Sabtu, 13 Juni 2020

KRITIK ILMU QIRA’AH


—Saiful Islam*—

“Ada Bahasa Jawa lembut bak musik keroncong, seperti Jawa Solo. Ada juga Jawa tegas bak musik rock, seperti Jawa Surabaya…”

Satu dari beberapa bab Ulumul Qur’an, itu membahas tentang Ilmu Qira’ah. Banyak pakar memberi definisi tentang Qira’ah itu. Dari semua definisi yang beragam itu, intinya Qira’ah adalah cara membaca ayat-ayat Qur’an yang berbeda-beda.

Karenanya lantas melahirkan istilah yang cukup terkenal—Qira’ah sab’ah. Yaitu sebuah cara membaca Qur’an yang disandarkan kepada tujuh imam qira’ah. Qira’ah sab’ah ini mulai terkenal sejak abad 2 Hijrah. Tepatnya pada masa pemerintahan Al-Makmun (w. 833 M)—khalifah ke-7 Bani Abbasiyah.

Ketujuh imam qira’ah tersebut, yaitu Nafi’ bin Abd Rahman (w. 169 H) di Madinah, Ashim bin Abi Najud Al-Asady (w. 127 H) di Kufah, Hamzah bin Habib Al-Taymy (w. 158 H) di Kufah, Ibnu Amir Al-Yashhuby (w. 118 H) di Syam, Abdullah Ibnu Katsir (w. 130 H) di Mekah, Abu Amer Ibnul Ala (w. 154 H) di Basrah, dan Abu Ali al-Kisai (w. 189 H) di Kufah.

Ada juga istilah qira’ah ‘asyrah. Alias bacaan Qur’an yang disandarkan kepada sepuluh imam qira’ah. Yakni tujuh imam qira’ah di atas, ditambah tiga imam lagi. Yaitu Abu Ja’far Yazid Ibnul Qa’qa al-Qari (w. 130 H) di Madinah, Abu Muhammad Ya’qub bin Ishaq Al-Hadhary (w. 205 H) di Bashrah, dan Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam Al-A’masyy (w. 229 H).

Bahkan sampai qira’ah arba’a ‘asyarah. Yakni cara membaca Qur’an yang disandarkan kepada 14 imam qira’ah. Yaitu 10 orang qira’ah di atas, ditambah lagi 4 orang imam qira’ah. Yaitu Hasan al-Bashry (w. 110 H) di Basrah, Ibnu Muhaish (w. 123 H), Yahya Ibnul Mubarak al-Yazidy (w. 202 H) dari Baghdad, dan Abu al-Faraj Ibnu al-Ahmad al-Syambudzy (w. 388 H) juga dari Baghdad.

Meski begitu, Ilmu Qira’ah itu sendiri, belum muncul sebelum abad 4 H. Yakni sekitar 300-an tahun setelah wafatnya Nabi. Tokoh pertama kali yang menulis Ilmu Qira’ah adalah Abu Bakar Ahmad bin Mujahid. Lalu dilanjutkan oleh Abu ‘Ubayd al-Qasim bin Salam, Abu Hatim al-Sijistani dan Abu Ja’far al-Thabary serta Ismail al-Qadhi.

Kitab yang paling baik dalam qira’ah sab’ah adalah Al-Taysir fi al-Qira’at al-Sab’ karya imam Abu Amer al-Dani. Sedang dalam qira’ah ‘asyrah adalah Al-Misbah al-Zhahir fi Qira’at ‘Asyir Zhawahir yang ditulis oleh Abd Kirom Mubarak bin Hasan al-Syahraqarzy.

Perbedaan cara membaca Qur’an, itu konon disandarkan kepada Hadis riwayat Bukhari, Muslim, Nasa’i, Tirmidzi, Abu Dawud, dan Malik dari Umar bin Khattab. Begini bunyi Hadisnya: “Rasulullah SAW bersabda bahwa sesungguhnya Al Qur’an itu diturunkan dengan tujuh macam huruf. Maka bacalah dengan cara yang mudah dari cara-cara itu.”

Atau Hadis riwayat Bukhari ini: “Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, Malaikat Jibril telah membacakan Al Qur’an kepadaku dengan satu cara membaca (harf). Tetapi aku selalu minta dia menambah cara bacaannya. Dan ia pun selalu menambah bacaan kepadaku sampai berjumlah tujuh ahruf.

Ada yang mengelompokkan perbedaan bacaan tersebut menjadi qira’ah sahih, qira’ah syadz (tidak sahih), qira’ah palsu, qira’ah mudarraj (kata yang ditambahkan sebagai tafsiran). Ada juga yang berdasarkan perawinya, membagi qira’ah menjadi enam: mutawatirah, masyhurah, ahad, syadzdzah, mawudhu’ah, dan qiraat mudraj.

Pertama. Contoh qira’ah yang dianggap sahih, itu misalnya QS.55:76 dan QS.9:128.

QS. Al-Rahman[55]: 76
مُتَّكِئِينَ عَلَىٰ رَفْرَفٍ خُضْرٍ وَعَبْقَرِيٍّ حِسَانٍ
Kata ‘rofrof’ pada ayat di atas, ada yang membacanya dengan ‘rofaarif’. Dan kata ‘’abqoriy’ ada yang membacanya dengan ‘’ibaaqoriy’.

