—Saiful Islam*—
“Ada Bahasa Jawa lembut bak musik
keroncong, seperti Jawa Solo. Ada juga Jawa tegas bak musik rock, seperti Jawa
Surabaya…”
Satu dari beberapa bab Ulumul
Qur’an, itu membahas tentang Ilmu Qira’ah. Banyak pakar memberi definisi
tentang Qira’ah itu. Dari semua definisi yang beragam itu, intinya Qira’ah
adalah cara membaca ayat-ayat Qur’an yang berbeda-beda.
Karenanya lantas melahirkan istilah
yang cukup terkenal—Qira’ah sab’ah. Yaitu sebuah cara membaca Qur’an yang
disandarkan kepada tujuh imam qira’ah. Qira’ah sab’ah ini mulai terkenal sejak
abad 2 Hijrah. Tepatnya pada masa pemerintahan Al-Makmun (w. 833 M)—khalifah
ke-7 Bani Abbasiyah.
Ketujuh imam qira’ah tersebut, yaitu
Nafi’ bin Abd Rahman (w. 169 H) di Madinah, Ashim bin Abi Najud Al-Asady (w.
127 H) di Kufah, Hamzah bin Habib Al-Taymy (w. 158 H) di Kufah, Ibnu Amir
Al-Yashhuby (w. 118 H) di Syam, Abdullah Ibnu Katsir (w. 130 H) di Mekah, Abu
Amer Ibnul Ala (w. 154 H) di Basrah, dan Abu Ali al-Kisai (w. 189 H) di Kufah.
Ada juga istilah qira’ah ‘asyrah.
Alias bacaan Qur’an yang disandarkan kepada sepuluh imam qira’ah. Yakni tujuh
imam qira’ah di atas, ditambah tiga imam lagi. Yaitu Abu Ja’far Yazid Ibnul
Qa’qa al-Qari (w. 130 H) di Madinah, Abu Muhammad Ya’qub bin Ishaq Al-Hadhary
(w. 205 H) di Bashrah, dan Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam Al-A’masyy (w. 229
H).
Bahkan sampai qira’ah arba’a
‘asyarah. Yakni cara membaca Qur’an yang disandarkan kepada 14 imam qira’ah.
Yaitu 10 orang qira’ah di atas, ditambah lagi 4 orang imam qira’ah. Yaitu Hasan
al-Bashry (w. 110 H) di Basrah, Ibnu Muhaish (w. 123 H), Yahya Ibnul Mubarak
al-Yazidy (w. 202 H) dari Baghdad, dan Abu al-Faraj Ibnu al-Ahmad al-Syambudzy
(w. 388 H) juga dari Baghdad.
Meski begitu, Ilmu Qira’ah itu
sendiri, belum muncul sebelum abad 4 H. Yakni sekitar 300-an tahun setelah
wafatnya Nabi. Tokoh pertama kali yang menulis Ilmu Qira’ah adalah Abu Bakar
Ahmad bin Mujahid. Lalu dilanjutkan oleh Abu ‘Ubayd al-Qasim bin Salam, Abu
Hatim al-Sijistani dan Abu Ja’far al-Thabary serta Ismail al-Qadhi.
Kitab yang paling baik dalam
qira’ah sab’ah adalah Al-Taysir fi al-Qira’at al-Sab’ karya imam Abu
Amer al-Dani. Sedang dalam qira’ah ‘asyrah adalah Al-Misbah al-Zhahir fi
Qira’at ‘Asyir Zhawahir yang ditulis oleh Abd Kirom Mubarak bin Hasan
al-Syahraqarzy.
Perbedaan cara membaca Qur’an, itu
konon disandarkan kepada Hadis riwayat Bukhari, Muslim, Nasa’i, Tirmidzi, Abu
Dawud, dan Malik dari Umar bin Khattab. Begini bunyi Hadisnya: “Rasulullah SAW
bersabda bahwa sesungguhnya Al Qur’an itu diturunkan dengan tujuh macam huruf.
Maka bacalah dengan cara yang mudah dari cara-cara itu.”
Atau Hadis riwayat Bukhari ini:
“Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, Malaikat Jibril telah membacakan Al
Qur’an kepadaku dengan satu cara membaca (harf). Tetapi aku selalu minta
dia menambah cara bacaannya. Dan ia pun selalu menambah bacaan kepadaku sampai
berjumlah tujuh ahruf.
Ada yang mengelompokkan perbedaan
bacaan tersebut menjadi qira’ah sahih, qira’ah syadz (tidak sahih), qira’ah
palsu, qira’ah mudarraj (kata yang ditambahkan sebagai tafsiran). Ada juga yang
berdasarkan perawinya, membagi qira’ah menjadi enam: mutawatirah, masyhurah,
ahad, syadzdzah, mawudhu’ah, dan qiraat mudraj.
Pertama. Contoh
qira’ah yang dianggap sahih, itu misalnya QS.55:76 dan QS.9:128.
QS. Al-Rahman[55]: 76
مُتَّكِئِينَ عَلَىٰ
رَفْرَفٍ خُضْرٍ وَعَبْقَرِيٍّ حِسَانٍ
Kata ‘rofrof’ pada ayat di
atas, ada yang membacanya dengan ‘rofaarif’. Dan kata ‘’abqoriy’
ada yang membacanya dengan ‘’ibaaqoriy’.
QS. Al-Tawbah[9]: 128
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ
مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ
رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Kata ‘anfusikum’ pada ayat
di atas, ada yang membacanya dengan ‘anfasikum’.
