Kamis, 06 Februari 2020

KRITIK ULAMA HADIS


—Saiful Islam*—

“Berikut saya berikan contoh Hadis muttafaq ‘alayh yang bertentangan dengan Qur’an dan Sains sekaligus…”

Kesahihah Hadis, itu harus ditinjau paling tidak dari dua aspek. Pertama, sisi sanad-nya (rangkaian para periwayat teks Hadis). Yang kemudian melahirkan istilah kritik sanad (naqd al-sanad). Kedua, dari sisi matan-nya, yakni teks Hadis itu sendiri. Yang lantas memunculkan istilah kritik matan (nadq al-matn).

Kali ini, saya akan mengajak kawan-kawan pembaca melihat kriteria kritik matan Hadis menurut ulama Hadis. Tentu saja, saya hanya menceritakan garis besarnya saja. Untuk detailnya, kawan-kawan bisa membaca buku berjudul Manhaj Naqd al-Matn ‘ind Ulama’ al-Hadits al-Nabawiy yang ditulis oleh Dr. Shalahudin ibn Ahmad al-Adlabiy. Versi terjemahannya juga sudah ada, dengan judul yang tak kalah keren: Metodologi Kritik Matan Hadis.

Di buku tersebut, kawan-kawan akan melihat dengan sangat jelas, mengapa gampangan mengumbar Hadis itu sangat berbahaya. Orang yang hati-hati, itu bukanlah orang yang banyak-banyakan menyampaikan Hadis. Justru sebaliknya, orang yang hati-hati adalah orang yang sedikit meriwayatkan Hadis. Apalagi bagi orang yang tidak tahu, tidak mengerti, dan tidak paham tentang bagaimana cara menyikapi Hadis. Ingat, cara menyikapi Hadis (how to deal with Hadith), itulah yang amat sangat penting terkait Hadis.

Dengan banyak sekali contoh Hadis yang telah dipaparkan, tampaknya Ulama Hadis sudah sepakat. Bahwa kesahihan sanad, itu tidak menjamin kesahihan matan. Disebutkan dalam buku itu, bahwa Hadis yang sahih, itu hanya jika sanad dan matan-nya sahih. Salah satu dari kedua aspek tersebut ada yang tidak sahih, maka Hadis yang berangkutan pasti tidak sahih. Tidak valid. Tidak otentik. Dan harus ‘diletakkan’.

Paling tidak ada empat kriteria sebuah matan (teks Hadis) dihukumi sahih. Yaitu: (1) Teks Hadis tidak boleh bertentangan dengan Qur’an; (2) Tidak boleh bertentangan dengan Hadis lain dan Sejarah atau Sirah yang sahih; (3) Tidak boleh bertentangan dengan akal sehat (Sains), Indra, dan Sejarah; (4) Kritik terhadap Hadis-Hadis yang tidak menyerupai perkataan Nabi.

Itulah kenapa saya berkali-kali menegaskan bahwa tidak perduli sanad-nya sahih, tidak perduli sebuah Hadis terdapat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, tidak perduli distempel muttafaq ‘alayh, tidak perduli diklaim sebagai Hadis Mutawatir, kalau redaksi teks Hadis tersebut bertentangan dengan Qur’an dan data-data Sains yang valid, maka niscaya Hadis yang bersangkutan wajib dan harus ‘diletakkan’.

Dengan kata lain, sebuah Hadis, itu harus diverivikasi terlebih dahulu. Paling tidak dengan Qur’an dan data-data Saintifik.

Kenapa bisa terjadi sanad yang sahih, itu tidak menjamin matan yang sahih? Karena ternyata sistem isnad, itu berkembang di akhir abad pertama Hijrah. Sementara Rasulullah wafat di awal abad pertama Hijrah. Selain itu, tidak mustahil sistem isnad itu sengaja dibuat untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Dan yang jelas, ketika Rasulullah masih hidup, Hadis-Hadis lengkap dengan sanad-sanad-nya, itu tidak ada. Sekali lagi, tidak ada!

Tulisan-tulisan sebelumnya, sebenarnya saya sudah menunjukkan contoh-contoh Hadis yang dicap muttafaq ‘alayh, bahkan distempel Mutawatir, yang harus dan wajib ‘diletakkan’ itu. Meskipun dengan sudut pandang Hadis qudsi dan Hadis ramalan atau Hadis prediktif. Kali ini saya berikan contoh sebuah Hadis, yang meskipun riwayat Bukhari dan Muslim (muttafaq ‘alayh), tetapi bertentangan dengan Qur’an dan Sains sekaligus. Berikut ini.

Penciptaan salah seorang diantara kalian dihimpun dalam perut ibunya selama 40 hari (malam). Kemudian menjadi segumpal darah dalam 40 hari berikutnya. Kemudian menjadi segumpal daging dalam 40 hari berikutnya. Kemudian Allah mengutus malaikat kepadanya dan memerintahkan untuk menetapkan empat kalimat (empat hal): tentang rejekinya, ajalnya, amalnya, sengsara ataukah bahagia. Kemudian ditiupkan ruh padanya. Sungguh ada salah seorang di antara kalian yang melakukan amalan-amalan penghuni surga hingga tak ada jarak antara dia dan surga selain sehasta, namun kemudian takdir telah mendahului dia, lantas ia pun melakukan amalan penghuni neraka dan akhirnya masuk neraka. Dan sungguh ada salah seorang diantara kalian yang melakukan amalan penghuni neraka, hingga tak ada jarak antara dia dan neraka selain sehasta, namun kemudian takdir mendahuluinya, lantas ia pun mengamalkan amalan penghuni surga sehingga ia memasukinya.

Hadis Bukhari nomor 6900 tersebut, secara sanad, dinilai sahih misalnya kalau kita menggunakan aplikasi Ensiklopedi Hadits Kitab 9 Imam. Hadis Muslim nomor 4781, ini juga dinilai sahih. Ditulis: shahih menurut Ijma’ Ulama. Tetapi sekali lagi, sahih yang dimaksud di sini adalah sahih sanad-nya. Jadi baru sahih sanad-nya. Saya pun setuju kalau sanad-nya memang sahih. Tetapi ingat, sebuah Hadis dikatakan sahih, itu tidak hanya sahih sanad-nya saja. Tapi juga harus sahih matan-nya.

Tentang nuthfah alias sperma selama 40 hari di dalam rahim, itu bertentangan dengan data Sains. Sperma itu hanya akan hidup maksimal 3 hari atau sekitar 72 jam. Jika dalam waktu tersebut sperma tidak bertemu dengan sel telur, maka jutaan sel sperma itu akan mati.

Hadis itu menyebut masa ‘alaqah 40 hari. Begitu juga 40 hari untuk mudhghah. Ini juga tidak berdasar. Sebab gumpalan ‘alaqah yang menempel di dinding rahim itu pada hari ke-21 sudah menjadi gumpalan mudhghah yang terus berkembang cepat. Sehingga pada usia 60 hari saja, sudah berbentuk manusia. Meski hanya sekitar 2 cm, tetapi organ-organnya sudah lengkap dan hidup.

Yang paling fatal adalah waktu ditiupkannya ruh kepada janin yang menurut Hadis itu baru setelah 4 bulan. Sampai sebagian umat Islam ada yang menghalalkan aborsi sebelum 4 bulan ini dengan alasan janin belum ada ruhnya. Tentu ini kesalahan fatal sekali. Kriminal!

Padahal menurut Qur’an, ruh itu sudah ditiupkan oleh Allah kepada cikal bakal manusia sejak hari pertama, dimana sel telur dan sperma dipertemukan di dalam rahim. Yakni, saat Allah mengeluarkan cikal bakal keturunan Adam yang masih berupa air mani dari sulbi alias organ reproduksinya. Sejak itu pula, manusia sudah hidup. Bahkan sudah bisa bersyahadat.

QS. Al-A’raf[7]: 172
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَافِلِينَ
Dan (ingatlah), KETIKA TUHANMU MENGELUARKAN KETURUNAN ANAK-ANAK ADAM DARI ORGAN REPRODUKSI MEREKA DAN ALLAH MENGAMBIL KESAKSIAN TERHADAP JIWA MEREKA (SERAYA BERFIRMAN): "BUKANKAH AKU INI TUHANMU?" MEREKA MENJAWAB: "BETUL (ENGKAU TUHAN KAMI), KAMI MENJADI SAKSI." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".

Masalah berikutnya dalam Hadis itu adalah tentang konsep takdir, yang mengatakan bahwa seseorang yang masuk surga atau neraka sudah ditetapkan sejak awal penciptaannya. Tentu ini tidak benar. Surga atau neraka itu, nasib yang tergantung pilihan seseorang. Iman, yang merupakan salah satu syarat masuk surga, itu saja pilihan. “Siapa yang ingin beriman, silakan beriman. Yang ingin kafir, silakan kafir,” begitu kata QS.18:29.

Ayat di bawah dengan tegas juga menyebutkan, bahwa Allah tidak mengubah nasib atau keadaan suatu kaum, sampai mereka mau mengubahnya dengan diri mereka sendiri. Dan bertaburan ayat yang lain hukum bahwa orang yang beriman dan beramal saleh, itu balasannya adalah surga. Balasan kebaikan adalah surga. Keburukan, kejahatan, dan kriminalitas balasannya adalah neraka. Sehingga Hadis di atas memang harus dan wajib ‘diletakkan’.

QS. Al-Ra’ad[13]: 11
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ ۗ
Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan (nasib) sesuatu kaum SAMPAI MEREKA MERUBAHNYA DENGAN DIRI MEREKA SENDIRI.

Begitu. Ini sudah tulisan ke-62. Saya rasa untuk tema MENGGUGAT KEWAHYUAN HADIS, ini kita cukupkan sampai di sini. Semoga bermanfaat.

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

*Penulis Ayat-Ayat Kemenangan

Selasa, 04 Februari 2020

NABI BUKAN PERAMAL


—Saiful Islam*—

“Saya termasuk yang ‘meletakkan’ Hadis prediktif (ramalan) tersebut. Meskipun diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim…”

Terkait tema MENGGUGAT KEWAHYUAN HADIS, ini seorang kawan menyodorkan tentang Hadis ramalan. Yang umum dikenal dengan Hadis prediktif. Dengan Hadis ramalan, itu tampaknya ia bermaksud bahwa Nabi ternyata bisa tahu sebelumnya tentang hal-hal yang akan terjadi di masa depan. Dengan begitu, disimpulkan bahwa bisa saja Nabi mendapat wahyu teologis mandiri selain Qur’an.

Terkait Hadis ramalan ini, kita bisa menyimak uraian Fazlur Rahman di dalam bukunya Islamic Methodology in History. Sebagai pelengkap, bisa disimak tulisan Abdul Fatah Idris yang dimuat di jurnal Teologia dengan judul Hadis Prediktif dalam Kitab al-Bukhari. Atau makalahnya yang lain dengan judul Studi Analisis Takhrij Hadis-Hadis Prediktif dalam Kitab al-Bukhari.

Menurut Rahman, berdasarkan bukti-bukti historis yang nyata, sebuah Hadis yang mengandung ramalan, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung, tidak dapat diterima seolah-olah benar-benar bersumber dari Nabi, dan Hadis tersebut harus dihubungkan dengan periode yang relevan di dalam Sejarah yang kemudian. Yang ditolak itu, lebih kepada ramalan yang bersifat spesifik.

Prinsip di atas telah diterima oleh hampir semua ahli Hadis klasik. Tetapi tidak benar-benar diterapkan berdasarkan bukti-bukti historis. Sementara menolak ramalan yang bersifat spesifik, seperti ramalan yang disebutkan hari, tanggal, atau tempat tertentu, mereka secara mentah-mentah menerima ramalan-ramalan mengenai kebangkitan kelompok-kelompok teologis Islam, kelompok-kelompok politik Islam, dan partai-partai Islam.

Rahman mendefinisikan Hadis prediktif sebagai Hadis yang tidak bersumber dari Nabi, tetapi merupakan Hadis-Hadis yang diformulasikan dan seolah-olah bersumber dari Nabi.

Bukti bahwa Hadis ramalan bukan dari Nabi, adalah tugas Rasul sejak awal diutus Allah di kota Mekah, itu bertujuan untuk membebaskan praktik-praktik kaahin (dukun/peramal) yang menjurus pada syirik kepada Allah.

QS. Al-Thur[52]: 29
فَذَكِّرْ فَمَا أَنْتَ بِنِعْمَتِ رَبِّكَ بِكَاهِنٍ وَلَا مَجْنُونٍ
Maka tetaplah memberi peringatan. Dan disebabkan nikmat Tuhanmu, KAMU BUKANLAH SEORANG TUKANG RAMAL (DUKUN) dan bukan pula seorang gila.

Karenanya, Hadis-Hadis ramalan yang secara langsung atau tidak langsung atau pun secara spesifik yang bertujuan untuk kepentingan golongan politik, dogmatis dan teologis, jelas sekali tidak bersumber dari Nabi.

Ciri-ciri Hadis ramalan, itu terdapat kata-kata atau kalimat seperti ‘sayakuun atau satakuun: akan ada…’ atau ‘akan terjadi…’, ‘yakuun ba’diy: setelah aku, nanti akan ada…’ atau ‘setelah aku, nanti akan terjadi…’, dan ‘saya’tiy zamaan: akan datang suatu zaman…’.

Peperangan-peperangan politik beserta pertentangan-pertentangan teologis dan dogmatis yang susul-menyusul telah menimbulkan Hadis-Hadis prediktif, dan dikenal sebagai Hadis mengenai perang saudara (Hadiits al-Fitan). Untuk membenarkan Hadis-Hadis mengenai perang saudara ini, disebarkanlah Hadis-Hadis yang sangat jitu. Misalnya dari Sahabat Hudzayfah yang mengatakan begini:

“Pada suatu ketika Nabi berdiri di antara kami, dengan cara yang sedemikian rupa sehingga tidak ada satu hal (penting) pun yang akan terjadi sebelum Hari Pengadilan nanti yang tidak dinyatakannya di dalam amanat itu. Ada orang-orang yang mengingat amanat itu dan ada pula yang telah melupakannya… Ada beberapa hal dalam amanat itu yang tidak kuingat lagi tetapi apabila dihadapkan kepadaku niscaya akan kuingat kembali seperti halnya seseorang mengingat wajah seseorang yang sedang tidak ada lagi. Tetapi jika ia melihatnya lagi niscaya ia segera mengenalnya.”

Hadis di atas, itu dikutip oleh Bukhari dan Muslim. Menurut Abu Dawud, Hudzayfah mengatakan bahwa Nabi telah menyebutkan nama, nama orang tua, dan suku dari setiap pemimpin golongan-golongan politik yang saling berselisih, golongan-golongan yang masing-masing mempunyai pengikut sebanyak tiga ratus orang atau lebih.

Ada lagi, Hadis-Fitnah (Hadis Fitan) yang khas berasal dari Bukhari dan Muslim di bawah ini yang diperkirakan diriwayatkan juga oleh Hudzayfah:

“Orang-orang biasanya bertanya kepada Nabi mengenai kebajikan. Tetapi aku bertanya mengenai kejahatan. Karena aku takut tergelincir kepada kejahatan. Aku bertanya: ‘Ya Rasulullah. Di masa lampau kami berada dalam kebodohan serta kejahatan dan setelah itu Allah membawakan kebajikan ini. Akan adakah kejahatan sesudah kebajikan ini?’ Nabi menjawab: ‘Ya!’

“Apakah kebajikan ini akan kembali lagi sesudah kejahatan itu?’ Tanyaku. Nabi menjawab: ‘Ya. Namun di dalamnya terdapat berbagai penyelewenagan.’

“Apakah penyelewengan-penyelewengan itu?’ Tanyaku. Nabi menjawab: ‘Ada orang-orang yang mengikuti bukan Sunnahku dan memberi bimbingan ke arah yang berlainan dari yang kuberikan. Ada perbuatan-perbuatan yang baik dan ada pula perbuatan-perbuatan yang jahat.’

“Aku bertanya: ‘Apakah setelah kebajikan (yang bercampur penyelewengan) ini juga timbul kejahatan?’ Ia menjawab: ‘Ya, orang-orang yang menyeru dan berdiri di pintu neraka. Barang siapa mendengar mereka pasti akan dilemparkan mereka ke dalam neraka.’

“Jelaskanlah kepada kami siapakah mereka itu ya Rasulullah,’ aku bermohon. Nabi menjawab: ‘Mereka adalah sebangsa dengan kita dan mempergunakan bahasa yang sama.’

“Apakah yang engkau perintahkan kepadaku apabila aku berada di dalam situasi yang seperti itu?’ aku bertanya. Nabi menjawab: ‘BERPEGANGLAH KEPADA PIHAK MAYORITAS KAUM MUSLIMIN DAN PEMIMPIN POLITIK MEREKA.’

“Apabila tidak ada pihak mayoritas dan pemimpin politik mereka?’ aku terus bertanya. Nabi menjawab: ‘Jika demikian, TINGGALKANLAH MEREKA SEMUA. Sekalipun engkau harus bergantung kepada akar sebuah pohon sampai ajalmu’.”

Menurut sebuah versi lain di dalam Shahih Muslim, Nabi Muhammad berkata: “Setelah aku nanti akan datang pemimpin-pemimpin politik yang tidak suka dengan bimbinganku dan tidak suka mematuhi Sunnahku. Di antara mereka ada yang berhati setan di dalam wujud manusia.” Hudzayfah mengatakan bahwa ia mengajukan pertanyaan: “Apakah yang harus kulakukan, Ya Rasulullah, jika aku berada di dalam situasi yang seperti itu?” Maka Nabi pun menjawab: “DENGAR DAN PATUHILAH PEMIMPIN POLITIK TERSEBUT. SEKALIPUN IA MENYIKSAMU DAN MERAMPAS HARTA BENDAMU, ENGKAU HARUS MENDENGAR DAN MEMATUHINYA.”

Juga dijumpai Hadis prediktif yang hanya diriwayatkan oleh Bukhari. Sebagai berikut: “AKAN TERJADI PERANG SAUDARA dimana manusia yang duduk di rumah dalah lebih baik daripada yang beridiri. Yang berdiri lebih baik dari yang berjalan. Dan yang berjalan lebih baik dari yang berlari…”

Sudah tentu, tak satu pun Hadis-Hadis di atas, itu dapat diterima sebagai Hadis yang benar-benar bersumber dari Nabi. Saya termasuk yang ‘meletakkan’ Hadis ramalan tersebut. Meskipun diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim. Seruan bahwa seorang pemimpin yang zalim sekalipun harus ditaati adalah saran berdasarkan kepentingan-kepentingan politik. Kepentingan politik tersebut timbul, itu karena perang saudara yang tak kunjung padam.

Tentu saja, Hadis-Hadis ramalan seperti itu, muncul bersamaan atau setelah terjadinya fitnah (perpecahan) antar umat Islam sendiri. Terutama golongan mayoritas yang berkuasa (Bani Umayyah) versus golongan Ali bin Abi Thalib.

Mustahil Hadis ramalan semacam ini ada ketika Nabi masih hidup. Tidak mungkin Nabi membenarkan atau merestui fitnah tersebut. Karena pasti bertentangan dengan Qur’an, misalnya QS.3:103 dan QS.49:11, yang menyuruh supaya semua umat Islam selalu bersatu dengan Qur’an sebagai pedoman dan prinsip hidup satu-satunya.

QS. Ali Imran[3]: 103
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ
Dan BERPEGANGLAH kalian semuanya kepada TALI ALLAH (AL-QUR’AN), dan JANGANLAH BERCERAI BERAI.

Pemimpin yang zalim harus tetap dipatuhi, tentu saja ini juga bertabrakan dengan prinsip Qur’an, misalnya QS.11:18,102; QS.6:21 dan lain-lain.

QS. Hud[11]: 18
أَلَا لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الظَّالِمِينَ
Ingatlah, LAKNAT ALLAH (DITIMPAKAN) atas orang-orang yang ZALIM.

Tentu beda sekali dengan kejadian-kejadian masa depan yang sudah disebutkan terlebih dahulu oleh Qur’an. Misalnya kemenangan bangsa Romawi sebagaimana ditegaskan oleh QS.30:2-4. Barulah ini wahyu. Nabi akan bisa tahu kejadian masa depan, itu hanya sebatas info dari wahyu. Yakni dari Qur’an saja. Atau prediksi-prediksi beliau SAW berdasarkan kejadian-kejadian terdahulu sebagai sunnatullah (sebab akibat) yang wajar dan alamiyah.

Masalah lain terkait Hadis ramalan ini adalah waktu datangnya kiamat. Masa depan seperti kiamat, ini memang perkara gaib. Tentu saja Nabi tidak akan tahu. Sampai ditegaskan oleh QS.7:187-188 bahwa hanya Allah saja yang tahu. Datangnya pun tiba-tiba. “Sekiranya aku mengetahui yang gaib, niscaya aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya. Aku hanyalah pemberi peringatan,” begitu kata Nabi.

Sehingga Hadis Shahih Bukhari, yang menyatakan Rasulullah bersabda, “Tidak akan terjadi kiamat sehingga matahari terbit dari arah barah,” jelas-jelas tertolak. Hadis semacam ini harus ‘diletakkan’. Saya termasuk yang ‘meletakkannya’.

Jadi kesimpulannya, Hadis-Hadis prediktif tidak bisa dijadikan dasar argumen bahwa Nabi bisa mendapat wahyu teologis mandiri yang lain di samping Qur’an.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

*Penulis Ayat-Ayat Kemenangan

Minggu, 02 Februari 2020

PROBLEM HADIS QUDSI


—Saiful Islam*—

“Hadis-Hadis palsu sengaja dibuat baik, bagus, dan indah, itu memang supaya kita ‘sungkan’ untuk ‘meletakkannya’. Apalagi disandarkan kepada Nabi dan Allah. Lengkap sudah untuk membuat kita tak berkutik…”

Di awal-awal tulisan dengan tema MENGGUGAT KEWAHYUAN HADIS, ini sebenarnya sekilas sudah saya sampaikan. Menurut saya, salah definisi Hadis Qudsi yang sudah populer itu. Ia bukan pesan Tuhan (wahyu) yang dibahasakan sendiri oleh Nabi. Menurut saya, Hadis Qudsi adalah ijtihad Nabi yang diinspirasi oleh Qur’an. Tentu definisi saya ini setelah dipastikan dulu Hadis Qudsinya sahih: setelah uji matan dan sanad.

Sudah banyak tulisan tentang Hadis Qudsi. Kita bisa search langsung di Google. Misalnya jurnal internasional, Memahami Kembali Pemaknaan Hadis Qudsi yang ditulis oleh Abdul Fattah Idris (2016). Hadis Qudsi—sama seperti Hadis pada umumnya—ketika diteliti melalui kritik Hadis, maka para ulama Hadis menemukan sebagian Hadis-Hadis Qudsi yang diklasifikasikan sebagai Hadis yang palsu atau lemah.

Berbeda dengan Qur’an yang dinukil secara Mutawatir, sehingga kepastiannya mutlak, kebanyakan Hadis Qudsi adalah khabar Ahad. Sehingga kepastiannya masih merupakan dugaan. Alias zhanniy. Sehingga kadang Hadis Qudsi itu sahih, hasan, dan lemah. Malah menurut saya, semua Hadis itu zhanniy (hanya diduga dari Nabi).

Buku kumpulan Hadis Qudsi, pun sudah banyak beredar. Apalagi versi online-nya, di Google sudah banyak. Tinggal search. Mau yang bentuk aplikasi (app), juga bisa langsung diunduh dan dipasang dari Google Play Store. Mau yang versi PDF juga ada. Kitab Hadis Qudsi yang paling masyhur (terkenal) berbahasa Arab yang sudah saya unduh adalah Al-Ittihafat al-Suniyyah bi al-Ahadits al-Qudsiyyah. Buku ini ditulis oleh Abdur Rauf al-Munawiy. Wafat sekitar 1031 H. Al-Munawiy belum memisahkan antara Hadis Qudsi yang sahih dan yang dhaif.

Seorang kawan saya yang dosen Hadis, mencoba membantah argumen saya. Sayang ringkas sekali, dan tidak mencantumkan contoh Hadis Qudsi yang bisa saya analisis. “Qoolan Nabiy: yaquul Alloohu ta’aala. Terjemahannya apa?” Dia cuma mengatakan begitu.

Tentu saja, terjemahannya adalah “Nabi bersabda: Allah SWT berfirman.” Tetapi isi firman itu adalah hasil olah fikir Nabi setelah terinspirasi oleh Qur’an. Ini pun masih kemungkinan paling baiknya. Sebab setelah saya baca sekitar 80-an Hadis Qudsi, isinya memang baik. Bagus dan indah. Apalagi disandarkan kepada Allah dan kepada Nabi. Sehingga membuat kita ‘sungkan’ (tidak gampang) memang untuk ‘meletakkan’ Hadis-Hadis Qudsi itu. Kecuali yang sudah terbukti sanad-nya lemah.

Tetapi bagi saya, alat ujinya cukup mudah. Yaitu dengan Qur’an! Hadis Qudsi yang tidak ada cantolan Qur’an-nya, atau bahkan melebihi informasi Qur’an, akan saya ‘letakkan’. Meskipun sanad-nya sahih. Soal keyakinan (akidah: tentang Allah, malaikat, surga, kiamat, surga, neraka, dan semisalnya) saya memilih cukup informasi Qur’an yang pasti keluar dari mulut Nabi saja. Inilah bentuk kehati-hatian saya. Saya tidak memakai Hadis-Hadis Qudsi yang memang asalnya meragukan itu.

Tidak semua yang disandarkan kepada Nabi, bahkan disandarkan kepada Allah, itu otomatis benar-benar pasti dari Nabi dan dari Allah. Tidak boleh kita ujug-ujug memastikan dari Nabi atau dari Allah, hanya karena ada informasi Hadis yang disandarkan kepada Nabi, atau disandarkan kepada Allah. Tidak boleh. Meski diklaim sanad-nya sahih dan Mutawatir sekali pun. Matan-nya harus selalu dicek dengan Qur’an. Bisa dikuatkan oleh Qur’an, atau malah sebaliknya dilemahkan oleh Qur’an.

Hadis Qudsi, yang sudah pasti dan jelas, adalah memang bukan pesan Tuhan (wahyu) teologis selain Qur’an. Sebenarnya tulisan QUR’AN MENEGUR NABI sebelumnya, itu sudah meruntuhkan semua teori bahwa Hadis Qudsi adalah wahyu teologis mandiri (pesan Tuhan selain Qur’an). Nabi terbukti salah dan dikoreksi oleh Qur’an. Masak ada wahyu salah?! Pasti yang menganggap Hadis Qudsi adalah pesan Tuhan kedua selain Qur’an, akan mengalami kerancuan logika.

Nabi itu cuma manusia biasa (basyar) yang mendapat pesan Tuhan (Qur'an). Tidak ada pesan Tuhan (wahyu) lain, selain Qur’an, yang diterima Nabi SAW. Kalau benar, Hadis-Hadis atau Hadis Qudsi, itu pesan Tuhan (wahyu) yang selain Qur’an, pastinya Nabi akan menyuruh para Sahabatnya untuk menuliskannya, serta pasti akan dikawalnya langsung layaknya Qur’an!

Berikut ini saya berikan tiga contoh Hadis Qudsi. Contoh pertama, Hadis Qudsi yang sudah jelas lemah sanad-nya. Sehingga tidak perlu dikaji lebih lanjut. Langsung ‘diletakkan’. Sedangkan dua contoh terakhir, Hadis Qudsi yang menurut saya tidak ada cantolan Qur’annya dan bertentangan atau sulit diterima dengan akal sehat. Sulit diterima oleh dalil naqliy (Qur’an) maupun ‘aqliy (akal sehat).

Hadis pertama, saya kutip dari kumpulan Hadis palsu berjudul Al-Mawdhu’at karya Ibnu Jawziy. Halaman 109-110. Dari Abu Hurayrah r.a. dari Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah ta’ala membaca Surat Thaha dan Yasin itu sudah sejak seribu tahun sebelum menciptakan Adam. Ketika mendengar bacaan itu, Malaikat berkata: Beruntunglah umat dengan turunnya Surat itu. Beruntunglah tenggorokan yang menghafalnya. Beruntunglah lisan yang berbicara dengannya.” Ini adalah Hadis palsu.

Di dalam sanad-nya, ada periwayat (rawi) yang bernama Ibrahim dan Umar bin Hafsh. Ibnu Addiy berkomentar: “Aku tidak mendapati Hadis Ibrahim yang lebih mungkar dari Hadis tersebut. Tidak ada yang meriwayatkannya, selain dia.” Al-Bukhari berkomentar: “Ibrahim bin al-Muhajir itu lemah, Hadisnya diingkari.” Adapun untuk Umar bin Hafsh, Ahmad bin memberi catatan: “Hadisnya membakar (membuat marah) kami.” Yahya bin Ma’in menilai: “Tidak dianggap.” Al-Nasa’i pun mengatakan: “Hadisnya ditinggalkan (matruuk al-hadiits).” Puncaknya adalah komentar Abu Hatim bin Hibban al-Hafizh: “Ini termasuk Hadis palsu.”

Hadis kedua. Kalau dalam kumpulan 40 Hadis Qudsi, Hadis berikut ini, biasanya adalah Hadis ke-35. Dari Abu Hurayrah r.a. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Setiap malam, Tuhan kita subhaanahuu wa ta’aalaa, turun ke langit dunia ketika sepertiga malam terakhir. Kemudian berfirman: “Siapa yang berdoa kepada-Ku, akan Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku, akan Aku beri. Siapa yang memohon ampunan-Ku, akan Aku ampuni.” (HR. Bukhari, Muslim, Malik, Tirmidzi, dan Abu Dawud). Dalam riwayat Muslim ada tambahan: “Allah turun (ke langit dunia) sampai terbit fajar.”

Ini adalah contoh Hadis yang sahih sanad-nya, tetapi menurut saya bermasalah matan-nya (redaksinya). Meskipun tampak baik, bagus, dan indah. Masalahnya ada pada kalimat: “Tuhan kita subhaanahuu wa ta’aalaa, turun ke langit dunia ketika sepertiga malam terakhir.” Dan juga kalimat: “Allah turun (ke langit dunia) sampai terbit fajar.”

