Selasa, 07 Januari 2020

BEDA SUNNAH & HADIS


—Saiful Islam—

“Tidak masuk akal, orang yang hidup tidak sezaman dengan Nabi, tapi mengaku salatnya telah pasti persis seperti Nabi…”

Sunnah Nabi dengan Hadis, sejatinya adalah dua hal yang tidak sama. Sunnah dan Hadis adalah dua substansi yang berbeda. Sunnah adalah ucapan dan perbuatan Nabi ketika beliau masih hidup. Sedangkan Hadis adalah berita tentang Nabi yang ditulis sangat belakangan. Yakni, ratusan tahun setelah wafatnya Nabi. Maka sejatinya, kalau orang sekarang mengatakan Sunnah Nabi dan ternyata yang dikutip adalah Hadis, itu sebenarnya tidak benar-benar mewakili Sunnah beliau.

Menurut Sejarah, kodifikasi Hadis itu baru dilakukan ketika masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (w. 101 H/ 720 M). Waktu itu, ia memerintahkan kepada gubernur Madinah yang bernama ibnu Hazm (w. 117 H/ 735 M) untuk membukukan Hadis secara resmi. Perintah itu juga ditujukan kepada al-Zuhri (w. 124 H/ 742 M), seorang ulama besar di Hijaz dan Syam. Namun yang jelas, tulisan kedua penulis Hadis, itu tidak ada yang sampai kepada kita sekarang.

Ketika Nabi Muhammad masih hidup, penulisan Hadis itu malah dilarang. Tidak diperkenankan siapa pun menulis apa yang beliau ucapkan dan lakukan. Kecuali Qur’an. Tampaknya dikhawatirkan akan terjadi campur aduk selama proses pewahyuan dan penulisan Qur’an. Begitulah memang informasi dari sebuah Hadis terkenal: “Jangan kalian menulis apa pun dariku selain Qur’an. Barangsiapa terlanjur menulisnya maka ia harus menghapusnya.” Jadi kesimpulannya, tidak pernah ada berita tentang Nabi (Hadis) selama beliau masih hidup.

Wajar. Sebab para Sahabat pun pasti tidak membutuhkan berita tentang Nabi (Hadis). Karena memang Nabi masih hidup bersama mereka. Apa yang beliau lakukan, langsung dicontoh dan diteladani oleh para Sahabatnya. Jika tidak paham atau kurang paham, para Sahabat langsung bertanya kepada Nabi. Yang diperoleh oleh para Sahabat langsung dari Nabi, itulah Sunnah Nabi. Bukan Hadis Nabi. Pada periode ini, Sunnah Nabi itu pasti otentitasnya.

Jadi, pada zaman Nabi dan para Sahabat, itu tidak ada Hadis yang tertulis. Terutama yang terkait dengan praktek ibadah secara aktual. Atau amalan-amalan yang terkait dengan syariat. Semuanya bisa langsung ditiru dan ditanyakan kepada Rasulullah SAW. Kecuali, manuskrip surat-surat Nabi kepada beberapa kepala negara. Misalnya cek di YouTube: Pictures of Some Original Letters of Prophet Muhammad (PBUH).

Terus terang saja. Masih ada pemikir Hadis yang tidak sependapat dengan kesimpulan di atas. Disebutkan bahwa sudah ada penulisan Hadis ketika Nabi Muhammad masih hidup. OK. Bagi saya, kedua kubu boleh berdebat. Karena dua-duanya sama-sama berdalil dengan riwayat yang memang sama-sama zhann. Saya tetap konsisten, bahwa semua rujukan doktrin Islam selain Qur’an, itu memang zhann (hanya dugaan).

Tetapi bagi saya, cukup mudah. Silakan tunjukan manuskrip Hadis zaman Nabi! Kalau memang ada, mungkin akan lain cerita diskusi ini. Atau mungkin sudah langsung ‘game over’. Tetapi kalau memang tidak ada, saya lebih mempercayai riwayat bahwa Hadis tidak ditulis di zaman Nabi masih hidup. Karena larangan itu. Asal dari sesuatu, itu tidak ada. Sampai ada bukti yang menunjukkan keberadaannya. Dan sampai sekarang, saya tidak menjumpai ada manuskrip Hadis zaman Nabi.

Merupakan sebuah fakta historis, bahwa buku himpunan Hadis paling tua, itu berjudul al-Muwatta’. Ya, karya Imam Malik yang wafat di Madinah tahun 179 H itu. Nabi wafat sekitar tahun 13 H. Bayangkan. Berarti ada selisih 166 (seratus enam puluh enam) tahun, antara penulisan berita dengan sumber Sejarah—Nabi SAW. Hadis-Hadis al-Muwatta’ ini, dan Hadis-Hadis berikutnya, bisa jadi adalah upaya untuk menelusuri Sunnah Nabi. Tetapi sudah bukan Sunnah itu sendiri lagi.

Tampaknya seperti Hadis, “Salatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku salat,” itu menunjukkan Sunnah yang hidup itu. Yakni praktek Nabi langsung yang diajarkan secara turun-temurun. Jadi para Sahabat meneladani salatnya Nabi secara langsung. Ribuan Sahabat, terutama yang tinggal di Madinah, itulah yang paling memungkinkan mendapat warisan praktek salat Nabi yang turun temurun itu. Generasi berikutnya meniru praktek salatnya para Sahabat. Terus begitu lintas generasi.

Meski begitu, jika ada orang tahun 2020 sekarang, yang memasti-mastikan salatnya telah seperti Rasulullah SAW, itu tidak sepenuhnya tepat. Karena yang ia lihat bukan Rasulullah. Tetapi Hadis. Sementara perintah Hadis Bukhari di atas (salatlah kalian seperti kalian melihat aku salat), itu salat seperti salatnya Rasulullah. Bukan seperti salatnya Hadis. Intinya, siapa pun yang salat berdasar Hadis (meski sahih riwayat Bukhari sekalipun), itu belum pasti salatnya telah seperti Rasulullah. Tidak masuk akal, orang yang hidup tidak sezaman dengan Nabi, tapi mengaku salatnya telah pasti persis seperti Nabi.

Makanya, Imam Malik (orang Madinah asli yang wafat wahun 179 H), itu lebih mengutamakan dan memilih praktek ibadah aktual orang-orang Madinah daripada Hadis-Hadis. Sangat kontras dengan Imam Syafi’i (orang Palestina yang wafat di Mesir tahun 204 H) yang lebih memilih dan mengutamakan Hadis-Hadis. Makanya, Imam Syafi’i, itu masyhur dengan julukan Naashir al-Sunnah. Menurut saya julukan itu tidak pas. Lebih tepatnya adalah Naashir al-Ahaadiits.

Maka, jangankan Hadis-Hadis itu yang jelas-jelas sekali bukan wahyu teologis lain selain Qur’an. Sunnah Nabi sendiri yang sudah pasti Sunnah beliau karena dikutip dalam Qur’an, itu bisa keliru. Dan langsung ditegur oleh Allah (QS.80: 1-12; QS.66:1-2). Artinya, tidak semua Sunnah Nabi itu bermuatan syariat. Yaitu, ketika Jibril ‘sedang offline’. Pada saat itu, kapasitas Nabi adalah sebagai manusia biasa. Dan dalam urusan-urusan duniawi, kita memang boleh berbeda dengan beliau.

Hadis-Hadis memang bisa jadi sebagai upaya untuk menelusuri Sunnah Nabi. Dan untuk sampai kepada Sunnah Nabi, itu paling tidak harus melalui dua kritik. Yakni kritik eksternal (sanad) dan kritik internal (matan). Dalam dua alat uji ini saja, terdapat banyak Hadis-Hadis yang tidak lolos. Yang lantas disebut Hadis lemah, bahkan Hadis palsu (hoax). Artinya, Sejarah yang menyebut bahwa pernah terjadi pemalsuan Hadis-Hadis, itu terbukti adanya.

Adapun ketika Hadis-Hadis itu lolos uji, maka masih harus dilihat muatannya. Apakah terkait syariat (lantas dikenal sebagai Sunnah Tasyri’iyyah), atau tidak. Namun yang sudah pasti, Hadis itu bukan wahyu teologis yang berdiri sendiri. Jangankan Hadisnya. Yang sudah pasti Sunnah beliau saja, itu bukan wahyu teologis mandiri selain Qur’an.

Asumsi berikut layak direnungkan: Kalau benar Hadis-Hadis itu sepenting Qur’an, pastinya Nabi akan menjaga Hadis-Hadis tersebut layaknya Qur’an. Yaitu dengan perintah untuk menjaga dengan menuliskannya serta mengawalnya langsung layaknya Qur’an. Tetapi di masyarakat sekarang, kita menyaksikan hal yang 180 derajat berbeda: memperlakukan Hadis-Hadis sampai tampak lebih penting dari Qur’an.

Padahal maksud Hadis itu untuk menjelaskan Sunnah. Sedangkan Sunnah dimaksudkan untuk menjelaskan Qur’an. Maka, sejatinya Hadis pun kalau dikutip, itu untuk menjelaskan Qur’an. Sudah otomatis, Hadis harus dan wajib tidak boleh bertentangan dengan Qur’an. Qur’an mengoreksi Hadis. Bukan malah kebalik, Hadis yang mau digunakan untuk mengoreksi Qur’an. Inilah salah satu kaidah yang dirumuskan oleh ulama dalam kritik redaksi Hadis.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...