Jumat, 10 Januari 2020

KERANCUAN DEFINISI SUNNAH


—Saiful Islam—

“Al-Qur’an al-Karim, itu menurut saya, adalah Sunnah Nabi…”

Tidak sedikit di antara Umat Islam yang rancu memahami Sunnah dan Hadis. Tampaknya karena terpengaruh oleh rujukan-rujukan Ilmu-Ilmu Hadis itu sendiri. Beberapa buku tentang Studi Hadis dan Ushul Fiqh, pun juga rancu memahaminya. Diajarkan tanpa kritik, sehingga diterima begitu saja.

Bahkan di kalangan ulama Hadis, Hadis merupakan sinonim Sunnah. Muradif. Yakni dua kata yang maknanya dianggap sama atau mirip.

Menurut saya, jelas itu salah. Sunnah dan Hadis, itu tidak sama. Juga tidak mirip. Sunnah itu praktik, kejadian, perbuatan, fakta, realita, atau peristiwanya itu sendiri. Sedangkan Hadis, itu cerita, bahasa, berita, kisah, atau laporan tentang sebuah peristiwa. Sunnah adalah faktanya. Sedangkan Hadis adalah laporan tentang fakta. Jelas sekali beda. Tidak sama. Silakan baca lagi tulisan sebelumnya BEDA SUNNAH & HADIS dan SUNNAH BUKAN HADIS.

Pelajaran Hadis (Ilmu Hadis). Para ahli Hadis memang mengidentikkan Sunnah dengan Hadis. Yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapan beliau.

Identik, itu sama benar. Tidak berbeda sedikit pun. Begitu kata KBBI. Tentu saja, penyamaan Sunnah dengan Hadis, ini tidak benar. Jelas salahnya. Sekali lagi saya tegaskan, Sunnah dan Hadis itu tidak sama. Tidak identik. Bukan sinonim. Tetapi berbeda. Peristiwa dengan cerita atas peristiwa itu, apalagi ada jeda waktu 166 tahun antara keduanya, jelas-jelas berbeda.

Tampaknya ulama Hadis terpeleset begini, itu karena dari awal sudah menganggap bahwa Hadis-Hadis (cerita-cerita yang disandarkan kepada Nabi atau mengatasnamakan Nabi), itu sudah pasti datang dari Nabi. Lupa kalau antara Nabi dengan kitab Hadis tertua (Muwaththa’ Malik), itu ada ‘ruang gelap’ selama 166 tahun.

Ada juga ulama Hadis, itu yang mengartikan Sunnah sebagai segala sesuatu yang berasal dari Nabi berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, sifat fisik dan budi pekerti, jalan hidup baik yang terjadi sebelum Nabi diutus menjadi Rasul seperti ketika bertahannus (menyepi) di gua Hira’ ataupun sesudahnya.

Yang terakhir ini bisa dibenarkan. Asalkan: yang dimaksud adalah ketika Nabi masih hidup. Segala yang bersumber dari Nabi ketika beliau masih hidup itu, secara umum memang adalah Sunnah beliau. Meskipun sebenarnya istilah yang lebih pas adalah Sunnah Muhammad (SAW). Sebab sebelum menerima wahyu, Muhammad (SAW), itu tidak bisa disebut Nabi atau Rasul.

Pelajaran Ushul Fiqh. Menurut ulama ahli Ushul Fiqh, Sunnah adalah segala yang diriwayatkan dari Nabi SAW berupa perbuatan, perkataan, dan ketetapan beliau yang berkaitan dengan hukum (Islam).

Perhatikan kata ‘diriwayatkan’. Menurut saya, di sini ulama ahli Ushul Fiqh itu meleset. Tidak tepat. Alias kurang pas. Menurut saya, definisi di atas itu bukan definisi Sunnah. Tetapi sudah definisi Hadis. Ketika sudah ada kata ‘diriwayatkan’, itu sudah jelas bukan peristiwanya itu sendiri lagi. Bukan fakta atau kejadiannya. Tetapi sudah cerita atau berita peristiwa tersebut. ‘Diriwayatkan’, berarti sudah berita.

