—Saiful Islam*—
“Kalau tidak ada proses pemahaman
atau memahamkan umat, itu tidak layak disebut qori’…”
“Mas. Bagaimana dengan istilah Qoori’
itu?”
Memang di Indonesia, istilah qori’
itu sering kita dengar. Biasanya kalau ada acara warga di kampung-kampung, ada
seseorang yang disebut qori’ itu. Biasanya qori’ itu orang yang membaca
ayat-ayat Qur’an dengan nyaring, meliuk-liuk, dan seterusnya yang sangat
terkait dengan nada. Jujur, saya termasuk yang suka mendengarnya. Bahkan, waktu
KKN (Kuliah Kerja Nyata) dulu saya juga pernah tampil di depan umum. Hehe.
OK. Menurut saya, Qur’an dibaca
dengan cara seperti itu, itu boleh-boleh saja. Itu bagian dari al-asyyaa’
(budaya) yang asalnya memang boleh-boleh saja. Kaidah Ushul Fikih-nya begini:
“Asal dari budaya, itu boleh. Sampai ada dalil yang melarang.” Budaya apa pun
itu memang boleh. Asalkan tidak bertentangan dengan dalil-dalil Islam yang
kokoh. Ingat, dalil itu bertingkat. Pertama, Qur’an. Kedua Hadis sahih. Terus,
Ijma’, dan Qiyas (analogi). Qur’an menjadi penguji dari semua dalil itu.
Catatan pentingnya adalah jangan
sampai pembacaan Qur’an yang indah, itu memalingkan kita dari fungsi utama
Qur’an: sebagai petunjuk! Jangan sampai di antara kita misalnya ada yang bertitel
qori’, juga panitia, itu malah memalingkan dan menjauhkan umat dari fungsi
pertama dan utama Qur’an yang sebagai petunjuk itu. Justru sebaliknya, Qur’an
dibaca indah itu, supaya umat semakin dekat dengan fungsi utama Qur’an itu.
Jadi qori’ dan panitia, mestinya mendekatkan umat. Bukan memalingkan dan
apalagi menjauhkan.
QS. Al-Baqarah[2]: 2 & 185
ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا
رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada
keraguan padanya. MENJADI PETUNJUK bagi mereka yang bertaqwa.
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي
أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ
وَالْفُرْقَانِ ۚ
(Beberapa hari yang ditentukan itu
ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an SEBAGAI
PETUNJUK bagi manusia dan PENJELASAN-PENJELASAN MENGENAI PETUNJUK ITU serta PEMBEDA
(antara yang benar dan yang salah).
Qoori’ itu adalah
subjek (ism faa’il) dari qoro’a. Jadi kalau qoro’a, itu
kata kerjanya (fi’I—verb). Maka qoori’ itu adalah nama
untuk orang yang melakukannya. Pelakunya. Betuk plural (jamak) qoori’
adalah qurroo’. Yang secara sekilas berarti pembaca.
Di depan sudah diceritakan panjang
lebar, bahwa makna membaca yang menggunakan kata qoro’a, itu selalu
terkait dengan proses pemahaman. Tidak cukup hanya dibaca saja. Tak terkecuali
untuk ayat di bawah ini. Membacakan kepada masyarakat atau umat, itu berarti
ada upaya membuat mereka paham. Bukan hanya menghibur mereka dengan indahnya
suara dan nada.
QS.Al-Isra’[17]: 106
وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ
لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَىٰ مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا
Dan Al Qur’an itu telah Kami
turunkan dengan berangsur-angsur AGAR KAMU MEMBACAKANNYA PERLAHAN-LAHAN KEPADA
MANUSIA. Dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.
Yang membaca paham. Yang mendengar
juga paham. Barulah dari kepahaman, baik yang membaca dan yang dibacakan
(pendengar), itu buahnya adalah ketakwaan. Nurut kepada informasi Qur’an. Jika
isinya larangan, maka tidak dilakukan. Jika isinya perintah atau anjuran, maka
dilakukan.
QS. Al-Zumar[39]: 28
قُرْآنًا عَرَبِيًّا غَيْرَ
ذِي عِوَجٍ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
(Ialah) AL QUR’AN DALAM BAHASA ARAB
yang tidak ada kebengkokan (di dalamnya) SUPAYA MEREKA BERTAKWA.
Lebih tepatnya, istilah qori’ itu
adalah orang yang mengkaji Al Qur’an. Benar-benar ayat-ayat Qur’an yang
dibahas, dibicarakan, dipikirkan, direnungkan, diperhatikan, didiskusikan,
dimusyawarahkan, ditinjau dari beberapa sisinya, dari ilmu-ilmu bantunya, dan
seterusnya. Sampai diamalkan alias dipraktikkan dalam kehidupan nyata
sehari-hari.
QS. Al-Qomar[54]: 17
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا
الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ
Sesungguhnya telah Kami MUDAHKAN
Al-Qur’an untuk PELAJARAN. Adakah orang yang mengambil pelajaran?
Kalau tidak ada proses pemahaman
atau memahamkan umat, itu tidak layak disebut qori’. Tidak sesuai. Menurut
saya, lebih tepatnya cukup disebut pelantun ayat Qur’an. Kalau mau Arab-nya,
lebih pas disebut mutaghonniy. Alias orang yang hanya melagukan
ayat-ayat Qur’an. Melagukan saja tanpa paham arti, makna, dan apalagi maksud
dan hikmah-hikmahnya.
Maka kalau mau naik tingkat dari mutaghonniy
(pelagu ayat Qur’an) menjadi qoori’, harus ada upaya untuk memahami. Si
pembaca Qur’an mesti memahami ayat yang akan dibacanya. Atau paling tidak
mengerti maknanya. Tidak cukup hanya melagukan itu. Ia juga harus memahamkan
audiens. Atau paling tidak menunjukkan artinya kepada mereka. Misalnya paling
tidak membacakan terjemahannya.
Apalagi kalau audiensnya
orang-orang kampung. Mayoritas ‘abangan’ yang sangat bisa jadi awam dan masih
belum dekat kepada Al-Qur’aan al-Kariim ini. Mereka harus dipahamkan.
Dicerdaskan. Jangan hanya dihibur dengan lengkingan suara, merdu, cengkok,
panjang dan pendeknya nada. Kalau perlu terjemahannya sesuai dengan bahasa
mereka saja. Seperti terjemah Jawa, Madura, Sunda, Batak, dan seterusnya.
Seorang kawan pernah mengatakan
istilah yang menurut saya juga pas: Tahsiin al-Showt. Alias memperbagus
atau memperindah suara. Jadi urusannya hanya dengan suara, bunyi, nada,
cengkok, panjang pendek, lagu, dan semisalnya. Maka pelantun Qur’an yang hanya
memperbagus atau memperindah suara, itu bisa juga disebut Muhassin al-Showt.
Atau supaya enak, ringkas dan cepat populer sebut saja Al-muhassin.
Bukan qoori’. Bukan juga qurroo’.
Sebab orang yang hanya memperbagus
dan memperindah suara, itu baru kulit. Baru asesoris. Belum inti dan substansi
dari Qur’an itu sendiri. Untuk sampai kepada petunjuk, itu tidak cukup dan
tidak bisa hanya sibuk pada kulit dan asesorisnya saja. Seseorang harus masuk,
menyelam, dan memahami makna-makna pesan cinta Tuhan itu.
Malah kawan yang lain ada yang
menamai orang yang hanya memperbagus dan memperindah suara ketika membaca
Qur’an, itu dengan istilah showtan. Yang diplesetkan dengan kata dalam
Bahasa Jawa: Suitan.
Walloohu a’lam bishowaab....
*Penulis buku ‘Ayat-Ayat Kemenangan’,
Beraksi ala Pemenang, dll