Senin, 06 Januari 2020

MAKNA MENTAATI RASUL


—Saiful Islam—

“Imam Syafi’i yang mengartikan al-Hikmah sebagai Sunnah Nabi SAW, itu tidak jelas dasarnya…”

Azami pun lantas memberikan argumentasinya yang terakhir. Pendapatnya yang keempat itu, sebagai berikut.

Dari contoh-contoh dan keterangan-keterangan tadi dapat dipastikan bahwa Allah menurunkan wahyu selain Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW, yaitu wahyu yang tidak terbaca. Allah berfirman:

QS. Al-Jumu’ah[62]: 2
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan MENGAJARKAN MEREKA AL-KITAB DAN AL-HIKMAH. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.

QS. Al-Nisa’[4]: 113
وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ وَرَحْمَتُهُ لَهَمَّتْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ أَنْ يُضِلُّوكَ وَمَا يُضِلُّونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ ۖ وَمَا يَضُرُّونَكَ مِنْ شَيْءٍ ۚ وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ ۚ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا
Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah segolongan dari mereka berkeinginan keras untuk menyesatkanmu. Tetapi mereka tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri. Dan mereka tidak dapat membahayakanmu sedikit pun. DAN (JUGA KARENA) ALLAH TELAH MENURUNKAN AL-KITAB DAN AL-HIKMAH KEPADAMU. Dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.

QS. Ali Imran[3]: 164
لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, DAN MENGAJARKAN KEPADA MEREKA AL-KITAB DAN AL-HIKMAH. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.

Dalam menafsiri kata al-Hikmah, Imam Syafi’i mengatakan, “Di negeri kami, kami mendengar dari orang yang alim tentang al-Qur’an, bahwa yang dimaksud dengan al-Hikmah itu adalah Sunnah Rasul SAW.” Dari segi lahiriyah saja, kata al-Qur’an dengan kata al-Hikmah tidak memiliki persamaan arti.

Azami mengutip dari buku Imam Syafi’i, Al-Risalah dan Al-Umm. Bahwa kata al-Qur’an dan al-Hikmah itu tidak dapat diartikan dengan satu arti yang sama dan tidak dapat dianggap sebagai pengulangan.

QS. Al-Ahzab[33]: 34
وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَىٰ فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا
Dan ingatlah APA YANG DIBACAKAN DI RUMAHMU DARI AYAT-AYAT ALLAH DAN AL-HIKMAH (SUNNAH NABIMU). Sesungguhnya Allah adalah Maha lembut lagi Maha Mengetahui.

Kemudian Azami melanjutkan: Apabila Allah telah menurunkan dua macam wahyu pada Nabi-Nya, maka Nabi SAW—sudah pasti—wajib menyampaikan dua macam wahyu itu kepada ummatnya. Allah berfirman:

QS. Al-Maidah[5]: 67
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ ۖ
Hai Rasul. Sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.

Dan Nabi SAW memang sudah melakukan hal itu, dan kita wajib mematuhinya dengan mengerjakan perintah-perintahnya dan menghindari larangan-larangannya. Karena Allah berfirman:

QS. Al-Hasyr[59]: 7
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.

QS. Al-Nisa[4]: 59
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya.

QS. Al-Nisa[4]: 80
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ ۖ
Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah.

*****

Baiklah. Berikut ini tanggapan saya.

Kesimpulan Azami: “Dapat dipastikan bahwa Allah menurunkan wahyu selain Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW, yaitu wahyu yang tidak terbaca.” Jelas tidak benar. Begitu juga pondasi argumennya, yaitu mengartikan al-Hikmah sebagai wahyu teologis independent semisal Qur’an, sangat lemah.

Agar tidak mengulang lagi, silakan baca tulisan sebelumnya: MENYELIDIK AL-HIKMAH, MELACAK AL-HIKMAH, MENELUSURI AL-HIKMAH, MENYOROT AL-HIKMAH, JEJAK AL-HIKMAH, MEMBONGKAR AL-HIKMAH, sampai SALAH KAPRAH AL-HIKMAH.

Sekalipun Azami mengutip pendapat Imam Syafi’i bahwa al-Hikmah adalah Sunnah Nabi SAW, menurut saya tetap saja lemah. Kenapa? Pendapat Imam Syafi’i di atas pun itu lemah. Tidak jelas sumbernya. Hanya dikatakan: “Di negeri kami, kami mendengar dari orang yang alim tentang al-Qur’an, bahwa yang dimaksud dengan al-Hikmah itu adalah Sunnah Rasul SAW.” Siapa orang yang dimaksud Imam Syafi’i itu? Tidak jelas! Apa dasarnya kok al-Hikmah diartikan Sunnah Nabi? Juga tidak jelas!!

Sebaliknya. Kalau Anda ingin tahu apa dasar argumen saya bahwa secara bahasa, memang tidak pernah ada al-Hikmah itu berarti Sunnah Nabi, silakan baca tulisan-tulisan sebelumnya tentang al-Hikmah di atas. Komplit.

Saya setuju, kalau al-Kitab dan al-Hikmah, itu tidak sama artinya. Berbeda. Saya juga setuju, bahwa memang al-Kitab dan al-Hikmah, itu dua kata yang memiliki arti masing-masing. Saya setuju, Allah tidak bermaksud pengulangan dengan menyebut al-Kitab dan al-Hikmah. Tetapi saya menggugat kalau disebutkan bahwa al-Hikmah adalah Sunnah Nabi yang dianggap wahyu teologis yang berdiri sendiri selain Qur’an. Saya menggugat kewahyuan Hadis. Hadis bukan wahyu teologis selain Qur’an.

Bagi saya, al-Kitab adalah teks ayat-ayat Qur’an itu sendiri. Yang sudah komplit 30 juz. Sudah selesai proses pewahyuannya, dan sudah sempurna. Sedangkan al-Hikmah, adalah kandungan makna dari teks ayat-ayat Qur’an itu sendiri. Dan al-Hikmah ini, akan terus berlangsung sepanjang zaman. Yakni inspirasi-inspirasi yang akan diperoleh orang-orang yang dengan niat baik mentadabburi Qur’an. Terutama Kaum Mukminin. Karena Qur’an itu memang bagi Kaum Mukminin secara spesial.

Azami dengan berdasar QS.33:34, lantas menyimpulkan bahwa yang dibacakan untuk istri-istri Nabi di rumah beliau adalah Qur’an dan Sunnah Nabi. Tentu ini keliru. Sangat janggal. Kenapa? Yang ada di rumah istri-istri Nabi itu cuma teks ayat-ayat Qur’an. Ketika Nabi masih hidup, memang tidak pernah ada teks sebagai pedoman kecuali teks Qur’an. Apalagi kalau dianggap al-Hikmah adalah teks Hadis. Salah total. Saat Nabi masih hidup, teks Hadis itu tidak ada! Teks-teks Hadis memang ditulis sangat belakangan. Ratusan tahun setelah wafatnya Nabi.

Pernyataan Azami: “Apabila Allah telah menurunkan dua macam wahyu pada Nabi-Nya, maka Nabi SAW—sudah pasti—wajib menyampaikan dua macam wahyu itu kepada ummatnya.” Jelas sekali kelirunya. Allah tidak pernah menurunkan dua macam wahyu. Dalam arti dua macam wahyu teologis. Wahyu teologis yang dibaca Jibril ke hati Nabi SAW, itu hanya satu macam. Yakni Qur’an!

Yang dimaksud QS.5:67 adalah Qur’an. Jadi Nabi diperintah untuk menyampaikan Qur’an dan kandungan maknanya, yakni al-Hikmah. Bukan Hadis.

Adapun QS.59:7, QS.4:59, QS.4:80 bahwa kita harus mentaati Rasul, tentu saja. Kita mentaati Rasul sebagaimana kita mentaati Allah. Karena memang mentaati Rasul, itu sama dengan mentaati Allah. Sebab, Nabi Muhammad adalah orang yang secara khusus dipilih oleh Allah sendiri. Tanpa Rasul, kita tidak akan pernah tahu Allah. Sudah sunnatullah-Nya memilih manusia tertentu untuk menyampaikan pesan-Nya.

Tetapi ingat: jangan pernah ujug-ujug menyamakan taat kepada Rasulullah dengan taat kepada Hadis. Juga jangan pernah mewajibkan taat kepada Rasulullah harus taat kepada Hadis sebagai jalan satu-satunya. Jangan pernah mempelesetkan taat kepada Rasulullah, itu dengan ‘potong kompas’ taat kepada Hadis-Hadis. Jangan pernah taat kepada Rasulullah, itu ‘di-shortcut’ langsung taat kepada Hadis-Hadis.

Taat kepada Rasulullah, itu mestinya adalah taat kepada Qur’an. Ini yang pertama. Ini yang pasti. Sebab semua ajaran Qur’an, itu pasti sudah dipraktekkan oleh Nabi. Kemudian dicontohkan atau diteladankan bagi kita. Kalau Qur’an memuji orang sabar, berharap hanya kepada Allah, ikhlas, mengutamakan orang lain, memberi, dan ajaran-ajaran mulia lainnya, itu Nabi Muhammad adalah orang yang pertama mempraktekannya. Mengamalkannya.

Hadis-Hadis, itu semuanya zhann (baru diduga dari Nabi). Sekali lagi. Selama itu Hadis-Hadis, maka harus melalui paling tidak dua uji atau kritik. Yaitu kritik sanad dan kritik matan. Ingat, kritik Hadis, itu tidak sama dengan kritik Nabi SAW. Dan ingat juga, mengkritik Hadis-Hadis, itu harus. Wajib. Jangan gampangan (seperti rem blong) mengatakan ‘qoola Rosuulullooh… qoola Rasuulullooh’. Rasulullah begini dan begitu. Padahal kita belum begitu paham dengan epistimologi Hadis: Bagaimana cara yang benar menyikapi Hadis-Hadis.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...