan wahyu. Mengingatkan kaum Quraisy tentang apa yang terjadi pada orang-orang terdahulu.
Nadhr dari Bani Abd al Dar berdiri dan berseru, “Demi Tuhan! Muhammad tidaklah seunggul aku dalam berbicara. Perkataannya tidak lain hanyalah dongeng orang-orang terdahulu. Mereka telah menuliskan untuknya. Sedangkan aku menulis sendiri.” Lantas ia bercerita kepada kaum Quraisy tentang Rustum, Isfandiyar, dan raja-raja Persia.
Berkaitan dengan peristiwa itu, diturunkan satu ayat berikut, “Ketika ayat-ayat Kami dibacakan padanya, ia berkata: ‘Itu hanyalah dongeng-dongeng dari orang-orang terdahulu.’ Sekali-kali tidak! Sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka. (QS.83: 13-14)”
Ayat lain yang turun menyatakan bahwa kelak tempat tinggal Abu Lahab dan istrinya di neraka. Umm Jamil mendengar ayat ini dan pergi ke masjid dengan menggenggam sebongkah batu di tangannya, mencari Nabi. Ia bertemu Abu Bakar. “Mana temanmu,” kata Ummu Jamil, “Ia telah menghinaku. Demi Tuhan, jika kujumpai ia, akan kubungkam mulutnya dengan batu ini.”
Ummu Jami lantas bersyair untuk Nabi, “Kami membangkang terhadap orang yang terkutuk. Menepis perintah yang ia perintahkan. Dan agama-kebenciannya itu.”
Pemboikotan terhadap Bani Hasyim dan Bani Muththalib telah berlangsung lebih dari dua tahun. Namun tidak ada tanda-tanda pengaruh yang diharapkan. Malah terjadi dampak yang tidak diinginkan. Yaitu, perhatian terhadap Nabi semakin besar dan agama baru itu diperbincangkan di seluruh penjuru Arab.
Sampai suatu ketika, Muth’im pergi ke Ka’bah untuk mencabut dokumen pemboikotan itu. Ia keluar dengan kemenangan, memegang selembar kulit kecil. Dokumen tersebut semuanya telah dimakan rayap kecuali kelimat pembuka, “Dengan nama-Mu, ya Allah.”
Mayoritas orang-orang Quraisy menyerah. Itu mengakhiri semua perdebatan. Abu Jahl dan satu dua orang pengikutnya sadar bahwa akan sia-sia untuk bertahan. Pemboikotan itu secara formal telah dibatalkan. Sejumlah orang Quraisy pergi menyampaikan kabar gembira kepada Bani Hasyim dan Bani Muththalib.
Setelah pemboikotan dihapuskan, kehidupan kembali normal. Untuk sementara waktu, kekejaman terhadap kaum muslim berkurang. Laporan yang dilebih-lebihkan sampai ke Abyssinia. Sehingga beberapa pengungsi bersiap kembali ke Mekah. Sementara Ja’far, memilih tetap tinggal di sana.
Pada waktu itu, para pemuka Quraisy berfokus membujuk Nabi agar menyetujui sebuah kompromi. Pendekatan ini belum dilakukan sebelumnya. Walid dan tokoh-tokoh lainnya mengusulkan agar mereka menjalankan kedua agama itu. Nabi menjawabnya dengan wahyu.
“Katakanlah: Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah pula menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku (QS.109: 1-6).”
Selain Ja’far dan Ubaydillah ibn Jahsy, semua sepupu Nabi kembali. Utsman dan Ruqayyah juga datang bersama mereka…

~ Salam ~

IG        : saifulislam_45
FB       : Berpikir Bersikap Beraksi
 : Ahmad Saiful Islam
Twitter : @tipkemenangan
 : @MotivasiAyat
Blog    : tipkemenangan.blogspot.com

Untuk pertanyaan, diskusi, dan lain-lain, silakan di kolom comment. Terimakasih…





Jumat, 30 November 2018

UMAR SANG JAGOAN ISLAM


PERINGATAN MAULID 14 – 1440 H
           
Kedua utusan yang ditolak oleh raja Negus itu kembali ke Mekah. Tahu itu, pihak Quraisy cemas dan jengkel. Mereka pun meningkatkan tekanan dan penyiksaan kepada kaum mukmin. Sebagian besar di bawah arahan Abu Jahl dan keponakannya, Umar—orang yang paling keras dan sangat patuh menjalankan instruksinya.
Saat itu, Umar berusia 26 tahun—pemuda keras kepala, tidak mudah gentar, dan sangat tegas. Meski begitu, tak seperti pamannya, Umar orang saleh. Kesalehan itulah menjadi motivasi utamanya menentang agama baru itu. Khaththab, ayah Umar, telah membawanya menghormati Ka’bah dan menghormati segala yang berhubungan dengan berhala—sebuah hal suci yang tak boleh dipertanyakan apalagi diubah.
Kaum Quraisy dulunya bersatu. Tapi kini Mekah menjadi sebuah kota dengan dua agama dan dua komunitas. Ia melihat dengan jelas bahwa penyebab keonaran ini hanya satu. Lenyapkan penyebab keonaran itu, maka segalanya akan kembali seperti semula. Nah, kembalinya dua utusan yang gagal dari Abyssinia itu menjadi momentum kemarahan Umar untuk segera beraksi.
Setelah mengambil pedangnya, Umar keluar dari rumahnya. Ia bertemu dengan Nu’aym ibn Abd Allah, salah seorang dari kaumnya. Nu’aym telah memeluk Islam. Tapi ia merahasiakannya karena takut kepada Umar dan kaumnya yang lain. Ekspresi kemurkaan di wajah Umar, mendorongnya untuk bertanya. “Aku akan menemui Muhammad. Membalas dendam terhadap orang yang telah memecah belah Quraisy menjadi dua golongan. Aku akan membunuhnya,” jawab Umar.
Nu’aym berusaha untuk menghentikannya dengan mengatakan bahwa dia sendiri pasti akan terbunuh. Tapi, ketika melihat Umar tidak gentar, ia memikirkan cara lain yang paling tidak bisa menundanya. “Hai Umar. Mengapa engkau tidak pergi lebih dahulu kepada keluargamu dan membereskan mereka?” Kata Nu’aym.
“Ada apa dengan keluargaku?” tanya Umar balik.
“Saudara iparmu, Sa’id dan saudara perempuanmu, Fathimah adalah pengikut agama Muhammad. Jika engkau membiarkan mereka demikian, maka martabatmu bisa jatuh,” jelas Nu’aym. Tanpa sepatah kata pun Umar kembali dan langsung menuju rumah saudara perempuannya itu.
Di sana, ada seorang teman yang miskin dari Zuhrah, bernama Khabbab, yang sering datang untuk membacakan Alquran kepada Sa’id dan Fathimah. Ia bersama mereka sedang membacakan surat Thaha yang baru saja diturunkan. Ketika mendengar suara Umar mendekat dan dengan marah memanggil saudara perempuannya itu, Khabbab bersembunyi di pojok rumah. Sedangkan Fathimah menyembunyikan lembaran itu di balik bajunya.
Umar telah mendengar pembacaan mereka. Umar bertanya, “Apa yang kudengar tadi?” Mereka berusaha meyakinkannya bahwa ia tidak mendengar apa pun. “Aku mendengarnya,” kata Umar. “Dan aku mendengar kalian berdua telah menjadi pengikut Muhammad.” Umar lantas mendekati Sa’id dan menyerangnya. Ketika Fathimah melindungi suaminya, Umar menamparnya sampai terluka.
“Memang benar,” kata mereka. “Kami adalah muslim. Kami beriman kepada Allah dan rasul-Nya. Lakukanlah apa yang engkau inginkan!” Luka Fathimah berdarah. Begitu Umar melihat darah itu, ia menyesal. Ia berubah dan berkata kepadanya, “Serahkan lembaran-lembaran yang kalian baca itu kepadaku. Agar aku dapat membaca apa yang telah diajarkan Muhammad.”
Seperti halnya mereka, Umar bisa membaca. Tapi, ketika ia meminta kertas itu, Fathimah berkata, “Kami khawatir menyerahkan lembaran itu kepadamu.”
“Jangan takut,” kata Umar. Ia melepaskan pedangnya dan berjanji, demi Tuhan, lembaran itu akan dikembalikan setelah dia baca. Fathimah melihat Umar telah melunak. Ia pun sangat mengharapkan Umar memeluk agama Islam.
“Wahai saudaraku. Engkau tidak suci. Karena engkau penyembah berhala. Lembaran ini hanya boleh disentuh orang yang suci,” jelas Fathimah.
Umar segera pergi dan membasuh dirinya. Kemudian Fathimah menyerahkan kepadanya lembaran yang dibuka dengan kata-kata Thaha. Umar mulai membacanya. Setelah selesai membaca lembaran itu, ia berkata, “Betapa indah dan agungnya kata-kata ini!” Ketika Khabbab mendengar ucapannya, ia keluar dari tempat persembunyiannya.
“Umar. Aku berharap Allah telah memilihmu sesuai doa Nabi yang kudengar kemarin dipanjatkan, “Ya Allah. Jayakan Islam dengan salah satu dari dua orang, Abu al Hakim bin Hikam atau Umar bin Khaththab.”
“Hai Khabbab,” jawab Umar, “Dimana sekarang Muhammad berada? Aku ingin bertamu dengan dia dan aku akan masuk Islam.” Khabbab berkata bahwa Nabi berada di rumah Arqam, di dekat gerbang Shafa bersama beberapa sahabatnya. Umar menghunuskan kembali pedangnya dan pergi ke Shafa. Ia mengetuk rumah Arqam dan mengatakan siapa dirinya. Mereka telah diberi peringatan oleh Nu’aym, sehingga kedatangannya sangat tak diharapkan.
Tapi mereka surprised mendengar nada suara Umar yang melembut. Salah seorang sahabat menuju pintu. Mengintip melalui sebuah celah dan kembali lagi dengan ketakutan, “Wahai Rasulullah. Benar. Umar datang dengan menghunus pedangnya.”
“Biarkan ia masuk,” kata Hamzah. “Jika datang dengan maksud baik, kita akan membalasnya baik-baik. Jika ia bermaksud buruk, kita akan membunuhnya dengan pedangnya sendiri!” Nabi setuju bahwa beliau harus menemuinya. Beliau menyambut Umar dengan memegang sabuknya dan mendorongnya ke tengah ruangan.
“Apa maksud kedatanganmu ke sini, hai putra Khaththab? Tampaknya engkau belum sadar juga. Rupanya engkau menanti tamparan Allah!” kata Nabi.
“Wahai Rasulullah,” kata Umar, “aku datang kepadamu untuk menyatakan keimananku kepada Allah, dan kepada rasul-Nya serta segala yang datang dari-Nya!”
“Allahu akbar (Allah Maha Besara),” seru Nabi mendengar ucapan tersebut. Semua yang hadir di rumah itu tahu bahwa Umar telah masuk Islam. Mereka pun semua gembira.
Umar tidak menyembunyikan keislamannya. Ia bermaksud mengumumkan kepada setiap orang. Terutama kepada mereka yang paling memusuhi Nabi. Beberapa tahun kemudian, ia berkata, “Ketika aku telah memeluk Islam malam itu, aku berpikir, siapa penduduk Mekah yang paling kejam memusuhi rasulullah? Aku akan menemuinya dan mengatakan bahwa aku telah menjadi muslim! Jawabanku adalah Abu Jahl. Maka keesokan paginya aku pergi dan mengetuk pintunya.
“Abu Jahl keluar dan berkata, ‘Selamat datang putra saudaraku! Apa maksud kedatanganmu ke sini?’ Aku menjawab, ‘Aku datang untuk memberitahukan bahwa aku beriman kepada Allah dan rasul-Nya, Muhammad. Aku juga bersaksi atas kebenaran yang ia ajarkan.’ ‘Tuhan melaknatmu!’ katanya, ‘dan semoga laknatnya juga pada berita yang engkau bawa!’, kemudian ia membanting pintunya di hadapanku.”

~ Salam ~

IG        : saifulislam_45
FB       : Berpikir Bersikap Beraksi
 : Ahmad Saiful Islam
Twitter : @tipkemenangan
 : @MotivasiAyat
Blog    : tipkemenangan.blogspot.com

Untuk pertanyaan, diskusi, dan lain-lain, silakan di kolom comment. Terimakasih…





AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...