—Saiful Islam*—
“Kan, kebalik lagi. Bukan Hadis
yang bisa menghapus syariat Qur’an. Tapi Qur’an-lah yang bisa menghapus Hadis…”
Jelas sekali. Hadis dianggap
sebagai wahyu teologis mandiri selain Qur’an, itu salah. Keyakinan demikian, itu
saja sudah sangat berlebihan (ghuluw). Ternyata, masih ada yang lebih
parah. Yaitu ketika dikatakan bahwa Hadis bisa menghapus hukum (me-nasakh)
Qur’an. Semakin ke sini, saya mengendus, semacam ada upaya ‘menekuk lutut’ Qur’an.
Awalnya, Hadis dipastikan Sunnah Nabi. Hadis adalah wahyu teologis. Qur’an
harus diperkuat oleh Hadis. Qur’an harus dikoreksi oleh Hadis. Puncaknya, Qur’an
harus takluk kepada Hadis. Hadis telah menjadi tuhan!
Qur’an harus takluk kepada Hadis,
itu umum dikenal dengan bayaan nasakh. Bahwa Hadis diyakini bisa
menghapus ketentuan hukum Qur’an. Hadis yang datang setelah Qur’an menghapus
ketentuan-ketentuan Qur’an. Jadi Hadis yang paling awal ditulis sekitar 166
tahun setelah wafatnya Nabi, itu katanya bisa menghapus Qur’an yang pasti
keluar dari mulut Nabi. Berikut Hadis yang dijadikan contoh bahwa ketentuan
Qur’an bisa dihapus oleh Hadis.
“Ahli waris tidak dapat menerima
wasiat.”
Hadis tersebut diyakini bisa menasakh
(menghapus) ketentuan dalam ayat berikut ini.
QS. Al-Baqarah[2]: 180
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا
حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ
وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
DIWAJIBKAN atas kamu, apabila seorang
di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut (kewafatan), dan meninggalkan
harta, BERWASIAT untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf. (Ini
adalah) KEWAJIBAN atas orang-orang yang bertakwa.
Sehingga, katanya, seorang yang
akan meninggal dunia TIDAK wajib berwasiat untuk memberikan harta kepada ahli,
karena ahli waris itu akan mendapatkan bagian harta warisan dari yang meninggal
tersebut.
Menurut saya, kesimpulan di atas itu
salah kaprah. Gegabah. Dan sangat berlebihan. Baik sengaja sengaja atau tidak.
Marilah kita tinjau lebih jauh.
Menurut Al-Mufradat fi Gharib
al-Qur’an, wasiat itu dari kata washoo, yang artinya adalah menyuruh
orang lain terkait dengan apa yang akan dilakukan, yang bersamaan dengan pesan
atau nasehat. Ibrahnya diambil dari perkataan orang Arab, “Bumi mewarisi.”
Yakni terkait dengan tumbuhan atau tanaman-tanamannya. Contoh kalimatnya
seperti pada QS.2:132; 4:131; 29:8; 4:12; 5:106; 103:3; dan QS.51:53
Sedangkan menurut Lisan Al-‘Arab,
kata awshoo atau washshoo, seperti dalam kalimat, “Awshoo al-rojul
wa washshoohu,” itu artinya adalah mengamanatkan kepadanya. Yakni seorang
laki-laki yang mengamanatkan kepada orang lain. Jadi semacam mengikat janji
antara dua orang atau lebih terkait pesan yang harus ditunaikan di waktu
mendatang.
Seseorang yang mendapati
tanda-tanda kematiannya, seperti sudah tua, sakit parah, dan kebetulan
meninggalkan harta benda, maka ia wajib berwasiat kepada anggota keluarganya. Wasiat
itu, wajib. Alias harus. Jadi sekali lagi, wasiat itu adalah wajib! Dasarnya bukan
hanya QS.2:180 di atas. Tapi juga QS.4:11–12 berikut ini.
QS. Al-Nisa’[4]: 11 – 12
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي
أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
ۚ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ
فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا
السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ
أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ
دَيْنٍ ۗ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ
أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Allah MENSYARIATKAN bagimu tentang
(pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak lelaki sama
dengan bagian dua orang anak perempuan; Dan jika anak itu semuanya perempuan
lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; Jika
anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk
dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; Jika orang yang meninggal
tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya
mendapat sepertiga; Jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka
ibunya mendapat seperenam. (PEMBAGIAN-PEMBAGIAN TERSEBUT DI ATAS) SESUDAH
DIPENUHI WASIAT YANG IA BUAT ATAU (DAN) SESUDAH DIBAYAR HUTANGNYA. (Tentang)
orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang
lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. INI ADALAH KETETAPAN DARI ALLAH.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ
أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ
مِمَّا تَرَكْنَ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ
بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۚ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا
تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ
مِمَّا تَرَكْتُمْ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ
تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ
فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ ۚ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَىٰ بِهَا
أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ ۚ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ
Dan bagimu (suami-suami) seperdua
dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai
anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat
dari harta yang ditinggalkannya SESUDAH DIPENUHI WASIAT YANG MEREKA BUAT ATAU
(DAN) SESUDAH DIBAYAR HUTANGNYA. Para isteri memperoleh seperempat harta yang
kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para
isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan SESUDAH DIPENUHI
WASIAT YANG KAMU BUAT ATAU (DAN) SESUDAH DIBAYAR HUTANG-HUTANGMU. Jika
seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah
dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu
saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari
kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu
lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, SESUDAH
DIPENUHI WASIAT YANG DIBUAT OLEHNYA ATAU SESUDAH DIBAYAR HUTANGNYA DENGAN TIDAK
MEMBERI MUDHARAT (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu
sebagai) SYARIAT YANG BENAR-BENAR DARI ALLAH. Dan Allah Maha mengetahui lagi
Maha Penyantun.
Jadi kesimpulannya adalah wasiat
terkait harta sebelum wafat, itu wajib. Bagi siapa pun yang memiliki harta. Bahkan
wasiat tersebut harus diutamakan daripada pembagian waris. Termasuk yang harus
diutamakan adalah pembayaran hutang. Wasiat dulu, membayar hutang dulu, barulah
kemudian diwariskan kalau masih terdapat sisa harta benda lagi.
Manfaat wasiat itu adalah membuat
keluarga yang ditinggalkan menjadi rukun dan damai. Orang tua pastilah mengerti
dan bijak membagi hartanya dengan wasiat itu kepada keluarganya, istri,
anak-anak, dan seterusnya. Orang tua paham betul sehingga akan menyesuaikan
dengan kondisi ekonomi keluarga yang akan ditinggalkannya. Keluarga yang akan
ditinggalkan itu pun seyogyanya ikhlas dan menerima.
Bahkan kalau sudah berlebih, ia tidak
mau diberi. Dan memilih diberikan kepada saudaranya yang lain yang mungkin
lebih membutuhkan. Ia memilih mengutamakan saudaranya (altruis – iitsaar)
daripada dirinya sendiri. Ia lebih mengutamakan kerukunan, kasih-sayang, dan
kedamaian keluarga dan saudara-saudaranya. Mental dan hatinya sudah kaya!
Maka Hadis, “Tidak ada wasiat
bagi ahli waris,” itu harus dan wajib ‘diletakkan’. Hadis ini dikutip dari
kitab Sunan Ibnu Majah, Abu Dawud, dan Tirmidzi. Ibnu Majah itu wafat tahun
berapa, memangnya? Tahun 275 H. Dua ratus enam puluh dua (262) tahun setelah
wafatnya Nabi! Kok berani-beraninya Hadisnya mau digunakan untuk
menghapus syariat Qur’an yang pasti keluar dari mulut Nabi?!! Begitu juga Abu
Dawud dan Tirmidzi, itu tambah belakangan lagi.
Tidak ada yang bisa menghapus
syariat Qur’an. Apa pun dan siapa pun, itu tidak akan bisa dan tidak akan
pernah bisa menghapus syariat Qur’an. Syariat Qur’an, itu akan berlaku
selama-lamanya. Kapan pun dan dimana pun. Selalu sesuai dengan tantangan zaman.
Shoolih li kull zamaan wa makaan. Ayat-ayatnya yang mencerahkan, menjadi
obat segala penyakit jiwa, menjadi rahmat dan berkah bagi orang-orang yang
mengimaninya.
Justru sebaliknya. Qur’an-lah yang
bisa menghapus ketentuan-ketentuan Hadis. Qur’an-lah yang akan mengoreksi
Hadis-Hadis. Jika Hadis-Hadis itu tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan
Qur’an, maka Hadis-Hadis tersebut harus dan wajib ‘diletakkan’.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
*Penulis Ayat-Ayat Kemenangan