Rabu, 21 April 2021

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam

Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya

Lahir di Banyuwangi, 3 Mei 1987

Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)


Owner Bimotiva Twinkle Stars

Mengajar Bahasa Inggris di Pondok Pesantren Mahasiswa (Pesma) An-Nur (2011-Sekarang)

Copy Writer, Social Media Marketer merangkap Admin di Majalah Tradisi (2014-2015)

Penulis Buku (2011-Sekarang)

Pegiat Literasi Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Kota Surabaya (2015-Sekarang)

Sering rangking 1 ketika SMA

10 Besar Olimpiade Fisika se-Kabupaten Madura 2007

Peraih Beasiswa 3 kali berturut-turut di kampusnya

Wisudawan Terbaik II

Penulis buku Berpikir, Bersikap dan Beraksi ala Pemenang diterbitkan PT. Elex Media Komputindo Kompas Gramedia Jakarta 2012

Penulis buku Pemenang di Atas Pemenang diterbitkan PT. Elex Media Komputindo Kompas Gramedia Jakarta 2013

Penulis buku Ayat-Ayat Kemenangan diterbitkan Padma Press Surabaya 2016 (ditayangkan Jawa Pos, Minggu 24 Januari 2016)

Penulis beberapa buku yang masih menunggu keputusan penerbit. Diantaranya: 7 Siasat Terlarang Jadi Entrepreneur; Menang Ketika Kalah; Risalah Kemenangan; I’tibar; Mindset Revolution, We Are The Champions dan lain-lain

Tulisannya juga pernah dimuat di Majalah Ummi Jakarta (No.6/ XXV/ Juni 2013/ 1434 H) dan Majalah Padma Magz (2016)

Terpilih nomor 2 dalam 9 besar dari seleksi 1540 kandidat sebagai Pegiat Literasi Dinas Perpustakaan & Kearsipan Kota Surabaya (2015)



Kamis, 10 September 2020

BELAJAR DENGAN MENGAJAR

—Saiful Islam—

 “Cara terobosan mempelajari sesuatu…”

 Beberapa studi telah menunjukkan dampak belajar dengan mengajar. Para siswa yang mengajarkan ilmu yang telah diperolehnya, menunjukkan pemahaman dan pengetahuan yang lebih baik daripada para siswa yang hanya mempelajari lagi ilmu yang telah diperoleh.

 Sebuah studi dalam Applied Cognitive Psychology, para peneliti yang diketuai oleh Aloysius Wei Lun Koh menguji teori mereka bahwa mengajar itu meningkatkan belajar para guru karena memaksa mereka mengingat kembali apa yang telah dipelajari. Dengan kata lain, mereka yakin bahwa manfaat belajar dengan mengajar adalah bentuk lain dari bentuk ‘efek tes’—cara untuk menjelajah lebih dalam informasi yang telah tersimpan di dalam otak daripada menghabiskan waktu lebih banyak untuk mempelajari ulang informasi itu.

 Para peneliti merekrut 124 pelajar dan meminta mereka memahami sebuah teks selama sepuluh menit, dengan angka dan data, tentang Efek Doppler dan Gelombang Suara—topik yang belum pernah mereka pelajari. Mereka diperintah untuk mengajarkan materi tersebut nantinya tanpa catatan. Mereka diminta mencatat selama mempelajarinya tetapi tidak boleh melihatnya lagi di tahap berikutnya.

 Lalu para peserta dibagi menjadi empat group. Group (1) diberi waktu lima menit untuk berdiri dan menyampaikan materi tersebut tanpa catatan (boleh menggunakan bagan atau peta kosong untuk menuliskan data-data jika mau). Group (2) juga waktunya lima menit untuk menyelesaikan perkalian aritmatika. Group (3) berdiri dan mengajarkan kata per kata dari melihat naskah (termasuk membuat rujukan data-data di papan tulis). Group (4) menuliskan semua yang bisa mereka ingat dari teks (praktik retrieval).

 Seminggu kemudian, semua peserta kembali ke lab untuk menguji pengetahuan dan kepahaman mereka terhadap teks aslinya. Dengan enam pertanyaan terbuka, mereka akan menjawab atau menjelaskan konsep-konsep inti dari materi tersebut.

 Penemuan pentingnya adalah group yang mengajar tanpa catatan mengungguli group yang mengerjakan aritmatika dan group yang mengajar dengan melihat naskah. Tetapi tidak dengan group yang praktik retrieval.

 Performa kepahaman finalnya antara group yang mengajar tanpa catatan dan group praktik retrieval itu bisa dibandingkan.

 Para peneliti mengatakan hasil mereka menunjukkan bahwa “manfaat strategi belajar dengan mengajar itu disebabkan oleh praktik retrieval; yaitu kekuatan strategi belajar dengan mengajar itu berhasil tetapi hanya jika mengajar itu melibatkan mengingat kembali materi yang telah dipahami (proses retrieval).”

 Penemuan-penemuan terbaru itu tidak melemahkan gagasan bahwa mengajar sebagai dampak metode pembelajaran. Tetapi penemuan tersebut memiliki dampak praktis bagaimana pendekatan belajar dengan mengajar diterapkan dalam pendidikan dan pelatihan. “Untuk memastikan para pelajar dan tutornya belajar dan menguasai materi yang telah disiapkan dan dipresentasikan, mereka harus menginternalisasi (sangat memahami) materi tersebut terlebih dahulu, daripada bersandar pada catatan ketika proses presentasi berlangsung,” kata para peneliti.

 Pembaca yang kritis mungkin menganggap kurang realistis (realism) pada studi tersebut—tidak adanya audiens pada setiap kondisi mengajar di atas sehingga tidak ada interaksi, yang pastinya juga berperan menjadi bagian dalam manfaat belajar dengan mengajar. Selain itu, para peserta di setiap group yang diarahkan sebelumnya untuk mengajar, itu mendapat manfaat belajar itu sendiri—bisa jadi, group retrieval tidak sesuai pemahamannya dengan group mengajar tanpa catatan dengan tanpa diarahkan terlebih dahulu.

 Lun Koh dan tim kerjanya mengakui beberapa isu ini. Mereka menyarankan penelitian lebih lanjut ‘menilai pentingnya praktik retrieval untuk berbagai skenario dan aktivitas mengajar’.

 Intinya membangun kepahaman dalam proses pembelajaran, itu sebaiknya tidak hanya memasukkan informasi ke dalam otak. Tetapi juga menyampaikannya. Sebenarnya, sejak di bangku sekolah sistem itu sudah ada. Para siswa diberi informasi. Kemudian ada ujian menjawab pertanyaan tanpa boleh membuka buku atau catatan lagi. Ini berarti mengondisikan siswa untuk melakukan praktik retrieval.

 Di bangku kuliah, malah semakin jelas lagi. Dosen hanya memberi topik permasalahan. Setiap mahasiswa atau kelompok ditugaskan untuk menjawabnya dengan menulis makalah. Mahasiswa lalu mengumpulkan dan membaca buku dan sumber referensi yang lain. Menuliskan data-data yang relevan dengan permasalan. Melakukan analisis sampai menemukan kesimpulan.

 Setelah makalah jadi, difoto kopi, lalu dibagikan kepada dosen dan semua mahasiswa satu kelas. Kemudian pembuat makalah itu mempresentasikannya di depan dosen dan teman-temannya itu. Setelah selesai presentasi, dilanjutkan dengan sesi tanya jawab, diskusi, sampai debat. Di akhir sesi, dosen memberi kritik dan saran. Tentu semua proses itu—dari mulai menulis sampai saran dosen—itu butuh beberapa hari. Terjadi internalisasi terutama bagi si pembuat makalah.

 Tampak jelas di sana, mahasiswa lebih aktif daripada dosennya. Sebaiknya memang begitu dalam proses pembelajaran: siswa lah yang harus lebih aktif dan lebih banyak berlatih. Sebab kalau dosennya yang lebih aktif, hasilnya sudah bisa ditebak: yang semakin mengerti, semakin bisa dan semakin paham adalah dosennya.

 Dengan menulis, menyampaikan (mengajarkan), mendiskusikan, dipertanyakan, dikritik, didebat, sampai diberi kritik dan saran oleh dosen, itu tentu saja akan membuat pemahaman mahasiswa—pembuat makalah itu sendiri terutama—akan semakin kuat. Semakin dalam. Dan semakin berkesan. Tidak hanya otak kiri yang terlibat dalam proses itu, tetapi juga otak kanan.

 Pernah saya mendatangi rumah Agus Mustofa dan beraudiensi langsung dengan beliau. Mantan wartawan senior Jawa Pos dan penulis puluhan buku ini sempat mengatakan kepada saya, “Menulislah. Dengan menulis, otomatis Anda akan membaca…”

 Semoga bermanfaat. Walloohu a’lam bishshowaab….

 *Penulis buku Ayat-Ayat Kemenangan, dll.

 

Selasa, 08 September 2020

KRITIK KABAR BURUNG

 

—Saiful Islam*—

 “Jika ada orang fasik membawa berita, periksalah dengan teliti agar kamu tidak mencelakakan umat...” (QS.49:6)

 Menurut Wikipedia, hoaks adalah berita bohong yang sengaja dibuat menjadi seolah-olah kebenaran. Kamus Oxford mengartikan hoaks, itu tindakan yang bertujuan untuk meyakinkan orang pada sesuatu yang salah. Kamus Cambridge, hoaks merupakan tipuan yang dimainkan untuk memperdaya orang. Merriam-Webster, hoaks diartikan tipuan yang sengaja dibuat supaya orang menerima dan meyakini sebagai kebenaran.

 Silverman (2015) menyatakan hoaks adalah rangkaian informasi yang memang sengaja disesatkan, namun ‘dijual’ sebagai kebenaran. Sedangkan Werme (2016) memahami fake news atau hoax news sebagai berita palsu yang mengandung informasi yang sengaja menyesatkan orang serta memiliki agenda politik tertentu. Selain itu, motif hoaks, itu misalnya sengaja untuk menimbulkan keresahan publik, menarik simpati, likes dan viewers, sampai keisengan belaka.

 Dalam Ilmu Hadis, Rasulullah pun pernah menjadi objek pemalsuan. Berbohong atas nama Rasul. Yaitu Hadis mawdhu’ (palsu). Alias Hadis hoaks. Disebutkan bahwa pemalsuan Hadis itu sejak terjadinya fitnah al-kubro (fitnah besar)—pertentangan antar Sahabat Ali (w. 40 H) dan Muawiyah (w. 60 H) dan terpecahnya Kaum Muslimin menjadi bermacam aliran dan golongan.

 Pelaku pemalsuan itu adalah di antara pengikut masing-masing untuk menjatuhkan lawan. Dan tak menutup kemungkinan, yakni sejak terjadinya fitnah pada masa Utsman (w. 35 H). Menurut Ulama Hadis, negeri Irak menjadi ‘pabrik’ Hadis hoaks untuk pertama kalinya.

 Motif pemalsuan Hadis, itu antara lain yaitu pembelaan terhadap aliran politik, pembelaan terhadap pendapat agama—akidah, ushul, furu’, termasuk masalah fikih, pembelaan aliran geografis, ingin mendekati penguasa, mencari pendukung (massa), kultus individu, cerita dan nasehat fiktif yang memotivasi atau mengancam, sampai orang di luar Islam—Zindik—yang berniat menghancurkan Islam dari dalam.

 Adapun di zaman kita sekarang, kerap dijumpai beberapa macam hoaks. Antara lain hoaks pesan berantai. Modusnya seperti kalau share ke beberapa kontak atau WA Group akan mendapat rezeki nomplok, kabar gembira yang tidak terduga-duga sebelumnya, haji dan umroh ajaib, atau sebaliknya—mendapat bahaya kalau tidak share.

 Ada lagi hoaks virus (info ada virus pada HP atau komputer yang sebenarnya tidak terinfeksi), hoaks pencemaran nama baik, hoaks kisah pilu atau sedih, hoaks urban legend—seperti cerita seram tentang benda, tempat atau kegiatan tertentu dan hoaks hadiah gratis.

Tergolong hoaks adalah berita disinformasi. Paling tidak, terdiri dari pertama, konten menyesatkan (misleading content). Cara membuatnya, yaitu memanfaatkan informasi asli seperti gambar, pernyataan resmi atau statistik. Tetapi diedit dan tidak dihubungkan dengan konteks aslinya.

 Kedua, adalah informasi salah konteks (false context). Yakni menggunakan informasi asli, tetapi disebar dalam konteks yang salah. Biasanya, informasi yang dipakai adalah pernyataan, foto atau video peristiwa yang pernah terjadi pada suatu lokasi. Tetapi konteksnya diubah sehingga tidak sesuai lagi dengan kenyataan.

 Ketiga, salah koneksi (false connection). Yaitu memakai judul, caption, atau sumber visual yang tidak sesuai dengan konten tulisan.

 Keempat, adalah konten tiruan (imposter content). Cara menyesatkannya, yaitu mendompleng ketenaran suatu pihak. Penjahat ini membuat tiruan yang terlihat seolah-olah asli untuk menipu publik.

 Kelima, berupa konten manipulasi (manipulated content). Yaitu dengan memanipulasi informasi asli untuk mengelabui bahkan memprovokasi pembaca agar percaya. Biasanya berita yang diedit, diseting dan dipalsukan itu diambil dari media-media besar.

 Yang terakhir adalah konten palsu (fabricated content). ‘Fakta-fakta’ yang dicantumkan dalam konten ini, sama sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan. Karena memang tidak pernah ada. Murni hayalan.

 Jadi sangat jelas bahwa tidak semua berita yang kita baca di internet, termasuk di media sosial (WA, Facebook, Instagram, Twitter, SMS, dan lain-lain), itu benar adanya. Hoaxes itu nyata. Maka kita harus berpikir kritis (logis dan rasional) bahkan skeptis (tidak langsung percaya dan terbiasa melakukan crosscheck dan verivikasi).

 Untuk merespon fenomena Hadis, misalnya, itu ulama mempunyai ilmu sebagai alat untuk proses verivikasi tersebut. Apakah sebuah Hadis bisa diterima ataukah harus diletakkan. Yaitu terutama, Ilmu Kritik Hadis. Hadis dikatakan sahih atau lolos uji, paling tidak ditinjau dari dua sisi. Pertama, sisi sanadnya (rangkaian periwayatnya). Kedua, dari sisi matannya (redaksi Hadis itu sendiri).

 Proses verivikasi itu menghasilkan Hadis sahih, Hadis lemah (dhoif) dan Hadis palsu. Buku-buku kumpulan Hadis hoaks antara lain Al-Mawdhu’at karya Ibnu al-Jawziy, Al-La’ali al-Mashnu’ah fi al-Ahadits al-Mawdhu’ah karya Al-Suyuthi, Tanzih al-Syari’ah al-Marfu’ah ‘an al-Ahadits al-Syani’ah al-Mawdhu’ah karya Ibnu ‘Iraq al-Kittani dan Silsilah al-Ahadits al-Dho’ifah karya Al-Albani.

 Adapun berita-berita yang bersumber dari internet di masa kita sekarang ini, bisa dilakukan verifikasi dengan misalnya sebagai berikut. Lebih waspada dan hati-hati dengan judul yang sensasional dan provokatif.

 Jika berupa gambar atau foto, bisa dibuka Google Image. Klik icon kamera dan upload gambar yang mau dicek. Atau copas link/URL gambar yang akan diperiksa benar tidaknya.

 Jika berupa link, cek URL-nya dan cek kredibilitas situsnya dengan mengidentifikasi pemilik situs atau admin websitenya di menu/halaman ‘About Us’ atau ‘Tentang Kami’.

 Jika situsnya belum terverifikasi sebagai institusi pers resmi, seperti berdomain blog, maka informasinya masih meragukan. Ada sekitar 43.000 situs di Indonesia yang mengklaim sebagai portal berita.

 Bandingkan dengan situs-situs mainstream. Seperti Jawa Pos, Detik, Kompas dan lain-lain.

 Jika info yang diduga hoaks itu dari WhatsApp, tanyakan kepada pengirimnya sumber ia memperoleh info tersebut. Jika jawabannya ‘kiriman teman’ atau ‘copas dari group sebelah’ terindikasi kuat itu hoaks.

 Sebaiknya jangan mudah cepat percaya apabila sebuah informasi itu berasal dari pegiat ormas, tokoh politik atau pengamat.

 Bisa pula ikut bergabung ke dalam group diskusi anti hoaks. Di Facebook, misalnya Forum Anti Fitnah, Hasut dan Hoax (FAFHH), Indonesia Hoax Buster, Indonesian Hoaxes dan Sekoci.

 Jawa Pos versi cetak pun, biasanya di halaman 4, menyediakan rubrik Hoax Atau Bukan yang setiap hari memverivikasi kebohongan berita yang masih hangat.                                                        

 Semoga bermanfaat. Walloohu a’lam bishshowaab….

 *Penulis buku Ayat-Ayat Kemenangan, dll.

SILENT VS READING ALOUD

—Saiful Islam*—

 “Mengawinkan keduanya adalah cara cerdas meningkatkan efektivitas membaca…”

 Banyak pengertian membaca yang disampaikan oleh para ahli. Intinya, adalah membaca itu untuk mendapatkan pemahaman dan gagasan utama yang terkandung dalam rangkaian kalimat.

 Membaca, itu paling tidak ada dua macam. Pertama, membaca dalam hati (silent reading). Sifatnya personal, yakni untuk diri sendiri. Kedua adalah membaca nyaring (reading aloud). Ini lebih untuk pendengarnya. Yang level membacanya biasanya pemula.

 Reading aloud bersifat menyediakan atau menyajikan gagasan untuk pendengar. Sedangkan silent reading lebih ke langsung menyerap gagasan untuk dirinya sendiri. Reading aloud lebih kompleks. Karena melibatkan penafsiran berdasar gerak mata yang bersamaan dengan pengucapan. Tetapi silent reading itu sederhana—langsung menafsirkan tanpa dijeda oleh pengucapan. Reading aloud mementingkan pengucapan. Silent reading mementingkan makna. Reading aloud memperlambat dan membatasi kecepatan membaca. Sedangkan silent reading tidak.

 Pertanyaan pentingnya adalah mana yang lebih efektif, membaca dalam hati atau membaca nyaring.

 Sebelum mengarah langsung ke jawaban, sebaiknya kita memahami terlebih dahulu manfaat masing-masingnya. Baik silent reading maupun reading aloud.

 Ada beberapa manfaat membaca ‘dalam hati’. Antara lain pertama, lebih memberi kesempatan kepada pembaca sesuai dengan kecepatan membacanya. Membaca dalam hati, juga bisa membangun kepercayaan diri pembaca dalam kemampuan memahami teks secara mandiri. Dalam hal ini, membaca dalam hati, dilihat sebagai sebuah strategi untuk menyiapkan seseorang menjadi pembaca sepanjang hidup.

 Manfaat kedua membaca dalam hati adalah dapat meningkatkan keahlian pembaca atau pembelajar. Ketika sebuah teks dibaca dengan hati, maka pembaca akan lebih memahaminya. Ini terjadi karena pembaca dapat membaca teks itu dengan perlahan-lahan.

 Ketiga, membaca dalam hati, juga berguna untuk meningkatkan motivasi membaca. Bisa meningkatkan minat baca. Membaca dalam hati tidak hanya bisa dilakukan di dalam kelas, di dalam rumah, di dalam kantor, di dalam perpustakaan dan seterusnya. Tetapi bisa juga di luar ruangan dengan udara bebas.

 Keempat, cara silent reading apalagi membacanya perlahan-lahan, akan meningkatkan kemampuan berkonsentrasi, menurunkan tingkat stres dan memperdalam kemampuan mereka berpikir, mendengar dan berempati.

 Adapun reading aloud, juga memiliki beberapa keuntungan. Yaitu pertama, menarik perhatian pendengar sambil menyisipkan ilmu pengetahuan, meningkatkan kemampuan untuk memahami dan melatih berpikir kritis.

 Kedua, menambah kosa kata. Sambil membaca nyaring, dicatat kosa kata yang sekiranya baru atau sulit bagi pendengar. Bisa juga menuliskannya, kemudian menanyakan artinya kepada pendengar barangkali ada yang tahu. Penting juga untuk dilihat apakah pendengar itu sudah bisa mengerti kosa kata itu dalam konteks kalimat atau paragraf.

 Ketiga, meningkatkan dan mengembangkan kemampuan mendengar. Serta meningkatkan perhatian pendengar secara umum. Ketika dibacakan nyaring, hasrat mendengar audiens kepada cerita yang dibacakan akan meningkatkan kemampuan mendengarnya. Ini akan merangsang pendengar mengeluarkan ide mereka sendiri. Kemampuan mendengar yang semakin baik, akan membuat mereka semakin mudah memahami. Lantas menerapkannya.

 Keempat, dengan reading aloud akan membantu pendengarnya belajar untuk menata hal-hal sesuai tempatnya. Dengan mendengarkan sebuah cerita misalnya, pendengar akan belajar bahwa cerita itu memiliki rangkaian kejadian yang mengandung sebab akibat secara logis.

 Kelima, tentang tata bahasa (grammar misalnya dalam Bahasa Inggris atau nahwu-shorof dalam Bahasa Arab). Membaca nyaring akan membantu pendengarnya belajar tata bahasa. Dan mendengarkan kalimat yang sempurna, itu akan meningkatkan pemahaman pendengar terhadap tata bahasa secara umum. Serta pemahaman terhadap penggunaan kata.

 Keuntungan terakhir adalah kreativitas. Reading aloud akan meningkatkan kreativitas. Pendengar akan memvisualisasikan (membayangkan dalam bentuk gambar atau film dalam benaknya) ketika mendengar cerita. Proses visualisasi ini akan meningkatkan kemampuan kreatif mereka. Proses ini akan lebih mudah, ketika dikatakan kepada pendengar, “Tutup mata. Dan bukalah imajinasi kalian.”

 Lantas mana yang lebih efektif, silent reading atau reading aloud? Para pakar memang banyak berdebat soal itu. Tetapi sebuah studi yang dilakukan di Arkansas State University menemukan bahwa kombinasi silent reading dan reading aloud sesuai kebutuhan seseorang, itu berpotensi menjadi cara terbaik untuk meningkatkan kelancaran dan kepahaman. Kombinasi itu adalah yang optimal.

 Penelitian yang lain juga menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang berarti terkait pemahaman, antara silent reading dan reading aloud.

 Ada pendapat bahwa jika seseorang itu pemula untuk belajar dan meningkatkan  kemampuan berbicara, maka reading aloud itu diutamakan. Dan ketika seseorang ingin meningkatkan kemampuan menafsirkan dan membaca lebih cepat, maka silent reading itu lebih diutamakan.

 Jadi, untuk pembaca pemula, atau baru belajar sebuah bahasa, maka tampaknya, membaca nyaring dan menyimak reading aloud, itu lebih baik. Sedangkan yang sudah berpengalaman, sebaiknya silent reading yang fokus pada gagasan utamanya. Pemula, itu tidak dilihat dari usianya. Sebab berusia 40 tahun sekali pun, tidak akan bisa membaca teks Arab atau Inggris apalagi memahaminya misalnya, kalau sebelumnya belum pernah belajar sama sekali.

 Maka sesuaikanlah dengan kebutuhan diri Anda. Lihatlah dengan jujur kemampuan diri Anda sendiri. Apakah Anda termasuk pemula, sedang atau sudah mahir. Jika pemula, beri porsi reading aloud lebih banyak. Jika sedang dan mulai mahir, beri porsi silent reading lebih banyak.

 Semoga bermanfaat. Walloohu a’lam bishshowaab….

 *Penulis buku Ayat-Ayat Kemenangan, dll.

MEMBACA BAK MENIKMATI ICE CREAM

 

—Saiful Islam*—

 “Membaca itu tidak harus urut, tidak harus sampul ke sampul…”

 Saya suka dengan kata relevansi. Yaitu kaitan antara apa yang akan dibaca dengan kebutuhan atau keinginan si pembaca. Maka penting bagi setiap pembaca itu menentukan tujuan membaca. Menentukan tujuan adalah langkah fundamental.

 Misalnya ada orang membaca itu karena ingin tahu cara menyikapi sesuatu dan cara melakukannya. Ia akan membaca buku-buku how to. Misalnya cara membaca efektif, cara diet yang benar, cara memasak cumi-cumi yang sehat dan menarik, cara investasi kos-kosan, cara budidaya lele, teknis mengawetkan hubungan, dan lain-lain. Ini sifatnya praktis.

 Ada juga orang yang membaca untuk mengembangkan pengetahuan dan pemahaman yang terkait bidangnya. Misalnya seorang seniman, ahli filsafat, teologi, ahli tafsir hadis, sosiologi, sejarah, antropologi, ekonomi, politik, fisika, biologi, kimia, astronomi, geografi dan lain-lain. Ini sifatnya wawasan. Pengetahuan. Sama seperti membaca berita terkini. Baik dari koran cetak maupun yang versi online.

 Ada pula orang yang membaca itu hanya mencari hiburan. Misalnya membaca cerita pendek, cerita bersambung, puisi, sampai novel.

 Meskipun sejatinya semua jenis bacaan, itu akan membentuk pola pikir. Pola pikir akan membentuk pola sikap. Dan pola sikap akan membentuk pola tindakan. Jadi ujung-ujungnya, jenis bacaan apa pun itu akan berdampak pada tindakan. Yang akan berdampak pada pencapaian atau prestasi.

 Yang jelas, membaca itu bukan hafalan. Juga bukan hataman. Tidak mungkin ketika kita masuk ke dalam sebuah perpustakaan misalnya, itu membaca semua buku-buknya dari sampul ke sampul. Jelas, tidak semua buku dibaca. Tetapi harus memilih. Relevansi sangat erat kaitannya dengan tujuan dan memilih. Ini berlaku untuk semua bahasa: Indonesia, Arab, Inggris, Jerman, Perancis dan lain-lain.

 Proses memilih ini, terkait dengan istilah scanning dan skimming. Teknik scanning adalah mencari informasi spesifik yang telah ditentukan sebelumnya secara cepat dan akurat. Sedangkan skimming merupakan membaca dengan cepat untuk mengetahui isi umum atau bagian suatu bacaan.

 Ada teori yang sudah umum dikenal: AMBAK. Itu singkatan dari ‘Apa Manfaatnya Bagiku’. Jadi sebelum membaca, pembaca sebaiknya bertanya pada dirinya sendiri, “Apa manfaatnya buku atau informasi ini bagiku?” Jika relevan dengan tujuan dan keinginannya, maka bisa memutuskan untuk membacanya. Tetapi jika tidak, atau belum relevan, tidak perlu membacanya.

 Jika sudah relevan pun, itu sebaiknya melakukan survey terlebih dahulu terhadap buku tersebut. Seperti membaca sekilas judulnya, penulisnya dan penerbitnya. Lalu bagian sinopsisnya. Biasanya ada di sampul belakang buku. Sinopsis ini menginfokan garis besar isi buku. Lalu membaca daftar isinya. Jika dimungkinkan ada informasi yang kita butuhkan, kita langsung menuju membaca bagian tersebut. Tidak perlu membaca urut.

 Tentu saja, membaca tidak urut, itu biasanya untuk buku-buku non-fiksi. Yakni buku-buku ilmu pengetahuan dan how to. Ini berbeda dengan membaca yang tujuannya adalah hiburan. Membaca cerpen atau novel misalnya. Jenis membaca yang terakhir ini, biasanya dibaca from cover to cover supaya mendapatkan cerita yang utuh. Seperti anak kecil yang makan ice cream yang tidak mau cepat habis. Sangat menikmati setiap hurufnya, emosinya, adegannya dan lain seterusnya.

 Atau bisa juga buku non fiksi dibaca from cover to cover. Misalnya karena ingin mendalami betul materi yang diceritakan dalam buku tersebut.

 Itulah kesimpulan dari tiga langkah pertama dari teori SQ3R (Survey, Question, Read, Recite, Review). Survey intinya adalah diamati atau dibaca sekilas. Question adalah menentukan pertanyaan-pertanyaan terlebih dahulu yang jawabannya akan didapatkan dari buku yang akan dibaca. Read adalah proses membaca itu sendiri dengan detail. Selanjutnya bisa dilakukan resume (rangkuman) dengan ditulis di buku catatan, mind mapping (peta pikiran) atau diceritakan kepada orang lain secara lisan.

 Kalau dalam Ilmu Tafsir, kita bisa membandingkannya dengan metode tafsir mawdhu’i. Alias metode tafsir tematik. Yaitu si penafsir Qur’an, menentukan terlebih dahulu tema atau topik apa yang akan dibahasnya. Kemudian dikumpulkanlah ayat-ayat yang terkait tema. Yang relevan. Barulah ayat-ayat tersebut didekati dengan aneka disiplin ilmu. Misalnya ilmu sosial, ilmu politik, ilmu sastra, ilmu bahasa, ilmu Hadis, ilmu fisika, ilmu ekonomi, dan ilmu-ilmu lain yang sekiranya relevan.

 Jika ada seseorang yang mengaku, “Aku bisa membaca sepuluh buku dalam satu jam!” itu jangan dibayangkan ia menghatamkan sepuluh buku itu dari sampul ke sampulnya. Apalagi menghafalnya. Maksudnya adalah betul ia telah membaca sepuluh buku. Yaitu ia hanya mengambil informasi-informasi yang relevan saja dengan kebutuhannya. Yaitu membaca bagian tertentu saja dari buku tersebut.

 Penting juga diterapkan metode Quantum Reading. Intinya dalam membaca itu, disiapkan suasananya. Tempat dan waktunya. Misalnya dikreasi tempat yang setenang dan senyaman mungkin. Ada yang membaca sambil memutar musik instrumental, ada yang membaca sambil ‘ngemil’, ada yang membaca harus dingin dengan AC atau kipas, ada yang nyaman membaca dalam suasana hening, sore hari, pagi hari, malam hari, dini hari, di musala, teras, kamar, ruang tamu, taman, dan lain seterusnya. Disesuaikan dengan diri sendiri.

 Metode Quantum Reading itu, sebenarnya adalah upaya untuk melibatkan dua belahan otak: otak kiri yang rasional, logis, urut-urut, kritis. Dan otak kanan yang bebas, liar, imajinatif, dan kreatif. Penetapan suasana itu adalah upaya untuk mengaktifkan otak kanan dalam membaca. Sedangkan membaca itu sendiri adalah pengaktifan dari otak kiri. Dua belahan otak yang aktif itu, akan membuat pembaca mendapatkan pengalaman yang lebih berkesan.

 Hanya saja menurut Qur’an, secara umum bahwa membaca (terutama mengkaji Qur’an) yang lebih berkesan dan lebih menancap ke dalam jiwa, itu dilakukan di malam hari. Menggambarkan sebuah suasana yang tenang, sepi dan sunyi. Tidak ada suara bising, gaduh, berisik dan semisalnya. Tentu itu akan sangat membantu seseorang untuk bisa fokus dan konsentrasi. Tidak ada noises yang membuyarkan fokusnya. Sehingga membaca itu menjadi lebih efektif dan efisien

 “Sesungguhnya bangun di waktu malam, itu lebih tepat (untuk mengisi jiwa). Dan bacaan di waktu itu lebih berkesan…” (QS.73:6).

 Semoga bermanfaat. Walloohu a’lam bishshowaab….

 *Penulis buku Ayat-Ayat Kemenangan, dll.

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...