~ Saiful Islam ~
“Jangan mengharamkan apa yang
dihalalkan Allah…”
Pertama. Secara matan
(redaksi teksnya), sebenarnya baik Hadis Imam Ahmad maupun Hadis Abu Dawud, itu
tidak menyebut Sunnah Nabi. Juga tidak ada kata wahyu di situ. Dengan begitu,
sejatinya, kedua teks Hadis tersebut tidak pernah menyatakan bahwa Sunnah Nabi
adalah wahyu.
Hanya disebutkan kalimat: “Aku
diberi al-Kitab dan yang semisalnya, bersama dengan al-Kitab tersebut.” Itu
redaksi Abu Dawud. Sedangkan redaksi Imam Ahmad, al-Kitab tersebut, lebih
jelas. Yaitu: “Aku diberi Al-Qur’an dan yang semisalnya, bersama Al-Qur’an
tersebut.”
Jadi sekali lagi, di dalam dua
redaksi teks Hadis, itu tidak ada kalimat wahyu, maupun Sunnah Nabi. Apalagi
Sunnah Nabi adalah wahyu. Tidak ada! Kalimat, “dan yang semisalnya, bersama
Al-Qur’an itu,” kemudian diartikan sebagai wahyu lain selain Qur’an, atau
wahyu tak tertulis yang berdiri sendiri, itu murni terjemahan penulisnya saja.
Atau tafsir penulisnya saja.
Padahal kalau kita merujuk Qur’an,
misalnya QS.4:113, memang Allah menurunkan tidak hanya al-Kitab (Qur’an) saja
kepada Nabi. Tetapi Allah menurunkan al-Kitab (Qur’an) dan al-Hikmah. Maka redaksi
Hadis, “dan yang semisalnya, bersama Al-Qur’an,” bisa jadi yang dimaksud
adalah al-Hikmah. Jadi al-Hikmah adalah sesuatu yang semisal Qur’an yang
diturunkan bersama dengan al-Qur’an tersebut.
Al-Hikmah memang wahyu. Karena al-Hikmah
adalah kandungan makna di balik teks-teks ayat Qur’an itu sendiri. Al-Hikmah
adalah wahyu sepaket dengan teks ayat Qur’an. Tetapi, al-Hikmah, secara bahasa,
tidak pernah ada yang berarti Sunnah Nabi. Di depan sudah kita bahas detail
sekali soal al-Hikmah ini. Juga telah dibahas, kalau benar semua Sunnah Nabi
adalah wahyu spesifik yang berdiri sendiri selain Qur’an, pastinya Nabi tidak
akan pernah ditegur Allah (QS.80: 1-12; QS.66:1-2).
Kedua. Yang menarik justru kalimat
berikut dalam teks Hadis tersebut: “Lalu ada seorang laki-laki yang dalam
keadaan kekenyangan duduk di atas kursinya berkata, ‘Hendaklah kalian berpegang
teguh dengan Qur'an. Apa yang kalian dapatkan dalam Qur'an dari perkara halal
maka halalkanlah. Dan apa yang kalian dapatkan dalam Qur'an dari perkara haram
maka haramkanlah. Ketahuilah! Tidak dihalalkan bagi kalian daging himar jinak, semua
daging binatang buas yang bertaring, dan barang temuan milik orang kafir
mu'ahid (kafir dalam janji perlindungan penguasa Islam) kecuali pemiliknya
tidak membutuhkannya…”
Perkataan seorang laki-laki dalam
Hadis tersebut bahwa wajib berpegang teguh dengan Qur’an, mengharamkan atau
menghalalkan berdasar Qur’an, menurut saya betul sekali itu. Saya rasa semua
ulama sepakat bahwa rujukan utama yang paling primer, paling pokok, paling
prinsip, dan paling inti bagi umat Islam, tidak lain adalah Qur’an. Misalnya disebut
oleh Qur’an sendiri dalam QS.3:103 dan QS.6:153 yang bisa dibaca dari ayat 151
dan 152.
Ketiga. Kalimat Hadis itu yang
berbunyi: Tidak dihalalkan bagi kalian daging himar jinak, semua daging
binatang buas yang bertaring…”
Disebut Qur’an secara spesifik, memang
hanya ada beberapa jenis makanan yang diharamkan. Yaitu bangkai, darah yang mengalir,
babi, hewan ternak yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang
terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas kecuali
sempat disembelih, dan yang disembelih untuk berhala (seperti QS.5:3 dan QS.6:145).
QS. Al-Maidah[5]: 3
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ
الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا
أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ
Diharamkan bagimu (memakan)
bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain
Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam
binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu)
yang disembelih untuk berhala.
QS. Al-An’am[6]: 145
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا
أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ
مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ
فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah: "TIDAK aku peroleh
dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang
hendak memakannya, KECUALI kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir,
atau daging babi. Karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang
disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa,
sedang ia tidak menginginkannya, dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya
Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Prinsip berikut, penting sekali. Bahwa
semua hewan ternak, itu asalnya halal. Kecuali yang diharamkan oleh Qur’an. “Hewan
ternak, itu dihalalkan bagimu. KECUALI, yang akan dibacakan kepadamu,”
begitu kata QS.5:1. Yang dibacakan adalah ayat berikutnya, yaitu QS.5:3 dan
QS.6:145 di atas. Tidak boleh (jangan) mengharamkan makanan yang dihalalkan
oleh Allah, dan jangan pula berlebihan (QS.5:87). Konsumsilah yang halal dan
baik (misalnya QS.5:88 dan QS.2:168).
QS. Al-Maidah[5]: 87
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Hai orang-orang yang beriman, JANGANLAH
KAMU HARAMKAN APA-APA YANG BAIK YANG TELAH ALLAH HALALKAN BAGI KAMU, dan
janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang melampaui batas.
QS. Al-Baqarah[2]: 168
يَا أَيُّهَا النَّاسُ
كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ
الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Hai sekalian manusia, MAKANLAH YANG
HALAL LAGI BAIK dari apa yang terdapat di bumi.
Maka, keledai jinak dan semua
binatang buas yang bertaring menurut Hadis, itu memang tidak menjadi syarat
pengharaman yang spesifik menurut Qur’an. Meski begitu, tidak lantas boleh
memakan semua binatang buas yang bertaring, terutama. Seperti serigala, singa,
macan tutul, harimau, beruang, anjing, dan semisalnya. Bisa jadi tidak dimakan
itu, karena tidak baik. Makan memang tidak boleh halal saja. Tapi juga harus
baik (thayyiban), sebagaimana QS.2:168 di atas.
Sebab ada juga jenis ikan yang
bertaring seperti hiu cookiecutter, ikan piranha, belut lamprey, goliath
tigerfish, ikan payara, dan hiu putih besar. Tentu kita tidak boleh gampangan
mengharam-haramkan. Ingat, mengharamkan makanan yang halal, itu pun dilarang
(QS.5:87). Bahkan menurut QS.6:145, Nabi disuruh mengatakan bahwa pengharaman
berdasar wahyu, itu hanya yang dibacakan dalam Qur’an saja. Di luar Qur’an,
bisa jadi tidak bolehnya itu kondisional.
Orang tidak memakan hewan seperti kucing,
serigala, singa, macan tutul, harimau, dan seterusnya, atau tidak memakan hewan
tertentu seperti kelinci, tikus, tupai, ular, belut, cacing, bekicot, siput,
keong, biawak, kadal, burung merak, landak, itu bisa jadi bukan karena
bertaringnya. Tapi karena buasnya, kasihan, atau jijiknya. Buas, kasihan, dan
jijik, ini bisa jadi membuat orang berkesimpulan hewan tersebut tidak baik.
Seperti tidak bolehnya memakan
keledai jinak menurut Hadis tersebut. Tidak bolehnya itu, tidak mutlak yang
berlaku kapan pun, di mana pun, dan bagaimana pun. Tetapi tidak bolehnya itu
kondisional. Misalnya karena keledai sedang langka. Atau keledainya bisa untuk
manfaat yang lebih besar daripada sekedar dimakan. Atau keledainya betina,
sehingga tidak terjadi reproduksi lagi. Dan lain seterusnya. Ketika sebab-sebab
tidak bolehnya itu hilang, maka keledai jinak bisa halal.
Menurut saya, yang paling inti soal
konsumsi ini adalah yang halal, baik, serta tidak berlebihan. Keumuman Qur’an,
alias hal-hal yang tidak disebutkan secara spesifik pengharamannya, itu menjadi
rahmat bagi Kaum Muslimin. Yaitu, kelenturan hukum sesuai dengan situasi dan
kondisi tertentu. Bahkan yang sudah jelas-jelas secara spesifik disebut
haramnya (babi misalnya), itu bisa jadi halal jika dalam situasi yang terpaksa (QS.6:145).
Bahkan kalau misalnya tetangga kita
yang Muslim merawat dan melatih anjing untuk berburu, kita harus berlapang
dada. Dan halal kalau misalnya kita diberi dan menikmati sate daging hasil
tangkapan anjing tersebut. Hehe.
QS. Al-Maidah[5]: 4
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا
أُحِلَّ لَهُمْ ۖ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ
ۙ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ
تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ ۖ فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا
اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
Mereka menanyakan kepadamu:
"Apakah yang dihalalkan bagi mereka?" Katakanlah: "DIHALALKAN
BAGIMU YANG BAIK-BAIK DAN (BURUAN YANG DITANGKAP) OLEH BINATANG BUAS (ANJING)
YANG TELAH KAMU AJAR DENGAN MELATIHNYA UNTUK BERBURU. Kamu mengajarnya menurut
apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang
ditangkapnya untukmu. Dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu
melepaskannya). Dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat cepat
hisab-Nya.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar