—Saiful Islam—
“Imam Syafi’i yang mengartikan
al-Hikmah sebagai Sunnah Nabi SAW, itu tidak jelas dasarnya…”
Azami pun lantas memberikan argumentasinya
yang terakhir. Pendapatnya yang keempat itu, sebagai berikut.
Dari contoh-contoh dan
keterangan-keterangan tadi dapat dipastikan bahwa Allah menurunkan wahyu selain
Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW, yaitu wahyu yang tidak terbaca. Allah
berfirman:
QS. Al-Jumu’ah[62]: 2
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي
الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ
وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي
ضَلَالٍ مُبِينٍ
Dia-lah yang mengutus kepada kaum
yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya
kepada mereka, mensucikan mereka dan MENGAJARKAN MEREKA AL-KITAB DAN AL-HIKMAH.
Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.
QS. Al-Nisa’[4]: 113
وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ
عَلَيْكَ وَرَحْمَتُهُ لَهَمَّتْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ أَنْ يُضِلُّوكَ وَمَا
يُضِلُّونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ ۖ وَمَا يَضُرُّونَكَ مِنْ شَيْءٍ ۚ وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ
وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ ۚ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا
Sekiranya bukan karena karunia
Allah dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah segolongan dari mereka berkeinginan
keras untuk menyesatkanmu. Tetapi mereka tidak menyesatkan melainkan dirinya
sendiri. Dan mereka tidak dapat membahayakanmu sedikit pun. DAN (JUGA KARENA)
ALLAH TELAH MENURUNKAN AL-KITAB DAN AL-HIKMAH KEPADAMU. Dan telah mengajarkan
kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar
atasmu.
QS. Ali Imran[3]: 164
لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو
عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ
وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
Sungguh Allah telah memberi karunia
kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang
Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat
Allah, membersihkan (jiwa) mereka, DAN MENGAJARKAN KEPADA MEREKA AL-KITAB DAN
AL-HIKMAH. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah
benar-benar dalam kesesatan yang nyata.
Dalam menafsiri kata al-Hikmah,
Imam Syafi’i mengatakan, “Di negeri kami, kami mendengar dari orang yang
alim tentang al-Qur’an, bahwa yang dimaksud dengan al-Hikmah itu adalah Sunnah
Rasul SAW.” Dari segi lahiriyah saja, kata al-Qur’an dengan kata al-Hikmah
tidak memiliki persamaan arti.
Azami mengutip dari buku Imam
Syafi’i, Al-Risalah dan Al-Umm. Bahwa kata al-Qur’an dan
al-Hikmah itu tidak dapat diartikan dengan satu arti yang sama dan tidak dapat
dianggap sebagai pengulangan.
QS. Al-Ahzab[33]: 34
وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَىٰ
فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا
Dan ingatlah APA YANG DIBACAKAN DI
RUMAHMU DARI AYAT-AYAT ALLAH DAN AL-HIKMAH (SUNNAH NABIMU). Sesungguhnya Allah
adalah Maha lembut lagi Maha Mengetahui.
Kemudian Azami melanjutkan: Apabila
Allah telah menurunkan dua macam wahyu pada Nabi-Nya, maka Nabi SAW—sudah
pasti—wajib menyampaikan dua macam wahyu itu kepada ummatnya. Allah berfirman:
QS. Al-Maidah[5]: 67
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ
بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ ۖ
Hai Rasul. Sampaikanlah apa yang
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.
Dan Nabi SAW memang sudah melakukan
hal itu, dan kita wajib mematuhinya dengan mengerjakan perintah-perintahnya dan
menghindari larangan-larangannya. Karena Allah berfirman:
QS. Al-Hasyr[59]: 7
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ
فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ
Apa yang diberikan Rasul kepadamu,
maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.
QS. Al-Nisa[4]: 59
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya.
QS. Al-Nisa[4]: 80
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ
فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ ۖ
Barangsiapa yang mentaati Rasul
itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah.
*****
Baiklah. Berikut ini tanggapan
saya.
Kesimpulan Azami: “Dapat dipastikan
bahwa Allah menurunkan wahyu selain Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW, yaitu
wahyu yang tidak terbaca.” Jelas tidak benar. Begitu juga pondasi argumennya,
yaitu mengartikan al-Hikmah sebagai wahyu teologis independent semisal
Qur’an, sangat lemah.
Agar tidak mengulang lagi, silakan
baca tulisan sebelumnya: MENYELIDIK AL-HIKMAH, MELACAK AL-HIKMAH, MENELUSURI
AL-HIKMAH, MENYOROT AL-HIKMAH, JEJAK AL-HIKMAH, MEMBONGKAR AL-HIKMAH, sampai
SALAH KAPRAH AL-HIKMAH.
Sekalipun Azami mengutip pendapat
Imam Syafi’i bahwa al-Hikmah adalah Sunnah Nabi SAW, menurut saya tetap saja
lemah. Kenapa? Pendapat Imam Syafi’i di atas pun itu lemah. Tidak jelas
sumbernya. Hanya dikatakan: “Di negeri kami, kami mendengar dari orang yang
alim tentang al-Qur’an, bahwa yang dimaksud dengan al-Hikmah itu adalah Sunnah
Rasul SAW.” Siapa orang yang dimaksud Imam Syafi’i itu? Tidak jelas! Apa dasarnya
kok al-Hikmah diartikan Sunnah Nabi? Juga tidak jelas!!
