—Saiful Islam—
“Label-label buruk, menurut saya,
itu selevel dengan cacian dan makian…”
Jadi istilah yang dibuat Imam
Syafi’i inkar al-Sunnah, itu sejatinya adalah inkar al-Hadis.
Sekelompok kecil Umat Islam yang dicap sebagai munkir al-Sunnah, itu
sejatinya mereka tidak mengingkari Sunnah Nabi. Juga pasti tidak mengingkari
kerasulan Muhammad SAW.
Kelompok kecil yang dilabel munkir
al-Sunnah oleh al-Syafi’i, itu hanya mengingkari Hadis-Hadis saja. Jika
yang diingkari sebagian Hadis-Hadis yang mereka anggap bermasalah, itu bisa
dibenarkan. Hadis-Hadis lemah (terutama sanad-nya), memang boleh
diingkari. Saya katakan ‘boleh’, sebab sebagian Umat Islam masih ada yang
mengamalkan Hadis lemah. Silakan saja. Saya pribadi, lebih memilih Qur’an dan
Hadis-Hadis sahih saja.
Tetapi khusus yang bertentangan
dengan Qur’an, terutama matan-nya (redaksi teksnya) itu wajib diingkari.
Malah Hadis palsu (maudhu’ atau hoax), itu harus dan wajib
diinkari.
“Siapa yang berdusta atas namaku
dengan sengaja, bersiaplah tempatnya di neraka,” bunyi sebuah
Hadis. Meskipun, kalau ujug-ujug menolak semua Hadis, menurut saya juga
berlebihan. Menerima dan menolak Hadis, itu memang harus selektif! Dipilih dan
dipilah sesuai metodologi kritik Hadis.
Asal posisi Hadis itu zhanniy.
50:50. Nah, untuk meng-up-kan atau men-down-kan, itu memang
tergantung kualitas dan kapabilitas setiap orang. Tetapi jangan sampai
memasti-mastikan! Meng-qoth’i-kan Hadis. Selevel Qur’an. Sampai tanpa
sadar mau mengoreksi Qur’an dengan Hadis. Lantas menganggap Hadis sebagai wahyu
teologis mandiri selain Qur’an. Alamak!
Juga jangan sampai
menyesat-nyesatkan, mengkafir-kafirkan, membid’ah-bid’ahkan sesama Umat Islam hanya
karena tidak memakai Hadis seperti Hadis yang kita pakai. Kecuali kalau telah
jelas menolak Qur’an dan menolak Rasul Allah. Kalau kita sudah nyaman
menggunakan sebuah Hadis, silakan pakai. Itu hak kita. Tetapi jangan memaksa
Muslimin yang lain agar memakai Hadis seperti kita. Ingat, kita sedang
berprinsip dengan Hadis. Bukan dengan Rasululullah itu sendiri.
Sejatinya, sudah sejak akhir abad
ke-2 atau awal abad ke-3, itu Umat Islam berada dalam ketidakpastian terkait
tradisi Nabi. Sudah sama dengan Umat Islam di abad 15 ini yang tidak sezaman
lagi dengan Nabi. Sebagaimana Imam Syafi’i yang tidak pernah melihat langsung
praktik Rasulullah, begitu juga kita sekarang. Sehingga sudah sejak abad
tersebut, semuanya berdasar kira-kira. Zhann. Menerka-nerka. Semua
informasi Nabi sudah berupa berita, informasi, atau cerita.
Jangankan sebuah cerita. Melihat
faktanya langsung saja, persepsi masing-masing orang bisa berbeda. Jangankan
ada jeda ratusan tahun, kejadian kemarin sore saja, itu sangat memungkinkan
untuk berbeda laporannya. Apalagi Hadis-Hadis yang sudah berjeda 191 tahun,
antara al-Syafi’i dan sekelompok kecil Umat Islam yang dicap inkar al-Sunnah,
dengan Sunnah Nabi yang masih hidup di Madinah sampai tahun 13 H itu. Jadi,
al-Syafi’i dan kelompok yang dicapnya itu sejatinya sama-sama mengira-ngira.
Sama-sama mencari-cari. Sama-sama menerka-nerka.
Dalam konteks pencarian Sunnah
tersebut, menurut saya cap inkar al-Sunnah itu sangat berlebihan.
Cenderung provokatif. Cap-cap atau label-label seperti ini, itu bukan dalil
dalam sebuah diskusi yang sehat. Tetapi tuduhan. Cap-cap atau label-label buruk
seperti ini, itu selevel dengan cap-cap atau label-label atau tuduhan-tuduhan
seperti ini: sesat, kafir, murtad dan seterusnya, serta selevel komentar orang
awam, “Bisanya ngomong doang! Isok’e mek teori, tok!” Mereka nggak
ngerti kalau semua pelajaran sekolah, mulai SD sampai Universitas, itu ya teori!
Bahkan Qur’an pun, itu ya teori!!
Cap atau label inkar al-Sunnah,
itu sejatinya seperti memberi stempel buruk kepada orang lain. Dan tampaknya,
pembuat istilah inkar al-Sunnah, tidak benar-benar paham perbedaan
Sunnah dengan Hadis. Justru karena ngefans beginilah, saya mengoreksi Imam
Syafi’i, khusus dalam masalah ini. Melabel orang lain yang berlebihan dengan
porsinya, menurut saya berbahaya. Mendekati zalim. Itu seperti memakaikan baju
preman kepada seorang guru. Sebagian besar orang awam akan menilai guru
tersebut dari bajunya. Kemudian mereka akan menyimpulkan guru tersebut adalah
preman.
Stempel-stempel buruk seperti inkar
al-Sunnah, dan semisalnya, itu memang sangat efektif untuk membunuh
argumentasi lawan diskusi. Silakan Anda berdalil sekuat apa pun, fakta-faktanya
seakurat apa pun, Anda mengucapkannya atau menuliskannya seindah apa pun, pasti
tampak semua itu akan mendadak runtuh seketika kalau saya balas cukup dengan
satu kata saja: Sesat! Stempel buruk seperti itu, selevel dengan cacian dan
makian. Bukan lagi argumentasinya yang ditanggapi, tetapi sudah menyerang
orangnya.
Kalau Anda ingin tahu cara paling
efektif tanpa perlu repot-repot berpikir dan menganalisa, untuk menghabisi
argumentasi lawan, maka ini: Berilah stempel buruk! Katakan: Kafir! Murtad! Syi’ah!
Wahhabi! Antek Cina! Bid’ah! Liberal! Dan seterusnya. Tentu saja, menurut saya,
stempel-stempel buruk seperti itu sangat-sangat tidak pantas dalam dunia
akademis. Sangat-sangat tidak layak dilakukan kalangan intelektual yang
mencintai ilmu dan orang-orang arif. Akibatnya hanya membuat Umat Islam
tercerai-berai.
QS. Ali Imran[3]: 103
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ
اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ
Dan berpegangteguhlah kalian
semuanya kepada tali Allah (Qur’an), dan janganlah kalian bercerai berai.
Daripada melabel buruk, lebih baik
bantah saja dengan argumen yang sehat. Kenapa sih harus tuduh-menuduh
seperti itu? Bukankah Islam ini adalah agama dialog? Agama musyawarah? Agama
toleran? Agama diskusi? Agama saling nasehat-menasehati? Kalau pun berdebat,
bukankah harus dengan cara yang baik? Yang santun? Yang penuh hormat? Membantah
argumentasinya, dan bukan menyerang orangnya? Berargumentasi, dan bukan menuduh?
QS. Ali Imran[3]: 159
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ
اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ
فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ
ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Maka disebabkan rahmat dari
Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap
keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.
Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan BERMUSYAWARAHLAH
dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad,
maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya.
Jangan-jangan kita sudah jauh
dengan Qur’an? Qur’an tidak lagi menjadi pedoman hidup, tetapi telah menjadi
ajang lomba kemerduan suara, banyak-banyakan hafal ayat, sampai dibuat transfer
pahala untuk orang mati? Padahal jelas sekali kata ayat berikut bahwa hanya
Allah sajalah yang paling tahu siapa yang sesat, dan Allah sajalah yang paling
tahu siapa yang mendapat petunjuk.
QS. Al-Nahl[16]: 125
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ
رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ
عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Serulah (manusia) kepada jalan
Tuhan-mu dengan al-Hikmah dan pelajaran yang baik. Dan bantahlah mereka dengan
cara yang baik. SESUNGGUHNYA TUHANMU DIA-LAH YANG LEBIH MENGETAHUI TENTANG
SIAPA YANG TERSESAT DARI JALAN-NYA DAN DIA-LAH YANG LEBIH MENGETAHUI
ORANG-ORANG YANG MENDAPAT PETUNJUK.
Lagian, saling menuduh begitu kan
akhirnya membuat beragama ini menjadi tidak asyik?! Label buruk, membuat
beragama menjadi tidak indah lagi. Membuat diskusi menjadi mati. Ujung-ujungnya
membuat Islam semakin dicuekin. Semakin asing. Semakin dilupakan dan
ditinggalkan. Maka tampaknya ada benarnya ungkapan yang terkenal, “Islam itu
terhijab (tertutup) oleh orang-orang Islam sendiri.” Yaitu orang Islam yang
belum dewasa dalam beragama. Belum apa-apa sudah apriori.
Sebagai masyarakat terpelajar,
tidak boleh menilai apa pun dari kulitnya saja. Kulit, itu bukan substansi dari
sesuatu. Jangan menilai dan menghakimi sebuah buku dari sampulnya. Jangan
menilai orang dari namanya, gelarnya, seperti butiran kelereng tasbihnya, panjang
jenggotnya, lebar gamisnya, tinggi pecinya, cingkrang celananya, hitam dahinya,
dan tampilan-tampilan fisik lainnya. Semua itu baru kulit. Bukan substansi.
Bukan isi.
Jadi, yang membuat label inkar
al-Sunnah, menurut saya, itu berlebihan. Yang ujug-ujug mengingkari semua
Hadis, juga berlebihan. Yang benar, bagi saya, tidak perlu membuat
stempel-stempel buruk untuk orang lain. Silakan salahkan. Tapi tunjukan di
bagian mana kesalahan itu. Dan tunjukan pula solusi yang benarnya.
Bagi pihak yang sebaliknya,
Hadis-Hadis itu tetap sebaiknya diperiksa. Ditinjau. Paling tidak dengan
pendekatan kritik sanad dan matan. Dan perlu juga pendekatan ilmu ma’anil
Hadis. Dipertimbangkan. Barangkali ada kemungkinan masih asli dari Nabi. Yaitu
terutama, yang sejalan dengan Qur’an dan Sains.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar