Senin, 18 September 2017

ISTANA RAJA


Alkisah tersebut lah seorang raja yang kaya dan perkasa namun pelit yang hobinya berbubur hewan. Ketika datang bulan purnama, dia keluar istana dilengkapi senjata tombaknya dengan mengendarai kuda untuk berburu. Kali ini yang menjadi sasarannya adalah kijang. Dia merasa tertantang dan adrenalinnya naik ketika mengejar kijang yang larinya begitu cepat dan lincah. Raja itu tertantang mengerjarnya namun masih juga belum berhasil sehingga membuat tambah penasaran.

Saking semangatnya dia tidak merasa ketika kijang itu telah keluar jauh dair lingkungan istana dan bahkan telah masuk ke padang pasir nan luas dan tandus. Berkat semangat dan kerja kerasnya akhirnya raja berhasil menangkap kijang dengan lemparan tombaknya. Setelah berhasil dia berhenti dan turun dari kudanya. Dia kaget bahwa perjalanannya telah jauh dari istana dan kini tersesat di padang pasir dalam keadaan capek, lapar dan haus tak terkira. Tak seoarng pun penduduk di sana.

Dalam situasi demikian maka satu-satunya harapan adalah menunggu musafir lewat untuk meminta bantuan makan dan minum agar tenagannya pulih kembali lalu pulang ke istana. Demikin lah, setelah menunggu sehari semalam penuh dalam kondisi badan yang amat letih, lapar, dan haus lewat lah seorang musafir yang ditunggu-tunggu. “Hai kawan, saya senang sekali Anda datang. Kalau tidak, pasti saya akan menemui ajal di padang pasir ini akibat kehausan dan mayatku akan jadi pesta anjing-anjing liar,” katanya lirih.

“Kalau boleh tahu, mengapa saudara di sini, sudah berapa lama, dan apa yang bisa aku bantu? Tanya musafir.

“Saya ini seorang raja yang tengah berburu kijang lalu nyasar ke padang pasir. Semua bekalku habis, bahkan kuda yang saya kendarai juga pergi entah kemana ketika saya tertidur,” jawabnya.

Mengetahui bahwa yang tersesat adalah seorang raja, maka musafir tadi berubah pukiranya, yang semula mau memberi minum secara gratis lalu berpikir untuk ditukarkan denga uang.

“Saya membawa makan-minum tetapi terbatas, sementara perjalanan saya masih jauh, bagaimana kalau sebagian bekal saya ditukar dengan uang?” tanya musafir.

Raja menjawab, “Kamu itu sungguh keterlaluan. Sudah tahu bahwa saya ini raja, mestinya menghormati, tetapi malah mencari keuntungan di tengah penderitaan orang lain?”

Mendengar jawaban itu bukannya musafir menjadi kasihan, malainkan malah tersinggung. “Ya sudah kalau demikian, selamat tinggal, saya mau meneruskan perjalanan, semoga ada musafir lewat yang sudi menolongmu, hanya saja harap tahu, belum tentu sebulan sekali ada musafir lewat daerah terpencil ini.”

Mendengar jawaban musafir yang bernada kesal itu raja pun hatinya melunak dan mengiba minta dikasihani dengan suara yang sudah sangat lemah karena kehausan. Dalam benaknya muncul bayangan yang mengerikan andaikan tidak mendapat pertolongan air maka ia pasti akan mati konyol di tengah padang pasir.

Maka terjadi lah dialog dan tawar menawar  harga antara musafir dan raja tadi yang berujung pada tawaran yang sungguh di luar dugaan raja. “Karena engkau seorang raja yang pasti kaya raya dan memmiliki banyak istana, engkau boleh mengambil separuh bekal makanan dan airku dengan imbalan satu istana. Kalau setuju, serahkan kunci istanamu, kalau tidak saya akan segera pergi meneruskan perjalanan.”

Raja kesal, namun tak berdaya. Setelah merenung cukup lama sementara kesehatannya semakin memburuk, akhirnya raja setuju. Tak ada pilihan lain kecuali sebuah istananya mesti dilepas ditukar dengan air minum.

Singkat cerita, setelah minum dan badannya segar kembali raja pulang ke istana dengan jalan kaki berhari-hari baru sampai. Sesampai di rumah, sambil istirahat menikmati makan minum yang terhidang, dia berpikir, sebuah istananku yang megah telah hilang hanya diktukar dengan beberapa botol air minum. Selama ini saya tidak pernah menyadari, betapa nikmat dan mahalnya kenikmatan bisa minum secara leluasa yang harganya senilai istana, pikirnya.

Belum pulih benar kesehatannya, raia itu terserang sakit yang memmbuatnya tidak bisa buang air kecil. Mungkin akibat kelelahan fisiknya. Maka dipanggil lah tabib istana, namun hasilnya sia-sia. Tetap saja raja tidak bisa buang air kecil. Akhirnya dibuat lah sayembara terbuka, siapa yang bisa mengobati sakit raja akan memperoleh hadiah yang banyak. Maka datang lah silih berganti tabib yang berusaha mengobati, namun tetap juga belum berhasil. Seluruh aktivitas raja terhenti gara-gara tidak bisa buang air kecil.

Terakhir, datang lah seorang tabib yang penampilannya tidak meyakinkan, lalu menatang raja yang kaya namun pelit itu. “Tuan raja, saya akan berusaha mengobati penyakit tuang agar bisa sehat, perut tidak kembung serta lancar buang air kecil. Namun, ongkosnya mahal. Kalau sembuh imbalannya sebuah istana, dan kalau gagal silahkan saya dihukum mati,” katanya. Karena tak lagi tahan menganggung sakit akibat tidak bisa kencing, tawaran tabib itu disepakati mesti dengan hati dongkol. Singkat cerita, ternyata raja sembuh dan bisa buang air dengan lega dan lancar, namun dengan ongkos sebuah istananya berpindah tangan.

Lagi-lagi raja merenung, betapa nikmat dan mahalnya bisa minum dan buang air kecil secara leluasa yang nilainya seharga dua istana. “Gara-gara kehausan saya kehilangan satu istana, dan kini gara-gara tidak bisa buang air kecil hilang lagi istanaku yang lain,” keluhnya. Mengapa selama ini saya tidak pernah bersyukur?” bisik raja instropeksi. Saya bisa makan, minum, dan tidur dengan nikmatnya tetapi tidak pernah saya hargai, bahkan saya selalu saja mengejar harta dan sangat bangga pada istanaku. Padahal, hanya dalam waktu sekejab istanaku hilang karena ingin minum dan buang air kecil.

Sejak itu raja berubah sikapnya. Dijlaninya hidup dengan penuh rasa syukur dan senang berderma sehingga rakyatnya yang semula benci berubah menjadi simpati. Ketika memandang makanan dan minuman yang terhidang, raja berbisik pada diri sendiri, “Air minum ini nilainya sama dengan istanaku.” Ketika hendak masuk ke kamar kecil, dia membayangkan masuk istana. Kesehatan itu mahkota kehidupan yang lebih berharga ketimbang mahkota raja, tetapi seseorang baru memiliki mahkota yuang demikian berharga ketika sakit. Haruskah sakit lebih dahulu untuk bisa mensyukuri anugerah kesehatan? Rayakanlah kesehatan setiap saat dengan berbuat kebajikan dan berbagi kebahagiaan pada sesama.

 

IBU MEMBACAKAN BUKU


Kisah Jennifer telah menunjukkan kepada kita bagaimana seorang anak yang terlahir dengan keterbelakangan mental, berubah punya IQ 111 karena setiap hari dibacakan 11 buku oleh ibunya. Banyak tokoh dengan prestasi menakjubkan yang menghabiskan masa kecil di antara lipatan-lipatan buku. Syaikh Yusuf Qardhawi sudah akrab dengan Alquran sehingga mampu menghafalnya dengan baik pada usia sepuluh tahun.

Imam Syafi’I yang dikenal sebagai salah seorang mujtahid besar dan pendapat-pendapatnya dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia dibesarkan dalam gendongan ibunya yang tak pernah henti membaca Alquran. Ibunya selalu membacakan (reading aloud) ayat-ayat Alquran kepadanya.

Dalam usia tujuh tahun, Imam Syafi’I telah menghafal seluruh isi Alquran. Pada usia sepuluh tahun, dia telah menghafalkan kitab Al Muwaththa’Imam Malik, serta mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Alquran. Dan pada usia yang baru belasan tahun, Imam Syafi’I sudah memiliki kelayakan memberi fatwa. Sesuatu yang amat langka.

John Stuart Mill adalah kisah serupa. Seperti diceritakan dalam buku Know Your Mind karya Louise Snyder Johnson sebagaimana dikutip oleh Fauzil Adhim dalam Membuat Anak Gila Membaca, Mill mulai membaca buku pada usia tiga tahun. Kegemarannya membaca pada usia dini berpengaruh pada IQ-nya. Menurut Louise, Mill memiliki IQ 200. Sementara rentang IQ normal adalah 90-110.

 

AYAH IBU NABI ITU MUKMIN


Nabi Isa’ AS wafat pada tahun 32 Masehi. Sedangkan Nabi Muhammad lahir pada tahun 632 Masehi. Dengan demikian, ada jeda 640 tahun antara wafatnya Nabi Isa dengan saat kenabian Nabi Muhammad —Nabi Muhammad baru menjadi rasul ketika usia beliau 40 tahun. Nah, jeda waktu itu disebut sebagai masa fatrah —maksudnya selama jeda waktu tersebut tidak ada seorang pun utusan Allah di tengah-tengah masyarakat.

QS. Al Maidah[5]: 19

Hai Ahli Kitab. Sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan (syariat Kami) kepadamu ketika terputus (pengiriman) rasul-rasul. Agar kamu tidak mengatakan: “Tidak datang kepada kami baik seorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan.”

Ada perbedaan target dakwah Nabi Muhammad dengan nabi-nabi sebelum beliau. Dakwah nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad itu hanya terbatas pada kaumnya saja. Contohnya Nabi Isa AS yang diutus untuk Bani Israel saja.

QS. Az Zukhruf[43]: 59

Isa tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan kepadanya nikmat (kenabian). Kami jadikan dia sebagai tanda bukti (kekuasaan Allah) untuk Bani Israel.

QS. Ash Shaff[61]: 6

Dan (ingatlah) ketika Isa bin Maryam berkata: “Hai Bani Israel. Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu. Membenarkan kitab sebelumku, yakni Taurat. Dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad, terpuji).” Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: “Ini adalah sihir yang nyata.”

  Sedangkan Nabi Muhammad sebagai rasul terakhir (khataman nabiyyin) yang diutus kepada seluruh umat manusia.

QS. Al A’raf[7]: 158

Katakanlah: “Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua. Yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Yang menghidupkan dan yang mematikan. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang berman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya). Ikutilah dia, supaya kami mendapat petunjuk.”

QS. Saba’[34]: 28

Dan Kami tidak mengutusmu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Ada seorang kawan bertanya, “Mas. Kan ayah dan ibu Nabi Muhammad tidak salat?”

Justru yang benar, memang tidak salat. Juga tidak melakukan ritual-ritual apa pun. Jangankan ayah dan ibu Nabi Muhammad yang tidak salat. Sebelum diangkat jadi rasul—dan itu baru terjadi setelah usia Nabi Muhammad 40 tahun—Muhammad muda pun juga tidak salat.

Kita tahu bahwa ayah Nabi Muhammad —Abdullah— wafat saat Muhammad masih dalam perut ibunya, alias belum lahir. Sedangkan ibu beliau, Aminah, wafat ketika Muhammad berusia 6 tahun. Berarti keduanya telah wafat sebelum Nabi Muhammad diangkat sebagai rasul.

Ada satu rumus yang pernah dibuat oleh ilmuwan ushul: “Asal dari ibadah itu batal. Sampai ada dalil yang menyuruh.” Jadi sebelum ada rasul atau penyampai ajaran Allah sampai kepada seseorang, yang baik dan benar memang tidak perlu melakukan ibadah ritual.

Tapi meskipun tidak salat, ayah dan ibu Nabi Muhammad itu tidak akan diazab oleh Allah. Mereka tidak salah. Karena risalah Allah tidak sampai kepada mereka. Allah hanya akan mengazab seseorang jika sudah ada rasul yang menyampaikan risalah Allah kepadanya, lantas ditolaknya.

QS. Al Isra’[17]: 15

Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang Rasul.

Seorang kawan pernah menyoal kesimpulan saya ini. Lantas dia berkata, “Saiful tidak konsisten dengan rasionalitasnya. Katanya akal sudah mampu menentukan benar-salah, baik-buruk tanpa wahyu…”

Rupanya dia kurang tepat memahami apa yang saya maksudkan rasional. Dalam literatur klasik, memang begitu paham rasional yang disampaikan kawan saya itu. Bahwa akal sudah tahu baik-buruk, benar-salah. Tanpa wahyu pun akal sudah mampu.

Tapi saya sedikit beda. Akal memang mampu menilai baik-buruk, benar-salah, tanpa menunggu wahyu. Tapi kemampuan akal yang seperti ini hanya untuk masalah-masalah yang selain ibadah ritual. Mencuri misalnya. Tanpa wahyu, akal sudah tahu bahwa itu buruk dan salah. Berbeda kalau urusan salat. Untuk salat, akal harus menunggu wahyu. Tidak bisa dan tidak boleh akal membuat-buat ritual sendiri.

Selain tidak akan diadzab, ayah dan ibu Nabi Muhammad akan masuk surga. Karena di masa kekosongan itu agama mereka adalah fitrah. Sebagaimana pernyataan Nabi Muhammad bahwa setiap anak itu terlahir dalam keadaan fitrah. Yakni bertauhid kepada Allah. Ini telah dijelaskan oleh Allah bahwa sejak saat baru keluar dari tulang sulbi pun, anak manusia itu telah bersyahadat.

QS. Al A’raf[7]: 172

Dan (ingatlah) ketika Tuhan-mu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhan-mu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini.”

Kawan saya yang lain menyoal, “Bukankah setiap umat itu sudah ada pemberi peringatan?” Lantas dia mengutip ayat di bawah ini.

QS. Yunus[10]: 47

Tiap-tiap umat mempunyai rasul. Maka apabila telah datang rasul mereka, diberikanlah keputusan antara mereka dengan adil dan mereka (sedikitpun) tidak dianiaya.

QS. Fathir[35]: 24

Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Dan tidak ada suatu umat pun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan.

Dalam sejarah, kita tidak menemukan bahwa ada rasul setelah Nabi Isa selain Nabi Muhammad. Kalau pun Abdullah dan Aminah diklaim sebagai umat Nabi Isa, ajarannya sudah tidak murni lagi. Terbukti, pada 20 Mei sampai 19 Juni 325 Masehi ada Konsili Nikea yang menyepakati bahwa Isa AS adalah Tuhan itu sendiri. Jadi dalam masa fatrah 600-an tahun itu, sudah terjadi penyelewengan ajaran Nabi Isa yang asli.

Di samping itu, Abdullah dan Aminah itu bukan Bani Israel  —ingat, Nabi Isa hanya diutus untuk Bani Israel saja. Sehingga Abdullah dan Aminah tidak bisa disebut sebagai umat Nabi Isa. Maka, Abdullah dan Aminah hidup dalam masa terputusnya para rasul itu. Sehingga, agamanya pada masa fatrah itu adalah agama fitrah. Yakni, ‘tauhid otomatis’ kepada Allah.

Lalu, Abdullah dan Aminah itu umat siapa? Umat itu berarti masyarakat atau bangsa. Keduanya adalah orang Arab. Dan rasul bangsa Arab pada waktu itu hanya Nabi Muhammad. Setiap umat itu ada rasulnya. Rasul Bani Israel adalah Nabi Isa. Maka, rasul bangsa Arab adalah Nabi Muhammad. Meski keduanya telah wafat sebelum Muhammad menjadi Rasul.

Memang Allah informasikan bahwa setiap umat ada rasulnya. Tapi kita tidak bisa pungkiri bahwa pernah ada masa terputusnya pengiriman rasul-rasul. Dan itu waktunya tidak sebentar—enam abad lebih. Meski keduanya adalah umat Nabi Muhammad, tapi risalah tidak sampai kepada mereka. Sehingga, agama mereka adalah fitrah.

Jadi masalah utamanya sebenaranya soal sampainya risalah itu sendiri. Jika sudah ada risalah yang sampai kepada Abdullah maupun Aminah, siapa penyampainya?

BERWALI KEPADA NASRANI


Ketika orang-orang Quraisy menzalimi banyak sahabat, Nabi Muhammad perintahkan para sahabat dan keluarga beliau hijrah ke Abbyssinia yang rajanya bernama Negus –seorang Nasrani. Nabi Muhammad bersabda, “Jika kalian pergi ke negeri Abbyssinia, di sana engkau akan mendapatkan seorang raja yang adil dan bijaksana. Suatu negeri yang kalian bebas dan leluasa dalam beragama. Sampai suatu saat Allah memberikan jalan yang dapat menghindarkan penderitaan yang kalian tanggung sekarang ini.”

Para pengungsi itu –semuanya berjumlah sekitar delapan puluh orang, selain anak kecil— disambut baik di Abbyssinia. Mereka diberi kebebasan penuh untuk beribadah.

Orang-orang Quraisy tidak menyerah. Mereka –melalui dua utusannya-- membujuk Negus dan para jenderalnya dengan hadiah-hadiah, agar “mengusir” para pengungsi itu. “Para pemuka kaum mereka --yang juga ayah, paman, dan kerabat mereka-- memohon kepadamu agar dikembalikan.”

Namun, Negus tidak mau dan berkata, “Tidak! Demi Tuhan, mereka tidak boleh dikhianati. Mereka telah meminta suaka perlindunganku dan menjadikan negeriku sebagai tempat tinggal, serta telah memilihku dari yang lainnya! Mereka tidak akan aku serahkan, sebelum aku memanggil mereka dan menanyakan perihal mereka seperti yang dikemukakan utusan itu (‘Amr bin Ash, dari Bani Abd Al-Syam). Jika memang benar seperti yang dikatakan, maka mereka akan kuserahkan untuk dibawa kembali kepada kaum mereka sendiri. Namun, jika tidak, aku akan menjadi pelindung yang baik selama mereka meminta perlindunganku.”

Tidak semuanya diharuskan berhijrah. Keluarga Utsman (menantu Nabi Muhammad) mencoba membatalkan kepergiannya, tapi Nabi malah mengizinkannya pergi dan membawa serta Ruqayyah (putri Nabi Muhammad). Kehadiran mereka menjadi sumber kekuatan bagi masyarakat di pengasingan itu.

Ikut mengungsi juga: Ja’far dan isterinya, Asma’ –keduanya sangat dilindungi oleh Abu Thalib (paman Nabi Muhammad); Mush’ab dari Abd al-Dar; Syammas –pemuda Bani Makhzum; dan Zubayr putra Shafiyyah. Begitu juga sepupu-sepupu Nabi yang lain: Thulayb putra Arwa; dua putra Umaymah --Abd Allah ibn Jahsy dan Ubaydillah serta isternya, Umm Habibah; dan dua putra Barrah –Abu Salamah dan Abu Sabrah yang keduanya beserta isteri masing-masing.

Setelah mereka berkumpul semua, Negus bertanya. “Agama apa gerangan yang menyebabkan kalian berpisah dari kaum kalian, sedangkan kalian tidak memeluk agamaku, juga tidak memeluk agama suku-suku di sekitar kami?”

Ja’far menjawab, “Wahai Raja! Dulu, kami adalah orang-orang jahiliah, menyembah berhala-berhala, memakan daging yang tidak suci, melakukan maksiat, dan pihak yang kuat menerkam yang lemah. Begitulah kami, sampai Allah mengutus kepada kami seorang rasul dari kalangan kami, seseorang yang garis keturunannya kami ketahui, juga kejujuran, integritas, dan penghargaannya terhadap kebenaran.  Ia mengajak kami kepada Allah, bersaksi akan keesaan-Nya, menyembah-Nya, dan meninggalkan batu-batu serta berhala-berhala yang kami dan orang tua kami sembah.

“Ia memerintahkan kami untuk berkata benar, memenuhi janji, menghormati ikatan kekerabatan dan hak-hak tetangga kami. Ia melarang kami melakukan kejahatan dan pertumpahan darah. Karenanya, kami hanya menyembah Allah semata, tidak menyekutukan-Nya, menjauhi apa yang diharamkan-Nya dan melakukan apa yang dibolehkan-Nya.

“Karena alasan ini, kaum kami menentang dan menyiksa kami agar murtad dari agama kami dan tidak lagi menyembah Allah serta kembali menyembah berhala. Karena itu pulalah kami datang ke negeri Tuan, memilih Anda dari yang lain. Dan, kami puas dengan perlindungan Anda. Harapan kami, wahai Raja, di sini, bersamamu, kami tidak akan diperlakukan sewenang-wenang.”

Setelah penerjemah menerjemahkan semua perkataan Ja’far, Negus bertanya, “Apakah ada wahyu ilahi yang dibawa Nabi kalian?”

“Iya, ada.”

“Bacakanlah kepadaku.”

Segera Ja’far membaca surat Maryam[19] ayat 16-21. Negus menangis, begitu pula para pendetanya, saat mereka mendengar ayat itu. Negus berkata, “Ini benar-benar berasal dari sumber yang sama seperti yang dibawa oleh Yesus.” Kemudian ia berkata kepada para utusan Quraisy, “Engkau boleh pergi! Karena demi Tuhan, aku tidak akan menyerahkan mereka kepadamu; mereka tidak boleh dikhianati.”

Negus juga berkata, “Pergilah sesuka kalian, karena kalian aman di negeriku ini. Aku tidak akan melukai seorang pun diantara kalian walaupun diberi segunung emas.” Sembari menunjuk ke arah utusan Quraisy itu, ia berkata kepada para pembantunya, “Kembalikan hadiah pemberian itu kepada mereka, aku tidak memerlukannya.” Maka, ‘Amr dan temannya itu kembali ke Mekah dengan rasa malu.

 

 

 

ANGSA BERTELUR EMAS


Alkisah, hiduplah seorang petani yang bernasib mujur. Di antara hewan-hewan peliharaannya, ada seekor angsa yang bertelur emas. Lalu, hewan-hewan lain seperti ayam, kambing, dan beberapa angsa yang lain kurang diperhatikan sehingga mereka menjadi kurus, bahkan beberapa di antaranya mati.  Ia hanya memperhatikan dan menyayangi si angsa yang bertelur emas itu.

Angsa itu dia tempatkan di sebuah kandang khusus, diberi makan dan dijaga ekstra ketat jangan sampai tetangga tahu karena ia merasa khawatir si angsa dicuri. Setiap pagi petani itu sudah menungguu di dekat kandang untuk memeriksa dan memungut telur emas lalu menjual telur itu ke kota.

Demikian lah, kehidupan petani itu berubah. Ia menjadi kaya raya meski tidak bekerja. Dia merasa sebagai orang paling kaya di kampung itu. Bahkan gaya hidupnya telah berubah. Ia senang berfoya-foya. Dia mulai kenal dan tergoda kehidupan kota yang konsumtif, meninggalkan pola hidupnya di kampung yang tenang dan serba sederhana.

Kenikmatan hidup petani tadi terganggu ketika suatu pagi angsanya tidak bertelur. Dia gelisah dan marah karena hari itu ia merasa kehilangan sebutir telur emas. Sementara, uang tabungannya sudah habis karena ia hambur-hamburkan dengan belanja segala macam barang walau barang-barang itu tidak begitu ia perlukan. Dia lupa bahwa angsanya tidak bertelur karena kesalahan dirinya sendiri. Ia terlalu sibuk degnan dirinya sendiri untuk bersenang-senang sehingga ia kurang menyayangi dan merawat angsanya dengan makanan yang cukup dan bergizi untuk membuat si angsa tetap sehat.

Setelah ia menunggu sampai siang ternyata si angsa tidak juga bertelur, dia berharap esok paginya si angsa akan bertelur emas sebagaimana biasanya. Namun, pagi hari berikutnya, si angsa tidak juga bertelur. Dengan perasaan marah dia menyembelih angsa itu. Dia belah perutnya dengan harapan akan menemukan telur di dalamnya. Tetapi, ia ternyata tidak mendapatkannya, sementara angsanya telah mati. Buyar lah harapannya dan petani tadi akhirnya jatuh miskin, hidup dirundung penyesalan dan duka.

Ada tiga kesalahan fatal dilakukan petani tadi. Pertama, dia lupa diri sehingga terjatuh pada pola kehidupan konsumtif. Melupakan watak aslinya. Kedua, dia lupa merawat dan menyayangi angsanya agar tumbuh sehat dan tetap produktif untuk mempersembahkan telur emas. Ketiga, dia lupa atau bodoh bahwa telur emas itu adalah produk dari sebuah proses, telur itu bukan tersimpan dalam perut angsa. Oleh sebab itu, ketika ia membelah perut si angsa, ia tidak menemukan telur emas, melainkan sekadar calon telur.

Angsa bertelur emas itu bisa saja dianalogikan bumi pertiwi dengan alamnya yang sangat kaya. Beragam flora, fauna dan sumber tambang mineralnya terhampar dan tersimpan dalam perut bumi. Belum lagi kekayaan yang terkandung dalam perut bumi. Belum lagi kekayaan yang terkandung dalam lautan. Tetapi, kita malas dan bodoh serta tidak mampu merawat dan memprosesnya. Kita malah menyerahkan bumi pertiwi kepada pemodal asing sehingga kita sebagai pemilik modal tetap miskin dan orang lain (pemodal asing) yang kaya raya karena memperoleh nilai tambah yang berlipat ganda. Ibarat petani yang bodoh dan tamak, angsa itu kita sembelih sehingga telur emasnya tidak lagi keluar. Kekayaan alam yang demikian melimpah dijual mentah dan gelondongan.

Mulai dari sumber minyak, kayu jati, kelapa sawit dan batu bara bukannya dikelola dan diolah agar menghasilkan nilai tambah yang berlipat untuk produk ekspor dan kebutuhan domestik, tetapi semua itu dijual dan digadaikan mentah-mentah. Hal seperti itu tidak terjadi di Jepang, Korea, China dan beberapa negara maju lainnya. Padahal, bangsa kita, denagn sumber daya alam melimpahnya tersebut, memiliki ribuan anak-anak cerdas yang berasal dari ratusan universitas di negeri ini. Namun, kita gagal mengelola asset-aset bangsa ini untuk mengolah sumber-sumber daya alam kita sendiri demi kemakmuran bangsa kita sendiri.

Yang akhir-akhir ini mengemuka adalah justru agenda membangun citra yang dilakukan oleh para politisi dan selebriti. Mereka berusah menarik simpati agar peringkat mereka tinggi baik ketika pemilu maupun sewaktu manggung di televisi. Politisi dan artis adalah setali tiga uang. Mereka mambangun citra dan merebut simpati lewat media massa. Politisi dan artis, keduanya haus panggung dan simpati masaa dan telah membuat dunia periklanan menjadi sangat penting. Sementara, kita semua tahu bahwa iklan selalu ada unsur manipulatif dan hiperbolis.

Data sementara menunjukkan, sarjana ilmu sosial di Indonesia jauh lebih banyak ketimbang sarjana dalam bidang teknik dan ilmu dasar. Riset dan survey politik juga lebih populer ketimbang penelitian dalam ilmu pengetahuan alam. Berapa triliun uang dibelanjakan untuk ongkos kampanye dan membangun citra diri demi meraih popularitas. Kalau saja separuh uang itu disalurkan untuk riset bidang sains dan membangun lembaga pendidikan kelas dunia, ke depan kita memiliki ribuan angsa bertelur emas. Akan lahir karya-karya besar anak bangsa yang mampu mengangkat harkat dan martabat Indonesia.

Jadi, salah satu agenda utama bangsa ini adalah bagaimana mempersiapkan atau mencetak generasi emas. Dan itu memerlukan waktu minimal dua puluh tahun mengingat generasi emas bukan produk instan. Menurut cerita, para pejabat tinggi di jajaran pemerintahan maupun lembaga bisnis Singapura maupun Korea, adalah produk pendidikan yang secara sadar dirancang untuk menghasilkan generasi emas. Mereka masih muda-muda namun terampil dan memiliki integritas tinggi dalam menerima amanat jabatan.

Sangat disayangkan, pendidikan kita tidak dirancang untuk menelurkan generasi emas yang andal untuk menerima estafet kepemimpinan bangsa dan negara. Kalau pun terdapat beberapa kampus yang melahirkan sarjana berkualitas dan kompetitif, mereka tidak terserap dalam lembaga dan birokrasi pemerintah sebagai pilar utama untuk membangun bangsa sehingga pihak swasta asing yang justru memanfaatkan mereka. Sesungguhnya, terjadinya braindrain tidak selalu negatif. Banyak anak-anak pintar China yang merupakan “generasi emas” belajar di luar negeri dan tidak pulang ke negeri asalnya. Namun, mereka tetap setia pada bangsanya. Bahkan, mereka menjadi semacam duta bangsa dalam membangun jaringan keilmuan dan ekonomi.

Kemiskinan dan kemandegan dalam menelurkan generasi emas juga sangat terlihat dalam tubuh partai politik. Saat ini, mereka bingung untuk mendapatkan calon legislatif yang andal baik secara intelektual maupun moral. Yang kemudian terjadi adalah parpol ramai-ramai membuka diri seakan membuka lapangan kerja atau semacam “Indonesian Idol” mencari anggota DPR. Oleh sebab itu, parpol tak ubahnya kantor biro jasa penyalur “tenaga kerja politik” yang kemudian berhak menarik komisi bagi mereka yang lolos seleksi dan kompetisi.

Dalam sebuah negara yang sehat setidak-tidaknya terdapat empat pilar yang tegak kukuh dan saling mendukung. Pilar-pilar itu adalah kekuatan pasar, kekuatan politik, kekuatan birokrasi, dan kekuatan lembaga pendidikan. Masing-masing pilar bekerja secara otonom, namun secara fungsional masing-masing saling memperkukuh yang lain, bukannya menjegal dan megooptasi. Dalam konteks ini, peranan lembaga pendidikan merupakan tempat penyemaian dan penyalur “generasi emas” pilar-pilar yang lain. Jadi, mestinya dunia perusahaan, dunia politik, dan birokrasi menaruh perhatian serius terhadap lembaga pendidikan, baik dana maupun kurikulum. Karena mereka lah yang akan menyuplai SDM untuk memperkuat pilar-pilar itu. Namun, sekali lagi, proses dan kenyataan yang terjadi adalah bangsa ini berjalan tanpa strategi pembangunan dan pendidikan yang terencana secara solid dan visioner. Semoga dengan ditetapkannya anggaran pendidikan sebesar 20% dari dana APBN, kita bisa merancang pendidikan untuk menelurkan generasi emas yang akan mengembalikan martabat bangsa dan negara.

 

 

ALASAN KHADIJAH CINTA MUHAMMAD


Sebelum memimpin kafilah dagang Khadijah, kredibilitas Muhammad telah dikenal di penjuru Mekah. Muhammad telah dikenal sebagai al-Amin –orang yang dapat dipercaya, dapat diandalkan dan jujur. Kabar ini berasal dari laporan orang-orang yang telah beberapa kali memercayakan barang dagangan mereka kepada Muhamad. Khadijah juga telah mendengar tentang track record kredibilitas Muhammad yang bersumber dari keluarganya.

Pada suatu hari, Khadijah meminta Muhammad untuk membawakan barang dagangannya ke Suriah. Bayarannya dua kali lebih besar dari bayaran tertinggi yang pernah diberkan kepada orang Quraisy. Dan, untuk perjalanan, Khadijah menawarinya bantuan seorang budaknya bermana Maysarah. Muhammad pun menerima tawarannya. Dengan ditemani budak itu, ia berangkat membawa barang dagangan Khadijah ke utara.

Setibanya di Mekah, Muhammad dan Maysarah menuju ke rumah Khadijah dengan barang-barang yang mereka beli di pasar Suriah seharga dengan barang-barang yang mereka jual. Khadijah duduk mendengarkan Muhammad, ketika ia menceritakan perjalanan dan transaksi yang dilakukannya. Ternyata, transaksi itu sangat menguntungkan, karena Muhammad dapat menjual aset-asetnya hampir dua kali lipat dari harga yang dibayarkan.

Baru setelah mendengarkan cerita Muhammad itu, Khadijah jatuh cinta. Begitu Muhammad pergi, Khadijah berkonsultasi dengan temannya, Nufaysah. Nufaysah menawarkan diri untuk mendekati Muhammad, dan jika perlu, untuk mengatur pernikahan mereka berdua. Kemudian, Nufaysah datang kepada Muhammad dan menanyakan mengapa ia belum menikah.

“Aku tidak memiliki apa-apa untuk dapat berumah tangga,” jawab Muhammad.

“Jika ada seorang wanita yang cantik, kaya, terhormat, dan berlimpah harta, apakah engkau bersedia?” kata Nufaysah.

“Siapakah dia?” tanya Muhammad.

“Khadijah.”

“Bagaimana aku dapat menikahinya?”

“Serahkan hal itu padaku!”

“Baiklah. Dari pihakku bersedia,” jawab Muhammad.

Nufaysah kembali kepada Khadijah menyampaikan beritanya. Kemudian, Khadijah menyuruh Nufaysah memanggil Muhammad agar datang kepadanya. Setelah Muhammad datang, Khadijah berkata, “Putra pamanku, aku mencintaimu karena kebaikanmu padaku, juga karena engkau selalu terlibat dalam segala urusan di tengah masyarakat, tanpa menjadi partisan. Aku menyukaimu karena engkau dapat diandalkan, juga karena keluruhan budi dan kejujuran perkataanmu.” Khadijah pun akhirnya menawarkan dirinya untuk dinikahi.

Mereka sepakat agar masing-masing berbicara kepada pamannya. Khadijah berbicara kepada pamannya –Asad— karena ayahnya –Khuwaylid— telah wafat. Sementara itu, Bani Hasyim mengutus Hamzah sebagai wakil. Maka, Hamzah membawa keponakannya menemui ‘Amr dan melamar Khadijah. Kesepakatan dicapai di antara mereka bahwa Muhammad harus memberinya mahar dua puluh ekor untuk betina.

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...