—Saiful Islam—
“Kalau Yahudi itu memang bisa
menyantet, tak perlu perjanjian damai. Tak perlu perang…”
Sebelum menanggapi ayatnya,
terlebih dulu saya ingin mengomentari riwayat-riwayat yang digunakan sebagai
sebab turunnya ayat tersebut. Sekaligus mengomentari Hadis-Hadis yang senada
(meskipun tidak sama) dengan sebab turunnya ayat itu.
Sebab turunnya Surat Al-Falaq dan
Al-Nas, ada dua. Sebagaimana yang sudah saya ceritakan sebelumnya. Pertama,
yang disandarkan kepada Ibnu Abbas. Kedua, disandarkan kepada Anas bin Malik.
Kalian bisa melihatnya di Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul karya
Al-Syuyuthi (w. 911 H/ 1505 M) halaman 314. Versi Bahasa Indonesianya bisa Asbabun
Nuzul karya Shaleh dkk, 692 – 693.
Dua riwayat ini berbeda jauh. Yang
disandarkan kepada Ibnu Abbas, menyebutkan bahwa penyebab sakit Nabi adalah
disihir oleh Labid bin Al-A’sham. Sedangkan yang disandarkan kepada Anas bin
Malik, menyebutkan bahwa penyebab sakit Nabi itu adalah makanan yang dibuat
oleh orang Yahudi. Kesannya, makanan itu telah diberi racun.
Nah, kalau kita mengambil riwayat
yang kedua, tentu saja sudah selesailah diskusi kita itu. Tidak ada yang
janggal. Tidak ada yang bertentangan dengan ayat-ayat yang sudah saya
ceritakan. Juga tidak bertentangan dengan Surat Al-Falaq dan Al-Nas itu
sendiri. Siapa pun, yang namanya manusia, akan menjadi sakit jika diracun.
Bahkan bisa sampai wafat. Dan Nabi pun, manusia biasa (18:110).
Namun tentu saja. Mereka yang pro
mistik dan klenik, akan lebih mempromosikan riwayat yang pertama. Bahwa Nabi
pun pernah kena sihir. Padahal, (catat ini), kalau kita mencoba mengikuti dulu alur
berpikirnya, siapa yang menyihir Nabi? Riwayat itu menyebut nama. Yaitu Labid
bin Al-A’sham. Dia laki-laki atau perempuan? Jelas laki-laki.
Nah, yang katanya tukang sihir di
Surat Al-Falaq itu, laki-laki atau perempuan? Jelas sekali, perempuan! Ayat ke-4
dari terjemahnya saja kita langsung bisa tahu, “Dan dari kejahatan wanita-wanita
tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul.” Jadi, kalau riwayat
Ibnu Abbas diambil sepihak sebagai sebab turunnya Surat Al-Falaq, itu tidak
pas. Tidak sesuai.
Maka sekali lagi, kalau mau
menjadikan riwayat sebagai sebab nuzul-nya, yang lebih pas dan sesuai sebagai
sebab turunnya Surat Al-Falaq dan Al-Nas itu adalah riwayat yang kedua.
Disamping tidak bertabrakan dengan definisi sihir dan ayat-ayat yang saya
ceritakan sebelumnya, juga di situ disebut kaum Yahudi. Kaum, itu termasuk juga
perempuan-perempuannya. (Meskipun nanti insya Allah kita akan tinjau ulang
terjemahannya. Benarkah annaffaatsaati fil ‘uqod itu berarti para
penyihir perempuan?!).
Demikian juga redaksi-redaksi Hadis
yang dianggap senada. Satu riwayat menyebut bahwa rambut dan pelepah kurma yang
ada di sumur Dzarwan itu diambil lantas dibakar. Riwayat yang lainnya lagi,
tidak diambil. Tapi langsung ditanam agar tidak mencelakakan orang yang lain.
Jadi, tidak bisa dipastikan mana yang benar. Alias, meragukan.
Namun sayang. Di masyarakat,
riwayat ini diambil sepihak. Digaungkan terus-menerus. Sambil melupakan riwayat
yang lain. Tentu saja, untuk menguatkan budaya klenik Jawa Madura: santet.
Bahkan tradisi masyarakat primitif animisme—dinamisme yang meyakini bahwa ada
kekuatan makhluk halus gaib yang bisa menempel di benda-benda. Seperti akik,
batu besar, pohon, keris, dan semisalnya. Atau mirip keyakinan Hindu.
Masih di dalam riwayat-riwayat
tersebut, itu juga tidak dijelaskan mekanisme klenik itu sendiri. Tidak ada
bahwa, sakit Nabi itu karena klenik. Atau karena magis. Misalnya ulah Jin,
setan, atau iblis. Tidak ada. Tidak disebutkan juga bahwa Labid bin Al-A’sham
itu bisa berkomunikasi dan bersekutu dengan Jin. Riwayat ini ditarik dan
dikait-kaitkan dengan ulah Jin atau setan, atau iblis, itu jelas disesuaikan
dengan keyakinan mistis dan magis buah angan-angan nenek moyang orang
Jawa-Madura.
Ada tiga suku besar Yahudi di
Madinah. Yaitu, Bani Nadhir. Bani Quraizhah. Dan Bani Qainuqa’. Selain tiga
suku besar ini, masih ada lagi suku-suku kecil Yahudi.
Labid bin Al-A’sham itu tidak
sakti. Tidak bisa melihat Jin. Apalagi bekerjasama dengannya. Seandainya ia
bisa berkomunikasi dan bersekutu dengan Jin seperti keyakinan santet ala
Jawa-Madura sekarang, itu pastinya orang-orang Yahudi tidak akan repot-repot
perang dengan Nabi. Tidak perlu repot-repot bersiasat membuat perjanjian dengan
Nabi segala. Langsung santet saja Nabi. Sembuh? Santet lagi. Sembuh? Santet
lagi. Terus santet. Sampai Nabi tidak sadar-sadar seperti yang digambarkan
riwayat-riwayat itu. Tentu, ini tidak mungkin! Jelas ini kontradiksi!!
Bayangkan Anda adalah Labid. Anda
punya Jin atau setan yang bisa Anda suruh-suruh. Anda kumpulkan orang-orang
yang sevisi dan semisi dengan Anda. Yaitu bertujuan bareng-bareng melukai
bahkan membunuh Nabi secara magis. Supaya perjuangan Nabi untuk menyelamatkan
umat ini tamat. Terus Anda dan orang-orang Anda, termasuk Jin dan setan Anda
hadir di situ. Melakukan ritual penyantetan Nabi.
Ternyata, Nabi sembuh. Sebagaimana
akhir kisah dari riwayat tersebut. Kebal. Tidak mempan oleh sihir Jin dan setan
Anda. Pastinya Anda dan orang-orang Anda langsung beriman kepada Nabi. Karena
kesaktian Nabi yang tak mempan Anda sihir. Bukan karena Al Qur’an. Anda akan
tahu persis, terang-benderang, kekuatan Allah dan Malaikat, atau Jin-lah yang
menjaga Nabi itu lebih sakti dari Jin dan setan Anda. Secara gaib. Secara
magis.
Bayangkan lagi, Anda Labid itu.
Anda tahu bahwa ada orang baru yang membawa agama baru. Yang mengritisi agama
Anda. Menunjukkan kesalahan-kesalahannya. Sekaligus menunjukkan yang benarnya. Yang
mengancam posisi Anda. Baik secara sosial, politik, dan ekonomi. Anda sangat
benci dengan orang tersebut. Kalau Anda memang benar bisa menyantet, orang
tersebut dibuat sakit ringan? Sakit berat? Atau dibuat tewas sekalian? Pasti Anda
akan menghabisinya! Itulah pasti yang akan dilakukan Labid kepada Nabi kalau
memang benar dia bisa menyantet.
Faktanya, kaum Yahudi—sampai dikatakan
memiliki dendam kesumat—itu masih mau melakukan perjanjian dengan Nabi. Perjanjian
Madinah. Sekaligus mengkhianati perjanjian itu, yang membuat mereka diusir. Selain
itu, mereka perang dengan Nabi dan pasukannya. Misalnya perang Khaibar. Serta perang
mereka dengan kaum Muslimin yang dikenal dengan perang Bani Qainuqa. Kalau
Labid bisa menyantet, pastinya semua adegan ini tidak akan pernah terjadi. Disantet
saja. Beres semua. Tamat semua. Jadi, Labid memang tidak sakti!
Itu baru analisis antar riwayat itu
sendiri. Belum lagi, analisis bahasanya, ‘Ulumul Hadits-nya, dan analisis Qur’an-nya.
Insya Allah, di depan.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar