Alkisah tersebut
lah seorang raja yang kaya dan perkasa namun pelit yang hobinya berbubur hewan.
Ketika datang bulan purnama, dia keluar istana dilengkapi senjata tombaknya
dengan mengendarai kuda untuk berburu. Kali ini yang menjadi sasarannya adalah
kijang. Dia merasa tertantang dan adrenalinnya naik ketika mengejar kijang yang
larinya begitu cepat dan lincah. Raja itu tertantang mengerjarnya namun masih
juga belum berhasil sehingga membuat tambah penasaran.
Saking semangatnya
dia tidak merasa ketika kijang itu telah keluar jauh dair lingkungan istana dan
bahkan telah masuk ke padang pasir nan luas dan tandus. Berkat semangat dan
kerja kerasnya akhirnya raja berhasil menangkap kijang dengan lemparan
tombaknya. Setelah berhasil dia berhenti dan turun dari kudanya. Dia kaget
bahwa perjalanannya telah jauh dari istana dan kini tersesat di padang pasir
dalam keadaan capek, lapar dan haus tak terkira. Tak seoarng pun penduduk di
sana.
Dalam situasi
demikian maka satu-satunya harapan adalah menunggu musafir lewat untuk meminta
bantuan makan dan minum agar tenagannya pulih kembali lalu pulang ke istana.
Demikin lah, setelah menunggu sehari semalam penuh dalam kondisi badan yang
amat letih, lapar, dan haus lewat lah seorang musafir yang ditunggu-tunggu.
“Hai kawan, saya senang sekali Anda datang. Kalau tidak, pasti saya akan
menemui ajal di padang pasir ini akibat kehausan dan mayatku akan jadi pesta
anjing-anjing liar,” katanya lirih.
“Kalau boleh
tahu, mengapa saudara di sini, sudah berapa lama, dan apa yang bisa aku bantu?
Tanya musafir.
“Saya ini
seorang raja yang tengah berburu kijang lalu nyasar ke padang pasir. Semua
bekalku habis, bahkan kuda yang saya kendarai juga pergi entah kemana ketika
saya tertidur,” jawabnya.
Mengetahui bahwa
yang tersesat adalah seorang raja, maka musafir tadi berubah pukiranya, yang
semula mau memberi minum secara gratis lalu berpikir untuk ditukarkan denga
uang.
“Saya membawa
makan-minum tetapi terbatas, sementara perjalanan saya masih jauh, bagaimana
kalau sebagian bekal saya ditukar dengan uang?” tanya musafir.
Raja menjawab, “Kamu
itu sungguh keterlaluan. Sudah tahu bahwa saya ini raja, mestinya menghormati,
tetapi malah mencari keuntungan di tengah penderitaan orang lain?”
Mendengar jawaban
itu bukannya musafir menjadi kasihan, malainkan malah tersinggung. “Ya sudah
kalau demikian, selamat tinggal, saya mau meneruskan perjalanan, semoga ada
musafir lewat yang sudi menolongmu, hanya saja harap tahu, belum tentu sebulan
sekali ada musafir lewat daerah terpencil ini.”
Mendengar
jawaban musafir yang bernada kesal itu raja pun hatinya melunak dan mengiba
minta dikasihani dengan suara yang sudah sangat lemah karena kehausan. Dalam benaknya
muncul bayangan yang mengerikan andaikan tidak mendapat pertolongan air maka ia
pasti akan mati konyol di tengah padang pasir.
Maka terjadi lah
dialog dan tawar menawar harga antara
musafir dan raja tadi yang berujung pada tawaran yang sungguh di luar dugaan
raja. “Karena engkau seorang raja yang pasti kaya raya dan memmiliki banyak
istana, engkau boleh mengambil separuh bekal makanan dan airku dengan imbalan satu
istana. Kalau setuju, serahkan kunci istanamu, kalau tidak saya akan segera
pergi meneruskan perjalanan.”
Raja kesal,
namun tak berdaya. Setelah merenung cukup lama sementara kesehatannya semakin
memburuk, akhirnya raja setuju. Tak ada pilihan lain kecuali sebuah istananya
mesti dilepas ditukar dengan air minum.
Singkat cerita,
setelah minum dan badannya segar kembali raja pulang ke istana dengan jalan
kaki berhari-hari baru sampai. Sesampai di rumah, sambil istirahat menikmati
makan minum yang terhidang, dia berpikir, sebuah istananku yang megah telah
hilang hanya diktukar dengan beberapa botol air minum. Selama ini saya tidak
pernah menyadari, betapa nikmat dan mahalnya kenikmatan bisa minum secara
leluasa yang harganya senilai istana, pikirnya.
Belum pulih
benar kesehatannya, raia itu terserang sakit yang memmbuatnya tidak bisa buang air
kecil. Mungkin akibat kelelahan fisiknya. Maka dipanggil lah tabib istana,
namun hasilnya sia-sia. Tetap saja raja tidak bisa buang air kecil. Akhirnya
dibuat lah sayembara terbuka, siapa yang bisa mengobati sakit raja akan memperoleh
hadiah yang banyak. Maka datang lah silih berganti tabib yang berusaha
mengobati, namun tetap juga belum berhasil. Seluruh aktivitas raja terhenti
gara-gara tidak bisa buang air kecil.
Terakhir, datang
lah seorang tabib yang penampilannya tidak meyakinkan, lalu menatang raja yang kaya
namun pelit itu. “Tuan raja, saya akan berusaha mengobati penyakit tuang agar
bisa sehat, perut tidak kembung serta lancar buang air kecil. Namun, ongkosnya
mahal. Kalau sembuh imbalannya sebuah istana, dan kalau gagal silahkan saya
dihukum mati,” katanya. Karena tak lagi tahan menganggung sakit akibat tidak
bisa kencing, tawaran tabib itu disepakati mesti dengan hati dongkol. Singkat cerita,
ternyata raja sembuh dan bisa buang air dengan lega dan lancar, namun dengan
ongkos sebuah istananya berpindah tangan.
Lagi-lagi raja
merenung, betapa nikmat dan mahalnya bisa minum dan buang air kecil secara
leluasa yang nilainya seharga dua istana. “Gara-gara kehausan saya kehilangan
satu istana, dan kini gara-gara tidak bisa buang air kecil hilang lagi istanaku
yang lain,” keluhnya. Mengapa selama ini saya tidak pernah bersyukur?” bisik
raja instropeksi. Saya bisa makan, minum, dan tidur dengan nikmatnya tetapi
tidak pernah saya hargai, bahkan saya selalu saja mengejar harta dan sangat
bangga pada istanaku. Padahal, hanya dalam waktu sekejab istanaku hilang karena
ingin minum dan buang air kecil.
Sejak itu raja
berubah sikapnya. Dijlaninya hidup dengan penuh rasa syukur dan senang berderma
sehingga rakyatnya yang semula benci berubah menjadi simpati. Ketika memandang
makanan dan minuman yang terhidang, raja berbisik pada diri sendiri, “Air minum
ini nilainya sama dengan istanaku.” Ketika hendak masuk ke kamar kecil, dia
membayangkan masuk istana. Kesehatan itu mahkota kehidupan yang lebih berharga
ketimbang mahkota raja, tetapi seseorang baru memiliki mahkota yuang demikian
berharga ketika sakit. Haruskah sakit lebih dahulu untuk bisa mensyukuri
anugerah kesehatan? Rayakanlah kesehatan setiap saat dengan berbuat kebajikan
dan berbagi kebahagiaan pada sesama.