Jadi kalau sudah ada kata ‘diriwayatkan’, kemudian ternyata yang dirujuk adalah buku-buku Hadis atau buku-buku Sejarah yang disandarkan kepada Nabi,  jelas itu bukan definisi Sunnah. Kecuali meskipun ada kata ‘diriwayatkan’ dan yang dirujuk adalah Qur’an yang bercerita tentang Nabi, barulah itu bisa untuk menunjuk Sunnah. Berita dalam Qur’an itu lebih tinggi nilai kebenarannya dibanding wartawan yang menulis sebuah berita setelah terjun langsung di TKP sekali pun.

Kita yang hidup di abad 21 Masehi, ini sudah tidak mungkin bisa menyaksikan Sunnah Nabi. Mustahil. Kecuali kalau rujukan kita adalah Qur’an. Itu pun, ketika sudah masuk dalam persepsi kita, sudah berupa tafsir. Tetapi lumayan daripada kita memasti-mastikan berbuat seperti Nabi, dan ternyata yang dirujuk adalah sumber-sumber selain Qur’an.

Ada pula ulama Ushul itu yang memahami Sunnah adalah segala yang berasal dari Nabi selain al-Qur’an al-Karim, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun persetujuan yang pantas menjadi dalil hukum syara’.

Definisi di atas itu, juga menurut saya meleset. Tampaknya kesalahan definisi yang seperti inilah yang menyebabkan ada keyakinan bahwa Sunnah atau Hadis adalah wahyu teologis Jibriliy mandiri selain Qur’an. Al-Qur’an al-Karim, itu menurut saya adalah Sunnah Nabi. Karena biasa diucapkan oleh Nabi. Meskipun hakikatnya Qur’an itu adalah firman Allah yang disampaikan kepada umat manusia oleh Nabi.

Semua ucapan dan perbuatan Nabi, yang menjadi dalil hukum syara’, itu adalah Qur’an atau ijtihad beliau setelah terinspirasi dari Qur’an. Tidak ada Sunnah Nabi yang menjadi dalil hukum syara’ yang berdiri sendiri selain Qur’an. Jadi pada hakikatnya, semua Sunnah Nabi yang terkait dengan hukum syara’, itu selalu terkait dengan Qur’an. Tidak pernah lepas dari Qur’an. Kalau sudah berdiri sendiri, atau lepas dari Qur’an, itu sudah tidak pas lagi jika disebut Sunnah Nabi yang terkait syariat.

Kalau sudah dikatakan ‘lepas dari Qur’an’ atau ‘selain Qur’an’, itu artinya sudah dalam kapasitas Muhammad SAW yang manusia biasa. Bukan sebagai Rasul Allah. Di posisi manusia biasa ini, Sunnah beliau tidak bisa dijadikan dalil syariat yang harus dan wajib diikuti. Boleh diikuti, boleh tidak. Yang wajib dan harus kita ikuti adalah Sunnah Rasul. Yakni segala yang bersumber dari Nabi yang terkait dan terikat dengan Qur’an.

Yang terakhir adalah pelajaran Fikih. Pengertian Sunnah menurut ahli Fikih hampir sama dengan pengertian yang dikemukakan oleh para ahli Ushul Fiqh. Namun istilah Sunnah dalam Fikih juga dimaksudkan sebagai salah satu hukum taklifi—suatu perbuatan yang akan mendapatkan pahala bila dikerjakan dan tidak berdosa jika ditinggalkan. Pemahaman Sunnah yang berbeda dengan wajib dan fardhu yang pelakunya akan mendapatkan pahala, dan orang yang meninggalkannya akan mendapat siksa.

Jadi kalau ada orang sekarang mengatakan bahwa yang dilakukannya adalah Sunnah, maka itu harus dilihat dulu. Dicek dulu. Sunnah yang mana? Jangan-jangan Hadis?! Jangan-jangan Sunnah Nabi sebagai manusia biasa?! Jangan-jangan Sunnah versi Fikih?! Maka sekali lagi saya sampaikan: kalau ingin yang benar-benar Sunnah Nabi, carilah Sejarah beliau itu dengan mengutip ayat-ayat Qur’an.

QS. Al-Kahfi[18]: 110
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Katakanlah: “Sesungguhnya aku ini HANYALAH MANUSIA BIASA SEPERTI KAMU, yang DIWAHYUKAN kepadaku: Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya.”

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...