Kedua. Contoh
qira’ah yang dianggap syadz atau menyimpang, yaitu seperti QS.10:92 dan QS.2:4
sebagai berikut.
QS. Yunus[10]: 92
فَالْيَوْمَ نُنَجِّيكَ بِبَدَنِكَ
لِتَكُونَ لِمَنْ خَلْفَكَ آيَةً ۚ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ عَنْ آيَاتِنَا لَغَافِلُونَ
Kata ‘nunajiika’ pada ayat
di atas, ada yang membacanya dengan ‘nunajjiyuka’ atau ‘nunajjiyaka’.
Dan kata ‘kholfaka’, ada yang membacanya ‘kholafaka’.
QS. Al-Fatihah[1]: 4
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
Kata ‘maalik’ pada ayat di
atas, ada yang membacanya ‘malaka’. Kabarnya mengganti ‘maalik’
dengan bentuk kata kerjanya (fi’il—malaka), itu berasal dari bacaan Ibnu
Sumaifai.
Ketiga. Contoh
qira’ah mawdhu’ alias bacaan palsu, itu seperti pada QS.9:3 berikut ini.
QS. Al-Tawbah[9]: 3
وَأَذَانٌ مِنَ اللَّهِ
وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الْأَكْبَرِ أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ
مِنَ الْمُشْرِكِينَ ۙ وَرَسُولُهُ ۚ فَإِنْ تُبْتُمْ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا
أَنَّكُمْ غَيْرُ مُعْجِزِي اللَّهِ ۗ وَبَشِّرِ الَّذِينَ كَفَرُوا بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Kata ‘wa rosuuluhu’ pada
ayat di atas, ada yang membacanya dengan ‘wa rosuulihi’.
Keempat. Contoh
qira’ah mudarraj atau sisipan atau sebuah kata yang ditambahkan oleh pembacanya
sendiri. Seperti yang terjadi pada QS.2:198 berikut ini.
QS. Al-Baqarah[2]: 198
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ
أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ ۚ فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ
فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ ۖ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ
كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ
Menurut qira’ah yang disandarkan
kepada Sa’ad bin Abi Waqqas, ada tambahan kata ‘fii mawaasim’ setelah
kata ‘min robbikum’. Sehingga ayat di atas dibaca ‘laysa ‘alaykum
junaahun an tabtaghuu fadhlan min robbikum fii mawaasim….’
Terjadi perbedaan pendapat di
kalangan ulama terkait makna sab’atu ahruf itu sendiri. Jumhur ulama
mengatakan, qira’ah sab’ah, itu tidak sama dengan sab’atu ahruf yang
berarti tujuh bahasa (dialek) dari suku-suku bangsa Arab. Faktanya memang, qira’ah
itu tidak hanya tujuh. Tetapi empat belas.
Kalau kita merujuk Qur’an, tidak
pernah ada keterangan bahwa Qur’an itu dibaca dengan lebih dari satu cara.
Tidak ada keterangan bahwa Qur’an boleh dibaca dengan tujuh cara, sepuluh atau
empat belas cara. Apalagi kalau sampai cara membacanya itu mengubah makna.
Menurut sejarah—yang itu masih debateable—macam-macam
cara baca itu baru muncul abad ke-2 H semua. Hadisnya pun sama, abad ke-2, abad
ke-3, dan seterusnya ke belakang. Apalagi kalau melihat teori jadinya—Ilmu
Qira’at itu. Malah baru abad ke-4 H. Jadi sangat belakangan. Yang pasti, semua
itu tidak ada pada abad 1 H ketika Nabi masih hidup.
Contoh qiro’ah yang dianggap sahih
sekalipun, misalnya pada QS.55:76 dan QS.9:128 di atas, saya menolaknya. Karena
bentuk tunggal ketika dibaca menjadi bentuk jamak, menurut saya itu sudah
mengubah makna.
Saya yakin Qur’an memang sampai
kepada kita dengan cara yang mutawatir. Berkat usaha keras para ulama. Dan yang
mutawatir itu adalah Qur’an yang sekarang sampai kepada kita ini—Mushaf
Utsmaniy. Ya inilah cara baca yang pasti mutawatirnya itu. Satu tulisan. Satu
cara baca.
Kecuali kalau satu tulisan, tetapi
logat atau cengkoknya yang berbeda. Itu saya masih bisa menerima. Kira-kira
seperti Bahasa Madura. Ada Madura Sumenep, Madura Pamekasan, Madura Sampang,
dan Madura Pamekasan. Atau seperti Bahasa Jawa. Ada Jawa yang nadanya lembut
bak musik keroncong, seperti Jawa Solo, ada Jawa yang nadanya tegas bak musik
rock seperti Jawa Surabaya.
Saya kalau berurusan dengan istilah
mutawatir, itu memang sederhana. Qur’an di Madinah bagaimana. Mayoritas ulama
atau pemerintah Madinah membacanya bagaimana. Itu sudah cukup. Sebab Nabi
terakhir hidup sampai wafatnya, 10 tahun itu di Madinah. Sangat logis, kalau
yang paling tahu Sunnah Nabi, itu ya orang-orang Madinah.
Semoga bermanfaat. Walloohu
a’lam bishshowaab…
*Penulis buku Ayat-Ayat Kemenangan,
Beraksi ala Pemenang, dll
Tidak ada komentar:
Posting Komentar