—Saiful Islam—
“Cara terobosan mempelajari
sesuatu…”
Beberapa studi telah menunjukkan
dampak belajar dengan mengajar. Para siswa yang mengajarkan ilmu yang telah
diperolehnya, menunjukkan pemahaman dan pengetahuan yang lebih baik daripada
para siswa yang hanya mempelajari lagi ilmu yang telah diperoleh.
Sebuah studi dalam Applied
Cognitive Psychology, para peneliti yang diketuai oleh Aloysius Wei Lun Koh
menguji teori mereka bahwa mengajar itu meningkatkan belajar para guru karena
memaksa mereka mengingat kembali apa yang telah dipelajari. Dengan kata lain,
mereka yakin bahwa manfaat belajar dengan mengajar adalah bentuk lain dari
bentuk ‘efek tes’—cara untuk menjelajah lebih dalam informasi yang telah
tersimpan di dalam otak daripada menghabiskan waktu lebih banyak untuk
mempelajari ulang informasi itu.
Para peneliti merekrut 124 pelajar
dan meminta mereka memahami sebuah teks selama sepuluh menit, dengan angka dan
data, tentang Efek Doppler dan Gelombang Suara—topik yang belum pernah mereka
pelajari. Mereka diperintah untuk mengajarkan materi tersebut nantinya tanpa
catatan. Mereka diminta mencatat selama mempelajarinya tetapi tidak boleh
melihatnya lagi di tahap berikutnya.
Lalu para peserta dibagi menjadi
empat group. Group (1) diberi waktu lima menit untuk berdiri dan menyampaikan
materi tersebut tanpa catatan (boleh menggunakan bagan atau peta kosong untuk
menuliskan data-data jika mau). Group (2) juga waktunya lima menit untuk menyelesaikan
perkalian aritmatika. Group (3) berdiri dan mengajarkan kata per kata dari melihat
naskah (termasuk membuat rujukan data-data di papan tulis). Group (4) menuliskan
semua yang bisa mereka ingat dari teks (praktik retrieval).
Seminggu kemudian, semua peserta
kembali ke lab untuk menguji pengetahuan dan kepahaman mereka terhadap teks
aslinya. Dengan enam pertanyaan terbuka, mereka akan menjawab atau menjelaskan
konsep-konsep inti dari materi tersebut.
Penemuan pentingnya adalah group
yang mengajar tanpa catatan mengungguli group yang mengerjakan aritmatika dan
group yang mengajar dengan melihat naskah. Tetapi tidak dengan group yang praktik
retrieval.
Performa kepahaman finalnya antara
group yang mengajar tanpa catatan dan group praktik retrieval itu bisa
dibandingkan.
Para peneliti mengatakan hasil
mereka menunjukkan bahwa “manfaat strategi belajar dengan mengajar itu
disebabkan oleh praktik retrieval; yaitu kekuatan strategi belajar
dengan mengajar itu berhasil tetapi hanya jika mengajar itu melibatkan
mengingat kembali materi yang telah dipahami (proses retrieval).”
Penemuan-penemuan terbaru itu tidak
melemahkan gagasan bahwa mengajar sebagai dampak metode pembelajaran. Tetapi
penemuan tersebut memiliki dampak praktis bagaimana pendekatan belajar dengan
mengajar diterapkan dalam pendidikan dan pelatihan. “Untuk memastikan para
pelajar dan tutornya belajar dan menguasai materi yang telah disiapkan dan
dipresentasikan, mereka harus menginternalisasi (sangat memahami) materi
tersebut terlebih dahulu, daripada bersandar pada catatan ketika proses
presentasi berlangsung,” kata para peneliti.
Pembaca yang kritis mungkin
menganggap kurang realistis (realism) pada studi tersebut—tidak adanya
audiens pada setiap kondisi mengajar di atas sehingga tidak ada interaksi, yang
pastinya juga berperan menjadi bagian dalam manfaat belajar dengan mengajar. Selain
itu, para peserta di setiap group yang diarahkan sebelumnya untuk mengajar, itu
mendapat manfaat belajar itu sendiri—bisa jadi, group retrieval tidak sesuai
pemahamannya dengan group mengajar tanpa catatan dengan tanpa diarahkan
terlebih dahulu.
Lun Koh dan tim kerjanya mengakui
beberapa isu ini. Mereka menyarankan penelitian lebih lanjut ‘menilai
pentingnya praktik retrieval untuk berbagai skenario dan aktivitas
mengajar’.
Intinya membangun kepahaman dalam
proses pembelajaran, itu sebaiknya tidak hanya memasukkan informasi ke dalam
otak. Tetapi juga menyampaikannya. Sebenarnya, sejak di bangku sekolah sistem
itu sudah ada. Para siswa diberi informasi. Kemudian ada ujian menjawab
pertanyaan tanpa boleh membuka buku atau catatan lagi. Ini berarti
mengondisikan siswa untuk melakukan praktik retrieval.
Di bangku kuliah, malah semakin
jelas lagi. Dosen hanya memberi topik permasalahan. Setiap mahasiswa atau
kelompok ditugaskan untuk menjawabnya dengan menulis makalah. Mahasiswa lalu mengumpulkan
dan membaca buku dan sumber referensi yang lain. Menuliskan data-data yang
relevan dengan permasalan. Melakukan analisis sampai menemukan kesimpulan.
Setelah makalah jadi, difoto kopi,
lalu dibagikan kepada dosen dan semua mahasiswa satu kelas. Kemudian pembuat
makalah itu mempresentasikannya di depan dosen dan teman-temannya itu. Setelah
selesai presentasi, dilanjutkan dengan sesi tanya jawab, diskusi, sampai debat.
Di akhir sesi, dosen memberi kritik dan saran. Tentu semua proses itu—dari
mulai menulis sampai saran dosen—itu butuh beberapa hari. Terjadi internalisasi
terutama bagi si pembuat makalah.
Tampak jelas di sana, mahasiswa
lebih aktif daripada dosennya. Sebaiknya memang begitu dalam proses
pembelajaran: siswa lah yang harus lebih aktif dan lebih banyak berlatih. Sebab
kalau dosennya yang lebih aktif, hasilnya sudah bisa ditebak: yang semakin
mengerti, semakin bisa dan semakin paham adalah dosennya.
Dengan menulis, menyampaikan
(mengajarkan), mendiskusikan, dipertanyakan, dikritik, didebat, sampai diberi
kritik dan saran oleh dosen, itu tentu saja akan membuat pemahaman mahasiswa—pembuat
makalah itu sendiri terutama—akan semakin kuat. Semakin dalam. Dan semakin
berkesan. Tidak hanya otak kiri yang terlibat dalam proses itu, tetapi juga
otak kanan.
Pernah saya mendatangi rumah Agus
Mustofa dan beraudiensi langsung dengan beliau. Mantan wartawan senior Jawa Pos
dan penulis puluhan buku ini sempat mengatakan kepada saya, “Menulislah. Dengan
menulis, otomatis Anda akan membaca…”
Semoga bermanfaat. Walloohu a’lam
bishshowaab….
*Penulis buku Ayat-Ayat Kemenangan,
dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar