—Saiful Islam—
“Sejatinya, indigo, itu adalah
label dari orang tua yang anaknya mengalami gangguan kejiwaan. Ya, gangguan
jiwa…”
Suatu hari, saya bertemu dengan
seseorang di sebuah sekolah. Di samping kiri saya, ada seorang gadis kelas 3
SD. Cantik. Tinggi besar. Lebat dan ikal rambutnya. Lebar matanya. Tirus wajahnya.
Kuning langsat kulitnya. Tiba-tiba orang tadi, menginfokan kepada saya bahwa
gadis ini inklusi. Informasi itu semakin saya gali. Ternyata dia dianggap
inklusi karena dianggap bisa berkomunikasi dengan makhluk halus di alam gaib. Ya,
sudah menjadi anggapan umum di sekolah itu bahwa gadis ini tidak normal seperti
anak-anak biasanya.
Langsung saja saya ajak gadis yang
beragama non muslim ini berkomunikasi. Awalnya pakai Bahasa Indonesia. Namun dari
keterangan-keterangannya, agaknya anak ini ingin sekali berbicara dengan Bahasa
Inggris. Logat-loganya agaknya sering berbahasa Inggris. Bahkan sesekali
mengucapkan kosa kata dari Bahasa Inggris. Maka saya pun mengutarakan
pertanyaan-pertanyaan ringan dengan Bahasa Inggris.
Cukup baik dia menjawab pertanyaan-pertanyaan
ringan ini: “What is your complete name?”, “So, how can I call your nick
name?”, “Where do you live?”, “Do you have brothers?”. “Do you have sisters?” “Younger
brother or elder brother?”, “Younger sister or elder sister?” Dari
keterangannya pula, saya mendapat info bahwa satu kakaknya yang bernama Karin
(bukan nama sebenarnya) juga sekolah di situ. Kelas 6. Semua warga sekolah
rata-rata menganggapnya juga sebagai gadis aneh. Sering ngomong sendiri. Ngobrol
dengan makhluk halus.
Suatu hari, saya juga menemui
kakaknya itu. Saya melakukan cara yang sama. Mengecek normal dan tidak otaknya
dengan pertanyaan-pertanyaan. Ya, kalau dia bisa menjawab dengan logis
pertanyaan-pertanyaan ringan yang saya ajukan, saya pastikan bahwa dia gadis
yang normal. Apalagi dengan Bahasa Inggris. Yang mesti harus dengan grammar. Bahasa,
itu hasil kerja otak kiri. Otak logis. Otak rasional. Otak sebab akibat. Otak konsekuensi.
Otak tanggung jawab. Otak reward and punishment. Otak kontrol. Kalau
bahasanya bagus, biasanya matematikanya juga bagus. Anak yang otak kirinya
masih bagus, maka anak itu normal. Kesimpulannya, dua anak itu normal.
Jangankan di masyarakat umumnya. Di
lingkungan sekolah saja, tidak menjamin para gurunya itu bebas dari tradisi
klenik warisan animisme-dinamisme. Meskipun kedua anak tadi, itu beragama non
muslim, tapi rata-rata yang mengjudge bahwa anak itu bisa melihat dan berkomunikasi
dengan makhluk halus gaib adalah muslim. Maka saya pun mengajak diskusi
langsung orang tadi.
Sudah umum, masyarakat menyebut
indigo. Yaitu anggapan ada anak yang bisa melihat dan berkomunikasi dengan
makhluk halus gaib. Termasuk kasus kesurupan masal yang viral kemarin. Yang mengatakan
bahwa semua itu adalah santet oleh sesama artis yang iri, adalah anak yang
dianggap indigo itu. Agama kedua anak yang saya ceritakan tadi itu adalah
Hindu. Agaknya yakin ada orang yang bisa melihat makhluk halus gaib dan bahkan
sampai berinteraksi. Saya tidak percaya! Argumentasinya, seri tulisan ini dari
awal sampai akhir.
Indigo itu adalah istilah yang
dipakai untuk menggambarkan anak yang diyakini memiliki kemampuan atau sifat
yang spesial, tidak biasa, dan bahkan supranatural. Sekadar diyakini tanpa
rujukan yang jelas. Ini adalah gagasan semu (abu-abu alias tidak jelas) berawal
tahun 1970-an. Anak indigo dianggap sebagai tahab evolusi manusia selanjutnya. Bahkan
dianggap sekali lagi dianggap, punya kemampuan paranormal (alias nggak normal).
Dan masyarakat Indonesia, Jawa-Madura-Sunda, terutama, itu menggembor-gemborkan
yang paranormal ini.
Catat ini: tidak ada satu bukti
penelitian pun yang membuktikan keberadaan anak indigo atau sifat mereka. Tapi kita
mudahnya latah ikut-ikut bilang bahwa seorang anak adalah indigo: anak yang
bisa berinteraksi dengan makhluk halus gaib. Secara Qur’an maupun Sains memang
tidak bisa orang berinteraksi dengan makhluk halus gaib itu. Ditengarai
fenomena indigo, itu dibesar-besarkan oleh orang tua yang anaknya didiagnosis
mengalami kesulitan belajar. Atau mereka ingin anaknya dianggap spesial.
Ternyata, banyak anak yang dilabeli
indigo itu didiagnosis mengidap penyakit attention-deficit hyperactivity
disorder. Atau ADHD. Ya, penyakit. Alias gangguan perkembangan dalam
peningkatan aktivitas motorik anak sampai menyebabkan aktivitas anak yang tak
lumrah dan cenderung berlebihan. Tanda-tandanya antara lain perasaan gelisah,
tidak bisa diam, tidak bisa tenang, meletup-letup, aktivitas berlebihan, sampai
suka membuat keributan.
Sejatinya, kata indigo, itu adalah
label dari orang tua yang anaknya mengalami gangguan kejiwaan. Orang tua lebih
memilih meyakini bahwa anak mereka itu spesial dan terpilih untuk misi yang
penting daripada menerima kenyataan bahwa anak mereka mengidap penyakit
kejiwaan. Banyak anak yang dilabeli indigo, itu telah dimasukkan ke sekolah
rumah.
Kita latah melabeli seorang anak
adalah indigo, itu akan membuat mereka latah juga. Tuman. “Aleman,” kata
orang Oseng Banyuwangi. Alias ingin dipuji. Ini akan semakin membuat anak ‘kreatif’
berhalusinasi dan berdelusi. Tentu ini sangat bahaya. Berhalusinasi dan
berdelusi itu adalah penyakit jiwa. Semakin akut, orang bisa ‘gila’ beneran. Bahkan
semakin parah bisa mengalami kematian psikogenik, sebagaimana yang saya
ceritakan kemarin.
Kita latah mengatakan bahwa seorang
anak bisa berinteraksi dengan makhluk halus gaib, itu sama saja kita ikut menjerumuskan
anak tersebut ke penyakit jiwa yang semakin dalam. Sungguh, ini harus dirubah. Tidak
ada anak paranormal itu. Tidak ada anak yang bisa berinteraksi dengan gaib itu.
Sebaliknya. Mari kita perlakukan anak-anak itu sebagaimana mestinya. Yang normal-normal
saja. Apa adanya. Jangan malah ikut-ikutan melabel (apalagi di depannya
langsung), bahwa anak itu indigo. Atau anak ajaib. Atau anak sakti. Atau anak bisa
melihat Jin. Sekali lagi, latah melabel seperti itu, kita malah menjerumuskan
anak ke dalam penyakitnya yang semakin dalam.
Perlakukanlah anak itu normal. Ajak
dia berkomunikasi. Ajak dia berbahasa. Latih dia berhitung. Libatkan dalam
permainan sebagaimana normalnya. Berilah tebak-tebakan. Ajak mereka berpikir. Aktifkan
otak kirinya. Tugaskan mereka membuat kerajinan tangan atau keterampilan. Libatkan
dalam aktivitas seni. Dan lain seterusnya sebagaimana anak normal lainnya.
Kalau dia muslim-muslimah, akrabkan
dengan Qur’an. Dengan Sains. Dengan ilmu pengetahuan. Dengan literacy. Dan sebaliknya.
Kalau ingin sembuh. Kalau ingin selamat. Jauhkan mereka dengan klenik, warisan
keyakinan masyarakat primitif nenek moyang animisme-dinamisme!
QS. Al-Isra’[17]: 36
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ
لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ
وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Dan JANGANLAH KAMU MENGIKUTI apa
yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan
dan hati, semuanya itu AKAN DIMINTA PERTANGGUNGAN JAWABNYA.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam