Jumat, 31 Januari 2020

HADIS MENJADI TUHAN


—Saiful Islam*—

“Kan, kebalik lagi. Bukan Hadis yang bisa menghapus syariat Qur’an. Tapi Qur’an-lah yang bisa menghapus Hadis…”

Jelas sekali. Hadis dianggap sebagai wahyu teologis mandiri selain Qur’an, itu salah. Keyakinan demikian, itu saja sudah sangat berlebihan (ghuluw). Ternyata, masih ada yang lebih parah. Yaitu ketika dikatakan bahwa Hadis bisa menghapus hukum (me-nasakh) Qur’an. Semakin ke sini, saya mengendus, semacam ada upaya ‘menekuk lutut’ Qur’an. Awalnya, Hadis dipastikan Sunnah Nabi. Hadis adalah wahyu teologis. Qur’an harus diperkuat oleh Hadis. Qur’an harus dikoreksi oleh Hadis. Puncaknya, Qur’an harus takluk kepada Hadis. Hadis telah menjadi tuhan!

Qur’an harus takluk kepada Hadis, itu umum dikenal dengan bayaan nasakh. Bahwa Hadis diyakini bisa menghapus ketentuan hukum Qur’an. Hadis yang datang setelah Qur’an menghapus ketentuan-ketentuan Qur’an. Jadi Hadis yang paling awal ditulis sekitar 166 tahun setelah wafatnya Nabi, itu katanya bisa menghapus Qur’an yang pasti keluar dari mulut Nabi. Berikut Hadis yang dijadikan contoh bahwa ketentuan Qur’an bisa dihapus oleh Hadis.

“Ahli waris tidak dapat menerima wasiat.”

Hadis tersebut diyakini bisa menasakh (menghapus) ketentuan dalam ayat berikut ini.

QS. Al-Baqarah[2]: 180
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
DIWAJIBKAN atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut (kewafatan), dan meninggalkan harta, BERWASIAT untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf. (Ini adalah) KEWAJIBAN atas orang-orang yang bertakwa.

Sehingga, katanya, seorang yang akan meninggal dunia TIDAK wajib berwasiat untuk memberikan harta kepada ahli, karena ahli waris itu akan mendapatkan bagian harta warisan dari yang meninggal tersebut.

Menurut saya, kesimpulan di atas itu salah kaprah. Gegabah. Dan sangat berlebihan. Baik sengaja sengaja atau tidak. Marilah kita tinjau lebih jauh.

Menurut Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, wasiat itu dari kata washoo, yang artinya adalah menyuruh orang lain terkait dengan apa yang akan dilakukan, yang bersamaan dengan pesan atau nasehat. Ibrahnya diambil dari perkataan orang Arab, “Bumi mewarisi.” Yakni terkait dengan tumbuhan atau tanaman-tanamannya. Contoh kalimatnya seperti pada QS.2:132; 4:131; 29:8; 4:12; 5:106; 103:3; dan QS.51:53

Sedangkan menurut Lisan Al-‘Arab, kata awshoo atau washshoo, seperti dalam kalimat, “Awshoo al-rojul wa washshoohu,” itu artinya adalah mengamanatkan kepadanya. Yakni seorang laki-laki yang mengamanatkan kepada orang lain. Jadi semacam mengikat janji antara dua orang atau lebih terkait pesan yang harus ditunaikan di waktu mendatang.

Seseorang yang mendapati tanda-tanda kematiannya, seperti sudah tua, sakit parah, dan kebetulan meninggalkan harta benda, maka ia wajib berwasiat kepada anggota keluarganya. Wasiat itu, wajib. Alias harus. Jadi sekali lagi, wasiat itu adalah wajib! Dasarnya bukan hanya QS.2:180 di atas. Tapi juga QS.4:11–12 berikut ini.

QS. Al-Nisa’[4]: 11 – 12
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ ۚ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Allah MENSYARIATKAN bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; Jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; Jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; Jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (PEMBAGIAN-PEMBAGIAN TERSEBUT DI ATAS) SESUDAH DIPENUHI WASIAT YANG IA BUAT ATAU (DAN) SESUDAH DIBAYAR HUTANGNYA. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. INI ADALAH KETETAPAN DARI ALLAH. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۚ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ ۚ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَىٰ بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ ۚ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya SESUDAH DIPENUHI WASIAT YANG MEREKA BUAT ATAU (DAN) SESUDAH DIBAYAR HUTANGNYA. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan SESUDAH DIPENUHI WASIAT YANG KAMU BUAT ATAU (DAN) SESUDAH DIBAYAR HUTANG-HUTANGMU. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, SESUDAH DIPENUHI WASIAT YANG DIBUAT OLEHNYA ATAU SESUDAH DIBAYAR HUTANGNYA DENGAN TIDAK MEMBERI MUDHARAT (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) SYARIAT YANG BENAR-BENAR DARI ALLAH. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.

Jadi kesimpulannya adalah wasiat terkait harta sebelum wafat, itu wajib. Bagi siapa pun yang memiliki harta. Bahkan wasiat tersebut harus diutamakan daripada pembagian waris. Termasuk yang harus diutamakan adalah pembayaran hutang. Wasiat dulu, membayar hutang dulu, barulah kemudian diwariskan kalau masih terdapat sisa harta benda lagi.

Manfaat wasiat itu adalah membuat keluarga yang ditinggalkan menjadi rukun dan damai. Orang tua pastilah mengerti dan bijak membagi hartanya dengan wasiat itu kepada keluarganya, istri, anak-anak, dan seterusnya. Orang tua paham betul sehingga akan menyesuaikan dengan kondisi ekonomi keluarga yang akan ditinggalkannya. Keluarga yang akan ditinggalkan itu pun seyogyanya ikhlas dan menerima.

Bahkan kalau sudah berlebih, ia tidak mau diberi. Dan memilih diberikan kepada saudaranya yang lain yang mungkin lebih membutuhkan. Ia memilih mengutamakan saudaranya (altruis – iitsaar) daripada dirinya sendiri. Ia lebih mengutamakan kerukunan, kasih-sayang, dan kedamaian keluarga dan saudara-saudaranya. Mental dan hatinya sudah kaya!

Maka Hadis, “Tidak ada wasiat bagi ahli waris,” itu harus dan wajib ‘diletakkan’. Hadis ini dikutip dari kitab Sunan Ibnu Majah, Abu Dawud, dan Tirmidzi. Ibnu Majah itu wafat tahun berapa, memangnya? Tahun 275 H. Dua ratus enam puluh dua (262) tahun setelah wafatnya Nabi! Kok berani-beraninya Hadisnya mau digunakan untuk menghapus syariat Qur’an yang pasti keluar dari mulut Nabi?!! Begitu juga Abu Dawud dan Tirmidzi, itu tambah belakangan lagi.

Tidak ada yang bisa menghapus syariat Qur’an. Apa pun dan siapa pun, itu tidak akan bisa dan tidak akan pernah bisa menghapus syariat Qur’an. Syariat Qur’an, itu akan berlaku selama-lamanya. Kapan pun dan dimana pun. Selalu sesuai dengan tantangan zaman. Shoolih li kull zamaan wa makaan. Ayat-ayatnya yang mencerahkan, menjadi obat segala penyakit jiwa, menjadi rahmat dan berkah bagi orang-orang yang mengimaninya.

Justru sebaliknya. Qur’an-lah yang bisa menghapus ketentuan-ketentuan Hadis. Qur’an-lah yang akan mengoreksi Hadis-Hadis. Jika Hadis-Hadis itu tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan Qur’an, maka Hadis-Hadis tersebut harus dan wajib ‘diletakkan’.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

*Penulis Ayat-Ayat Kemenangan

Rabu, 29 Januari 2020

HANYA PENYAMPAI QUR’AN


—Saiful Islam*—

“Tidak pernah Nabi semau gue dalam urusan syariat Islam…”

Kedudukan Sunnah dalam Islam yang sebagai penjelas Qur’an, sudah. Sekarang yang kedua, sebagai legislator. Benarkah Hadis bisa membuat syariat Islam sendiri selain Qur’an? Atau bisakah Hadis menjadi bayaan al-tasyri’, yakni Hadis bisa dan boleh membuat syariat mandiri selain Qur’an?

Saya kutipkan dulu argumentasi pihak-pihak yang menjawab boleh. Bahwa Nabi bisa membuat syariat Islam sendiri selain Qur’an. Nanti saya komentari di belakang. Berikut argumen pertama.

QS. Al-A’raf[7]: 157 – 158
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالْأَغْلَالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ ۚ فَالَّذِينَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ ۙ أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
(Yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang MENYURUH MEREKA MENGERJAKAN YANG BAIK (MA'RUF) DAN MELARANG MEREKA DARI MENGERJAKAN YANG MUNGKAR, DAN MENGHALALKAN BAGI MEREKA SEGALA YANG BAIK DAN MENGHARAMKAN BAGI MEREKA SEGALA YANG BURUK, dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung.

قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ ۖ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Katakanlah: "Hai manusia. Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua. Yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan selain Dia, yang menghidupkan dan mematikan.” Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan (berimanlah) kepada kalimat-kalimat-Nya (Al-Qur’an) dan ikutilah Al-Qur’an yang dibawa Rasul itu, supaya kamu mendapat petunjuk.”

Argumen kedua, menyatakan begini: Rasulullah menetapkan suatu hukum terhadap beberapa persoalan yang muncul saat itu dengan sabdanya sendiri, tanpa berdasar pada ketentuan ayat-ayat Qur’an. Contohnya Hadis riwayat Bukhari: “Seorang perempuan tidak boleh dipoligami bersama bibinya dari pihak ibu atau ayahnya.” Al-Qur’an tidak menjelaskan tentang keharaman mengawini seorang wanita bersamaan dengan bibinya, baik dari pihak ayah maupun ibunya.

*****
Tanggapan argumen pertama.

Baiklah. Kalau saya menjawab pertanyaan di atas, maka jawaban saya adalah tidak boleh dan tidak bisa. Hadis-Hadis tidak boleh berdiri sendiri sebagai syariat Islam. Karena tidak mungkin Nabi membuat-buat syariat sendiri selain Qur’an. Yang namanya syariat Islam, itu kalau bukan Qur’an itu sendiri, ya Nabi terinspirasi oleh Qur’an. Hanya dua itu. Intinya, Nabi saja, itu selalu dan selalu mengikuti syariat Qur’an. Nabi tidak pernah semau gue membuat syariat Islam. Apalagi Hadis yang tidak pasti berasal dari Nabi.

Bolehlah menggunakan Hadis-Hadis, tetapi kalau mengatas namakan syariat Islam, Hadis-Hadis itu harus dan wajib ada cantolan Qur’annya. Terutama soal akidah dan hukum Islam. Ini sudah saya jelaskan panjang lebar pada tulisan sebelumnya, terutama SYARIAT ADALAH QUR’AN dan AYAT PENJELAS AYAT. Lengkap dengan dalil-dalilnya. Silakan ditinjau kembali.

Kalimat pada QS.7:157: “MENYURUH MEREKA MENGERJAKAN YANG BAIK (MA'RUUF) DAN MELARANG MEREKA DARI MENGERJAKAN YANG MUNGKAR, DAN MENGHALALKAN BAGI MEREKA SEGALA YANG BAIK DAN MENGHARAMKAN BAGI MEREKA SEGALA YANG BURUK,” itu bukan berarti Nabi sak karepe dewe membuat syariat Islam.

Perintah Nabi atau halalnya mengerjakan segala yang baik dan perbaikan, dan larangan Nabi atau haramnya mengerjakan segala yang buruk, keji, kriminal, jahat, itu selalu berdasar Qur’an. Memang redaksi Qur’an dibuat umum begitu. Justru memang supaya Qur’an itu menjadi patokan dan prinsip umat manusia (Muslimin khususnya) kapan pun dan di mana pun. Qur’an menjadi shoolih li kull zamaan wa makaan. Justru prinsip bahwa segala kekejian, keburukan, dan krimininalitas yang merugikan itu haram, dan segala yang baik dan bermanfaat itu halal, menjadi berkah bagi Kaum Mukminin.

