—Saiful Islam—
“Makna terakhir inilah yang terjadi
pada QS.59:5 itu, yang lantas disalahpahami oleh Azami sebagai wahyu teologis perintah
dari Allah…”
Berikut ini adalah argumen ketiga
Azami. Dengan argumennya itu, profesor Hadis ini menyimpulkan bahwa ada wahyu
teologis independent melalui Jibril selain Qur’an, yang disampaikan
kepada Nabi SAW.
QS. Al-Hasyr[59]: 5
مَا قَطَعْتُمْ مِنْ
لِينَةٍ أَوْ تَرَكْتُمُوهَا قَائِمَةً عَلَىٰ أُصُولِهَا فَبِإِذْنِ اللَّهِ
وَلِيُخْزِيَ الْفَاسِقِينَ
Apa saja yang kamu tebang dari
pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri
di atas pokoknya, maka (semua itu) adalah DENGAN IZIN ALLAH. Dan karena Dia
hendak memberikan kehinaan kepada orang-orang fasik.
Ayat ini dengan jelas diturunkan
sesudah penebangan pohon kurma. Dan dari al-Qur’an pula kita memahami bahwa
izin penebangan itu dari Allah. Tetapi kita tidak menemukan ayat yang
menerangkan penebangan itu.
*****
Baiklah. Berikut ini tanggapan
saya.
Jadi menurut Azami, pohon kurma
milik orang kafir yang telah ditebang itu, atas izin Allah. Yakni atas perintah
Allah. Berdasar wahyu teologis. Tetapi karena deskripsi izin penebangan dari
Allah sebelumnya, serta penebangannya itu sendiri, tidak ada dalam Qur’an, maka
dia pun menyimpulkan bahwa harus ada wahyu teologis lain selain Qur’an.
Akhirnya disimpulkan bahwa wahyu teologis tersebut adalah Hadis atau Sunnah
Nabi.
Menurut saya begini. Kata bi
idznillaah (dengan izin Allah), itu tidak harus dengan wahyu teologis.
Perhatikan kalimat qatha’tum. Artinya adalah kalian telah menebang. Jadi
yang menebang pohon kurma milik orang kafir, itu bukan Nabi sendiri. Tetapi
Nabi menebangnya bersama para Sahabatnya. Kalau benar bi idznillaah itu
harus hanya dengan wahyu teologis terlebih dahulu, mestinya harus juga
disimpulkan bahwa yang dapat wahyu teologis tidak hanya Nabi. Tetapi juga para
Sahabatnya. Dan itu, tidak mungkin. Mustahil.
Jadi, makna bi idznillaah di
situ, artinya adalah penebangan pohon milik orang kafir itu boleh-boleh saja.
Apalagi konteksnya perang dengan orang kafir. Sebagai taktik dan strategi
perang, Nabi dan Kaum Mukminin bebas saja melakukan apa pun. Kecuali, ada
larangannya dari Allah melalui ayat Qur’an. Asal dari sesuatu yang selain
ibadah ritual, itu memang boleh-boleh saja dilakukan. Salah satu contohnya
adalah penebangan pohon kurma milik orang kafir itu.
Artinya, perkara-perkara duniawi
itu asalnya boleh-boleh saja dilakukan. Semuanya asalnya mubah (boleh).
Kecuali ada ayat Qur’an yang secara muhkam (jelas) melarangnya. Rumus
ini tidak hanya berlaku bagi Nabi SAW. Tetapi juga bagi kita. Artinya, kalau
hanya urusan-urusan duniawi, Nabi dan kita tidak perlu menunggu-nunggu wahyu
teologis Jibril. Asal tidak ada larangan ayatnya, maka itu boleh. Sebuah Hadis
berbunyi, “Kalian lebih tahu urusan dunia kalian.”
Berbeda dengan soal akidah
(keyakinan metafisika atau keimanan) dan ibadah ritual. Ini asalnya haram. Haran
beriman, juga haram berbuat. Sampai ada ayat Qur’an yang menyuruh atau memberi
informasinya. Untuk lebih gamblang, silakan baca tulisan sebelumnya WAHYU TAK
SELALU ONLINE dan AKAL NABI SAW.
Kalau melihat al-Mu’jam
al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an al-Karim, redaksi bi idznillaah
(dengan izin Allah) dan beberapa derivasinya, itu terulang sekitar 38 kali.
Sebenarnya, Lisan al-Arab
bercerita bahwa adzina itu artinya adalah mengetahui. Jadi ketika
disebut bi idznillaah seperti pada QS.2:201, maka itu berarti dengan
pengetahuan Allah. Artinya masalah tersebut tidak lepas dari pengetahuan Allah.
Bi idznillaah terkadang, juga bermakna dengan perintah-Nya. Begitu juga adzina
itu juga bisa berarti membolehkan. Seperti kalimat, adzina lahuu fi al-syay’
idznan. Mengizinkan baginya, yakni membolehkannya.
Sedangkan Al-Mufradat fi Gharib
al-Qur’an mengambil makna adzina ini dari telinga (al-udzun).
Telinga itu dekat dengan makna orang yang banyak mendengar informasi. Kemudian
dari kata telinga, ini dipinjam untuk makna pengetahuan (al-‘ilm).
Sedangkan al-idzn (izin), itu artinya adalah memberi info tentang
kebolehan dan keringanan atau permisinya (rukhshoh). Adapun dengan izin
Allah (bi idznillaah), bisa berarti dengan kehendak Allah.
Maka wajar kalau di Kamus-Kamus Arab—Indonesia,
seperti al-Munawwir dan Mahmud Yunus, kata adzina itu
diartikan beraneka. Seperti izin, permisi, memperkenankan, memperbolehkan,
memberi izin, mengetahui, mengerti, mendengarkan, memberi tahu, mengumumkan,
memperingatkan, pengetahuan, signal kereta api, sampai mengumandangkan
azan untuk salat.
Maka kita mesti tepat mengartikan bi
idznillaah tersebut sesuai konteksnya. Berdasar makna-makna adzina
yang beragam itu, yang diceritakan dalam kamus-kamus Arab tersebut.
Bi idznillaah tak selalu
harus dengan wahyu teologis Jibril. Tidak selalu harus dari perintah Allah
melalui wahyu teologis lain selain Qur’an. Bi idznillaah tidak boleh
hanya diartikan sebagai perintah. Ini analoginya bisa dilihat misalnya beberapa
ayat berikut: QS.35:32, QS. QS.3:145, QS.2:102, dan QS. 2:249.
QS. Fathir[35]: 32
ثُمَّ أَوْرَثْنَا
الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا ۖ فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ
وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ
Kemudian Kitab itu Kami wariskan
kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami. Lalu di antara
mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, ada yang pertengahan, dan ada
(pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan DENGAN IZIN ALLAH. Yang demikian itu
adalah karunia yang amat besar.
Apakah terutama orang yang berbuat
kebaikan dengan izin Allah, itu berarti mendapat wahyu teologis Jibriliy dari
Allah selain Qur’an? Tentu tidak. Dengan izin Allah di sini berarti dalam
pengetahuan Allah atau ada sunnatullah baik buruk.
QS. Ali Imran[3]: 145
وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ
تَمُوتَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُؤَجَّلًا ۗ وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا
نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الْآخِرَةِ نُؤْتِهِ مِنْهَا ۚ وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ
SESUATU YANG BERNYAWA TIDAK AKAN
MATI MELAINKAN DENGAN IZIN ALLAH, SEBAGAI KETETAPAN YANG TELAH DITENTUKAN
WAKTUNYA. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya
pahala dunia itu. Dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan
(pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan Kami akan memberi balasan kepada
orang-orang yang bersyukur.
Apakah orang yang akan mati, itu
mendapat wahyu teologis selain Qur’an dulu dari Allah? Tentu tidak. Dengan izin
Allah di sini artinya adalah kehidupan dan kematian seseorang itu dalam
pengetahuan Allah. Atau ada hukum kehidupan dan kematian yang telah ditetapkan
oleh Allah sebagai sunnatullah (hukum alam).
QS. Al-Baqarah[2]: 102
وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ
بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ
Dan mereka tidak memberi mudarat
dengan sihirnya kepada seorang pun, KECUALI DENGAN IZIN ALLAH.
Apakah orang yang menyihir itu
mendapat perintah dulu dari Allah yang berupa wahyu teologis selain Qur’an?
Apakah redaksi KECUALI DENGAN IZIN ALLAH itu berarti mudaratnya sihir adalah
perintah dan perbuatan Allah? Tentu tidak. Illaa bi idznillaah di sini
artinya adalah segala peristiwa alam ini, sunnatullahnya (kausalitasnya) sudah
ditentukan oleh Allah. Karenanya akan selalu ada dalam pengetahuan Allah.
QS. Al-Baqarah[2]: 249
قَالَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ
أَنَّهُمْ مُلَاقُو اللَّهِ كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً
بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ مَعَ
الصَّابِرِينَ
Orang-orang yang meyakini bahwa
mereka akan menemui Allah, berkata: "BERAPA BANYAK TERJADI GOLONGAN YANG
SEDIKIT DAPAT MENGALAHKAN GOLONGAN YANG BANYAK DENGAN IZIN ALLAH. Dan Allah
beserta orang-orang yang SABAR."
Begitu juga ayat di atas. Itu tidak
berarti pasukan yang kecil itu dapat wahyu teologis selain Qur’an terlebih
dahulu. Pasukan besar, itu memang bisa kalah dengan pasukan kecil. Syaratnya
pasukan yang kecil ini memiliki kesabaran. Yakni semangat, tak takut kepada
siapa pun selain Allah, keteguhan, pantang menyerah, ulet, mengerahkan
kekuatan, kecerdasan, taktik, dan strategi puncaknya. Didasari dengan keimanan
yang kokoh serta harapan yang totalitas kepada Allah. Artinya, kesabaran, itu
bisa menjadi faktor kemenangan. Bahkan disebut langsung oleh QS.8:65.
Jadi, secara umum, bi idznillaah
itu berupa dua. Yaitu hukum Qur’an (ayat qawliyah) dan hukum alam (ayat kawniyah).
Bi idznillah yang berupa ayat kawniyah, itu bukan berarti
seseorang telah mendapatkan wahyu teologis. Tetapi artinya adalah segala
realitas itu selalu dalam pengetahuan Allah. Atau merupakan kebolehan
melakukannya. Makna terakhir inilah yang terjadi pada QS.59:5 di atas, yang lantas
disalahpahami oleh Azami sebagai wahyu teologis perintah dari Allah.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar