Minggu, 05 Januari 2020

DENGAN IZIN ALLAH


—Saiful Islam—

“Makna terakhir inilah yang terjadi pada QS.59:5 itu, yang lantas disalahpahami oleh Azami sebagai wahyu teologis perintah dari Allah…”

Berikut ini adalah argumen ketiga Azami. Dengan argumennya itu, profesor Hadis ini menyimpulkan bahwa ada wahyu teologis independent melalui Jibril selain Qur’an, yang disampaikan kepada Nabi SAW.

QS. Al-Hasyr[59]: 5
مَا قَطَعْتُمْ مِنْ لِينَةٍ أَوْ تَرَكْتُمُوهَا قَائِمَةً عَلَىٰ أُصُولِهَا فَبِإِذْنِ اللَّهِ وَلِيُخْزِيَ الْفَاسِقِينَ
Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya, maka (semua itu) adalah DENGAN IZIN ALLAH. Dan karena Dia hendak memberikan kehinaan kepada orang-orang fasik.

Ayat ini dengan jelas diturunkan sesudah penebangan pohon kurma. Dan dari al-Qur’an pula kita memahami bahwa izin penebangan itu dari Allah. Tetapi kita tidak menemukan ayat yang menerangkan penebangan itu.

*****

Baiklah. Berikut ini tanggapan saya.

Jadi menurut Azami, pohon kurma milik orang kafir yang telah ditebang itu, atas izin Allah. Yakni atas perintah Allah. Berdasar wahyu teologis. Tetapi karena deskripsi izin penebangan dari Allah sebelumnya, serta penebangannya itu sendiri, tidak ada dalam Qur’an, maka dia pun menyimpulkan bahwa harus ada wahyu teologis lain selain Qur’an. Akhirnya disimpulkan bahwa wahyu teologis tersebut adalah Hadis atau Sunnah Nabi.

Menurut saya begini. Kata bi idznillaah (dengan izin Allah), itu tidak harus dengan wahyu teologis. Perhatikan kalimat qatha’tum. Artinya adalah kalian telah menebang. Jadi yang menebang pohon kurma milik orang kafir, itu bukan Nabi sendiri. Tetapi Nabi menebangnya bersama para Sahabatnya. Kalau benar bi idznillaah itu harus hanya dengan wahyu teologis terlebih dahulu, mestinya harus juga disimpulkan bahwa yang dapat wahyu teologis tidak hanya Nabi. Tetapi juga para Sahabatnya. Dan itu, tidak mungkin. Mustahil.

Jadi, makna bi idznillaah di situ, artinya adalah penebangan pohon milik orang kafir itu boleh-boleh saja. Apalagi konteksnya perang dengan orang kafir. Sebagai taktik dan strategi perang, Nabi dan Kaum Mukminin bebas saja melakukan apa pun. Kecuali, ada larangannya dari Allah melalui ayat Qur’an. Asal dari sesuatu yang selain ibadah ritual, itu memang boleh-boleh saja dilakukan. Salah satu contohnya adalah penebangan pohon kurma milik orang kafir itu.

Artinya, perkara-perkara duniawi itu asalnya boleh-boleh saja dilakukan. Semuanya asalnya mubah (boleh). Kecuali ada ayat Qur’an yang secara muhkam (jelas) melarangnya. Rumus ini tidak hanya berlaku bagi Nabi SAW. Tetapi juga bagi kita. Artinya, kalau hanya urusan-urusan duniawi, Nabi dan kita tidak perlu menunggu-nunggu wahyu teologis Jibril. Asal tidak ada larangan ayatnya, maka itu boleh. Sebuah Hadis berbunyi, “Kalian lebih tahu urusan dunia kalian.”

Berbeda dengan soal akidah (keyakinan metafisika atau keimanan) dan ibadah ritual. Ini asalnya haram. Haran beriman, juga haram berbuat. Sampai ada ayat Qur’an yang menyuruh atau memberi informasinya. Untuk lebih gamblang, silakan baca tulisan sebelumnya WAHYU TAK SELALU ONLINE dan AKAL NABI SAW.

Kalau melihat al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an al-Karim, redaksi bi idznillaah (dengan izin Allah) dan beberapa derivasinya, itu terulang sekitar 38 kali.

Sebenarnya, Lisan al-Arab bercerita bahwa adzina itu artinya adalah mengetahui. Jadi ketika disebut bi idznillaah seperti pada QS.2:201, maka itu berarti dengan pengetahuan Allah. Artinya masalah tersebut tidak lepas dari pengetahuan Allah. Bi idznillaah terkadang, juga bermakna dengan perintah-Nya. Begitu juga adzina itu juga bisa berarti membolehkan. Seperti kalimat, adzina lahuu fi al-syay’ idznan. Mengizinkan baginya, yakni membolehkannya.

Sedangkan Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an mengambil makna adzina ini dari telinga (al-udzun). Telinga itu dekat dengan makna orang yang banyak mendengar informasi. Kemudian dari kata telinga, ini dipinjam untuk makna pengetahuan (al-‘ilm). Sedangkan al-idzn (izin), itu artinya adalah memberi info tentang kebolehan dan keringanan atau permisinya (rukhshoh). Adapun dengan izin Allah (bi idznillaah), bisa berarti dengan kehendak Allah.

Maka wajar kalau di Kamus-Kamus Arab—Indonesia, seperti al-Munawwir dan Mahmud Yunus, kata adzina itu diartikan beraneka. Seperti izin, permisi, memperkenankan, memperbolehkan, memberi izin, mengetahui, mengerti, mendengarkan, memberi tahu, mengumumkan, memperingatkan, pengetahuan, signal kereta api, sampai mengumandangkan azan untuk salat.

Maka kita mesti tepat mengartikan bi idznillaah tersebut sesuai konteksnya. Berdasar makna-makna adzina yang beragam itu, yang diceritakan dalam kamus-kamus Arab tersebut.

Bi idznillaah tak selalu harus dengan wahyu teologis Jibril. Tidak selalu harus dari perintah Allah melalui wahyu teologis lain selain Qur’an. Bi idznillaah tidak boleh hanya diartikan sebagai perintah. Ini analoginya bisa dilihat misalnya beberapa ayat berikut: QS.35:32, QS. QS.3:145, QS.2:102, dan QS. 2:249.

QS. Fathir[35]: 32
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا ۖ فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ
Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami. Lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, ada yang pertengahan, dan ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan DENGAN IZIN ALLAH. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.

Apakah terutama orang yang berbuat kebaikan dengan izin Allah, itu berarti mendapat wahyu teologis Jibriliy dari Allah selain Qur’an? Tentu tidak. Dengan izin Allah di sini berarti dalam pengetahuan Allah atau ada sunnatullah baik buruk.

QS. Ali Imran[3]: 145
وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُؤَجَّلًا ۗ وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الْآخِرَةِ نُؤْتِهِ مِنْهَا ۚ وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ
SESUATU YANG BERNYAWA TIDAK AKAN MATI MELAINKAN DENGAN IZIN ALLAH, SEBAGAI KETETAPAN YANG TELAH DITENTUKAN WAKTUNYA. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu. Dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.

Apakah orang yang akan mati, itu mendapat wahyu teologis selain Qur’an dulu dari Allah? Tentu tidak. Dengan izin Allah di sini artinya adalah kehidupan dan kematian seseorang itu dalam pengetahuan Allah. Atau ada hukum kehidupan dan kematian yang telah ditetapkan oleh Allah sebagai sunnatullah (hukum alam).

QS. Al-Baqarah[2]: 102
وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ
Dan mereka tidak memberi mudarat dengan sihirnya kepada seorang pun, KECUALI DENGAN IZIN ALLAH.

Apakah orang yang menyihir itu mendapat perintah dulu dari Allah yang berupa wahyu teologis selain Qur’an? Apakah redaksi KECUALI DENGAN IZIN ALLAH itu berarti mudaratnya sihir adalah perintah dan perbuatan Allah? Tentu tidak. Illaa bi idznillaah di sini artinya adalah segala peristiwa alam ini, sunnatullahnya (kausalitasnya) sudah ditentukan oleh Allah. Karenanya akan selalu ada dalam pengetahuan Allah.

QS. Al-Baqarah[2]: 249
قَالَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو اللَّهِ كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ
Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah, berkata: "BERAPA BANYAK TERJADI GOLONGAN YANG SEDIKIT DAPAT MENGALAHKAN GOLONGAN YANG BANYAK DENGAN IZIN ALLAH. Dan Allah beserta orang-orang yang SABAR."

Begitu juga ayat di atas. Itu tidak berarti pasukan yang kecil itu dapat wahyu teologis selain Qur’an terlebih dahulu. Pasukan besar, itu memang bisa kalah dengan pasukan kecil. Syaratnya pasukan yang kecil ini memiliki kesabaran. Yakni semangat, tak takut kepada siapa pun selain Allah, keteguhan, pantang menyerah, ulet, mengerahkan kekuatan, kecerdasan, taktik, dan strategi puncaknya. Didasari dengan keimanan yang kokoh serta harapan yang totalitas kepada Allah. Artinya, kesabaran, itu bisa menjadi faktor kemenangan. Bahkan disebut langsung oleh QS.8:65.

Jadi, secara umum, bi idznillaah itu berupa dua. Yaitu hukum Qur’an (ayat qawliyah) dan hukum alam (ayat kawniyah). Bi idznillah yang berupa ayat kawniyah, itu bukan berarti seseorang telah mendapatkan wahyu teologis. Tetapi artinya adalah segala realitas itu selalu dalam pengetahuan Allah. Atau merupakan kebolehan melakukannya. Makna terakhir inilah yang terjadi pada QS.59:5 di atas, yang lantas disalahpahami oleh Azami sebagai wahyu teologis perintah dari Allah.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...