—Saiful Islam—
“Tafsir terbaik, itu memang Qur’an
bil Qur’an. Ayat bil ayat. Bukan ayat bil Hadis…”
Hadis-Hadis yang sahih, baik sanad
maupun matan-nya, memang bisa dijadikan dalil. Dalam arti, Hadis-Hadis
tersebut bisa digunakan untuk menjadi penjelas Qur’an. Yakni menjadi tafsir
Qur’an. Jadi, Hadis-Hadis itu sifatnya adalah sebagai penjelas Qur’an. Karena
sebagai penjelas, maka pasti Hadis-Hadis itu tidak akan dan tidak boleh bertentangan
dengan Qur’an.
Hadis tidak boleh bertentangan
dengan Qur’an. Selamanya. Kalau ada Hadis yang bertentangan dengan ayat Qur’an,
maka Hadis itu harus ‘diletakkan’. Pasti Hadis yang seperti itu, tidak berasal
dari Nabi. Hadis itu pasti telah terdistorsi. Atau memang sengaja bikinan
orang-orang tertentu yang tidak bertanggung jawab. Untuk kepentingan-kepentingan
selain kebenaran itu sendiri. Tidak mungkin sabda dan perbuatan Nabi
bertentangan dengan Qur’an.
Memang ada kaidah cara menyikapi
dalil-dalil yang tampaknya bertentangan. Yaitu (1) Al-jam’ wa al-tawfiq.
Kalau bisa dikompromikan. (2) Tarjih. Menguatkan salah satu. (3) Nasikh
mansukh. Dalil satu menghapus dalil lainnya. Dan (4) adalah tawaqquf.
Alias didiamkan. Sebenarnya kaidah itu untuk Hadis vs Hadis. Kalau ada Qur’an
vs Hadis, menurut saya, gunakan (2) atau (3). Qur’an jelas harus diunggulkan.
Hadis-Hadis, itu pasti tidak akan
berdiri sendiri sebagai dalil agama Islam. Terutama soal-soal akidah (gaib atau
metafisika). Hadis-Hadis yang menjadi dalil dalam beragama Islam, itu harus ada
cantolan Qur’annya. Hadis-Hadis mesti bersandar kepada Qur’an. Saya rasa aneh,
kalau namanya penjelas tetapi tidak ada (ayat) yang dijelaskan dalam Qur’an.
Bagaimana kalau ayatnya sudah
jelas? Ya, tentu saja bisa jadi Hadis yang sebagai penjelas itu tidak
dibutuhkan. Kan sudah jelas?! Jadi, misalkan kita menemukan ayat Qur’an. Belum
jelas. OK, coba dicari penjelasannya pada Hadis-Hadis. Sebaliknya, kalau kita
menemukan ayat yang sudah jelas. Maka penggunaan Hadis-Hadis sebagai penjelas,
itu pilihan. Bukan keharusan.
Apalagi jika ada Hadis-Hadis yang
malah merancukan pemahaman kita kepada Qur’an. Sebaiknya, Hadis-Hadis semacam
ini tidak dipakai. Hadis-Hadis semacam itu, sebaiknya di-tawaqquf-kan
saja. Memilih tidak memakai, atau mendiamkan Hadis-Hadis semacam ini, menurut
saya adalah bentuk kehati-hatian kita. Orang yang hati-hati, itu justru orang
yang tidak gampangan menyampaikan Hadis. Bukan malah orang yang mengumbar
Hadis, tetapi tidak paham how to deal with Hadith-nya.
Penjelasan ayat-ayat Qur’an, itu
memang tidak semuanya ada pada Hadis-Hadis. Tidak semua ayat-ayat Qur’an yang
30 juz, itu ada asbab nuzul-nya yang Hadis itu, misalnya. Sebagian saja
ayat-ayat Qur’an yang ada asbab nuzul-nya. Kira-kira sepertiganya saja. Seperti
ayat-ayat yang berbicara tentang Biologi, Astronomi, Geografi, dan semisalnya,
itu justru penjelasannya ada di Sains.
Jadi, jangan memutlakkan,
mengharuskan, dan mewajibkan penggunaan Hadis-Hadis untuk ayat-ayat Qur’an.
Mesti dilihat dulu kasusnya atau masalah yang dibahas apa. Bagaimana mungkin
diwajibkan menggunakan Hadis, wong penjelasannya di Hadis tidak ada?
Seperti penciptaan unta, langit, gunung-gunung, dan bumi (QS.88:17-20). Bahkan
penjelasan detailnya pun, Qur’an tidak ada. Justru penjelasannya kita
membutuhkan Sains.
Imam Abu Hanifah (w. 148 H), Imam
Malik (w. 179 H), dan Imam al-Syafi’i (w. 204 H), misalnya. Mereka tidak pernah
menggunakan Hadis-Hadis Bukhari (w. 256 H) dan Muslim (w. 261 H). Kenapa?
Karena kitab Hadis Bukhari dan Muslim, dan kitab-kitab Hadis yang termasuk kutub
al-sittah, itu belum ada pada zaman Abu Hanifah, Malik, dan al-Syafi’i.
Apakah ketiga imam mazhab tersebut lantas disalahkan? Tentu tidak. Penggunaan
Hadis memang bukan keharusan. Tapi pilihan.
Soal tafsir Qur’an pun, menurut
Ilmu Tafsir, tafsir terbaik itu adalah tafsir Qur’an bil Qur’an. Yakni ayat
satu menjelaskan ayat lainnya. Alias tafsir ayat dengan ayat. Semacam menyusun puzzle
(maudhu’iy) untuk mendapatkan gambaran utuhnya. Jadi si penafsir menentukan
dulu tema yang akan dibahasnya. Kemudian dicarilah ayat-ayatnya. Kurang jelas,
bisa dicari Hadis-Hadisnya. Kurang mantap, bisa dicari hasil-hasil penelitian
Sains. Bisa juga dengan penelitian lapangan. Dan seterusnya, sampai akhirnya
dibuatlah kesimpulan.
Tentu saja, sebuah ayat bisa
menjadi penjelas ayat yang lain, itu tergantung kualitas dan kapabilitas penafsir.
Alias tergantung akal dan keilmuan si penafsir sendiri. Si penafsir dengan
ijtihadnya sendiri menentukan, misalnya: “Ooo, ayat ini adalah penjelas dari
ayat itu. Ooo, ayat ini adalah tafsir ayat itu.” Jadi, bukan berarti lantas
disimpulkan si penafsir mendapat wahyu teologis antah berantah.
Yang pasti, untuk membahas sebuah
tema tertentu, harus dikumpulkan sebanyak mungkin ayat-ayat yang berkaitan.
Seperti menyuzun puzzle tadi. Semakin lengkap bagian-bagiannya, puzzle
tersebut akan semakin jelas gambarannya. Gambarnya akan menjadi utuh. Sebaliknya.
Semakin sedikit bagian-bagian yang ditemukan dan disusun, gambar puzzle
itu tidak akan terbentuk. Dengan kata lain, mengutip ayat-ayat Qur’an itu harus
sekomprehensif mungkin. Tidak boleh sepotong-sepotong. Jangan satu ayat, bahkan
tidak sampai satu ayat, ujug-ujug disimpulkan. Ini rawan terjadi
kesalahan.
Adapun hasil tafsirnya, itu selalu
relatif. Bisa benar dan bisa juga salah. Selama itu tafsir, pasti kebenarannya
relatif. Mau sehebat apa pun si penafsir, tetap hasil tafsirnya itu
relatif. Meskipun Qur’an bil Qur’an.
Tetap saja, kalau sudah berupa tafsir seseorang, hasil tafsirnya itu adalah
relatif. Masih ada dugaan benar dan salahnya. Zhann memang. Yang pasti
benar dan mutlak kebenarannya, itu ya Qur’an itu sendiri. Hanya saja si
penafsir berusaha memahami Qur’an itu sesuai dengan konteks masalah dan
kecenderungannya masing-masing.
Meskipun itu tafsir dengan Sains.
Tetap saja relatif. Kebenaran Sains, itu memang relatif. Tetapi lumayan, karena
kesimpulan Sains itu dasarnya adalah penelitian dan pengamatan langsung
terhadap hukum-hukum alam yang berjalan ajeg (sunnatullah). Sifat teori ilmu
pengetahuan, itu terus berkembang dan sangat memungkinkan selalu berubah ke
masa depan. Selama penelitian Sains terus dilakukan, maka selama itu pula
kebenaran Sains itu relatif. Penemuan terbaru menyempurnakan penemuan
sebelumnya. Begitu terus. Dan itu tidak masalah. Wajar.
Barulah tingkatan tafsir setelah
Qur’an bil Qur’an itu, adalah tafsir Qur’an bil riwayah. Yakni ayat dijelaskan
dengan Hadis-Hadis (riwayat). Terkenal dengan istilah tafsir bil ma’tsur. Dengan
demikian, tafsir dengan Hadis-Hadis, itu kedudukannya nomer dua setelah tafsir
ayat dengan ayat. Saya kira para ulama tidak ada yang mempersoalkan bahwa
memang tafsir terbaik itu adalah tafsir Qur’an bil Qur’an. Tafsir ayat bil
ayat.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar