Senin, 28 April 2014

SIAPA YANG GILA


Einstein pernah berkata, “Orang yang menginginkan hasil yang berbeda tapi dia melakukan hal yang sama, maka orang itu gila”. Ini juga bisa kita analogikan dengan “Orang yang menginginkan surga, tapi dia tidak iman serta sikap dan perilakunya tetap buruk maka orang itu edan”. Tidak sedikit orang yang masih berpegang kata mutiara setan, “muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga”. Mana ada kaya raya yang dibangun dengan foya-foya. Mana ada surga yang dibangun dengan leha-leha. Emangnya surga Eang lo apa!
Kaya raya dan surga itu diraih dengan perjuangan dalam sebuah proses yang kontinyu. Rasanya, ini akan hanya bisa dicapai oleh orang yang mendedikasikan umurnya untuk-Nya. Dia betul-betul meresapi dalam hati dan pikirannya darimana asal muasalnya. Untuk apa hidupnya. Dan mau kemana hidupnya nanti. Mungkin dia telah kenyang dalam hidup yang kosong dan hanya penuh dengan kemaksiatan. Tapi, ini bukan harus setiap orang mengalaminya. Kita bisa belajar dari orang-orang seperti itu. Yang merasakan sejuk di hatinya saat mengambil air wudlu yang pertama kali untuk shalat. Bahkan kitab suci juga mengisahkan kesuksesan dan kehancuran orang-orang terdahulu akibat ulah perbuatan mereka yang merusak alam dan kehidupan. Itu artinya, mereka merasakan azab disebabkan oleh proses hidupnya yang salah. Lalu siapa yang mau disalahkan? Apakah Tuhan yang patut dikambinghitamkan? Saya rasa, culas sekali orang demikian. Dia mau berbuat seenaknya, sekenanya, namun tidak mau menanggung resikonya. Jangankan Tuhan, kita manusia biasa pun jijik melihat orang seperti ini. Maka jangan heran kalau kita jumpai istilah sampah masyarakat.
Portofolionya, perhatikan sekarang aktivitas Anda. Amati betul sikap dan perbuatan Anda saat ini. Coba renungkan sedikit saja, mungkin seminggu kebelakang apa yang sering Anda lakukan baik sengaja atau pun yang tidak sengaja hingga hari ini. Itulah sebenarnya hidup Anda. Ya, hidup Anda sebenarnya adalah langkah kecil yang menjadi tindakan kebiasaan. Evaluasi, lebih banyak mana keburukan dan kebaikannya. Awas, ketika Anda hidup dalam ketidaksengajaan maka itu berarti Anda telah sengaja untuk hidup yang salah. Entah mengapa, kalau untuk berbuat kebaikan dan mengukir prestasi, orang harus mengusahakannya. Namun untuk keburukan, kemalasan, dan apapun aktivitas yang membuat ketertinggalan tanpa kita usahakan pun otomatically diri kita telah nyemplung di dalamnya. Kalau Anda tidak menyengaja hidup dan berproses baik, maka otomatis Anda telah hidup salah dan ketertinggalan.
Sekali lagi, kaya raya itu ada prosesnya. Jadi cendekia pun begitu. Surga dan neraka itu ada prosesnya. Seharusnya, “Muda beriman dan mengukir prestasi. Tua kaya raya. Mati masuk surga” wuih dahsyat!


NB: Silahkan IZIN kepada penulis di: ahmadsaifulislam@gmail.com (sms aja 085733847622), bila berminat menerbitkan artikel-artikel di blog resmi ini. Terimakasih, Salam Menang…J) Yuk diskusi juga di @tips_kemenangan, dapatkan kultweet yang menyegarkan intelektual, emosional dan spiritual.
Bisa follow juga @MotivasiAyat
Semoga jadi media silaturahim yang membawa banyak manfaat…J

INI GUE...!



Pepatah Arab mengatakan, “Pemuda sejati bukan dia yang berkata, ‘Ini bapak gue’. Tapi dia yang berkata, ‘inilah gue...!’.”
Orang perlu mengambil sebuah peran atau pekerjaan lalu dikaitkan dengan dirinya. Ya, pekerjaan sama dengan dirinya. Hal ini penting biar dia mengerti siapa dirinya dan bisa memposisikan perannya secara maksimal. Dalam bahasa yang lainnya, jiwailah pekerjaan Anda sepenuhnya. Afirmasi positif terhadap diri bisa Anda terapkan secara terus menerus. Biar Anda tidak larut dalam kesenangan yang memalingkan. Atau sebuah keadaan menarik, yang membuat Anda lupa jati diri Anda. Misalnya, katakan “Kalau tidak saya, siapa lagi. Saya lah orangnya dalam bidang ini. Pekerjaan ini Gue banget!”. Kalimat ini bisa  ampuh khasiatnya untuk alam bawah sadar Anda. Sehingga Anda seperti selalu terjaga untuk “berada di relnya”.
Pada awalnya, Anda harus tentukan dulu bidang apa yang  sangat Anda cintai. Bidang apa yang paling menarik Anda dalam hidup ini. Ada kebingungan? Itu pasti. Tapi yang penting Anda segera memutuskan untuk mengambil satu atau dua dari semua itu. Kalau Anda dibuat bingung terus, itu menandakan Anda belum siap untuk menjadi dewasa sebenarnya. Hanya orang yang tidak punya keberanian yang menunda-nunda keputusan. Ini bahaya! Kenapa? Begini!
Konon ada dua orang filosof besar, mereka guru murid. Suatu hari datanglah, seorag murid itu kepada gurunya dan bertanya tentang cinta.
“Wahai guru, ajarkan kepadaku tentang cinta?”
“Jadi benar kau mau tahu tentang cinta?” (Anak muda ini sudah mulai dewasa kali ya, begitu mungkin pikir sang guru).
“Benar guru, saya ingin tahu apa itu cinta?” Mendengar penegasan dari muridnya, sang guru tidak langsung memberi jawaban, tapi malah memerintah. Pagi-pagi betul, sang guru berkata kepada si murid yang muda dan bertubuh atletis itu.
“Sekarang, kamu pergi ke sebuah hutan. Cari dan temukan sebuah bunga paling indah dan paling bagus dari sekian bunga yang ada. Lalu bawa bunga itu kepadaku”
“Hanya itu guru?” Tanya si murid.
“Ya, hanya itu”. Jawab sang guru singkat.
Pergilah si pemuda ini ke sebuah hutan nan jauh. Dia mulai mencari bunga paling indah dan paling bagus pesanan sang guru. Benar, dia menemukan sebuah bunga yang sangat menari perhatiannya. Bunga itu memang bagus. Tidak hanya harum, tetapi cantik dan indah. “Wah, ini dia bunga pesanan guru”, gumamnya. Dia akan memetikanya. “Ups, jangan-jangan di dalam sana, masih ada yang lebih bagus dan lebih indah, lebih harum dari ini yaa...” gumamnya, saat hendak memetik bunga itu. Akhirnya, dia pun menunda dan tidak memetik bunga itu. Dia memilih terus jalan ke semak belukar untuk mencari bunga “yang mungkin” lebih indah dari bunga pertama.
Benar sekali, dia menjumpai sekuntum bunga yang sangat indah, sangat menarik. Dia pun hendak memetiknya. Lagi-lagi, saat hendak memetiknya, muncul lagi gumam di hatinya, “Jangan-jangan di sana masih ada bunga yang lebih indah dari ini”. Begitu terus hingga bunga ketiga, keempat, kelima dan seterusnya. Hingga dalam pencariannya, dia lupa waktu. Dia sudah tidak ingat lagi, bahwa matahari telah mulai tidur ke perenduannya. Ya, matahari telah lengser ke ufuk barat di bawah kaki gunung. Langit merah dan malam mulai merayap. Dia pun tidak ingat lagi, dimana tempat bunga-bunga tadi letaknya. Hingga dia kembali pada gurunya, tanpa membawa sekuntum bunga pun! Game over!
“Mana bunga yang saya pesan itu?” Tanya sang guru.
Dengan beribu dalih sebelumnya dan menceritakan keadaan jiwanya saat hendak memetik bunga, akhirnya si murid berkata dengan nada lesuh, “Saya tidak membawa apa-apa guru. Saya bingung...”
Dengan nada agak pelan, sang guru berkata, “Itulah cinta!”
Cinta itu, ketika Anda berani memilih dan memutuskan. Terlalu banyak bunga-bunga dalam kehidupan ini, tapi Anda harus segera memutuskan. Ambil satu-dua peran. Lalu berlombalah dengan memaksimalkan potensi Anda di dalamnya. Putuskan sekarang juga, mumpung mentari masih bisa Anda nikmati sinarnya. Mumpung nyawa masih dikandung badan. Mumpung kekuatan dan kesempatan masih ada.
Waspada! Itulah satu-satunya yang diperlukan di era globalisasi ini. Dimana bukan hanya hiburan yang sangat menarik perhatian seseorang, hingga informasi pun sangat menarik Anda. Kalau Anda sampai ikut-ikutan atau terbawa arus, sangat bisa jadi Anda sulit meraih tujuan Anda dalam hidup. Ya, mungkin tujuan hidup saja masih kurang bagi Anda, apalagi mereka yang masih muda. Tujuan dan keinginan itu perlu dipermantap lagi dengan selalu menjiawai pekerjaan kita. Kalau perlu, gambarlah diri Anda sendiri dalam pikiran Anda. Bisa juga seorang tokoh yang Anda kagumi. Mau seperti apa Anda lima tahun mendatang, sepuluh tahun mendatang, dan seterusnya. Mereka yang lebih cepat sampai di puncak pendakian adalah mereka yang fokus dan terus berada pada relnya. Walau pun kecil yang dilakukannya, itu sebuah perkembangan dan kemajuan. Sebaliknya, kalau tidak punya afirmasi positif dengan menjiwai apa yang dilakukan, walau nampaknya banyak yang dilakukannya tapi sebenarnya dia masih diam ditempat.
Orang yang menjiwai pekerjaannya dan mengambil peran dengan sengaja padanya, akan selalu sadar bahwa mereka sedang dalam medan pertandingan. Ibarat atlet lari, dia kini sedang berlomba lari dengan ratusan atau bahkan ribuan orang lainnya di bidang yang sama. Orang yang seperti ini, tidak terlena dengan sorakan dan tepuk tangan penonton. Pun dia tidak merasa sedih dengan cacian dan makian komentator itu. Dia mengerti apa yang harus dia pertahankan, usahakan dan kerjakan. Dan apa yang harus dia abaikan. Ya, begitulan untuk bisa cepat kita mesti tahu mana yang mesti diperhatikan dan mana yang mesti diabaikan. Mana yang mesti dikerjakan dan mana yang mesti dilemparkan kepada orang lain. Dia tahu betul tugasnya. Pun dia pandai membagi tugasnya kepada orang lain. Bahasa kerennya, “The right man on the right place. The right man on the right job”.


NB: Silahkan IZIN kepada penulis di: ahmadsaifulislam@gmail.com (sms aja 085733847622), bila berminat menerbitkan artikel-artikel di blog resmi ini. Terimakasih, Salam Menang…J) Yuk diskusi juga di @tips_kemenangan, dapatkan kultweet yang menyegarkan intelektual, emosional dan spiritual.
Bisa follow juga @MotivasiAyat
Semoga jadi media silaturahim yang membawa banyak manfaat…J

HATI-HATI BUKAN BERARTI PELAN-PELAN


Ada dua orang santri yang baru saja bersilaturahim kepada rumah Sang Kiai. Keduanya datang dengan sepeda motor. Sudah lebih dari satu jam, mereka bertiga saling berdiskusi. Kini sudah waktunya pulang. Berpamitanlah keduanya kepada Sang Kiai, “Kami pamit Yai?”

“Baik Nu (Ibnu—sapaan akrab seorang kiai kepada murid-murdinya yang berarti putra), hati-hati yah di jalan”.

Nah, kalau kita cermati lebih dalam kalimat “hati-hati di jalan”, itu ternyata mempunyai kesan yang dalam dan syarat dengan nilai-nilai kebijaksanaan dan kedewasaan. Sudah banyak terjadi di masyarakat, bahkan guru kita, teman-teman kita, keluarga atau famili kita, bahkan orang tua kita sering mengatakan kalimat “sakti” itu. Masalahnya, maknanya menurut saya sering dipelesetkan dengan kata “pelan-pelan”. Jadi kalimat itu memberi penegasan, “Pelan-pelan di jalan”. Padahal tidak sesederhana itu makna “hati-hati di jalan”. Saya akan mengulasnya untuk Anda agar kita semua lebih arif dan bijaksana (wisdom).

Hati-hati di jalan itu tidak selalu pelan-pelan. Tapi lebih tepat adalah kapan kita harus pelan dan kapan kita harus cepat. Kapan kita harus menurunkan gas dan kapan pula kita harus menancap gas, bahkan hingga full alias ngebut! Ada sebuah kisah nyata sebuah keluarga kecil berempat yang terdiri dari bapak, ibu dan kedua anak mereka yang masih kecil-kecil. Mereka mengendarai sepeda motor kecepatan kira-kira 40-an km/jam. Pelan dan berada di tepi. Namun naasnya, bertepatan dengan itu ada seorang yang mengendari mobil ngebut karena dapat kabar anaknya meninggal di rumah sakit. Mobil tersebut menabrak dari belakang keluarga kecil tadi. Akhir kisah, mereka berempat tewas!

Mengabil pelajaran (ibrah bukan hikmah) dari kisah tersebut bahwa hati-hati itu sama sekali tidak identik dengan pelan-pelan. Justru dengan pelan-pelan bisa jadi tidak hati-hati. Istilah saya, kapan kita harus meroket kapan kita harus kalem seperti kura-kura atau siput. Itu tergantung pada keadaan, waktu dan tempat (ketupat). Atau menyesuaikan dengan ‘ashr (waktu), kondisi-situasi, dan posisi. Dengan kondisional seperti ini, kita akan menjadi bijak!

Dulu saat usia masih belasan tahun, saudara saya menasehati yang sampai sekarang masih melekat kuat, “Kalau berkendara malam hari, jangan terlalu minggir dan jangan terlalu pelan”. Nampaknya dia pun masih ragu-ragu mengatakan, “Kalau malam ngebutlah!” Kenapa? Karena kalau kita terlalu minggir dan terlalu pelan, bisa dijegal oleh maling atau rampok. Nasehat yang bijaksana menurut saya.

Kalau kita kaitkan dalam kehidupan yang lebih luas, orang yang bijak itu selalu melihat meaning. Jangan langsung menuduh musik rock itu tidak baik misalnya. Yang baik hanya musik-musik religi yang kalem, mendayu-dayu, slow dan yang semisalnya. Sekali lagi tidak! Musik rock itu juga sewaktu-waktu kita butuhkan. Agar tidak ngantuk saat membaca, belajar, bekerja dan menulis misalnya. Keduanya sama-sama dibutuhkan, lagi-lagi kondisional. Sebab, tidak jarang musik yang mendayu-dayu membuat kita lemas, ngantuk lalu tertidur. Lama-lama jadi kebiasaan malah berbahaya bagi prestasi dan kualitas hidup kita. Sebaliknya, musik rock sering membuat kita “mantuk-mantuk”, dance, dan memancing adrenalin kita sehingga kita jadi lebih semangat, enerjik penuh antusias. Efeknya, kita menjalani pekerjaan dengan happy dan ini akan berdampak pada kualitas hasil dari pekerjaan kita. Inilah hati-hati itu yang sebenarnya atau lebih tepatnya wisdom itu mengajarkan kita pada kondisonal, adaptif pada lingkungan. Jadi, “hati-hati di jalan” sama sekali tidak terkait dengan pelan-pelan. Bahkan juga identik dengan keras-keras, cepat-cepat, “aneh-aneh”, tidak biasa, “gila-gila” dan lain semacamnya. Karena pelan-pelan kalau tidak tepat pada sikon bisa menjadi petaka dan membunuh kita.

“Di jalan” kalau kita kaitkan dengan “jalan kehidupan”, maka kondisional itulah seharusnya kita berpikir, bersikap dan berbuat. Menjadi orang yang kondisional dan tidak asal pokoknya, membuat kearifan kita terus tumbuh dan berkembang. Apakah sama orang yang banyak ilmunya (kaya informasi) dengan yang sedikit? Tentu jawabannya tidak sama. Kenapa? Karena orang pertama, dengan ilmu-ilmunya yang seperti “pelangi” mampu melihat masalah dari segala aspek lengkap dengan kontek-konteknya. Layak orang seperti ini dijuluki The wisdom man.

Awas menyimpulkan sesuatu itu baik atau buruk tanpa memperhatikannya lebih dahulu. Hati-hati prinsip selama ini yang Anda miliki yang sudah harga mati Anda pedomani. Nampaknya penting Anda tinjau ulang prinsip itu. Sebab kalau sudah mengakar dalam pikiran bawah sadar, bisa jadi mencelakakan Anda. Seperti katak yang dibiasakan dikurung beberapa waktu. Saat tutupnya dibuka bahkan dilepas di alam bebaspun, dia tidak mau melompat. Sebabnya, pikiran mereka sudah diinstall, “Kalau melompat, pasti kepalaku terbentur dan itu sakit”. Lalu dia tidak mau melompat. Kalau dia diam terus, padahal perutnya sudah sangat lapar, maka bisa jadi dia akan mati di tempat itu juga! Sekali lagi, recode lagi mindset Anda!


NB: Silahkan IZIN kepada penulis di: ahmadsaifulislam@gmail.com (sms aja 085733847622), bila berminat menerbitkan artikel-artikel di blog resmi ini. Terimakasih, Salam Menang…J) Yuk diskusi juga di @tips_kemenangan, dapatkan kultweet yang menyegarkan intelektual, emosional dan spiritual.
Bisa follow juga @MotivasiAyat 
Semoga jadi media silaturahim yang membawa banyak manfaat…J

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...