Rabu, 03 Juli 2019

TIDAK MENELAN FIR’AUN


—Saiful Islam—

“Lebih masuk akal kalau ularnya Nabi Musa itu ‘ngemplok’ para penyihir Fir’aun. Tambah masuk akal lagi kalau ‘nguntal’ Firaunnya sekalian…”

Sebelumnya kita sudah mengambil kesimpulan sementara. Yaitu bahwa tongkat Nabi Musa tidak menjadi ular. Atau tidak berubah dari tongkat menjadi ular. Kenapa? Karena tongkat-tongkat dan tali-tali para pesihir Fir’aun itu tidak menjadi ular. Hanya seolah-olah menjadi ular. Tidak make sense ular menelan tali-tali dan tongkat-tongkat mereka.

Lebih masuk akal kalau ularnya Nabi Musa itu ngemplok para penyihir Fir’aun. Tambah masuk akal lagi kalau nguntal Firaunnya sekalian. Hehe… OK let’s go.

Nah, semakin menarik berkutnya. Di ayat-ayat yang saya kutip kemarin, itu memang tidak ada kata menjadi. Di situ tidak disebutkan bahwa tongkat Nabi Musa itu menjadi ular. Di situ hanya disebutkan maka tongkat itu adalah hayyah. Hiya hayyatun tas’aa.

Di lain tempat disebut bahwa tongkat itu adalah tsu’baan. Hiya tsu’baan mubiin. Di sini juga tidak ada kata menjadi. Susunannya adalah jumlah ismiyah. Alias mubtada’ khabar. Makanya rofa’ (dibaca ‘un’, tsu’baanun mubiinun).

Satu kata terakhir yang diterjemahkan ular adalah jaann. Lagi-lagi, di sini tidak ada kata menjadi. Menjadi ular. Tidak ada juga kata berubah. Misalnya tongkat itu berubah menjadi ular. Tidak ada. Bahkan yang ada di situ adalah kaanna. Artinya adalah ‘seakan-akan’ atau ‘seolah-olah’. Jelas sekali, seakan-akan. Yaitu tongkat Nabi Musa itu seakan-akan ular.

Lafaz ‘menjadi’ dalam Bahasa Arab itu adalah shooro. Kata ini, biasanya dibahas dalam sub bab ‘kaana wa akhowatuha’. Yakni kata kaana, shooro, laysa, dkk. Yaitu huruf-huruf yang menashobkan (membaca fathah) khobar-nya. Seandainya hayyah, atau tsu’baan, atau jaann itu adalah khobar-nya shooro yang tidak ditampakkan, pastinya bentuknya akan nashob (hayyatan atau tsu’baanan atau jaannan). Dan kenyataannya rofa’.

Istilah ‘mentaqdir’ (mengira-ngira), di kalangan pecinta Bahasa Arab, terutama untuk memahami Al Qur’an, memang sering kita jumpai. Menurut mereka ada dalam ayat-ayat Qur’an itu kata yang tidak ditampakkan. Namun bisa dipahami. Sayangnya untuk kata-kata hayyah, tsu’baan, dan jaann, ini tidak tepat kalau dikatakan bahwa kata ‘menjadi’-nya disembunyikan. Seandainya benar, pastinya ayat itu berbunyi hiya hayyatan. Yakni hiya shoorot hayyatan. Nyatanya hayyatun, tsu’baanun, jaannun. Mari kita perhatikan sekali lagi.

QS. Thaha[20]: 20
فَأَلْقَاهَا فَإِذَا *هِيَ حَيَّةٌ* تَسْعَىٰ
Lalu Musa melemparkan tongkat itu. Maka ia adalah hayyatun yang merayap.

QS. Al-A’raf[7]: 107
فَأَلْقَىٰ عَصَاهُ فَإِذَا هِيَ *ثُعْبَانٌ مُبِينٌ*
Maka Musa menjatuhkan tongkat-nya. Lalu seketika itu juga tongkat itu adalah tsu’baanun yang jelas.

QS. Al-Naml[27]: 10
وَأَلْقِ عَصَاكَ ۚ فَلَمَّا رَآهَا تَهْتَزُّ كَأَنَّهَا جَانٌّ وَلَّىٰ مُدْبِرًا وَلَمْ يُعَقِّبْ ۚ يَا مُوسَىٰ لَا تَخَفْ إِنِّي لَا يَخَافُ لَدَيَّ الْمُرْسَلُونَ
“Dan lemparkanlah tongkatmu". Maka tatkala Musa melihatnya bergerak-gerak seolah-olah ia adalah jaannun, larilah ia berbalik ke belakang tanpa menoleh. "Hai Musa, janganlah kamu takut. Sesungguhnya orang yang dijadikan rasul, tidak takut di hadapan-Ku.”

QS. Al-Qashash[28]: 31
 وَأَنْ أَلْقِ عَصَاكَ ۖ فَلَمَّا رَآهَا تَهْتَزُّ كَأَنَّهَا جَانٌّ وَلَّىٰ مُدْبِرًا وَلَمْ يُعَقِّبْ ۚ يَا مُوسَىٰ أَقْبِلْ وَلَا تَخَفْ ۖ إِنَّكَ مِنَ الْآمِنِينَ
“Dan lemparkanlah tongkatmu. Maka tatkala Musa melihatnya bergerak-gerak seolah-olah ia adalah jaannun. Larilah Musa berbalik ke belakang tanpa menoleh. (Kemudian Musa diseru): "Hai Musa datanglah kepada-Ku dan janganlah kamu takut. Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang aman.”

Malah jika ditaqdir (dikira-kira ada kata yang disembunyikan atau tidak ditampakkan), justru kedua ayat terakhir semakin menguatkan kesimpulan bahwa tongkat Nabi Musa tidak berubah menjadi ular. Kenapa? Karena di dua ayat terakhir di atas kata yang ditakdir itu dimunculkan oleh Allah. Yaitu kaanna. Jadi, sudah pas. Kaanna memang merofa’kkan (membaca dhommah atau dibaca ‘un’) khobar-nya. Kebalikan dari kaana wa akhowatuha tadi.

Jadi kalau diperkirakan akan menjadi begini redaksi ayat-ayat di atas. Hiya kaannaha hayyatun tas’aa (tongkat itu seakan-akan ular yang merayap). Hiya kaannaha tsu’baanun mubiinun (tongkat itu seakan-akan ular yang jelas). Sedangkan yang jaann sudah jelas di ayat di atas ditampakkan kaannaha jannun (tongkat itu seakan-akan ular). Maka dua ayat terakhir di atas menjadi tafsir bahwa yang dimaksud ‘tongkat itu adalah ular’ adalah tongkat itu seolah-olah adalah ular.

Maka, taqdir jumlah fi’liyah dengan mengira kata shooro atau shoorot tersembunyi, itu jelas tidak pas. Yang paling pas justru kata kanna yang apalagi jelas-jelas tertera pada QS.27:10 dan QS.28:31 di atas.

Yang perlu kita waspadai bersama adalah kata-kata seperti ‘tiba-tiba’, ‘berubah’, ‘menjadi’, ‘berubah menjadi’, ‘sekonyong-konyong’, ‘menelan’, ‘mukjizat’, ‘bim salabim’, dkk itu semuanya adalah terjemahan.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...