—Saiful Islam—
“Tidak masuk akal, orang yang hidup
tidak sezaman dengan Nabi, tapi mengaku salatnya telah pasti persis seperti
Nabi…”
Sunnah Nabi dengan Hadis, sejatinya
adalah dua hal yang tidak sama. Sunnah dan Hadis adalah dua substansi yang
berbeda. Sunnah adalah ucapan dan perbuatan Nabi ketika beliau masih hidup.
Sedangkan Hadis adalah berita tentang Nabi yang ditulis sangat belakangan.
Yakni, ratusan tahun setelah wafatnya Nabi. Maka sejatinya, kalau orang
sekarang mengatakan Sunnah Nabi dan ternyata yang dikutip adalah Hadis, itu
sebenarnya tidak benar-benar mewakili Sunnah beliau.
Menurut Sejarah, kodifikasi Hadis
itu baru dilakukan ketika masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (w. 101 H/ 720 M).
Waktu itu, ia memerintahkan kepada gubernur Madinah yang bernama ibnu Hazm (w.
117 H/ 735 M) untuk membukukan Hadis secara resmi. Perintah itu juga ditujukan
kepada al-Zuhri (w. 124 H/ 742 M), seorang ulama besar di Hijaz dan Syam. Namun
yang jelas, tulisan kedua penulis Hadis, itu tidak ada yang sampai kepada kita
sekarang.
Ketika Nabi Muhammad masih hidup,
penulisan Hadis itu malah dilarang. Tidak diperkenankan siapa pun menulis apa
yang beliau ucapkan dan lakukan. Kecuali Qur’an. Tampaknya dikhawatirkan akan
terjadi campur aduk selama proses pewahyuan dan penulisan Qur’an. Begitulah
memang informasi dari sebuah Hadis terkenal: “Jangan kalian menulis apa pun
dariku selain Qur’an. Barangsiapa terlanjur menulisnya maka ia harus menghapusnya.”
Jadi kesimpulannya, tidak pernah ada berita tentang Nabi (Hadis) selama beliau
masih hidup.
Wajar. Sebab para Sahabat pun pasti
tidak membutuhkan berita tentang Nabi (Hadis). Karena memang Nabi masih hidup
bersama mereka. Apa yang beliau lakukan, langsung dicontoh dan diteladani oleh
para Sahabatnya. Jika tidak paham atau kurang paham, para Sahabat langsung
bertanya kepada Nabi. Yang diperoleh oleh para Sahabat langsung dari Nabi,
itulah Sunnah Nabi. Bukan Hadis Nabi. Pada periode ini, Sunnah Nabi itu pasti
otentitasnya.
Jadi, pada zaman Nabi dan para
Sahabat, itu tidak ada Hadis yang tertulis. Terutama yang terkait dengan
praktek ibadah secara aktual. Atau amalan-amalan yang terkait dengan syariat. Semuanya
bisa langsung ditiru dan ditanyakan kepada Rasulullah SAW. Kecuali, manuskrip surat-surat
Nabi kepada beberapa kepala negara. Misalnya cek di YouTube: Pictures of
Some Original Letters of Prophet Muhammad (PBUH).
Terus terang saja. Masih ada
pemikir Hadis yang tidak sependapat dengan kesimpulan di atas. Disebutkan bahwa
sudah ada penulisan Hadis ketika Nabi Muhammad masih hidup. OK. Bagi saya,
kedua kubu boleh berdebat. Karena dua-duanya sama-sama berdalil dengan riwayat
yang memang sama-sama zhann. Saya tetap konsisten, bahwa semua rujukan
doktrin Islam selain Qur’an, itu memang zhann (hanya dugaan).
Tetapi bagi saya, cukup mudah.
Silakan tunjukan manuskrip Hadis zaman Nabi! Kalau memang ada, mungkin akan
lain cerita diskusi ini. Atau mungkin sudah langsung ‘game over’. Tetapi
kalau memang tidak ada, saya lebih mempercayai riwayat bahwa Hadis tidak
ditulis di zaman Nabi masih hidup. Karena larangan itu. Asal dari sesuatu, itu
tidak ada. Sampai ada bukti yang menunjukkan keberadaannya. Dan sampai
sekarang, saya tidak menjumpai ada manuskrip Hadis zaman Nabi.
Merupakan sebuah fakta historis,
bahwa buku himpunan Hadis paling tua, itu berjudul al-Muwatta’. Ya,
karya Imam Malik yang wafat di Madinah tahun 179 H itu. Nabi wafat sekitar
tahun 13 H. Bayangkan. Berarti ada selisih 166 (seratus enam puluh enam) tahun,
antara penulisan berita dengan sumber Sejarah—Nabi SAW. Hadis-Hadis al-Muwatta’
ini, dan Hadis-Hadis berikutnya, bisa jadi adalah upaya untuk menelusuri Sunnah
Nabi. Tetapi sudah bukan Sunnah itu sendiri lagi.
Tampaknya seperti Hadis, “Salatlah
kalian sebagaimana kalian melihat aku salat,” itu menunjukkan Sunnah yang
hidup itu. Yakni praktek Nabi langsung yang diajarkan secara turun-temurun.
Jadi para Sahabat meneladani salatnya Nabi secara langsung. Ribuan Sahabat,
terutama yang tinggal di Madinah, itulah yang paling memungkinkan mendapat
warisan praktek salat Nabi yang turun temurun itu. Generasi berikutnya meniru
praktek salatnya para Sahabat. Terus begitu lintas generasi.
Meski begitu, jika ada orang tahun
2020 sekarang, yang memasti-mastikan salatnya telah seperti Rasulullah SAW, itu
tidak sepenuhnya tepat. Karena yang ia lihat bukan Rasulullah. Tetapi Hadis. Sementara
perintah Hadis Bukhari di atas (salatlah kalian seperti kalian melihat aku
salat), itu salat seperti salatnya Rasulullah. Bukan seperti salatnya Hadis.
Intinya, siapa pun yang salat berdasar Hadis (meski sahih riwayat Bukhari
sekalipun), itu belum pasti salatnya telah seperti Rasulullah. Tidak masuk akal,
orang yang hidup tidak sezaman dengan Nabi, tapi mengaku salatnya telah pasti persis
seperti Nabi.
Makanya, Imam Malik (orang Madinah
asli yang wafat wahun 179 H), itu lebih mengutamakan dan memilih praktek ibadah
aktual orang-orang Madinah daripada Hadis-Hadis. Sangat kontras dengan Imam
Syafi’i (orang Palestina yang wafat di Mesir tahun 204 H) yang lebih memilih
dan mengutamakan Hadis-Hadis. Makanya, Imam Syafi’i, itu masyhur dengan julukan
Naashir al-Sunnah. Menurut saya julukan itu tidak pas. Lebih tepatnya
adalah Naashir al-Ahaadiits.
Maka, jangankan Hadis-Hadis itu
yang jelas-jelas sekali bukan wahyu teologis lain selain Qur’an. Sunnah Nabi
sendiri yang sudah pasti Sunnah beliau karena dikutip dalam Qur’an, itu bisa
keliru. Dan langsung ditegur oleh Allah (QS.80: 1-12; QS.66:1-2). Artinya,
tidak semua Sunnah Nabi itu bermuatan syariat. Yaitu, ketika Jibril ‘sedang offline’.
Pada saat itu, kapasitas Nabi adalah sebagai manusia biasa. Dan dalam
urusan-urusan duniawi, kita memang boleh berbeda dengan beliau.
Hadis-Hadis memang bisa jadi
sebagai upaya untuk menelusuri Sunnah Nabi. Dan untuk sampai kepada Sunnah
Nabi, itu paling tidak harus melalui dua kritik. Yakni kritik eksternal (sanad)
dan kritik internal (matan). Dalam dua alat uji ini saja, terdapat
banyak Hadis-Hadis yang tidak lolos. Yang lantas disebut Hadis lemah, bahkan
Hadis palsu (hoax). Artinya, Sejarah yang menyebut bahwa pernah terjadi
pemalsuan Hadis-Hadis, itu terbukti adanya.
Adapun ketika Hadis-Hadis itu lolos
uji, maka masih harus dilihat muatannya. Apakah terkait syariat (lantas dikenal
sebagai Sunnah Tasyri’iyyah), atau tidak. Namun yang sudah pasti, Hadis
itu bukan wahyu teologis yang berdiri sendiri. Jangankan Hadisnya. Yang sudah
pasti Sunnah beliau saja, itu bukan wahyu teologis mandiri selain Qur’an.
Asumsi berikut layak direnungkan:
Kalau benar Hadis-Hadis itu sepenting Qur’an, pastinya Nabi akan menjaga
Hadis-Hadis tersebut layaknya Qur’an. Yaitu dengan perintah untuk menjaga
dengan menuliskannya serta mengawalnya langsung layaknya Qur’an. Tetapi di
masyarakat sekarang, kita menyaksikan hal yang 180 derajat berbeda:
memperlakukan Hadis-Hadis sampai tampak lebih penting dari Qur’an.
Padahal maksud Hadis itu untuk menjelaskan
Sunnah. Sedangkan Sunnah dimaksudkan untuk menjelaskan Qur’an. Maka, sejatinya
Hadis pun kalau dikutip, itu untuk menjelaskan Qur’an. Sudah otomatis, Hadis harus
dan wajib tidak boleh bertentangan dengan Qur’an. Qur’an mengoreksi Hadis.
Bukan malah kebalik, Hadis yang mau digunakan untuk mengoreksi Qur’an. Inilah
salah satu kaidah yang dirumuskan oleh ulama dalam kritik redaksi Hadis.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar