Sabtu, 13 Juni 2020

MUTAGHONNIY BUKAN QORI’


—Saiful Islam*—

“Kalau tidak ada proses pemahaman atau memahamkan umat, itu tidak layak disebut qori’…”

“Mas. Bagaimana dengan istilah Qoori’ itu?”

Memang di Indonesia, istilah qori’ itu sering kita dengar. Biasanya kalau ada acara warga di kampung-kampung, ada seseorang yang disebut qori’ itu. Biasanya qori’ itu orang yang membaca ayat-ayat Qur’an dengan nyaring, meliuk-liuk, dan seterusnya yang sangat terkait dengan nada. Jujur, saya termasuk yang suka mendengarnya. Bahkan, waktu KKN (Kuliah Kerja Nyata) dulu saya juga pernah tampil di depan umum. Hehe.

OK. Menurut saya, Qur’an dibaca dengan cara seperti itu, itu boleh-boleh saja. Itu bagian dari al-asyyaa’ (budaya) yang asalnya memang boleh-boleh saja. Kaidah Ushul Fikih-nya begini: “Asal dari budaya, itu boleh. Sampai ada dalil yang melarang.” Budaya apa pun itu memang boleh. Asalkan tidak bertentangan dengan dalil-dalil Islam yang kokoh. Ingat, dalil itu bertingkat. Pertama, Qur’an. Kedua Hadis sahih. Terus, Ijma’, dan Qiyas (analogi). Qur’an menjadi penguji dari semua dalil itu.

Catatan pentingnya adalah jangan sampai pembacaan Qur’an yang indah, itu memalingkan kita dari fungsi utama Qur’an: sebagai petunjuk! Jangan sampai di antara kita misalnya ada yang bertitel qori’, juga panitia, itu malah memalingkan dan menjauhkan umat dari fungsi pertama dan utama Qur’an yang sebagai petunjuk itu. Justru sebaliknya, Qur’an dibaca indah itu, supaya umat semakin dekat dengan fungsi utama Qur’an itu. Jadi qori’ dan panitia, mestinya mendekatkan umat. Bukan memalingkan dan apalagi menjauhkan.

QS. Al-Baqarah[2]: 2 & 185
ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya. MENJADI PETUNJUK bagi mereka yang bertaqwa.

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an SEBAGAI PETUNJUK bagi manusia dan PENJELASAN-PENJELASAN MENGENAI PETUNJUK ITU serta PEMBEDA (antara yang benar dan yang salah).

Qoori’ itu adalah subjek (ism faa’il) dari qoro’a. Jadi kalau qoro’a, itu kata kerjanya (fi’Iverb). Maka qoori’ itu adalah nama untuk orang yang melakukannya. Pelakunya. Betuk plural (jamak) qoori’ adalah qurroo’. Yang secara sekilas berarti pembaca.

Di depan sudah diceritakan panjang lebar, bahwa makna membaca yang menggunakan kata qoro’a, itu selalu terkait dengan proses pemahaman. Tidak cukup hanya dibaca saja. Tak terkecuali untuk ayat di bawah ini. Membacakan kepada masyarakat atau umat, itu berarti ada upaya membuat mereka paham. Bukan hanya menghibur mereka dengan indahnya suara dan nada.

QS.Al-Isra’[17]: 106
وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَىٰ مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا
Dan Al Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur AGAR KAMU MEMBACAKANNYA PERLAHAN-LAHAN KEPADA MANUSIA. Dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.

Yang membaca paham. Yang mendengar juga paham. Barulah dari kepahaman, baik yang membaca dan yang dibacakan (pendengar), itu buahnya adalah ketakwaan. Nurut kepada informasi Qur’an. Jika isinya larangan, maka tidak dilakukan. Jika isinya perintah atau anjuran, maka dilakukan.

QS. Al-Zumar[39]: 28
قُرْآنًا عَرَبِيًّا غَيْرَ ذِي عِوَجٍ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
(Ialah) AL QUR’AN DALAM BAHASA ARAB yang tidak ada kebengkokan (di dalamnya) SUPAYA MEREKA BERTAKWA.

Lebih tepatnya, istilah qori’ itu adalah orang yang mengkaji Al Qur’an. Benar-benar ayat-ayat Qur’an yang dibahas, dibicarakan, dipikirkan, direnungkan, diperhatikan, didiskusikan, dimusyawarahkan, ditinjau dari beberapa sisinya, dari ilmu-ilmu bantunya, dan seterusnya. Sampai diamalkan alias dipraktikkan dalam kehidupan nyata sehari-hari.

QS. Al-Qomar[54]: 17
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ
Sesungguhnya telah Kami MUDAHKAN Al-Qur’an untuk PELAJARAN. Adakah orang yang mengambil pelajaran?

Kalau tidak ada proses pemahaman atau memahamkan umat, itu tidak layak disebut qori’. Tidak sesuai. Menurut saya, lebih tepatnya cukup disebut pelantun ayat Qur’an. Kalau mau Arab-nya, lebih pas disebut mutaghonniy. Alias orang yang hanya melagukan ayat-ayat Qur’an. Melagukan saja tanpa paham arti, makna, dan apalagi maksud dan hikmah-hikmahnya.

Maka kalau mau naik tingkat dari mutaghonniy (pelagu ayat Qur’an) menjadi qoori’, harus ada upaya untuk memahami. Si pembaca Qur’an mesti memahami ayat yang akan dibacanya. Atau paling tidak mengerti maknanya. Tidak cukup hanya melagukan itu. Ia juga harus memahamkan audiens. Atau paling tidak menunjukkan artinya kepada mereka. Misalnya paling tidak membacakan terjemahannya.

Apalagi kalau audiensnya orang-orang kampung. Mayoritas ‘abangan’ yang sangat bisa jadi awam dan masih belum dekat kepada Al-Qur’aan al-Kariim ini. Mereka harus dipahamkan. Dicerdaskan. Jangan hanya dihibur dengan lengkingan suara, merdu, cengkok, panjang dan pendeknya nada. Kalau perlu terjemahannya sesuai dengan bahasa mereka saja. Seperti terjemah Jawa, Madura, Sunda, Batak, dan seterusnya.

Seorang kawan pernah mengatakan istilah yang menurut saya juga pas: Tahsiin al-Showt. Alias memperbagus atau memperindah suara. Jadi urusannya hanya dengan suara, bunyi, nada, cengkok, panjang pendek, lagu, dan semisalnya. Maka pelantun Qur’an yang hanya memperbagus atau memperindah suara, itu bisa juga disebut Muhassin al-Showt. Atau supaya enak, ringkas dan cepat populer sebut saja Al-muhassin. Bukan qoori’. Bukan juga qurroo’.

Sebab orang yang hanya memperbagus dan memperindah suara, itu baru kulit. Baru asesoris. Belum inti dan substansi dari Qur’an itu sendiri. Untuk sampai kepada petunjuk, itu tidak cukup dan tidak bisa hanya sibuk pada kulit dan asesorisnya saja. Seseorang harus masuk, menyelam, dan memahami makna-makna pesan cinta Tuhan itu.

Malah kawan yang lain ada yang menamai orang yang hanya memperbagus dan memperindah suara ketika membaca Qur’an, itu dengan istilah showtan. Yang diplesetkan dengan kata dalam Bahasa Jawa: Suitan.

Walloohu a’lam bishowaab....

*Penulis buku ‘Ayat-Ayat Kemenangan’, Beraksi ala Pemenang, dll

KRITIK ILMU QIRA’AH


—Saiful Islam*—

“Ada Bahasa Jawa lembut bak musik keroncong, seperti Jawa Solo. Ada juga Jawa tegas bak musik rock, seperti Jawa Surabaya…”

Satu dari beberapa bab Ulumul Qur’an, itu membahas tentang Ilmu Qira’ah. Banyak pakar memberi definisi tentang Qira’ah itu. Dari semua definisi yang beragam itu, intinya Qira’ah adalah cara membaca ayat-ayat Qur’an yang berbeda-beda.

Karenanya lantas melahirkan istilah yang cukup terkenal—Qira’ah sab’ah. Yaitu sebuah cara membaca Qur’an yang disandarkan kepada tujuh imam qira’ah. Qira’ah sab’ah ini mulai terkenal sejak abad 2 Hijrah. Tepatnya pada masa pemerintahan Al-Makmun (w. 833 M)—khalifah ke-7 Bani Abbasiyah.

