—Saiful Islam*—
“Berikut saya berikan contoh Hadis muttafaq
‘alayh yang bertentangan dengan Qur’an dan Sains sekaligus…”
Kesahihah Hadis, itu harus ditinjau
paling tidak dari dua aspek. Pertama, sisi sanad-nya (rangkaian para periwayat
teks Hadis). Yang kemudian melahirkan istilah kritik sanad (naqd al-sanad).
Kedua, dari sisi matan-nya, yakni teks Hadis itu sendiri. Yang lantas
memunculkan istilah kritik matan (nadq al-matn).
Kali ini, saya akan mengajak
kawan-kawan pembaca melihat kriteria kritik matan Hadis menurut ulama Hadis.
Tentu saja, saya hanya menceritakan garis besarnya saja. Untuk detailnya,
kawan-kawan bisa membaca buku berjudul Manhaj Naqd al-Matn ‘ind Ulama’
al-Hadits al-Nabawiy yang ditulis oleh Dr. Shalahudin ibn Ahmad al-Adlabiy.
Versi terjemahannya juga sudah ada, dengan judul yang tak kalah keren: Metodologi
Kritik Matan Hadis.
Di buku tersebut, kawan-kawan akan
melihat dengan sangat jelas, mengapa gampangan mengumbar Hadis itu sangat
berbahaya. Orang yang hati-hati, itu bukanlah orang yang banyak-banyakan
menyampaikan Hadis. Justru sebaliknya, orang yang hati-hati adalah orang yang
sedikit meriwayatkan Hadis. Apalagi bagi orang yang tidak tahu, tidak mengerti,
dan tidak paham tentang bagaimana cara menyikapi Hadis. Ingat, cara menyikapi
Hadis (how to deal with Hadith), itulah yang amat sangat penting terkait
Hadis.
Dengan banyak sekali contoh Hadis
yang telah dipaparkan, tampaknya Ulama Hadis sudah sepakat. Bahwa kesahihan
sanad, itu tidak menjamin kesahihan matan. Disebutkan dalam buku itu, bahwa
Hadis yang sahih, itu hanya jika sanad dan matan-nya sahih. Salah satu dari
kedua aspek tersebut ada yang tidak sahih, maka Hadis yang berangkutan pasti
tidak sahih. Tidak valid. Tidak otentik. Dan harus ‘diletakkan’.
Paling tidak ada empat kriteria
sebuah matan (teks Hadis) dihukumi sahih. Yaitu: (1) Teks Hadis tidak boleh
bertentangan dengan Qur’an; (2) Tidak boleh bertentangan dengan Hadis lain dan
Sejarah atau Sirah yang sahih; (3) Tidak boleh bertentangan dengan akal sehat
(Sains), Indra, dan Sejarah; (4) Kritik terhadap Hadis-Hadis yang tidak
menyerupai perkataan Nabi.
Itulah kenapa saya berkali-kali
menegaskan bahwa tidak perduli sanad-nya sahih, tidak perduli sebuah Hadis
terdapat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, tidak perduli
distempel muttafaq ‘alayh, tidak perduli diklaim sebagai Hadis
Mutawatir, kalau redaksi teks Hadis tersebut bertentangan dengan Qur’an dan
data-data Sains yang valid, maka niscaya Hadis yang bersangkutan wajib dan
harus ‘diletakkan’.
Dengan kata lain, sebuah Hadis, itu
harus diverivikasi terlebih dahulu. Paling tidak dengan Qur’an dan data-data
Saintifik.
Kenapa bisa terjadi sanad yang
sahih, itu tidak menjamin matan yang sahih? Karena ternyata sistem isnad,
itu berkembang di akhir abad pertama Hijrah. Sementara Rasulullah wafat di awal
abad pertama Hijrah. Selain itu, tidak mustahil sistem isnad itu sengaja dibuat
untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Dan yang jelas, ketika Rasulullah masih
hidup, Hadis-Hadis lengkap dengan sanad-sanad-nya, itu tidak ada. Sekali lagi,
tidak ada!
Tulisan-tulisan sebelumnya,
sebenarnya saya sudah menunjukkan contoh-contoh Hadis yang dicap muttafaq
‘alayh, bahkan distempel Mutawatir, yang harus dan wajib ‘diletakkan’ itu.
Meskipun dengan sudut pandang Hadis qudsi dan Hadis ramalan atau Hadis
prediktif. Kali ini saya berikan contoh sebuah Hadis, yang meskipun riwayat
Bukhari dan Muslim (muttafaq ‘alayh), tetapi bertentangan dengan Qur’an
dan Sains sekaligus. Berikut ini.
Penciptaan salah seorang diantara
kalian dihimpun dalam perut ibunya selama 40 hari (malam). Kemudian menjadi
segumpal darah dalam 40 hari berikutnya. Kemudian menjadi segumpal daging dalam
40 hari berikutnya. Kemudian Allah mengutus malaikat kepadanya dan
memerintahkan untuk menetapkan empat kalimat (empat hal): tentang rejekinya,
ajalnya, amalnya, sengsara ataukah bahagia. Kemudian ditiupkan ruh padanya. Sungguh
ada salah seorang di antara kalian yang melakukan amalan-amalan penghuni surga
hingga tak ada jarak antara dia dan surga selain sehasta, namun kemudian takdir
telah mendahului dia, lantas ia pun melakukan amalan penghuni neraka dan
akhirnya masuk neraka. Dan sungguh ada salah seorang diantara kalian yang
melakukan amalan penghuni neraka, hingga tak ada jarak antara dia dan neraka
selain sehasta, namun kemudian takdir mendahuluinya, lantas ia pun mengamalkan
amalan penghuni surga sehingga ia memasukinya.
Hadis Bukhari nomor 6900 tersebut,
secara sanad, dinilai sahih misalnya kalau kita menggunakan aplikasi
Ensiklopedi Hadits Kitab 9 Imam. Hadis Muslim nomor 4781, ini juga dinilai
sahih. Ditulis: shahih menurut Ijma’ Ulama. Tetapi sekali lagi, sahih yang
dimaksud di sini adalah sahih sanad-nya. Jadi baru sahih sanad-nya. Saya pun
setuju kalau sanad-nya memang sahih. Tetapi ingat, sebuah Hadis dikatakan
sahih, itu tidak hanya sahih sanad-nya saja. Tapi juga harus sahih matan-nya.
Tentang nuthfah alias sperma
selama 40 hari di dalam rahim, itu bertentangan dengan data Sains. Sperma itu
hanya akan hidup maksimal 3 hari atau sekitar 72 jam. Jika dalam waktu tersebut
sperma tidak bertemu dengan sel telur, maka jutaan sel sperma itu akan mati.
Hadis itu menyebut masa ‘alaqah
40 hari. Begitu juga 40 hari untuk mudhghah. Ini juga tidak berdasar.
Sebab gumpalan ‘alaqah yang menempel di dinding rahim itu pada hari
ke-21 sudah menjadi gumpalan mudhghah yang terus berkembang cepat.
Sehingga pada usia 60 hari saja, sudah berbentuk manusia. Meski hanya sekitar 2
cm, tetapi organ-organnya sudah lengkap dan hidup.
Yang paling fatal adalah waktu
ditiupkannya ruh kepada janin yang menurut Hadis itu baru setelah 4 bulan.
Sampai sebagian umat Islam ada yang menghalalkan aborsi sebelum 4 bulan ini
dengan alasan janin belum ada ruhnya. Tentu ini kesalahan fatal sekali. Kriminal!
Padahal menurut Qur’an, ruh itu
sudah ditiupkan oleh Allah kepada cikal bakal manusia sejak hari pertama,
dimana sel telur dan sperma dipertemukan di dalam rahim. Yakni, saat Allah
mengeluarkan cikal bakal keturunan Adam yang masih berupa air mani dari sulbi
alias organ reproduksinya. Sejak itu pula, manusia sudah hidup. Bahkan sudah
bisa bersyahadat.
QS. Al-A’raf[7]: 172
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ
بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ
أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَافِلِينَ
Dan (ingatlah), KETIKA TUHANMU
MENGELUARKAN KETURUNAN ANAK-ANAK ADAM DARI ORGAN REPRODUKSI MEREKA DAN ALLAH
MENGAMBIL KESAKSIAN TERHADAP JIWA MEREKA (SERAYA BERFIRMAN): "BUKANKAH AKU
INI TUHANMU?" MEREKA MENJAWAB: "BETUL (ENGKAU TUHAN KAMI), KAMI
MENJADI SAKSI." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu
tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang
lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".
Masalah berikutnya dalam Hadis itu
adalah tentang konsep takdir, yang mengatakan bahwa seseorang yang masuk surga
atau neraka sudah ditetapkan sejak awal penciptaannya. Tentu ini tidak benar.
Surga atau neraka itu, nasib yang tergantung pilihan seseorang. Iman, yang
merupakan salah satu syarat masuk surga, itu saja pilihan. “Siapa yang ingin
beriman, silakan beriman. Yang ingin kafir, silakan kafir,” begitu kata
QS.18:29.
Ayat di bawah dengan tegas juga
menyebutkan, bahwa Allah tidak mengubah nasib atau keadaan suatu kaum, sampai
mereka mau mengubahnya dengan diri mereka sendiri. Dan bertaburan ayat yang
lain hukum bahwa orang yang beriman dan beramal saleh, itu balasannya adalah
surga. Balasan kebaikan adalah surga. Keburukan, kejahatan, dan kriminalitas
balasannya adalah neraka. Sehingga Hadis di atas memang harus dan wajib ‘diletakkan’.
QS. Al-Ra’ad[13]: 11
إِنَّ اللَّهَ لَا
يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ ۗ
Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan
(nasib) sesuatu kaum SAMPAI MEREKA MERUBAHNYA DENGAN DIRI MEREKA SENDIRI.
Begitu. Ini sudah tulisan ke-62. Saya rasa untuk tema MENGGUGAT KEWAHYUAN HADIS, ini kita cukupkan sampai di
sini. Semoga bermanfaat.
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
*Penulis Ayat-Ayat Kemenangan