QS. Al-Tawbah[9]: 128
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Kata ‘anfusikum’ pada ayat di atas, ada yang membacanya dengan ‘anfasikum’.

Kedua. Contoh qira’ah yang dianggap syadz atau menyimpang, yaitu seperti QS.10:92 dan QS.2:4 sebagai berikut.

QS. Yunus[10]: 92
فَالْيَوْمَ نُنَجِّيكَ بِبَدَنِكَ لِتَكُونَ لِمَنْ خَلْفَكَ آيَةً ۚ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ عَنْ آيَاتِنَا لَغَافِلُونَ
Kata ‘nunajiika’ pada ayat di atas, ada yang membacanya dengan ‘nunajjiyuka’ atau ‘nunajjiyaka’. Dan kata ‘kholfaka’, ada yang membacanya ‘kholafaka’.

QS. Al-Fatihah[1]: 4
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
Kata ‘maalik’ pada ayat di atas, ada yang membacanya ‘malaka’. Kabarnya mengganti ‘maalik’ dengan bentuk kata kerjanya (fi’il—malaka), itu berasal dari bacaan Ibnu Sumaifai.

Ketiga. Contoh qira’ah mawdhu’ alias bacaan palsu, itu seperti pada QS.9:3 berikut ini.

QS. Al-Tawbah[9]: 3
وَأَذَانٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الْأَكْبَرِ أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ ۙ وَرَسُولُهُ ۚ فَإِنْ تُبْتُمْ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ غَيْرُ مُعْجِزِي اللَّهِ ۗ وَبَشِّرِ الَّذِينَ كَفَرُوا بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Kata ‘wa rosuuluhu’ pada ayat di atas, ada yang membacanya dengan ‘wa rosuulihi’.

Keempat. Contoh qira’ah mudarraj atau sisipan atau sebuah kata yang ditambahkan oleh pembacanya sendiri. Seperti yang terjadi pada QS.2:198 berikut ini.

QS. Al-Baqarah[2]: 198
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ ۚ فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ ۖ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ
Menurut qira’ah yang disandarkan kepada Sa’ad bin Abi Waqqas, ada tambahan kata ‘fii mawaasim’ setelah kata ‘min robbikum’. Sehingga ayat di atas dibaca ‘laysa ‘alaykum junaahun an tabtaghuu fadhlan min robbikum fii mawaasim….

Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait makna sab’atu ahruf itu sendiri. Jumhur ulama mengatakan, qira’ah sab’ah, itu tidak sama dengan sab’atu ahruf yang berarti tujuh bahasa (dialek) dari suku-suku bangsa Arab. Faktanya memang, qira’ah itu tidak hanya tujuh. Tetapi empat belas.

Kalau kita merujuk Qur’an, tidak pernah ada keterangan bahwa Qur’an itu dibaca dengan lebih dari satu cara. Tidak ada keterangan bahwa Qur’an boleh dibaca dengan tujuh cara, sepuluh atau empat belas cara. Apalagi kalau sampai cara membacanya itu mengubah makna.

Menurut sejarah—yang itu masih debateable—macam-macam cara baca itu baru muncul abad ke-2 H semua. Hadisnya pun sama, abad ke-2, abad ke-3, dan seterusnya ke belakang. Apalagi kalau melihat teori jadinya—Ilmu Qira’at itu. Malah baru abad ke-4 H. Jadi sangat belakangan. Yang pasti, semua itu tidak ada pada abad 1 H ketika Nabi masih hidup.

Contoh qiro’ah yang dianggap sahih sekalipun, misalnya pada QS.55:76 dan QS.9:128 di atas, saya menolaknya. Karena bentuk tunggal ketika dibaca menjadi bentuk jamak, menurut saya itu sudah mengubah makna.

Saya yakin Qur’an memang sampai kepada kita dengan cara yang mutawatir. Berkat usaha keras para ulama. Dan yang mutawatir itu adalah Qur’an yang sekarang sampai kepada kita ini—Mushaf Utsmaniy. Ya inilah cara baca yang pasti mutawatirnya itu. Satu tulisan. Satu cara baca.

Kecuali kalau satu tulisan, tetapi logat atau cengkoknya yang berbeda. Itu saya masih bisa menerima. Kira-kira seperti Bahasa Madura. Ada Madura Sumenep, Madura Pamekasan, Madura Sampang, dan Madura Pamekasan. Atau seperti Bahasa Jawa. Ada Jawa yang nadanya lembut bak musik keroncong, seperti Jawa Solo, ada Jawa yang nadanya tegas bak musik rock seperti Jawa Surabaya.

Saya kalau berurusan dengan istilah mutawatir, itu memang sederhana. Qur’an di Madinah bagaimana. Mayoritas ulama atau pemerintah Madinah membacanya bagaimana. Itu sudah cukup. Sebab Nabi terakhir hidup sampai wafatnya, 10 tahun itu di Madinah. Sangat logis, kalau yang paling tahu Sunnah Nabi, itu ya orang-orang Madinah.

Semoga bermanfaat. Walloohu a’lam bishshowaab…

*Penulis buku Ayat-Ayat Kemenangan, Beraksi ala Pemenang, dll



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...