Sebaliknya. Kalau Anda ingin tahu
apa dasar argumen saya bahwa secara bahasa, memang tidak pernah ada al-Hikmah
itu berarti Sunnah Nabi, silakan baca tulisan-tulisan sebelumnya tentang
al-Hikmah di atas. Komplit.
Saya setuju, kalau al-Kitab dan
al-Hikmah, itu tidak sama artinya. Berbeda. Saya juga setuju, bahwa memang
al-Kitab dan al-Hikmah, itu dua kata yang memiliki arti masing-masing. Saya setuju,
Allah tidak bermaksud pengulangan dengan menyebut al-Kitab dan al-Hikmah. Tetapi
saya menggugat kalau disebutkan bahwa al-Hikmah adalah Sunnah Nabi yang
dianggap wahyu teologis yang berdiri sendiri selain Qur’an. Saya menggugat
kewahyuan Hadis. Hadis bukan wahyu teologis selain Qur’an.
Bagi saya, al-Kitab adalah teks
ayat-ayat Qur’an itu sendiri. Yang sudah komplit 30 juz. Sudah selesai proses
pewahyuannya, dan sudah sempurna. Sedangkan al-Hikmah, adalah kandungan makna
dari teks ayat-ayat Qur’an itu sendiri. Dan al-Hikmah ini, akan terus
berlangsung sepanjang zaman. Yakni inspirasi-inspirasi yang akan diperoleh
orang-orang yang dengan niat baik mentadabburi Qur’an. Terutama Kaum Mukminin. Karena
Qur’an itu memang bagi Kaum Mukminin secara spesial.
Azami dengan berdasar QS.33:34,
lantas menyimpulkan bahwa yang dibacakan untuk istri-istri Nabi di rumah beliau
adalah Qur’an dan Sunnah Nabi. Tentu ini keliru. Sangat janggal. Kenapa? Yang ada
di rumah istri-istri Nabi itu cuma teks ayat-ayat Qur’an. Ketika Nabi masih
hidup, memang tidak pernah ada teks sebagai pedoman kecuali teks Qur’an. Apalagi
kalau dianggap al-Hikmah adalah teks Hadis. Salah total. Saat Nabi masih hidup,
teks Hadis itu tidak ada! Teks-teks Hadis memang ditulis sangat belakangan. Ratusan
tahun setelah wafatnya Nabi.
Pernyataan Azami: “Apabila Allah
telah menurunkan dua macam wahyu pada Nabi-Nya, maka Nabi SAW—sudah pasti—wajib
menyampaikan dua macam wahyu itu kepada ummatnya.” Jelas sekali kelirunya.
Allah tidak pernah menurunkan dua macam wahyu. Dalam arti dua macam wahyu
teologis. Wahyu teologis yang dibaca Jibril ke hati Nabi SAW, itu hanya satu
macam. Yakni Qur’an!
Yang dimaksud QS.5:67 adalah Qur’an.
Jadi Nabi diperintah untuk menyampaikan Qur’an dan kandungan maknanya, yakni
al-Hikmah. Bukan Hadis.
Adapun QS.59:7, QS.4:59, QS.4:80
bahwa kita harus mentaati Rasul, tentu saja. Kita mentaati Rasul sebagaimana
kita mentaati Allah. Karena memang mentaati Rasul, itu sama dengan mentaati
Allah. Sebab, Nabi Muhammad adalah orang yang secara khusus dipilih oleh Allah
sendiri. Tanpa Rasul, kita tidak akan pernah tahu Allah. Sudah sunnatullah-Nya
memilih manusia tertentu untuk menyampaikan pesan-Nya.
Tetapi ingat: jangan pernah ujug-ujug
menyamakan taat kepada Rasulullah dengan taat kepada Hadis. Juga jangan pernah
mewajibkan taat kepada Rasulullah harus taat kepada Hadis sebagai jalan
satu-satunya. Jangan pernah mempelesetkan taat kepada Rasulullah, itu dengan ‘potong
kompas’ taat kepada Hadis-Hadis. Jangan pernah taat kepada Rasulullah, itu ‘di-shortcut’
langsung taat kepada Hadis-Hadis.
Taat kepada Rasulullah, itu
mestinya adalah taat kepada Qur’an. Ini yang pertama. Ini yang pasti. Sebab
semua ajaran Qur’an, itu pasti sudah dipraktekkan oleh Nabi. Kemudian
dicontohkan atau diteladankan bagi kita. Kalau Qur’an memuji orang sabar, berharap
hanya kepada Allah, ikhlas, mengutamakan orang lain, memberi, dan ajaran-ajaran
mulia lainnya, itu Nabi Muhammad adalah orang yang pertama mempraktekannya. Mengamalkannya.
Hadis-Hadis, itu semuanya zhann
(baru diduga dari Nabi). Sekali lagi. Selama itu Hadis-Hadis, maka harus
melalui paling tidak dua uji atau kritik. Yaitu kritik sanad dan kritik matan. Ingat,
kritik Hadis, itu tidak sama dengan kritik Nabi SAW. Dan ingat juga, mengkritik
Hadis-Hadis, itu harus. Wajib. Jangan gampangan (seperti rem blong) mengatakan ‘qoola
Rosuulullooh… qoola Rasuulullooh’. Rasulullah begini dan begitu. Padahal
kita belum begitu paham dengan epistimologi Hadis: Bagaimana cara yang benar
menyikapi Hadis-Hadis.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar