Jumat, 03 Januari 2020

BUKAN WAHYU TAK TERBACA


~ Saiful Islam ~

“Dan kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat. Kemana pun engkau menghadap, maka engkau sedang menghadap Allah…”

Yang akan saya ceritakan ini, adalah argumen puncak orang-orang yang meyakini bahwa Sunnah Nabi adalah wahyu yang berdiri sendiri selain Qur’an. Atau wahyu tak terbaca (ghayr matluw). Sebab pertama, pendapat ini dari seorang profesor Hadis. Oleh kawan saya yang juga dosen Hadis, orang itu disebut ‘bukan orang sembarangan’. Ya, pendapat ini adalah buah pikiran Profesor Dr. M.M. Azami. Kedua, dasar argumen yang digunakan adalah ayat-ayat Qur’an.

Jadi ibarat tinju (boxing), kami sudah satu ring. Soal wahyu adalah perkara metafisika. Maka dalilnya memang harus ayat-ayat Qur’an. Dan saya, yang bukan siapa-siapa ini (hanya santri ndableg), sudah tidak begitu peduli lagi dengan nama besar, gelar, sanjungan hebat, dan ‘topeng-topeng’ lainnya yang tidak substansial. Supaya objektif dan adil menilai. Cukup bagi saya, silakan berpendapat dan tunjukan dasar-dasar argumennya. Titik. Seperti menonton tinju, nanti Umat Islam akan bisa melihat secara langsung, siapa yang kena upper-cut. Hehe. Sederhana!

Profesor Azami, dalam bukunya Studies in Early Hadith Literature (1978) menulis begini. Apakah wahyu yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya hanya termaktub dalam al-Qur’an saja, atau ada wahyu lain yang tidak terbaca tetapi juga diturunkan kepada Rasul? “Jelas bahwa pendapat yang akhir yang benar. Sebab al-Qur’an sendiri menyebutkan demikian. Berikut ini sekadar beberapa contoh dari al-Qur’an yang membuktikan adanya wahyu yang tidak terbaca tadi,” katanya.

Dasar pendapat Azami yang pertama, adalah QS.2:142-144. Berikut ini.

QS. Al-Baqarah[2]: 142 – 144
سَيَقُولُ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلَّاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا ۚ قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
142. Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah: "KEPUNYAAN ALLAH-LAH TIMUR DAN BARAT. Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus".

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ ۚ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ ۗ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
143. Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. DAN KAMI TIDAK MENETAPKAN KIBLAT YANG MENJADI KIBLATMU (SEKARANG) MELAINKAN AGAR KAMI MENGETAHUI (SUPAYA NYATA) SIAPA YANG MENGIKUTI RASUL DAN SIAPA YANG MEMBELOT. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.

قَدْ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ ۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا ۚ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ ۗ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ
144. SUNGGUH KAMI MELIHAT MUKAMU MENENGADAH KE LANGIT. MAKA SUNGGUH KAMI AKAN MEMALINGKAN (MENGHADAPKAN) KAMU KE KIBLAT YANG KAMU AKAN RELA MENERIMANYA. PALINGKANLAH (HADAPKANLAH) MUKAMU KE ARAH MASJIDIL HARAM. DAN DIMANA SAJA KAMU BERADA, PALINGKANLAH MUKAMU KE ARAHNYA. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.

Ayat ini, lanjut Azami, mengandung dua pengertian:

Pertama: Bahwa pada mulanya ada kiblat bagi umat Islam di mana mereka menghadap pada waktu salat. Kemudian Nabi diperintah untuk menghadap kiblat yang ditunggu-tunggu, yaitu kiblat kedua (Ka’bah). Meskipun Nabi SAW sudah ingin menghadap Ka’bah, namun—sebelum diperintah—Nabi tetap menghadap kiblat pertama (Baitul Maqdis). Dan hal ini tidak mungkin dilakukan tanpa adanya perintah.

Kedua: Kiblat pertama (Baitul Maqdis) diwajibkan dan ditentukan oleh Allah, seperti juga kiblat kedua (Ka’bah). Sebab Allah berfirman:
وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا
artinya: Dan Kami tidak menjadikan kiblat yang menjadi kiblatmu sekarang… (Al-Baqarah[2]: 143).

Di mana Allah menegaskan bahwa yang menjadikan kiblat pertama itu adalah Allah sendiri. Namun apabila kita membalik-balik al-Qur’an, tidak akan kita dapati satu ayat pun yang berisi perintah untuk menghadap kiblat pertama. Bila demikian halnya maka perintah untuk menghadap kiblat pertama itu adalah berdasarkan wahyu yang tidak terdapat dalam al-Qur’an (wahyu tidak terbaca).

*****

Okelah. Berikut tanggapan saya.

Menurut Sejarah, saat Nabi Muhammad SAW berada di Mekah di tengah-tengah Kaum Musyrikin (paganis), beliau berkiblat ke Baitul Maqdis (Masjidil Aqsha) di Yerussalem. Tetapi setelah 16 atau 17 bulan Nabi berada di Madinah—di tengah-tengah orang Yahudi dan Nasrani, beliau disuruh oleh wahyu QS.2:144 untuk menjadikan Ka’bah sebagai kiblat salat.

Jadi, kalau Rasulullah tinggal di Mekah (sebelum Hijrah ke Madinah) itu selama 13 tahun, maka selama periode ini juga beliau salatnya menghadap ke Baitul Maqdis itu. Nah, menghadap ke Baitul Maqdis selama 13 tahun, itu memang bukan wahyu. Tapi murni kemauan Nabi sendiri. Ya, soal menghadap kiblat, itu memang murni ijtihad Nabi sendiri. Memang tidak ada perintah menghadap ke Baitul Maqdis, itu di Qur’an. Karena memang, menghadap ke Baitul Maqdis ini, bukan wahyu.

Sekali lagi, menghadapnya Nabi ke Baitul Maqdis selama 13 tahun, itu murni ijtihad beliau SAW. Bukan berdasarkan wahyu lain selain Qur’an (wahyu tak terbaca). Sebelum turun perintah wahyu menghadap ke Masjidil Haram (Ka’bah) di Mekah (QS.2:144) secara spesifik, itu memang terserah Nabi mau menghadap kemana saja ketika salat. Dan menghadap ke mana saja, itu pun sebenarnya sudah berdasar Qur’an. Bahwa arah apa pun (Barat, Timur, Utara, Selatan, Atas, Bawah), itu ‘wajah Allah’. Berikut ayatnya.

QS. Al-Baqarah[2]: 115
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
DAN KEPUNYAAN ALLAH-LAH TIMUR DAN BARAT. MAKA KEMANA PUN KAMU MENGHADAP DI SITULAH WAJAH ALLAH. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Tampaknya sebelum turun wahyu (QS.2:144) perintah menghadap ke Ka’bah secara spesifik itu, Nabi lebih suka menghadap ke Baitul Maqdis. Sebab bisa jadi, Ka’bah saat itu belum steril karena diberhalakan oleh Kaum Paganis tersebut. Yang jelas, dalam salat, itu Nabi pasti menghadap ke satu arah. Nabi berdasar ijtihadnya sendiri, kemudian lebih memilih menghadap ke Baitul Maqdis, di Yerussalem itu. Karena ini adalah negeri para Rasul. Misalnya Nabi Dawud, Sulaiman, sampai Nabi Isa AS. Yerussalem adalah kota penting yang memiliki nilai historis sangat tinggi.

Sebenarnya, sebelum wahyu (QS.2:144) perintah menghadap ke Ka’bah secara spesifik itu turun,  menghadap kiblat itu bukan merupakan hal yang substansial dalam beribadah ritual (salat) kepada Allah. Yang terpenting, orang sadar, bahwa ia sedang salat ‘menghadap Allah’. Mau menghadap ke Timur, Barat, Utara, Selatan, atau ke mana pun, sejatinya bukanlah hal yang substansial. Tetapi karena turun ayat QS.2:144, kiblat ketika salat menjadi jelas, tertentu secara spesifik. Yaitu ke Ka’bah. Maka Nabi SAW lantas mengikuti perintah itu, menghadap ke Ka’bah. Kita pun lantas mengikuti beliau (ittibaa’).

Betul sekali. Bahwa sebelum turun QS.2:144, itu kiblat salat bukanlah merupakan hal yang substansial dalam salat. Sama seperti posisi tangan ketika salat, sebagaimana yang saya telah ceritakan sebelumnya. Mau ditangkupkan tepat di atas pusar, atau di dada, di perut bagian samping kiri, atau malah dibiarkan menggantung, semua itu bukan hal yang substansial. Bukan wahyu. Karena memang tidak disebutkan secara spefisik di dalam Qur’an. Kita tinggal mengikuti salah satu riwayat sahih saja.

Pernyataan Azami, ini menurut saya tidak tepat: “Meskipun Nabi SAW sudah ingin menghadap Ka’bah, namun—sebelum diperintah—Nabi tetap menghadap kiblat pertama (Baitul Maqdis). Dan hal ini tidak mungkin dilakukan tanpa adanya perintah.”

Kenapa? Karena, pertama, tidak ada keterangan bahwa Nabi sudah ingin menghadap ke Ka’bah. Tidak ada keinginan Nabi menghadap ke Ka’bah. Bahkan tidak ada keinginan Nabi untuk merubah kiblat yang awal. Yang sudah pasti keinginan Nabi sendiri, adalah menghadap ke Baitul Maqdis itu. Nah, karena turun QS.2:144, barulah Nabi merubah arah kiblat salatnya. Menjadi menghadap ke Ka’bah.

Kedua, karena penentuan kiblat yang pertama (Baitul Maqdis), itu memang tidak diperintah Allah. Tapi keinginan atau ijtihad beliau SAW sendiri. Makanya tidak pernah ada perintah wahyunya untuk menghadap ke Baitul Maqdis itu di Qur’an.

Mari kita perhatikan QS.2:144 sekali lagi: “Sungguh Kami melihat mukamu menengadah ke langit. MAKA SUNGGUH KAMI AKAN MEMALINGKAN (MENGHADAPKAN) KAMU KE KIBLAT YANG KAMU AKAN RELA MENERIMANYA. Palingkanlah (hadapkanlah) mukamu ke arah Masjidil Haram.”

Begini redaksi Arab-nya:
فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا
Kalimat “tardhoohaa,” itu artinya yang engkau AKAN rela. Menggunakan fi’il mudhari’ (present/future tense). Kata kerja yang menunjukkan waktu sekarang dan masa yang akan datang. Bukan past tense atau fi’il madhi. Terjemahan ayat di atas, tidak begini: Yang engkau SUDAH inginkan.

Argumen kedua Azami: Kiblat pertama (Baitul Maqdis) diwajibkan dan ditentukan oleh Allah, seperti juga kiblat kedua (Ka’bah), dengan berdasar QS.2:143, menurut saya tidak tepat. QS.2:143 ini berbicara kiblat kedua (Ka’bah). Bukan kiblat pertama (Baitul Maqdis). Jadi yang ditentukan Allah adalah kiblat kedua (Ka’bah). Bukan Baitul Maqdis. Jelas sekali kekeliruan Azami di sini. Yaitu menyamakan perintah wajibnya menghadap kiblat sekarang (Ka’bah) dengan kiblat Nabi sebelumnya (Baitul Maqdis).

Dengan demikian, kalimat Azami: “Di mana Allah menegaskan bahwa yang menjadikan kiblat pertama itu adalah Allah sendiri,” itu tidak menemukan pondasinya. Sehingga kesimpulan-kesimpulan setelahnya menjadi rapuh.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...