Minggu, 12 Januari 2020

STEMPEL INKAR AL-SUNNAH


—Saiful Islam—

“Label-label buruk, menurut saya, itu selevel dengan cacian dan makian…”

Jadi istilah yang dibuat Imam Syafi’i inkar al-Sunnah, itu sejatinya adalah inkar al-Hadis. Sekelompok kecil Umat Islam yang dicap sebagai munkir al-Sunnah, itu sejatinya mereka tidak mengingkari Sunnah Nabi. Juga pasti tidak mengingkari kerasulan Muhammad SAW.

Kelompok kecil yang dilabel munkir al-Sunnah oleh al-Syafi’i, itu hanya mengingkari Hadis-Hadis saja. Jika yang diingkari sebagian Hadis-Hadis yang mereka anggap bermasalah, itu bisa dibenarkan. Hadis-Hadis lemah (terutama sanad-nya), memang boleh diingkari. Saya katakan ‘boleh’, sebab sebagian Umat Islam masih ada yang mengamalkan Hadis lemah. Silakan saja. Saya pribadi, lebih memilih Qur’an dan Hadis-Hadis sahih saja.

Tetapi khusus yang bertentangan dengan Qur’an, terutama matan-nya (redaksi teksnya) itu wajib diingkari. Malah Hadis palsu (maudhu’ atau hoax), itu harus dan wajib diinkari.

“Siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, bersiaplah tempatnya di neraka,” bunyi sebuah Hadis. Meskipun, kalau ujug-ujug menolak semua Hadis, menurut saya juga berlebihan. Menerima dan menolak Hadis, itu memang harus selektif! Dipilih dan dipilah sesuai metodologi kritik Hadis.

Asal posisi Hadis itu zhanniy. 50:50. Nah, untuk meng-up-kan atau men-down-kan, itu memang tergantung kualitas dan kapabilitas setiap orang. Tetapi jangan sampai memasti-mastikan! Meng-qoth’i-kan Hadis. Selevel Qur’an. Sampai tanpa sadar mau mengoreksi Qur’an dengan Hadis. Lantas menganggap Hadis sebagai wahyu teologis mandiri selain Qur’an. Alamak!

Juga jangan sampai menyesat-nyesatkan, mengkafir-kafirkan, membid’ah-bid’ahkan sesama Umat Islam hanya karena tidak memakai Hadis seperti Hadis yang kita pakai. Kecuali kalau telah jelas menolak Qur’an dan menolak Rasul Allah. Kalau kita sudah nyaman menggunakan sebuah Hadis, silakan pakai. Itu hak kita. Tetapi jangan memaksa Muslimin yang lain agar memakai Hadis seperti kita. Ingat, kita sedang berprinsip dengan Hadis. Bukan dengan Rasululullah itu sendiri.

Sejatinya, sudah sejak akhir abad ke-2 atau awal abad ke-3, itu Umat Islam berada dalam ketidakpastian terkait tradisi Nabi. Sudah sama dengan Umat Islam di abad 15 ini yang tidak sezaman lagi dengan Nabi. Sebagaimana Imam Syafi’i yang tidak pernah melihat langsung praktik Rasulullah, begitu juga kita sekarang. Sehingga sudah sejak abad tersebut, semuanya berdasar kira-kira. Zhann. Menerka-nerka. Semua informasi Nabi sudah berupa berita, informasi, atau cerita.

Jangankan sebuah cerita. Melihat faktanya langsung saja, persepsi masing-masing orang bisa berbeda. Jangankan ada jeda ratusan tahun, kejadian kemarin sore saja, itu sangat memungkinkan untuk berbeda laporannya. Apalagi Hadis-Hadis yang sudah berjeda 191 tahun, antara al-Syafi’i dan sekelompok kecil Umat Islam yang dicap inkar al-Sunnah, dengan Sunnah Nabi yang masih hidup di Madinah sampai tahun 13 H itu. Jadi, al-Syafi’i dan kelompok yang dicapnya itu sejatinya sama-sama mengira-ngira. Sama-sama mencari-cari. Sama-sama menerka-nerka.

Dalam konteks pencarian Sunnah tersebut, menurut saya cap inkar al-Sunnah itu sangat berlebihan. Cenderung provokatif. Cap-cap atau label-label seperti ini, itu bukan dalil dalam sebuah diskusi yang sehat. Tetapi tuduhan. Cap-cap atau label-label buruk seperti ini, itu selevel dengan cap-cap atau label-label atau tuduhan-tuduhan seperti ini: sesat, kafir, murtad dan seterusnya, serta selevel komentar orang awam, “Bisanya ngomong doang! Isok’e mek teori, tok!” Mereka nggak ngerti kalau semua pelajaran sekolah, mulai SD sampai Universitas, itu ya teori! Bahkan Qur’an pun, itu ya teori!!

Cap atau label inkar al-Sunnah, itu sejatinya seperti memberi stempel buruk kepada orang lain. Dan tampaknya, pembuat istilah inkar al-Sunnah, tidak benar-benar paham perbedaan Sunnah dengan Hadis. Justru karena ngefans beginilah, saya mengoreksi Imam Syafi’i, khusus dalam masalah ini. Melabel orang lain yang berlebihan dengan porsinya, menurut saya berbahaya. Mendekati zalim. Itu seperti memakaikan baju preman kepada seorang guru. Sebagian besar orang awam akan menilai guru tersebut dari bajunya. Kemudian mereka akan menyimpulkan guru tersebut adalah preman.

Stempel-stempel buruk seperti inkar al-Sunnah, dan semisalnya, itu memang sangat efektif untuk membunuh argumentasi lawan diskusi. Silakan Anda berdalil sekuat apa pun, fakta-faktanya seakurat apa pun, Anda mengucapkannya atau menuliskannya seindah apa pun, pasti tampak semua itu akan mendadak runtuh seketika kalau saya balas cukup dengan satu kata saja: Sesat! Stempel buruk seperti itu, selevel dengan cacian dan makian. Bukan lagi argumentasinya yang ditanggapi, tetapi sudah menyerang orangnya.

Kalau Anda ingin tahu cara paling efektif tanpa perlu repot-repot berpikir dan menganalisa, untuk menghabisi argumentasi lawan, maka ini: Berilah stempel buruk! Katakan: Kafir! Murtad! Syi’ah! Wahhabi! Antek Cina! Bid’ah! Liberal! Dan seterusnya. Tentu saja, menurut saya, stempel-stempel buruk seperti itu sangat-sangat tidak pantas dalam dunia akademis. Sangat-sangat tidak layak dilakukan kalangan intelektual yang mencintai ilmu dan orang-orang arif. Akibatnya hanya membuat Umat Islam tercerai-berai.

QS. Ali Imran[3]: 103
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ
Dan berpegangteguhlah kalian semuanya kepada tali Allah (Qur’an), dan janganlah kalian bercerai berai.

Daripada melabel buruk, lebih baik bantah saja dengan argumen yang sehat. Kenapa sih harus tuduh-menuduh seperti itu? Bukankah Islam ini adalah agama dialog? Agama musyawarah? Agama toleran? Agama diskusi? Agama saling nasehat-menasehati? Kalau pun berdebat, bukankah harus dengan cara yang baik? Yang santun? Yang penuh hormat? Membantah argumentasinya, dan bukan menyerang orangnya? Berargumentasi, dan bukan menuduh?

QS. Ali Imran[3]: 159
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan BERMUSYAWARAHLAH dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

Jangan-jangan kita sudah jauh dengan Qur’an? Qur’an tidak lagi menjadi pedoman hidup, tetapi telah menjadi ajang lomba kemerduan suara, banyak-banyakan hafal ayat, sampai dibuat transfer pahala untuk orang mati? Padahal jelas sekali kata ayat berikut bahwa hanya Allah sajalah yang paling tahu siapa yang sesat, dan Allah sajalah yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk.

QS. Al-Nahl[16]: 125
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan al-Hikmah dan pelajaran yang baik. Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. SESUNGGUHNYA TUHANMU DIA-LAH YANG LEBIH MENGETAHUI TENTANG SIAPA YANG TERSESAT DARI JALAN-NYA DAN DIA-LAH YANG LEBIH MENGETAHUI ORANG-ORANG YANG MENDAPAT PETUNJUK.

Lagian, saling menuduh begitu kan akhirnya membuat beragama ini menjadi tidak asyik?! Label buruk, membuat beragama menjadi tidak indah lagi. Membuat diskusi menjadi mati. Ujung-ujungnya membuat Islam semakin dicuekin. Semakin asing. Semakin dilupakan dan ditinggalkan. Maka tampaknya ada benarnya ungkapan yang terkenal, “Islam itu terhijab (tertutup) oleh orang-orang Islam sendiri.” Yaitu orang Islam yang belum dewasa dalam beragama. Belum apa-apa sudah apriori.

Sebagai masyarakat terpelajar, tidak boleh menilai apa pun dari kulitnya saja. Kulit, itu bukan substansi dari sesuatu. Jangan menilai dan menghakimi sebuah buku dari sampulnya. Jangan menilai orang dari namanya, gelarnya, seperti butiran kelereng tasbihnya, panjang jenggotnya, lebar gamisnya, tinggi pecinya, cingkrang celananya, hitam dahinya, dan tampilan-tampilan fisik lainnya. Semua itu baru kulit. Bukan substansi. Bukan isi.

Jadi, yang membuat label inkar al-Sunnah, menurut saya, itu berlebihan. Yang ujug-ujug mengingkari semua Hadis, juga berlebihan. Yang benar, bagi saya, tidak perlu membuat stempel-stempel buruk untuk orang lain. Silakan salahkan. Tapi tunjukan di bagian mana kesalahan itu. Dan tunjukan pula solusi yang benarnya.

Bagi pihak yang sebaliknya, Hadis-Hadis itu tetap sebaiknya diperiksa. Ditinjau. Paling tidak dengan pendekatan kritik sanad dan matan. Dan perlu juga pendekatan ilmu ma’anil Hadis. Dipertimbangkan. Barangkali ada kemungkinan masih asli dari Nabi. Yaitu terutama, yang sejalan dengan Qur’an dan Sains.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...