Ketujuh imam qira’ah tersebut, yaitu Nafi’ bin Abd Rahman (w. 169 H) di Madinah, Ashim bin Abi Najud Al-Asady (w. 127 H) di Kufah, Hamzah bin Habib Al-Taymy (w. 158 H) di Kufah, Ibnu Amir Al-Yashhuby (w. 118 H) di Syam, Abdullah Ibnu Katsir (w. 130 H) di Mekah, Abu Amer Ibnul Ala (w. 154 H) di Basrah, dan Abu Ali al-Kisai (w. 189 H) di Kufah.

Ada juga istilah qira’ah ‘asyrah. Alias bacaan Qur’an yang disandarkan kepada sepuluh imam qira’ah. Yakni tujuh imam qira’ah di atas, ditambah tiga imam lagi. Yaitu Abu Ja’far Yazid Ibnul Qa’qa al-Qari (w. 130 H) di Madinah, Abu Muhammad Ya’qub bin Ishaq Al-Hadhary (w. 205 H) di Bashrah, dan Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam Al-A’masyy (w. 229 H).

Bahkan sampai qira’ah arba’a ‘asyarah. Yakni cara membaca Qur’an yang disandarkan kepada 14 imam qira’ah. Yaitu 10 orang qira’ah di atas, ditambah lagi 4 orang imam qira’ah. Yaitu Hasan al-Bashry (w. 110 H) di Basrah, Ibnu Muhaish (w. 123 H), Yahya Ibnul Mubarak al-Yazidy (w. 202 H) dari Baghdad, dan Abu al-Faraj Ibnu al-Ahmad al-Syambudzy (w. 388 H) juga dari Baghdad.

Meski begitu, Ilmu Qira’ah itu sendiri, belum muncul sebelum abad 4 H. Yakni sekitar 300-an tahun setelah wafatnya Nabi. Tokoh pertama kali yang menulis Ilmu Qira’ah adalah Abu Bakar Ahmad bin Mujahid. Lalu dilanjutkan oleh Abu ‘Ubayd al-Qasim bin Salam, Abu Hatim al-Sijistani dan Abu Ja’far al-Thabary serta Ismail al-Qadhi.

Kitab yang paling baik dalam qira’ah sab’ah adalah Al-Taysir fi al-Qira’at al-Sab’ karya imam Abu Amer al-Dani. Sedang dalam qira’ah ‘asyrah adalah Al-Misbah al-Zhahir fi Qira’at ‘Asyir Zhawahir yang ditulis oleh Abd Kirom Mubarak bin Hasan al-Syahraqarzy.

Perbedaan cara membaca Qur’an, itu konon disandarkan kepada Hadis riwayat Bukhari, Muslim, Nasa’i, Tirmidzi, Abu Dawud, dan Malik dari Umar bin Khattab. Begini bunyi Hadisnya: “Rasulullah SAW bersabda bahwa sesungguhnya Al Qur’an itu diturunkan dengan tujuh macam huruf. Maka bacalah dengan cara yang mudah dari cara-cara itu.”

Atau Hadis riwayat Bukhari ini: “Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, Malaikat Jibril telah membacakan Al Qur’an kepadaku dengan satu cara membaca (harf). Tetapi aku selalu minta dia menambah cara bacaannya. Dan ia pun selalu menambah bacaan kepadaku sampai berjumlah tujuh ahruf.

Ada yang mengelompokkan perbedaan bacaan tersebut menjadi qira’ah sahih, qira’ah syadz (tidak sahih), qira’ah palsu, qira’ah mudarraj (kata yang ditambahkan sebagai tafsiran). Ada juga yang berdasarkan perawinya, membagi qira’ah menjadi enam: mutawatirah, masyhurah, ahad, syadzdzah, mawudhu’ah, dan qiraat mudraj.

Pertama. Contoh qira’ah yang dianggap sahih, itu misalnya QS.55:76 dan QS.9:128.

QS. Al-Rahman[55]: 76
مُتَّكِئِينَ عَلَىٰ رَفْرَفٍ خُضْرٍ وَعَبْقَرِيٍّ حِسَانٍ
Kata ‘rofrof’ pada ayat di atas, ada yang membacanya dengan ‘rofaarif’. Dan kata ‘’abqoriy’ ada yang membacanya dengan ‘’ibaaqoriy’.

QS. Al-Tawbah[9]: 128
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Kata ‘anfusikum’ pada ayat di atas, ada yang membacanya dengan ‘anfasikum’.

Kedua. Contoh qira’ah yang dianggap syadz atau menyimpang, yaitu seperti QS.10:92 dan QS.2:4 sebagai berikut.

QS. Yunus[10]: 92
فَالْيَوْمَ نُنَجِّيكَ بِبَدَنِكَ لِتَكُونَ لِمَنْ خَلْفَكَ آيَةً ۚ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ عَنْ آيَاتِنَا لَغَافِلُونَ
Kata ‘nunajiika’ pada ayat di atas, ada yang membacanya dengan ‘nunajjiyuka’ atau ‘nunajjiyaka’. Dan kata ‘kholfaka’, ada yang membacanya ‘kholafaka’.

QS. Al-Fatihah[1]: 4
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
Kata ‘maalik’ pada ayat di atas, ada yang membacanya ‘malaka’. Kabarnya mengganti ‘maalik’ dengan bentuk kata kerjanya (fi’il—malaka), itu berasal dari bacaan Ibnu Sumaifai.

Ketiga. Contoh qira’ah mawdhu’ alias bacaan palsu, itu seperti pada QS.9:3 berikut ini.

QS. Al-Tawbah[9]: 3
وَأَذَانٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الْأَكْبَرِ أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ ۙ وَرَسُولُهُ ۚ فَإِنْ تُبْتُمْ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ غَيْرُ مُعْجِزِي اللَّهِ ۗ وَبَشِّرِ الَّذِينَ كَفَرُوا بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Kata ‘wa rosuuluhu’ pada ayat di atas, ada yang membacanya dengan ‘wa rosuulihi’.

Keempat. Contoh qira’ah mudarraj atau sisipan atau sebuah kata yang ditambahkan oleh pembacanya sendiri. Seperti yang terjadi pada QS.2:198 berikut ini.

QS. Al-Baqarah[2]: 198
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ ۚ فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ ۖ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ
Menurut qira’ah yang disandarkan kepada Sa’ad bin Abi Waqqas, ada tambahan kata ‘fii mawaasim’ setelah kata ‘min robbikum’. Sehingga ayat di atas dibaca ‘laysa ‘alaykum junaahun an tabtaghuu fadhlan min robbikum fii mawaasim….

Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait makna sab’atu ahruf itu sendiri. Jumhur ulama mengatakan, qira’ah sab’ah, itu tidak sama dengan sab’atu ahruf yang berarti tujuh bahasa (dialek) dari suku-suku bangsa Arab. Faktanya memang, qira’ah itu tidak hanya tujuh. Tetapi empat belas.

Kalau kita merujuk Qur’an, tidak pernah ada keterangan bahwa Qur’an itu dibaca dengan lebih dari satu cara. Tidak ada keterangan bahwa Qur’an boleh dibaca dengan tujuh cara, sepuluh atau empat belas cara. Apalagi kalau sampai cara membacanya itu mengubah makna.

Menurut sejarah—yang itu masih debateable—macam-macam cara baca itu baru muncul abad ke-2 H semua. Hadisnya pun sama, abad ke-2, abad ke-3, dan seterusnya ke belakang. Apalagi kalau melihat teori jadinya—Ilmu Qira’at itu. Malah baru abad ke-4 H. Jadi sangat belakangan. Yang pasti, semua itu tidak ada pada abad 1 H ketika Nabi masih hidup.

Contoh qiro’ah yang dianggap sahih sekalipun, misalnya pada QS.55:76 dan QS.9:128 di atas, saya menolaknya. Karena bentuk tunggal ketika dibaca menjadi bentuk jamak, menurut saya itu sudah mengubah makna.

Saya yakin Qur’an memang sampai kepada kita dengan cara yang mutawatir. Berkat usaha keras para ulama. Dan yang mutawatir itu adalah Qur’an yang sekarang sampai kepada kita ini—Mushaf Utsmaniy. Ya inilah cara baca yang pasti mutawatirnya itu. Satu tulisan. Satu cara baca.

Kecuali kalau satu tulisan, tetapi logat atau cengkoknya yang berbeda. Itu saya masih bisa menerima. Kira-kira seperti Bahasa Madura. Ada Madura Sumenep, Madura Pamekasan, Madura Sampang, dan Madura Pamekasan. Atau seperti Bahasa Jawa. Ada Jawa yang nadanya lembut bak musik keroncong, seperti Jawa Solo, ada Jawa yang nadanya tegas bak musik rock seperti Jawa Surabaya.

Saya kalau berurusan dengan istilah mutawatir, itu memang sederhana. Qur’an di Madinah bagaimana. Mayoritas ulama atau pemerintah Madinah membacanya bagaimana. Itu sudah cukup. Sebab Nabi terakhir hidup sampai wafatnya, 10 tahun itu di Madinah. Sangat logis, kalau yang paling tahu Sunnah Nabi, itu ya orang-orang Madinah.

Semoga bermanfaat. Walloohu a’lam bishshowaab…

*Penulis buku Ayat-Ayat Kemenangan, Beraksi ala Pemenang, dll



QUR’AN TANPA TAJWID


—Saiful Islam*—

“Menurut saya, pendapat itu lemah. Redaksi QS.73:4 di atas, itu tartiilan. Bukan tajdwiidan…”

Terkait tema QUR’AN INSPIRASI LITERASI, kali ini kita akan membahas tentang Ilmu Tajwid. Ini adalah ilmu cara membaca Qur’an, terutama terkait dengan huruf-hurufnya. Makhoorijul huruuf, istilahnya. Di masa kanak-kanak yang indah, insya Allah kita semua belajar ilmu ini. Isinya seperti hukum ikhfa’, idzhar, iqlab, qolqolah, idghom bigunnah, mad thobi’i, dan lain seterusnya. Sampai ada yang mengatakan, “Baca Fatihah, itu harus digurukan. Kalau tidak, salatnya bisa tidak sah.”

Ada pendapat yang mengatakan bahwa membaca Qur’an harus dengan Ilmu Tajwid, itu sudah sejak bersamaan dengan turunnya ayat-ayat Qur’an itu sendiri. Jadi menurut pendapat ini, Ilmu Tajwid itu sudah ada sejak abad ke-7 M. Dianggap Nabi dan para Sahabatnya selalu dengan Ilmu Tajwid ketika membaca, menyampaikan, mengajar, dan mengkaji Qur’an. Pendapat ini hanya berdasar pada QS.73:4.

QS. Al-Muzammil[73]: 4
أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا
Atau lebih dari seperdua itu. Dan KAJILAH AL QUR’AN ITU DENGAN PERLAHAN-LAHAN.

Menurut saya, pendapat itu lemah. Redaksi QS.73:4 di atas, itu tartiilan. Bukan tajdwiidan. Kalau kita mau melacak kata tajwid dari jawada yang terkait dengan membaca, itu tidak ada. Yang ada hanya derivasinya, yaitu al-juudiy (QS.11:44) dan al-jiyaad (QS.38:31) yang keduanya tidak terkait dengan membaca.

Di depan sudah diceritakan panjang lebar tentang makna kata rottala dan derivasinya serta contoh-contohnya dalam ucapan orang Arab dan ayat-ayat Qur’an sendiri. Silakan baca lagi MAKSUD MEMBACA TARTIL. Di sini akan dikutip sekilas saja. Baik dari Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an maupun dari Lisan al-Arab.

Al-tarttil fi al-qiroo’ah atau tartil dalam bacaan, maksudnya adalah perlahan-lahan dalam bacaan itu dan menjelaskannya dengan benar. Kalimat warottil al-Qur’aan tartiilan (QS.72:4), menurut Abu al-Abbas yang dimaksud adalah penyelidikan, penjelasan, dan penegasan (pengokohan) dalam membaca Qur’an.

Sedangkan menurut Mujahid, kata tartiil pada QS.72:4 itu berarti secara perlahan-lahan. Kemudian ia berkata, “Wa rottaltuhu tartiilan, sebagiannya menjadi jejak bagi sebagian yang lain.” Yakni bagian yang satu terkait dengan bagian yang lain.

Adapun menurut Ibnu Abbas, maksud QS.72:4, itu adalah “Jelaskanlah Qur’an itu dengan sejelas-jelasnya.”

Jadi secara bahasa, tartil itu lebih kepada arti kajian kalau terjemah Bahasa Indonesia. Atau diskusi. Yakni menjelaskan makna-makna dan maksud-maksud Al Qur’an itu. Bukan kepada nada, panjang pendek, atau Tajwid secara umum. Jelas tartil di ayat itu, bukan Ilmu Tajwid. Kenapa? Karena Ilmu Tajwid, itu tidak ada ketika Nabi dan para Sahabatnya hidup. Mari kita lihat sejarahnya.

Ada yang mengatakan bahwa cikal bakal Ilmu Tajwid, itu bermula sejak masa Utsman bin Affan (w. 656 M). Yaitu ketika adanya kesadaran perlunya Mushaf Utsmaniy itu diberi titik-titik dan baris-baris untuk setiap huruf dan perkataannya. Nama Abu Aswad al-Du’ali (w. 670 M) di masa pemerintahan Bani Umayyah dan Al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi (w. 789 M) pada masa Bani Abbasiyah yang menjadi ketua aktivitas tersebut. Semakin ke belakangan, semakin disempurnakan.

Sementara Nabi wafat tahun 632 M. Jadi gerakan memberi titik dan baris, itu paling awal baru dilakukan setelah sekitar 38 tahun tahun wafatnya Nabi. Yang jelas, ketika Nabi masih hidup gerakan tersebut belum dilakukan. Karenanya tidak bisa dipastikan bahwa pembacaan dengan tajwid itu bersamaan dengan turunnya Qur’an. Dan pastilah, Nabi dan para Sahabatnya, itu tidak membaca Qur’an dengan Ilmu Tajwid sebagai disiplin ilmu.

Ada pula yang mengatakan bahwa penyusun Ilmu Tajwid itu, adalah para imam qiraat. Yakni sekitar abad ke-3 dan 4 Hijrah. Yakni sekitar tahun 200-an dan 300-an Hijrah. Atau 200 tahun setelah wafatnya Nabi.

Yang jelas ada seorang tokoh yang dikenal sebagai bapak Ilmu Tajwid. Nama lengkapnya adalah Syamsuddin Abu Al-Khayr Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Yusuf al-Dimasyqiy. Terkenal dengan nama Abu al-Jazariy. Lahir di Damaskus, Suriah (waktu itu Syam) pada tahun 751 H/ 1350 M. Dan wafat di Iran (dulu Persia) pada tahun 833 H/ 1432 M.

Di antara belasan karyanya, Abu al-Jazariy menulis satu kitab yang bernilai dalam dunia ilmu al-Qur’an dan al-Qira’at. Judulnya al-Nasyr fi al-Qira’at al-‘Asyr. Buku itu dianggap paling sempurna di antara buku-bukunya yang lain dalam membahas Ilmu Tajwid dan Qira’at. Buku ini menjadi semacam kiblat kajian Ilmu Qira’at sejak dulu sampai sekarang. Tak terkecuali Universitas Al-Azhar dan ma’had-ma’had Qira’at di seluruh Mesir.

Jadi sudah sangat belakangan. Yakni sekitar 800 tahun setelah wafatnya Nabi SAW.

Menurut saya, selama Nabi dan para Sahabatnya berinteraksi dengan Qur’an, Al Qur’an itu tidak dibaca dengan lagu. Juga tanpa dengan Ilmu Tajwid. Karena lagu, itu hanya dampak dari adanya Ilmu Tajwid. Sedangkan Ilmu Tajwid sendiri, itu jelas belum ada ketika Nabi dan para Sahabatnya hidup.

Meski begitu, Nabi pasti membaca Qur’an persis seperti Qur’an yang sekarang ini ada. Yaitu pasti benar huruf-hurufnya. Jelas antara dal dengan dzal, zho dengan za, kho’ dengan gho, ‘ayn dengan hamzah dan lain seterusnya. Sehingga maknanya pasti tidak tertukar atau terbalik. Dan apalagi salah makna.

Tampaknya, Nabi tidak membutuhkan Ilmu Tajwid, itu karena beliau memang asli orang Arab. Qur’an diturunkan dengan Bahasa Arab. Audiens awal Qur’an, adalah memang orang-orang Arab. Jadi sudah sama-sama mengerti maknanya. Sekalipun mungkin ada orang Arab yang lahn (gagap). Sehingga Ilmu Tajwid, itu ulama perlu menyusun memang untuk audiens non Arab. Termasuk Indonesia. Supaya tidak ‘dianggap’ salah makna.

Jadi, Ilmu Tajwid pun disusun, itu tujuannya adalah pemahaman makna.

Semoga bermanfaat. Walloohu a’lam bishshowaab…

*Penulis buku Ayat-Ayat Kemenangan, Beraksi ala Pemenang, dll

Kamis, 11 Juni 2020

MELAGUKAN QUR’AN


—Saiful Islam*—

“Melagukan Qur’an, itu bukan sesuatu yang substansial dalam berinteraksi dengan Al Qur’an…”

Al Qur’an itu memang diturunkan dengan Bahasa Arab. Misalnya disebutkan oleh QS.26:195.

QS. Al-Syu’ara[26]: 195
بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ
Dengan BAHASA ARAB yang jelas.

Meski begitu, Al Qur’an bukanlah perkataan penyair (QS.69:41).

QS. Al-Haqqah[69]: 40 – 42
إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ
Sesungguhnya Al Qur’an itu adalah perkataan Rasul yang mulia.

وَمَا هُوَ بِقَوْلِ شَاعِرٍ ۚ قَلِيلًا مَا تُؤْمِنُونَ
Dan Al Qur’an itu BUKANLAH PERKATAAN SEORANG PENYAIR. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya.

وَلَا بِقَوْلِ كَاهِنٍ ۚ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ
Dan bukan pula perkataan tukang tenung. SEDIKIT SEKALI kamu MENGAMBIL PELAJARAN daripadanya.

تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Al Qur’an adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam.

Karena Al Qur’an, itu bukan syair. Tidak pernah ada dalam Al Qur’an yang menyebutkan bahwa Qur’an adalah syair. Bahkan Allah menyebut bahwa Nabi pun, itu tidak pantas bersyair (QS.36:69).

QS. Yasin[36]: 69
وَمَا عَلَّمْنَاهُ الشِّعْرَ وَمَا يَنْبَغِي لَهُ ۚ إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ وَقُرْآنٌ مُبِينٌ
Dan Kami TIDAK MENGAJARKAN SYAIR KEPADANYA (Muhammad). Dan BERSYAIR ITU TIDAKLAH LAYAK BAGINYA. Al Qur’an itu tidak lain hanyalah PELAJARAN dan kumpulan ayat yang memberi penerangan.

Lalu bagaimana dengan melagukan Al Qur’an? Setelah kita menelusuri kata qoro’a, tartil, tilawah, tadabbur, tadarus, tumlaa, dan seterusnya, itu sebenarnya semua kata itu tidak ada yang bermakna melagukan. Yang dalam bahasa Arab sendiri, melagukan itu biasanya disebut dengan taghannaa. Itu pertama.

Kedua. Begitu juga kalau kita menelusuri kata taghannaa secara spesifik yang berarti melagukan, itu tidak ada. Jadi sebenarnya, menurut Qur’an, melagukan Qur’an itu tidak ada perintahnya. Atau paling tidak, melagukan Qur’an, itu bukan merupakan sesuatu yang substansial dalam berinteraksi dengan Qur’an.

Bahkan dalam shalat pun, membaca Qur’an itu tidak boleh keras-keras. Tetapi juga tidak boleh berbisik-bisik. Pelan saja yang sekiranya makmum bisa mendengar (QS.7:204).

QS. Al-Isra’[17]: 110
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَٰنَ ۖ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ ۚ وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَٰلِكَ سَبِيلًا
Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. dengan nama yang mana saja kamu seru. Dia mempunyai Al Asmaaul Husna (nama-nama yang terbaik). Dan JANGANLAH KAMU MENGERASKAN SUARAMU DALAM SHALATMU DAN JANGANLAH PULA MERENDAHKANNYA DAN CARILAH JALAN TENGAH DI ANTARA KEDUA ITU.”

Meski begitu, baik QS.17:204 maupun QS.17:110, itu bukan perintah untuk melagukan Al Qur’an. Tidak pernah ada ayat perintah membaca Qur’an itu untuk dilagukan. Sekali lagi, membaca Qur’an itu tujuannya selalu begini: dikaji perlahan-lahan secara kontinyu, dipahami, dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Ketiga. Barulah, ada pendapat bahwa perintah melagukan Qur’an itu sekilas berdasar Hadis-Hadis. Yang paling terkenal adalah Hadis riwayat Bukhari nomor 7527 yang berbunyi begini: “Laysa minnaa man lam yataghanna bi al-Qur’aan.” Ada yang menterjemah ‘yataghanna’ di situ dengan melagukan: “Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak melagukan Al Qur’an.”

Padahal, terjemah itu masih debatable. Misalnya seperti disebut oleh Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’aan, yang dimaksud ‘yataghanna’ di situ adalah mencukupkan diri. Yakni bermakna ‘istaghnaa’. Makna merasa cukup ini seperti disebutkan dalam Qur’an misalnya QS.64:6; QS.80:5; QS.92:8; dan QS.96:7. Sehingga terjemah Hadis di atas, itu begini: “Bukan golongan kami, orang yang tidak menjadikan Qur’an sebagai prinsip pertama dan utama dalam hidupnya.”

QS. Al-‘Alaq[96]: 7
أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَىٰ
Karena dia melihat dirinya SERBA CUKUP (tidak butuh Tuhan).

Melagukan Qur’an, lebih tepatnya disebut seni membaca Qur’an. Jadi lebih kepada seninya. Yakni keindahannya. Merdunya suara, meliuk-liuknya, dan seterusnya. Bahasa Arab-nya lebih dikenal dengan istilah ‘Nagham’.

Beberapa sumber mengutip Ibnu Manzhur menyatakan bahwa Nagham Qur’an, itu terinspirasi dari nyanyian nenek moyang bangsa Arab. Atau juga nyanyian budak-budak kafir yang menjadi tawanan perang. Lantas disimpulkan bahwa lagu-lagu dalam Nagham Qur’an, itu berasal dari khazanah tradisional Arab.

Kiblat seni membaca Qur’an, itu adalah Mekah, Madinah, dan Mesir. Seni membaca Qur’an, ini berkembang sejak sekitar awal abad 19 atau 20. Atau antara tahun 1800-an dan 1900-an.

Nagham yang terkenal adalah Bayati. Terdiri dari bayati qoror, bayati nawa, bayati jawab, dan bayati jawabul jawab. Nagham Shaba: shoba asli, shoba jawab, shoba ajami salalim su’ud, shoba ajami salamin nuzul, dan shoba bastanjar. Nagham Hijaz: hijaz asli, hijaz kard, hijaz kard-kurd, hijaz kurd. Nagham Nahawand: nahawand asli dan nahawand usysyaq. Nagham Sikka: sikka asli, sikka ramal, sikka misri dan sikka turki. Nagham Ras: ras asli, ras alan nawa dan ras syabir.

Maka, melagukan Qur’an, itu sebenarnya tidak ada tuntunannya dalam Qur’an. Apalagi kalau sampai melagukan, itu membuat orang gagal fokus berinteraksi dengan Qur’an. Sampai membuat orang sibuk dengan lagu-lagu itu dan lupa pada tujuan utama Qur’an: sebagai petunjuk. Yang mesti dikaji secara tartil. Dipahami terus menerus. Dan diamalkan alias dipraktikkan kandungan maknanya dalam kehidupan sehari-hari secara kontinyu.

Bahkan kalau mengacu QS.26:195 di atas, ayat-ayat Qur’an, itu dibaca layaknya orang berbicara Bahasa Arab sehari-hari. Layaknya kita berbicara kepada sesama secara alamiah, hanya saja dengan Bahasa Arab. Jadi tidak seperti orang membaca puisi yang harus naik panggung dulu. Membacanya dengan nada-nada, mimik, gerakan-gerakan, dan kostum yang penuh ekspresif.

Meski demikian, seni melagukan Qur’an, itu bukan berarti langsung salah. Ia termasuk budaya yang baik buruknya tergantung keadaan, situasi dan tempat (ketupat) tertentu. Bahkan bisa sangat baik kalau melantunkan Qur’an dengan suara indah dan perlahan-lahan itu, membuat orang-orang awam semakin mencintai Qur’an. Semakin tertarik dengan Qur’an. Kemudian memahaminya sampai mempraktikkan kandungan makna-maknanya.

“Asal dari budaya, itu boleh. Sampai ada dalil yang melarang,” begitu kaidah Ushul Fikihnya. Saya sendiri ngefans dengan lagunya Ra’ad al-Kurdi misalnya. Kalau makmum pada imam yang indah bacaannya, hati memang bisa bergetar. Air mata bisa bercucuran.

Jadi karena budaya, nada atau lagu itu tidak harus selalu dan wajib impor, dari Mekah, Madinah, atau Mesir itu. Orang Jawa misalnya, itu boleh-boleh saja melagukan Qur’an dengan langgam Jawa. Atau dengan langgam apa pun. Yang penting, jangan membaca Qur’an itu karena pamer. Atau ingin dipanggil ustadz. Atau karena supaya diberi kopi dan amplop oleh orang awam. Apalagi sambil cengengesan.

Semoga bermanfaat.

Walloohu a’lam bishshowaab…

*Penulis buku Ayat-Ayat Kemenangan, Beraksi ala Pemenang, dll

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...