Kira-kira
pukul empat sore tadi, aku pulang kerja. Melewati Jalan Semolowaru seperti
biasanya. Kali ini kugas motor lebih cepat. Sebab dari WA Group kutahu,
teman-teman akan mengadakan rapat sesaat setelah finger print di kecamatan.
Langit tampak gelap. Semakin tambah gelap tanda akan hujan. “Lebih cepat,
mumpung hujan belum turun,” begitu pikirku.
Kira-kira dua
ratus meter dari kecamatan, ban depanku bocor. Aku segera turun. Menuntunnya.
Dan mencari tukang tambal ban terdekat. Setelah diperiksa, ternyata ban luarnya
pecah. Meski tidak besar. Sudah terlalu tipis. Waktunya ganti. Gerimis sudah
mulai berjatuhan. “Nanti didouble saja dulu,” kata penambal ban. Maksudnya
antara ban luar dan ban dalam dilapisi ban dalam bekas dulu.
Sementara
motorku dalam proses penambalan, rintik hujan semakin deras. “Saya ke warkop
dulu ya Pak,” kataku pada penambal ban. Mampirlah aku ke warkop. Persis di
sebelah penambal ban itu. Ternyata warkop ini milik penambal ban itu juga. Di
warkop ini, ramai sekali oleh driver ojek online. Kursi-kursinya sampai penuh.
Tampaknya mereka menunggu penumpang sambil ngopi sekalian berteduh.
Tua muda
tumpah di warkop tersebut. Padahal warkopnya amat sangat sederhana. Rupanya di
bagian belakang, warkop ini punya sebuah kamar kecil. Dari sanalah muncul
pelayan perempuan muda yang kira-kira berusia 16 tahun. Pesananku segelas susu
putih hangat dilayani oleh gadis seusia SMA itu. Kucomot satu keripik. Lalu aku
duduk di samping orang yang sedang seru bermain catur.
Kuperhatikan
pemain catur itu. Yang duduk persis di sebelahku, seorang laki-laki yang
usianya masih 30-an. Memakai kaos biru, dan celana jeans biru tiga per empat.
Rambutnya gondrong. Diikat belakang. Sedangkan lawannya, laki-laki kira-kira
50-an tahun dengan penampilan rapi. Rambutnya lurus disisir rapi. Kaos polo. Kumis
tipis melintag di atas mulutnya yang sempit. Matanya agak sipit. Hidungnya
mungil mancung.
Kedua pemain
catur itu tampak begitu serius. Begitu santai. Tenang sekali. Aku lebih leluasa
memerhatikan lelaki yang lebih tua. Bola matanya sesekali bergerak. Ke kiri.
Kanan. Atas dan bawah. Sesekali ia hisap rokoknya. Dengan tangan kiri yang
melingkar jam tangan, entah apa mereknya, dan cincin akik. Ia lebih tenang dari
lawannya. Kalau gilirannya main, ia ambil jeda waktu untuk berpikir. Semenit
kira-kira.
Meski bola
matanya bergerak ke kanan, kiri, atas dan bawah, tapi tak pernah keluar dari
batas tepi papan catur itu. Fokus sekali. Tenang sekali. Begitu damai.
Posisinya putih saat itu. Tangannya begitu mantap saat mengangkat anak-anak
catur itu. Aku sengaja ikut menikmati permainan kedua laki-laki tersebut. HP
kubiarkan mati. Dua-duanya dalam posisi menyerang.
Sampai
laki-laki berambut klimis tadi menemukan momentumnya. Yaitu, ketika ia memakan
pion hitam yang berdiri persis di depan raja dengan bentengnya. Ya, ia
korbankan bentengnya. Skak. Tentu saja dimakan oleh lawannya dengan raja. Baru
setelah itu, skak bertubi-tubi dengan ster. Kemudian dengan peluncur. Dan
terakhir, skak mat dengan benteng. Tersungging sedikit senyum di ujung
bibirnya. Tampak kepuasan di wajahnya.
Rupanya dalam ketenangannya tadi, laki-laki
necis itu, bisa berpikir tiga langkah setelah mengorbankan benteng pertamanya
tadi. Cerdas!
Yang saya salut bukan hanya soal cerdasnya.
Tapi soal ketenangan, fokus, dan cara pemain catur itu menikmati setiap
momennya: menghisap rokok, mengangkat anak-anak catur, dan menyeruput kopinya.
Melupakan segala hiruk pikuk urusan semesta. Lebih dari itu, cara keduanya
membuang waktunya. Bahkan kalau boleh dibilang, menyia-nyiakan hidupnya. Begitu
damainya ia menggunakan waktunya hanya untuk bermain catur! Itu pun tanpa
hadiah apa-apa!!
Lalu bagaimanakah dengan kita? Bisakah kita
menikmati aktivitas kita, yang mungkin sedikit lebih prestise dari sekadar
bermain catur?? Yang keren menurut Tuhan dan bermanfaat bagi kemanusiaan???
QS. Al Hasyr[59]: 18
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah. Dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Salam,
Saiful Islam