Kenapa bermasalah? Pertama, informasi bahwa Allah turun ke langit dunia di sepertiga malam terakhir, itu tidak ada cantolan Qur’an-nya. Tidak ada ayat yang menyatakan bahwa Allah turun ke langit dunia. Ingat, informasi tentang Allah dan tentang hal-hal metafisik atau gaib, itu harus dan wajib ada cantolan Qur’an-nya. Meski Nabi sekali pun, itu tidak bisa tahu kecuali diberi infonya oleh Allah melalui Qur’an. Cek misalnya QS.6:50; 7:187-188; 6:59; 10:20; 11:31; 11:49; 27:65. Periksa juga QS.7:33; 16:116; 6:21; 7:28; 7:37; 10:17; 29:68; 2:169; 49:1; 10:68-69; 6:140; 6:93; dan 6:144.

Kedua, Allah turun ke langit dunia, itu sulit diterima oleh akal sehat. Mustahil Allah turun ke langit dunia ini. Kalau Allah turun ke langit dunia, itu artinya alam semesta ini lebih besar dari Allah. Allah menjadi berada di dalam ruang. Ini tidak mungkin. Allah itu Akbar. Maha Besar. Seribu Universe sekali pun, itu tidak akan mampu mewadahi Allah.

Apalagi jelas-jelas Qur’an menyatakan bahwa Allah itu meliputi segala sesuatu. Jangankan langit dunia, jagat raya ini sekali pun, itu ya diliputi Allah.

QS. Al-Nisa’[4]: 126
وَلِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۚ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ مُحِيطًا
Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi. Dan adalah ALLAH MAHA MELIPUTI SEGALA SESUATU.

QS. Fushshilat[41]: 54
أَلَا إِنَّهُمْ فِي مِرْيَةٍ مِنْ لِقَاءِ رَبِّهِمْ ۗ أَلَا إِنَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ مُحِيطٌ
Ingatlah bahwa sesungguhnya mereka adalah dalam keraguan tentang pertemuan dengan Tuhan mereka. Ingatlah bahwa SESUNGGUHNYA DIA MAHA MELIPUTI SEGALA SESUATU.

Kalimat, “Sampai terbit fajar,” itu pun mustahil. Tidak mungkin Allah dibatasi oleh waktu ‘sampai terbit fajar’. Saya jadi ingat pernyataan Stephen Hawking—pendekar Fisika abad 21 yang ateis mengatakan: Tuhan, itu tidak ada. Sebab sebelum ada ruang dan waktu, tidak ada kesempatan bagi Tuhan untuk menciptakan semuanya.

Hadis ketiga sebagai contoh, adalah Hadis nomor 36. Panjang Hadisnya, saya kutip bagian yang bermasalah saja. Hadis itu diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan Ibnu Majah. Di dalam riwayat lain oleh Bukhari, ada tambahan bahwa Nabi bersabda: “Dikeluarkan dari api neraka, seseorang yang pernah berkata laa ilaaha illallooh dan di dalam hatinya terdapat kebaikan meski seberat biji gandum.”

Sepanjang penelusuran saya, tidak ada ayat Qur’an yang mengatakan bahwa orang dicuci dulu dosanya di neraka, baru dimasukkan surga. Dan sebaliknya, dari surga ke neraka. Tidak ada ayat yang bercerita bahwa orang bisa mampir sementara. Baik mampir di surga maupun neraka. Yang surga, ya surga terus. Yang neraka, ya neraka terus. Simpel. Dan syarat masuk surga, itu cuma dua: beriman dan beramal saleh. Atau tiga, ditambah bertaubat (yakni kembali) kepada Allah. Ayat-ayatnya bisa dicek misalnya QS.2:82; 18:107; 22:14; 65:11; 84:25; 30:45; 29:58; dan lain-lain.

QS. Al-Baqarah[2]: 82
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Dan orang-orang yang BERIMAN serta BERAMAL SALEH, mereka itu PENGHUNI SURGA. Mereka kekal di dalamnya.

Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, itu memang Allah tutupi kesalahan-kesalahan mereka (QS.64:9). Bahkan kesalahan-kesalahan itu dihapus total. Totally deleted (QS.47:2; QS.30:7). Karena kebaikan-kebaikan, apalagi amal saleh, itu memang menghapus keburukan-keburukan (QS.11:114).

Jadi tiket surga, itu harus dua-duanya: beriman dan beramal saleh. Beriman saja, seperti Iblis (QS.7:12), tidak bisa masuk surga. Beramal saleh saja, seperti orang ateis misalnya, itu juga tidak bisa masuk surga.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

*Penulis Ayat-Ayat Kemenangan

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...