Jangan seperti seorang yang mengaku dirinya ustadz di sebuah lingkungan pendidikan yang menjual sabu-sabu kepada para muridnya. Ditangkap oleh polisi dan ditanya, mengapa sudah dipanggil ustadz kok malah jual sabu-sabu. Ia menjawab, bahwa sabu-sabu itu halal. Karena sabu-sabu tidak ada dalilnya dalam Qur’an. Tentu ini kesalahan fatal. Memperkosa ayat untuk kepentingan materialistis. Penyalah gunaan sabu-sabu dan narkotika lainnya, itu haram. Kita bisa menentukan keharamannya. Dalilnya bisa menggunakan QS.7:157 itu. Penyalah gunaan sabu-sabu dan narkotika, itu termasuk al-munkar atau al-khobaa’its. Apalagi sampai menjual. Kriminal.

Begitu juga soal konsumsi, Qur’an memang cukup konsumsilah yang halal dan baik. Harus dua-duanya: ya halal ya baik. Tidak boleh salah satu. Memang umum. Selain yang disebutkan spesifik, seperti darah mengalir, babi, kotor dan menjijikkan (rijz) dan seterusnya. Tetapi kalau dilanggar, akibatnya bisa seperti kasus virus Corona (2019-nCoV) yang melanda Wuhan, Cina saat ini. Kabarnya berasal dari kelelawar dan ular. Sudah tahu ular dan kelelawar kok dimakan. Rakus itu namanya.

Apalagi di awal-awal QS.7:57, ada redaksi “yang mengikuti Rasul”. Jadi Rasul, yakni Rasulullah. Ingat, Rasulullah itu selalu terkait dengan risalah (firman Tuhan). Lebih gamblangnya baca lagi tulisan sebelumnya RASUL PUN MENGIKUTI QUR’AN dan SANG UTUSAN TUHAN. Semakin gamblang oleh redaksi pada QS.7:58-nya: “Dan (berimanlah) kepada kalimat-kalimat-Nya (Al-Qur’an) dan ikutilah Al-Qur’an yang dibawa Rasul itu, supaya kamu mendapat petunjuk.”

Tanggapan argumen kedua.

Secara spesifik, Al-Qur’an memang tidak menjelaskan tentang keharaman mengawini seorang wanita bersamaan dengan bibinya, baik dari pihak ayah maupun ibunya. Sekali lagi, itu secara spesifik. Khusus. Tetapi ingat. Larangan menikahi dua orang bersaudara, itu ada ayat Qur’annya. QS.4:23 berikut ini.

QS. Al-Nisa’[4]: 23
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu menikahiya. (Dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); DAN (DIHARAMKAN) MENGHIMPUNKAN (DALAM PERNIKAHAN) DUA PEREMPUAN YANG BERSAUDARA, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Jadi kalau benar bahwa Hadis riwayat Bukhari di atas itu dari Nabi, maka itu tidak berarti Nabi telah membuat syariat sendiri yang lepas dari Qur’an. Seorang perempuan dan bibinya, itu termasuk dua bersaudara. Maka jika benar pengharaman itu, itu artinya pengharaman tersebut berdasar telah Qur’an. Pengharaman spesifik pada Hadis itu, sudah berdasar Qur’an QS.4:23 tersebut.

Dengan begitu, tidak benar ungkapan bahwa Al-Qur’an tidak menjelaskan keharaman itu. Al-Qur’an sudah menjelaskan. Keharaman dua bersaudara itu, bentuknya lantas bisa jadi meluas. Karena memperhatikan dan mempertimbangkan akibat-akibat buruk yang menyertainya. Dan kita memang diperintah untuk berhati-hati. Merujuk Qur’an, dengan segenap ilmu dan akal kecerdasan, sekaligus niat baik, sikap hati-hati dan kewaspadaan yang tinggi.

QS. Al-Maidah[5]: 92 & 99
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَاحْذَرُوا ۚ فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّمَا عَلَىٰ رَسُولِنَا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ
Taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul-(Nya) dan BERHATI-HATILAH. Jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya KEWAJIBAN Rasul Kami, HANYALAH MENYAMPAIKAN (AL-QUR’AN) dengan terang.

مَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا تَكْتُمُونَ
KEWAJIBAN RASUL TIDAK LAIN HANYALAH MENYAMPAIKAN (AL-QUR’AN), dan Allah mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan.

Sehingga tidak benar juga, ungkapan bahwa Rasulullah menetapkan suatu hukum terhadap beberapa persoalan yang muncul saat itu dengan sabdanya sendiri, tanpa berdasar pada ketentuan ayat-ayat Qur’an. Setiap menetapkan hukum (syariat Islam), Rasulullah selalu berdasar pada ketentuan-ketentuan Qur’an. Rasulullah tidak pernah menjadi legislator syariat Islam tanpa berdasar Qur’an.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

*Penulis Ayat-Ayat Kemenangan

Selasa, 28 Januari 2020

QUR’AN UNIVERSAL


—Saiful Islam*—

“Jangan kebalik. Yang butuh penguat, itu Hadis-Hadis, ijma’ ulama’, dan Qiyas. Bukan Qur’an…”

Seorang kawan share sebuah tulisan berikut: “Al-Qur’an itu satu kata saja bisa multi tafsir maknanya. Karena itu dibutuhkan dalil penguat seperti Hadis, Ijma’, Qiyas sesuai dengan permasalahan yang difokuskan. Bahkan satu kalimah (kata) dalam Al-Qur’an saja bisa dipakai untuk dalil ratusan permasalahan musykilat (sulit) di dunia. Lha, kalau tanpa didampingi Hadis, Ijma’, Qiyas bisa sama semua hukumnya. Padahal inti fokus masalahnya jauh berbeda.”

Baiklah. Menurut saya, kalimat: “Al-Qur’an itu satu kata saja bisa multi tafsir maknanya. Karena itu dibutuhkan dalil penguat seperti Hadis, Ijma’, Qiyas sesuai dengan permasalahan yang difokuskan,” ini tidak nyambung. Tidak logis. Karena antara sebab (satu kata Qur’an multi tafsir) dengan akibat (dibutuhkan dalil penguat Hadis, Ijma’, Qiyas), itu tidak sinkron. Antara kata yang multi tafsir dengan dalil penguat, itu tidak make sense. Yang logis itu, jika dibutuhkan dalil penguat, maka ayat Qur’an lemah. Begitu mestinya.

Menurut saya, dalil Qur’an itu sudah kuat. Sudah kokoh. Paling kokoh untuk menjadi dasar berislam umat. Ayat-ayat Qur’an, adalah dalil pertama, paling utama, sekaligus penguji untuk semua dalil doktrin Islam. Hanya Qur’an yang pasti (qath’iy). Pasti keluar dari mulut Nabi SAW, pasti dan mutlak benarnya. Karenanya, tidak membutuhkan dalil penguat. Bahkan Hadis-Hadis sekali pun, itu tidak bisa menjadi dalil penguat Qur’an. Qur’an sudah kuat. Tidak perlu diperkuat-kuat lagi.

Justru, yang butuh dalil penguat itu adalah Hadis-Hadis, Ijma’, Qiyas, dan seterusnya itu. Ya, Hadis-Hadis, Ijma’, dan Qiyas, itu harus dan wajib diperkuat. Yaitu harus dan wajib diperkuat dengan Al-Qur’an. Jangan terbalik. Kalau mengatasnamakan Islam (akidah, fikih, tasawuf, dan lain-lain), semua dalil tersebut, itu harus dan wajib diperkuat dengan Qur’an. Harus dan wajib itu!

Pesan saya bagi kawan-kawan saya semua. Jangan terburu-buru mengatakan Al-Qur’an itu global, Al-Qur’an itu umum, Al-Qur’an itu multi tafsir, dan semisalnya. Dan seterusnya. Cara beragama kita (akidah, fikih, akhlak atau tasawuf, dan lain-lain), itu memang harus begini. Pertama, carilah ayat-ayat Qur’annya. Kedua, bisa meninjau Hadis-Hadis. Ketiga, meninjau pendapat-pendapat. Keempat, meninjau Qiyas, dan seterusnya. Zaman sekarang tinggal search di Google atau aplikasi.

Setelah itu, barulah dipertimbangkan. Alias dipikir-pikirkan. Direnung-renungkan. Kalau perlu dikomunikasikan dan didiskusikan dengan guru kita, kiai kita, ustadz kita, gus kita, bindere kita, habib kita, syeikh kita, dan seterusnya. Lantas kemudian dibuat kesimpulannya. Kesimpulan itu pun, belum final. Sangat bisa jadi ke depan bisa berubah. Karena ada pendapat dengan dalil yang lebih kuat. Begitu seterusnya. Belajar sepanjang hayat.

Jadi, tidak terburu-buru mengatakan Al-Qur’an itu global, Al-Qur’an itu umum, Al-Qur’an itu multi tafsir, dan semisalnya. Tetapi ternyata kita belum menelusurinya. Dan ujug-ujug lari kepada Hadis-Hadis. Kemudian berkesimpulan sudah final. Sudah pasti benarnya. Sudah mutlak benarnya.

Yang tidak sependapat, langsung dituduh ngawur, sesat, bid’ah, wahabi, antek syi’ah, dan tuduhan-tuduhan yang tidak sehat dalam dunia spiritual dan intelektual, serta tidak bertanggung jawab. Tidak perlu menuduh-nuduh. Tidak perlu menyerang orangnya. Cukup serang dan bantah argumen dan dalil-dalinya saja! Ini yang sehat dalam dunia spiritual dan intelektual!! Mencerdaskan dan mencerahkan!!!

Berkali-kali saya jelaskan. Bahwa semua rujukan doktrin Islam selain Qur’an, itu zhanniy. Semuanya hanya berdasar dugaan. Jadi, kalau didapati sebuah kesimpulan terkait akidah, fikih, dan seterusnya, dan ternyata tidak mencantumkan ayat Qur’annya, sebaiknya kita tidak mudah menyalahkan Muslim yang lain. Sebab sangat memungkinkan, itu hanya berhakim kepada selain Allah (QS.6:114).

Memang ada kaidah tafsir, bahwa proses mengambil kesimpulan, itu dari khususnya sebab. Yakni memahami ayat-ayat Qur’an dengan meninjau asbabun nuzul-nya. Ini konteks mikro, namanya. Tetapi ingat, tidak semua ayat-ayat Qur’an, itu ada asbabun nuzul-nya. Hanya sekitar sepertiga Qur’an saja yang terdapat asbabun nuzul-nya. Perlu juga ditinjau konteks makronya, yaitu tentang budaya Arab terutama di sekitar abad ke-7 M itu.

Dan ingat pula. Bahwa ada juga kaidah tafsir: proses mengambil kesimpulan, itu dari keumuman lafaz. Al-‘ibrah bi ‘umuum al-lafzh. Memang dari lafaz yang umum itulah, justru kita bisa mengambil kesimpulan untuk masalah kita saat ini. Justru karena umum itulah, membuat Qur’an bisa sesuai dengan segala tempat dan zaman ke masa depan. Dari keumuman lafaz itulah, kita lantas bisa melakukan proses analogi. Karena Qur’an, itu bukan hanya untuk kasus spesifik. Tetapi prinsip-prinsip Qur’an, memang bisa untuk bermacam-macam kasus.

QS. Al-Nahl[16]: 89
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ
Dan KAMI TURUNKAN KEPADAMU AL-KITAB (AL-QUR’AN) UNTUK MENJELASKAN SEGALA SESUATU dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.

QS. Al-An’am[6]: 114
أَفَغَيْرَ اللَّهِ أَبْتَغِي حَكَمًا وَهُوَ الَّذِي أَنْزَلَ إِلَيْكُمُ الْكِتَابَ مُفَصَّلًا ۚ وَالَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْلَمُونَ أَنَّهُ مُنَزَّلٌ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ ۖ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
Maka patutkah aku mencari HAKIM SELAIN ALLAH? PADAHAL DIA-LAH YANG TELAH MENURUNKAN KITAB (AL-QUR’AN) KEPADAMU DENGAN TERPERINCI. Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al-Qur’an itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu.

QS. Al-An’am[6]: 153
وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Ini adalah JALAN-KU YANG LURUS, MAKA IKUTILAH DIA. DAN JANGANLAH KAMU MENGIKUTI JALAN-JALAN (YANG LAIN), KARENA JALAN-JALAN ITU MENCERAI BERAIKAN KAMU DARI JALAN-NYA. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.

QS. Al-Zukhruf[43]: 36 – 37
وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمَٰنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ
BARANGSIAPA YANG BERPALING DARI PENGAJARAN TUHAN YANG MAHA PEMURAH (AL-QUR’AN), KAMI ADAKAN BAGINYA SETAN (YANG MENYESATKAN). Maka setan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.

وَإِنَّهُمْ لَيَصُدُّونَهُمْ عَنِ السَّبِيلِ وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ مُهْتَدُونَ
Dan sesungguhnya setan-setan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka MENYANGKA BAHWA MEREKA MENDAPAT HIDAYAH.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

*Penulis Ayat-Ayat Kemenangan

Senin, 27 Januari 2020

QUR’AN PENJELAS SEGALANYA


—Saiful Islam*—

“Bentuk-bentuk problemnya memang sangat bisa jadi beda setiap zaman dan tempat. Tetapi prinsip-prinsip Qur’an itulah yang selalu sesuai…”

Sebagai penjelas, atau ayat-ayat Qur’an saling menjelaskan, sebenarnya ayat-ayat Qur’an itu sudah sempurna. Sudah komplit. Sudah utuh. Sudah lengkap. Sudah komprehensif. Allah sendiri yang menegaskan demikian. Mustahil ayat-ayat Qur’an itu tidak sempurna, mustahil tidak komplit, mustahil ada yang kurang. Tidak mungkin.

QS. Al-Nahl[16]: 89
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ
Dan KAMI TURUNKAN KEPADAMU AL-KITAB (AL-QUR’AN) UNTUK MENJELASKAN SEGALA SESUATU dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.

Gamblang sekali ayat di atas. Bahwa Qur’an adalah tibyaanan li kull syay’: menjelaskan apa pun. Jangankan soal akidah (keimanan), syariat (hukum-hukum), ibadah-ibadah pokok (salat, puasa, zakat, haji), akhlak (tasawuf) atau moral, nilai-nilai, dan semisalnya. Bahkan soal Matematika, Geografi, Sejarah, Biografi, Biologi, Fisika, Kimia, Antropologi, Ilmu Gizi, Zoologi, Geologi, Kedokteran, Astrofisika, Neuro Sains, Psikologi, Biomolekuler, Astronomi, dan seterusnya, insya Allah ada dalam Qur’an.

QS. Al-An’am[6]: 114
أَفَغَيْرَ اللَّهِ أَبْتَغِي حَكَمًا وَهُوَ الَّذِي أَنْزَلَ إِلَيْكُمُ الْكِتَابَ مُفَصَّلًا ۚ وَالَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْلَمُونَ أَنَّهُ مُنَزَّلٌ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ ۖ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
Maka patutkah aku mencari hakim selain Allah? Padahal Dia-lah yang telah MENURUNKAN KITAB (AL-QUR’AN) KEPADAMU DENGAN TERPERINCI. Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al-Qur’an itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu.

Betul sekali. Qur’an itu sudah terperinci. Sudah detail. Mufashsholan. Bagaimana tidak detail, bagaimana tidak terperinci, Qur’an itu ayat-ayatnya ada sekitar 6000-an ayat lebih. Tiga puluh bagian (juz). Dan 114 Surat. Jadi bukan lagi puluhan ayat, atau ratusan ayat, tetapi sudah ribuan ayat qawliyah (bayaan). Puluhan juz, pun sudah ratusan Surat. Sudah sempurna sebagai doktrin agama, sebagai petunjuk, dan sebagai motivator (maw’izhah dan syifaa’) kehidupan.

Al-Qur’an merupakan penjelas segalanya, dan sudah terperinci, itu pasti dan selalu sesuai untuk tempat apa pun, zaman kapan pun, dan situasi bagaimana pun ke depan. Bentuk-bentuk masalahnya memang sangat bisa jadi beda setiap zaman dan tempat. Tetapi prinsip-prinsip Qur’an itulah yang selalu sesuai. Oleh karenanya, ketika menemukan suatu masalah, cobalah mencarinya di Qur’an yang ribuan itu. Insya Allah ada jawabannya. Jangan belum mencari, ujug-ujug bilang tidak ada ayatnya. Qur’an itu bukan hanya untuk kaum elit. Bahkan bukan hanya untuk Nabi Muhammad. Qur’an, itu memang untuk kita. Hanya melalui Nabi. Allah, itu mau berbicara kepada kita.

QS. Al-An’am[6]: 38
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلَّا أُمَمٌ أَمْثَالُكُمْ ۚ مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ۚ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ
Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. TIADALAH KAMI ALPAKAN SESUATU PUN DALAM AL-KITAB (AL-QUR’AN), kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.

Sudah sempurna Allah menuntun umat manusia ini. Yakni dengan firman-Nya yang memang sudah sempurna. Al-Qur’an telah sempurna. Mustahil Allah lupa. Mustahil Jibril lupa. Mustahil Rasulullah Muhammad SAW lupa. Sebagai pedoman beribadah dan hidup secara umum, Qur’an benar-benar telah sempurna. Tidak ada satu hurufnya, bahkan satu harokatnya pun, yang tidak sampai kepada kita. Bahkan masalah apa pun yang ada di kehidupan ini, sudah ada bahasannya. Lengkap dengan solusinya.

QS. Al-An’am[6]: 115
وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا ۚ لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ ۚ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
TELAH SEMPURNALAH KALIMAT TUHANMU (AL-QUR’AN) SEBAGAI KALIMAT YANG BENAR DAN ADIL. Tidak ada yang dapat merubah-rubah kalimat-kalimat-Nya. Dan Dia lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Yang namanya agama, itu ya kitab sucinya itu sendiri. Maka begitu juga agama Islam. Namanya Agama Islam, itu ya al-Qur’an itu sendiri. Sebagai penjelasan teoritis (teks atau qawliyah atau al-bayaan), yang disebut Agama Islam, itu ya memang Qur’an itu sendiri. Tidak ada yang lain. Nabi Muhammad sekali pun, itu ya mengikuti dan mentaati Qur’an. Adapun praktik aktualnya, terutama teknis salat dan haji non-substansial, itu memang dicontohkan oleh Rasul berupa Sunnah. Tetapi doktrin dan teknis pokok salat dan haji, itu telah ada dalam Qur’an.

QS. Al-Maidah[5]: 3
الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ ۚ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ ۙ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu. Sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. PADA HARI INI TELAH KUSEMPURNAKAN UNTUK KAMU AGAMAMU. DAN TELAH KUCUKUPKAN KEPADAMU NIKMAT-KU (AL-QUR’AN). DAN TELAH KURIDHAI ISLAM ITU JADI AGAMA BAGIMU.

Islam, sebagai agama memang telah sempurna. Karena Qur’an telah sempurna. “Wa atmamtu ‘alaykum ni’matiy: telah Kusempurnakan nikmat-Ku untuk kalian.” Kata nikmat-Ku pada ayat di atas, menurut saya memang adalah Qur’an. “Wa tammat kalimaatu Robbik: telah sempurnalah kalimat Tuhanmu…,” (QS.6:115).

QS. Al-Dhuha[93]: 11
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
Dan terhadap NIKMAT TUHANMU (AL-QUR’AN), maka hendaklah kamu SIARKAN.

QS. Al-Fatihah[1]: 6 & 7
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
6. Tunjukilah Kami JALAN YANG LURUS (Al-Qur’an).

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
7. (YAITU) JALAN ORANG-ORANG YANG TELAH ENGKAU BERI NIKMAT (AL-QUR’AN) KEPADA MEREKA; bukan (jalan) mereka yang DIMURKAI dan bukan (pula jalan) mereka yang SESAT (karena mengambil jalan selain Qur’an).

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

*Penulis Ayat-Ayat Kemenangan

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...