—Saiful Islam—
“Lebih masuk akal kalau ularnya
Nabi Musa itu ‘ngemplok’ para penyihir Fir’aun. Tambah masuk akal lagi kalau ‘nguntal’
Firaunnya sekalian…”
Sebelumnya kita sudah mengambil
kesimpulan sementara. Yaitu bahwa tongkat Nabi Musa tidak menjadi ular. Atau tidak
berubah dari tongkat menjadi ular. Kenapa? Karena tongkat-tongkat dan tali-tali
para pesihir Fir’aun itu tidak menjadi ular. Hanya seolah-olah menjadi ular. Tidak
make sense ular menelan tali-tali dan tongkat-tongkat mereka.
Lebih masuk akal kalau ularnya Nabi
Musa itu ngemplok para penyihir Fir’aun. Tambah masuk akal lagi kalau nguntal
Firaunnya sekalian. Hehe… OK let’s go.
Nah, semakin menarik berkutnya. Di
ayat-ayat yang saya kutip kemarin, itu memang tidak ada kata menjadi. Di situ
tidak disebutkan bahwa tongkat Nabi Musa itu menjadi ular. Di situ hanya
disebutkan maka tongkat itu adalah hayyah. Hiya hayyatun tas’aa.
Di lain tempat disebut bahwa
tongkat itu adalah tsu’baan. Hiya tsu’baan mubiin. Di sini juga
tidak ada kata menjadi. Susunannya adalah jumlah ismiyah. Alias mubtada’
khabar. Makanya rofa’ (dibaca ‘un’, tsu’baanun mubiinun).
Satu kata terakhir yang
diterjemahkan ular adalah jaann. Lagi-lagi, di sini tidak ada kata
menjadi. Menjadi ular. Tidak ada juga kata berubah. Misalnya tongkat itu
berubah menjadi ular. Tidak ada. Bahkan yang ada di situ adalah kaanna. Artinya
adalah ‘seakan-akan’ atau ‘seolah-olah’. Jelas sekali, seakan-akan. Yaitu tongkat
Nabi Musa itu seakan-akan ular.
Lafaz ‘menjadi’ dalam Bahasa Arab
itu adalah shooro. Kata ini, biasanya dibahas dalam sub bab ‘kaana wa
akhowatuha’. Yakni kata kaana, shooro, laysa, dkk. Yaitu huruf-huruf
yang menashobkan (membaca fathah) khobar-nya. Seandainya hayyah,
atau tsu’baan, atau jaann itu adalah khobar-nya shooro
yang tidak ditampakkan, pastinya bentuknya akan nashob (hayyatan
atau tsu’baanan atau jaannan). Dan kenyataannya rofa’.
Istilah ‘mentaqdir’
(mengira-ngira), di kalangan pecinta Bahasa Arab, terutama untuk memahami Al
Qur’an, memang sering kita jumpai. Menurut mereka ada dalam ayat-ayat Qur’an
itu kata yang tidak ditampakkan. Namun bisa dipahami. Sayangnya untuk kata-kata
hayyah, tsu’baan, dan jaann, ini tidak tepat kalau
dikatakan bahwa kata ‘menjadi’-nya disembunyikan. Seandainya benar, pastinya
ayat itu berbunyi hiya hayyatan. Yakni hiya shoorot hayyatan. Nyatanya
hayyatun, tsu’baanun, jaannun. Mari kita perhatikan sekali lagi.
QS. Thaha[20]: 20
فَأَلْقَاهَا فَإِذَا *هِيَ حَيَّةٌ* تَسْعَىٰ
Lalu Musa melemparkan tongkat itu.
Maka ia adalah hayyatun yang merayap.
QS. Al-A’raf[7]: 107
فَأَلْقَىٰ عَصَاهُ فَإِذَا
هِيَ *ثُعْبَانٌ مُبِينٌ*
Maka Musa menjatuhkan tongkat-nya.
Lalu seketika itu juga tongkat itu adalah tsu’baanun yang jelas.
QS. Al-Naml[27]: 10
وَأَلْقِ عَصَاكَ ۚ فَلَمَّا رَآهَا تَهْتَزُّ كَأَنَّهَا
جَانٌّ وَلَّىٰ مُدْبِرًا وَلَمْ يُعَقِّبْ ۚ يَا مُوسَىٰ لَا تَخَفْ إِنِّي لَا
يَخَافُ لَدَيَّ الْمُرْسَلُونَ
“Dan lemparkanlah tongkatmu".
Maka tatkala Musa melihatnya bergerak-gerak seolah-olah ia adalah jaannun,
larilah ia berbalik ke belakang tanpa menoleh. "Hai Musa, janganlah kamu
takut. Sesungguhnya orang yang dijadikan rasul, tidak takut di hadapan-Ku.”
QS. Al-Qashash[28]: 31
وَأَنْ أَلْقِ عَصَاكَ ۖ فَلَمَّا رَآهَا تَهْتَزُّ كَأَنَّهَا
جَانٌّ وَلَّىٰ مُدْبِرًا وَلَمْ يُعَقِّبْ ۚ يَا مُوسَىٰ أَقْبِلْ وَلَا تَخَفْ ۖ إِنَّكَ مِنَ الْآمِنِينَ
“Dan lemparkanlah tongkatmu. Maka
tatkala Musa melihatnya bergerak-gerak seolah-olah ia adalah jaannun.
Larilah Musa berbalik ke belakang tanpa menoleh. (Kemudian Musa diseru):
"Hai Musa datanglah kepada-Ku dan janganlah kamu takut. Sesungguhnya kamu
termasuk orang-orang yang aman.”
Malah jika ditaqdir
(dikira-kira ada kata yang disembunyikan atau tidak ditampakkan), justru kedua
ayat terakhir semakin menguatkan kesimpulan bahwa tongkat Nabi Musa tidak
berubah menjadi ular. Kenapa? Karena di dua ayat terakhir di atas kata yang
ditakdir itu dimunculkan oleh Allah. Yaitu kaanna. Jadi, sudah pas. Kaanna
memang merofa’kkan (membaca dhommah atau dibaca ‘un’) khobar-nya.
Kebalikan dari kaana wa akhowatuha tadi.
Jadi kalau diperkirakan akan
menjadi begini redaksi ayat-ayat di atas. Hiya kaannaha hayyatun tas’aa
(tongkat itu seakan-akan ular yang merayap). Hiya kaannaha tsu’baanun
mubiinun (tongkat itu seakan-akan ular yang jelas). Sedangkan yang jaann
sudah jelas di ayat di atas ditampakkan kaannaha jannun (tongkat itu
seakan-akan ular). Maka dua ayat terakhir di atas menjadi tafsir bahwa yang
dimaksud ‘tongkat itu adalah ular’ adalah tongkat itu seolah-olah adalah ular.
Maka, taqdir jumlah fi’liyah
dengan mengira kata shooro atau shoorot tersembunyi, itu jelas
tidak pas. Yang paling pas justru kata kanna yang apalagi jelas-jelas
tertera pada QS.27:10 dan QS.28:31 di atas.
Yang perlu kita waspadai bersama
adalah kata-kata seperti ‘tiba-tiba’, ‘berubah’, ‘menjadi’, ‘berubah menjadi’, ‘sekonyong-konyong’,
‘menelan’, ‘mukjizat’, ‘bim salabim’, dkk itu semuanya adalah terjemahan.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung,
insya Allah…
Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar