Jumat, 19 Juli 2019

KONTRADIKSI RIWAYAT SIHIR



—Saiful Islam—

“Kalau Yahudi itu memang bisa menyantet, tak perlu perjanjian damai. Tak perlu perang…”

Sebelum menanggapi ayatnya, terlebih dulu saya ingin mengomentari riwayat-riwayat yang digunakan sebagai sebab turunnya ayat tersebut. Sekaligus mengomentari Hadis-Hadis yang senada (meskipun tidak sama) dengan sebab turunnya ayat itu.

Sebab turunnya Surat Al-Falaq dan Al-Nas, ada dua. Sebagaimana yang sudah saya ceritakan sebelumnya. Pertama, yang disandarkan kepada Ibnu Abbas. Kedua, disandarkan kepada Anas bin Malik. Kalian bisa melihatnya di Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul karya Al-Syuyuthi (w. 911 H/ 1505 M) halaman 314. Versi Bahasa Indonesianya bisa Asbabun Nuzul karya Shaleh dkk, 692 – 693.

Dua riwayat ini berbeda jauh. Yang disandarkan kepada Ibnu Abbas, menyebutkan bahwa penyebab sakit Nabi adalah disihir oleh Labid bin Al-A’sham. Sedangkan yang disandarkan kepada Anas bin Malik, menyebutkan bahwa penyebab sakit Nabi itu adalah makanan yang dibuat oleh orang Yahudi. Kesannya, makanan itu telah diberi racun.

Nah, kalau kita mengambil riwayat yang kedua, tentu saja sudah selesailah diskusi kita itu. Tidak ada yang janggal. Tidak ada yang bertentangan dengan ayat-ayat yang sudah saya ceritakan. Juga tidak bertentangan dengan Surat Al-Falaq dan Al-Nas itu sendiri. Siapa pun, yang namanya manusia, akan menjadi sakit jika diracun. Bahkan bisa sampai wafat. Dan Nabi pun, manusia biasa (18:110).

Namun tentu saja. Mereka yang pro mistik dan klenik, akan lebih mempromosikan riwayat yang pertama. Bahwa Nabi pun pernah kena sihir. Padahal, (catat ini), kalau kita mencoba mengikuti dulu alur berpikirnya, siapa yang menyihir Nabi? Riwayat itu menyebut nama. Yaitu Labid bin Al-A’sham. Dia laki-laki atau perempuan? Jelas laki-laki.

Nah, yang katanya tukang sihir di Surat Al-Falaq itu, laki-laki atau perempuan? Jelas sekali, perempuan! Ayat ke-4 dari terjemahnya saja kita langsung bisa tahu, “Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul.” Jadi, kalau riwayat Ibnu Abbas diambil sepihak sebagai sebab turunnya Surat Al-Falaq, itu tidak pas. Tidak sesuai.

Maka sekali lagi, kalau mau menjadikan riwayat sebagai sebab nuzul-nya, yang lebih pas dan sesuai sebagai sebab turunnya Surat Al-Falaq dan Al-Nas itu adalah riwayat yang kedua. Disamping tidak bertabrakan dengan definisi sihir dan ayat-ayat yang saya ceritakan sebelumnya, juga di situ disebut kaum Yahudi. Kaum, itu termasuk juga perempuan-perempuannya. (Meskipun nanti insya Allah kita akan tinjau ulang terjemahannya. Benarkah annaffaatsaati fil ‘uqod itu berarti para penyihir perempuan?!).

Demikian juga redaksi-redaksi Hadis yang dianggap senada. Satu riwayat menyebut bahwa rambut dan pelepah kurma yang ada di sumur Dzarwan itu diambil lantas dibakar. Riwayat yang lainnya lagi, tidak diambil. Tapi langsung ditanam agar tidak mencelakakan orang yang lain. Jadi, tidak bisa dipastikan mana yang benar. Alias, meragukan.

Namun sayang. Di masyarakat, riwayat ini diambil sepihak. Digaungkan terus-menerus. Sambil melupakan riwayat yang lain. Tentu saja, untuk menguatkan budaya klenik Jawa Madura: santet. Bahkan tradisi masyarakat primitif animisme—dinamisme yang meyakini bahwa ada kekuatan makhluk halus gaib yang bisa menempel di benda-benda. Seperti akik, batu besar, pohon, keris, dan semisalnya. Atau mirip keyakinan Hindu.

Masih di dalam riwayat-riwayat tersebut, itu juga tidak dijelaskan mekanisme klenik itu sendiri. Tidak ada bahwa, sakit Nabi itu karena klenik. Atau karena magis. Misalnya ulah Jin, setan, atau iblis. Tidak ada. Tidak disebutkan juga bahwa Labid bin Al-A’sham itu bisa berkomunikasi dan bersekutu dengan Jin. Riwayat ini ditarik dan dikait-kaitkan dengan ulah Jin atau setan, atau iblis, itu jelas disesuaikan dengan keyakinan mistis dan magis buah angan-angan nenek moyang orang Jawa-Madura.

Ada tiga suku besar Yahudi di Madinah. Yaitu, Bani Nadhir. Bani Quraizhah. Dan Bani Qainuqa’. Selain tiga suku besar ini, masih ada lagi suku-suku kecil Yahudi.

Labid bin Al-A’sham itu tidak sakti. Tidak bisa melihat Jin. Apalagi bekerjasama dengannya. Seandainya ia bisa berkomunikasi dan bersekutu dengan Jin seperti keyakinan santet ala Jawa-Madura sekarang, itu pastinya orang-orang Yahudi tidak akan repot-repot perang dengan Nabi. Tidak perlu repot-repot bersiasat membuat perjanjian dengan Nabi segala. Langsung santet saja Nabi. Sembuh? Santet lagi. Sembuh? Santet lagi. Terus santet. Sampai Nabi tidak sadar-sadar seperti yang digambarkan riwayat-riwayat itu. Tentu, ini tidak mungkin! Jelas ini kontradiksi!!

Bayangkan Anda adalah Labid. Anda punya Jin atau setan yang bisa Anda suruh-suruh. Anda kumpulkan orang-orang yang sevisi dan semisi dengan Anda. Yaitu bertujuan bareng-bareng melukai bahkan membunuh Nabi secara magis. Supaya perjuangan Nabi untuk menyelamatkan umat ini tamat. Terus Anda dan orang-orang Anda, termasuk Jin dan setan Anda hadir di situ. Melakukan ritual penyantetan Nabi.

Ternyata, Nabi sembuh. Sebagaimana akhir kisah dari riwayat tersebut. Kebal. Tidak mempan oleh sihir Jin dan setan Anda. Pastinya Anda dan orang-orang Anda langsung beriman kepada Nabi. Karena kesaktian Nabi yang tak mempan Anda sihir. Bukan karena Al Qur’an. Anda akan tahu persis, terang-benderang, kekuatan Allah dan Malaikat, atau Jin-lah yang menjaga Nabi itu lebih sakti dari Jin dan setan Anda. Secara gaib. Secara magis.

Bayangkan lagi, Anda Labid itu. Anda tahu bahwa ada orang baru yang membawa agama baru. Yang mengritisi agama Anda. Menunjukkan kesalahan-kesalahannya. Sekaligus menunjukkan yang benarnya. Yang mengancam posisi Anda. Baik secara sosial, politik, dan ekonomi. Anda sangat benci dengan orang tersebut. Kalau Anda memang benar bisa menyantet, orang tersebut dibuat sakit ringan? Sakit berat? Atau dibuat tewas sekalian? Pasti Anda akan menghabisinya! Itulah pasti yang akan dilakukan Labid kepada Nabi kalau memang benar dia bisa menyantet.

Faktanya, kaum Yahudi—sampai dikatakan memiliki dendam kesumat—itu masih mau melakukan perjanjian dengan Nabi. Perjanjian Madinah. Sekaligus mengkhianati perjanjian itu, yang membuat mereka diusir. Selain itu, mereka perang dengan Nabi dan pasukannya. Misalnya perang Khaibar. Serta perang mereka dengan kaum Muslimin yang dikenal dengan perang Bani Qainuqa. Kalau Labid bisa menyantet, pastinya semua adegan ini tidak akan pernah terjadi. Disantet saja. Beres semua. Tamat semua. Jadi, Labid memang tidak sakti!

Itu baru analisis antar riwayat itu sendiri. Belum lagi, analisis bahasanya, ‘Ulumul Hadits-nya, dan analisis Qur’an-nya. Insya Allah, di depan.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...