Jumat, 17 Januari 2020

HADIS PENJELAS QUR’AN


—Saiful Islam—

“Tafsir terbaik, itu memang Qur’an bil Qur’an. Ayat bil ayat. Bukan ayat bil Hadis…”

Hadis-Hadis yang sahih, baik sanad maupun matan-nya, memang bisa dijadikan dalil. Dalam arti, Hadis-Hadis tersebut bisa digunakan untuk menjadi penjelas Qur’an. Yakni menjadi tafsir Qur’an. Jadi, Hadis-Hadis itu sifatnya adalah sebagai penjelas Qur’an. Karena sebagai penjelas, maka pasti Hadis-Hadis itu tidak akan dan tidak boleh bertentangan dengan Qur’an.

Hadis tidak boleh bertentangan dengan Qur’an. Selamanya. Kalau ada Hadis yang bertentangan dengan ayat Qur’an, maka Hadis itu harus ‘diletakkan’. Pasti Hadis yang seperti itu, tidak berasal dari Nabi. Hadis itu pasti telah terdistorsi. Atau memang sengaja bikinan orang-orang tertentu yang tidak bertanggung jawab. Untuk kepentingan-kepentingan selain kebenaran itu sendiri. Tidak mungkin sabda dan perbuatan Nabi bertentangan dengan Qur’an.

Memang ada kaidah cara menyikapi dalil-dalil yang tampaknya bertentangan. Yaitu (1) Al-jam’ wa al-tawfiq. Kalau bisa dikompromikan. (2) Tarjih. Menguatkan salah satu. (3) Nasikh mansukh. Dalil satu menghapus dalil lainnya. Dan (4) adalah tawaqquf. Alias didiamkan. Sebenarnya kaidah itu untuk Hadis vs Hadis. Kalau ada Qur’an vs Hadis, menurut saya, gunakan (2) atau (3). Qur’an jelas harus diunggulkan.

Hadis-Hadis, itu pasti tidak akan berdiri sendiri sebagai dalil agama Islam. Terutama soal-soal akidah (gaib atau metafisika). Hadis-Hadis yang menjadi dalil dalam beragama Islam, itu harus ada cantolan Qur’annya. Hadis-Hadis mesti bersandar kepada Qur’an. Saya rasa aneh, kalau namanya penjelas tetapi tidak ada (ayat) yang dijelaskan dalam Qur’an.

Bagaimana kalau ayatnya sudah jelas? Ya, tentu saja bisa jadi Hadis yang sebagai penjelas itu tidak dibutuhkan. Kan sudah jelas?! Jadi, misalkan kita menemukan ayat Qur’an. Belum jelas. OK, coba dicari penjelasannya pada Hadis-Hadis. Sebaliknya, kalau kita menemukan ayat yang sudah jelas. Maka penggunaan Hadis-Hadis sebagai penjelas, itu pilihan. Bukan keharusan.

Apalagi jika ada Hadis-Hadis yang malah merancukan pemahaman kita kepada Qur’an. Sebaiknya, Hadis-Hadis semacam ini tidak dipakai. Hadis-Hadis semacam itu, sebaiknya di-tawaqquf-kan saja. Memilih tidak memakai, atau mendiamkan Hadis-Hadis semacam ini, menurut saya adalah bentuk kehati-hatian kita. Orang yang hati-hati, itu justru orang yang tidak gampangan menyampaikan Hadis. Bukan malah orang yang mengumbar Hadis, tetapi tidak paham how to deal with Hadith-nya.

Penjelasan ayat-ayat Qur’an, itu memang tidak semuanya ada pada Hadis-Hadis. Tidak semua ayat-ayat Qur’an yang 30 juz, itu ada asbab nuzul-nya yang Hadis itu, misalnya. Sebagian saja ayat-ayat Qur’an yang ada asbab nuzul-nya. Kira-kira sepertiganya saja. Seperti ayat-ayat yang berbicara tentang Biologi, Astronomi, Geografi, dan semisalnya, itu justru penjelasannya ada di Sains.

Jadi, jangan memutlakkan, mengharuskan, dan mewajibkan penggunaan Hadis-Hadis untuk ayat-ayat Qur’an. Mesti dilihat dulu kasusnya atau masalah yang dibahas apa. Bagaimana mungkin diwajibkan menggunakan Hadis, wong penjelasannya di Hadis tidak ada? Seperti penciptaan unta, langit, gunung-gunung, dan bumi (QS.88:17-20). Bahkan penjelasan detailnya pun, Qur’an tidak ada. Justru penjelasannya kita membutuhkan Sains.

Imam Abu Hanifah (w. 148 H), Imam Malik (w. 179 H), dan Imam al-Syafi’i (w. 204 H), misalnya. Mereka tidak pernah menggunakan Hadis-Hadis Bukhari (w. 256 H) dan Muslim (w. 261 H). Kenapa? Karena kitab Hadis Bukhari dan Muslim, dan kitab-kitab Hadis yang termasuk kutub al-sittah, itu belum ada pada zaman Abu Hanifah, Malik, dan al-Syafi’i. Apakah ketiga imam mazhab tersebut lantas disalahkan? Tentu tidak. Penggunaan Hadis memang bukan keharusan. Tapi pilihan.

Soal tafsir Qur’an pun, menurut Ilmu Tafsir, tafsir terbaik itu adalah tafsir Qur’an bil Qur’an. Yakni ayat satu menjelaskan ayat lainnya. Alias tafsir ayat dengan ayat. Semacam menyusun puzzle (maudhu’iy) untuk mendapatkan gambaran utuhnya. Jadi si penafsir menentukan dulu tema yang akan dibahasnya. Kemudian dicarilah ayat-ayatnya. Kurang jelas, bisa dicari Hadis-Hadisnya. Kurang mantap, bisa dicari hasil-hasil penelitian Sains. Bisa juga dengan penelitian lapangan. Dan seterusnya, sampai akhirnya dibuatlah kesimpulan.

Tentu saja, sebuah ayat bisa menjadi penjelas ayat yang lain, itu tergantung kualitas dan kapabilitas penafsir. Alias tergantung akal dan keilmuan si penafsir sendiri. Si penafsir dengan ijtihadnya sendiri menentukan, misalnya: “Ooo, ayat ini adalah penjelas dari ayat itu. Ooo, ayat ini adalah tafsir ayat itu.” Jadi, bukan berarti lantas disimpulkan si penafsir mendapat wahyu teologis antah berantah.

Yang pasti, untuk membahas sebuah tema tertentu, harus dikumpulkan sebanyak mungkin ayat-ayat yang berkaitan. Seperti menyuzun puzzle tadi. Semakin lengkap bagian-bagiannya, puzzle tersebut akan semakin jelas gambarannya. Gambarnya akan menjadi utuh. Sebaliknya. Semakin sedikit bagian-bagian yang ditemukan dan disusun, gambar puzzle itu tidak akan terbentuk. Dengan kata lain, mengutip ayat-ayat Qur’an itu harus sekomprehensif mungkin. Tidak boleh sepotong-sepotong. Jangan satu ayat, bahkan tidak sampai satu ayat, ujug-ujug disimpulkan. Ini rawan terjadi kesalahan.

Adapun hasil tafsirnya, itu selalu relatif. Bisa benar dan bisa juga salah. Selama itu tafsir, pasti kebenarannya relatif. Mau sehebat apa pun si penafsir, tetap hasil tafsirnya itu relatif.  Meskipun Qur’an bil Qur’an. Tetap saja, kalau sudah berupa tafsir seseorang, hasil tafsirnya itu adalah relatif. Masih ada dugaan benar dan salahnya. Zhann memang. Yang pasti benar dan mutlak kebenarannya, itu ya Qur’an itu sendiri. Hanya saja si penafsir berusaha memahami Qur’an itu sesuai dengan konteks masalah dan kecenderungannya masing-masing.

Meskipun itu tafsir dengan Sains. Tetap saja relatif. Kebenaran Sains, itu memang relatif. Tetapi lumayan, karena kesimpulan Sains itu dasarnya adalah penelitian dan pengamatan langsung terhadap hukum-hukum alam yang berjalan ajeg (sunnatullah). Sifat teori ilmu pengetahuan, itu terus berkembang dan sangat memungkinkan selalu berubah ke masa depan. Selama penelitian Sains terus dilakukan, maka selama itu pula kebenaran Sains itu relatif. Penemuan terbaru menyempurnakan penemuan sebelumnya. Begitu terus. Dan itu tidak masalah. Wajar.

Barulah tingkatan tafsir setelah Qur’an bil Qur’an itu, adalah tafsir Qur’an bil riwayah. Yakni ayat dijelaskan dengan Hadis-Hadis (riwayat). Terkenal dengan istilah tafsir bil ma’tsur. Dengan demikian, tafsir dengan Hadis-Hadis, itu kedudukannya nomer dua setelah tafsir ayat dengan ayat. Saya kira para ulama tidak ada yang mempersoalkan bahwa memang tafsir terbaik itu adalah tafsir Qur’an bil Qur’an. Tafsir ayat bil ayat.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...