Kamis, 03 September 2020

ALLAH MENGGAJI KITA


—Saiful Islam*—

“Ajrun itu sudah menunjuk balasan kongkretnya. Bukan catatan amalnya lagi…”

Jadi tidak benar, jika disimpulkan bahwa membaca Qur’an itu tanpa syarat mengerti. Semua kata membaca dalam Qur’an, itu mengharuskan untuk dimengerti dan dipahami. Orang yang membaca Qur’an sengaja tidak mau mengerti, itu belum layak disebut membaca. Tetapi merapal mantra atau sekadar melagukan. Ini adalah kesimpulan untuk jawaban poin pertama.

Sekarang masuk poin kedua tentang pahala. Akan menjawab bahwa QS.35:29-30 dan QS.73:20 itu adalah ayat yang menyuruh membaca Qur’an sebagai ajang untuk berburu pahala, meskipun membacanya tanpa mengerti.

Kita kutip dulu ayatnya.

QS. Fathir[35]: 29 – 30
إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ
Sesungguhnya orang-orang yang SELALU MEMBACA KITAB ALLAH (AL QUR’AN), mendirikan salat dan menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu MENGHARAPKAN PERNIAGAAN YANG TIDAK AKAN MERUGI.

لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ ۚ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ
Agar Allah MENYEMPURNAKAN kepada mereka PAHALA mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.

QS.35:29 di atas, jelas bukanlah ayat yang membenarkan bahwa membaca tanpa mengerti, itu mendapat pahala. Itu juga bukan ayat bahwa membaca itu untuk mencari pahala. Bukan ayat motivasi bahwa membaca itu sebagai ajang berburu pahala. Perhatikan, redaksinya memakai kata ‘yatluuna’. Ingat, ‘yatluuna’ sendiri artinya adalah memikir-mikirkan dan mempertimbangkan maknanya. Begitu juga kata ‘faqro’uu’ pada QS.73:20. Bukan membaca tanpa mengerti.

Kalimat, “mereka itu MENGHARAPKAN PERNIAGAAN YANG TIDAK AKAN MERUGI.” Jelas bukan pembenar bahwa membaca tanpa mengerti akan mendapatkan pahala. Penggalan kalimat ini, bukan hanya setelah kata membaca (yatluuna) itu. Tetapi juga setelah, “Mendirikan SALAT dan MENAFKAHKAN SEBAGIAN RIZKI yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan.”

Maka yang benar adalah, membaca Qur’an dengan berusaha mengerti dan memahami. Setelah mengerti dan memahami, kemudian praktik langsung. Yaitu mendirikan salat dan menafkahkan sebagian rizki yang diberi Allah. Baik sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Barulah orang itu disebut mengharap perniagaan yang tidak akan merugi. Alias pasti untungnya. Baik balasan keuntungan itu di dunia ini, maupun kelak di akhirat.

Sedangkan pada QS.35:30, itu ada kata ‘ujuurohum’ yang secara harfiyah diartikan pahala mereka.

Kata pahala, itu berasal dari Bahasa Sansakerta ‘phala’ (buah) yang artinya adalah hadiah yang diperoleh karena kelakuan baik. Lantas oleh KBBI pahala diartikan ganjaran (balasan) Tuhan atas perbuatan baik manusia.

Menurut Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, kata al-ajr dan al-ujroh sendiri itu diartikan dengan ‘maa ya’uud min tsawaab al-‘amal dunyaawiyyan kaana aw ukhrowiyyan’. Yaitu balasan perbuatan, baik di dunia maupun di akhirat. Titik tekannya di sini adalah balasan perbuatan atau akibat perbuatan seseorang. Karenanya upah atau gaji, itu juga disebut ajrun atau ujroh.

Balasan kebaikan (ajrun), itu ada yang diberikan di dunia. Seperti ayat berikut.

QS. Al-Ankabut[29]: 27
وَوَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَجَعَلْنَا فِي ذُرِّيَّتِهِ النُّبُوَّةَ وَالْكِتَابَ وَآتَيْنَاهُ أَجْرَهُ فِي الدُّنْيَا ۖ وَإِنَّهُ فِي الْآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ
Kami anugrahkan kepada Ibrahim, Ishak dan Ya'qub. Dan Kami jadikan kenabian dan Al Kitab pada keturunannya. Dan Kami berikan kepadanya BALASANNYA DI DUNIA. Dan sesungguhnya dia di akhirat, benar-benar termasuk orang-orang yang saleh.

Ada juga balasan kebaikan (ajrun), itu diberikan di akhirat. Misalnya ayat berikut.

QS. Yusuf[12]: 57
وَلَأَجْرُ الْآخِرَةِ خَيْرٌ لِلَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
Sesungguhnya BALASAN DI AKHIRAT, itu lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa.

Kata ajrun dan ujroh itu biasanya selalu terkait dengan kesepakatan (akad). Seperti pengusaha dengan karyawannya, suami dengan istrinya, penjual dan pembelinya, pemerintah dengan PNS-nya, dan semisalnya. Kata ajrun dan ujroh itu juga terkait dengan balasan perbuatan baik. Selalu menunjuk manfaat.

Itulah bedanya dengan jazaa’. Yang juga berarti balasan. Jazaa’ tidak harus terkait dengan akad. Balasan dengan kata jazaa’, juga tidak selalu terkait dengan perbuatan baik. Balasan perbuatan buruk, itu bisa disebut jazaa’ (QS.4:93). Artinya bisa menunjuk balasan yang bermanfaat (QS.4:12), bisa juga balasan yang mencelakakan atau merugikan.

“Jika kalian berpaling dari peringatanku,” kata Nai Nuh kepada kaumnya, “aku tidak meminta upah sedikit pun dari kalian. Upahku hanyalah dari Allah.” (QS.10:72).

Orang yang memberikan sebagian hartanya kepada sesama, dengan tidak mengungkit-ngungkit yang bisa menyakitkan hati si penerima, maka balasan kebaikan orang itu ada pada sisi Allah (QS.2:262).

Balasan kejahatan, itu boleh dengan kejahatan yang setimpal. Tetapi siapa yang memaafkan dan memilih tidak membalas dengan kejahatan serupa, maka balasan kebaikannya dijamin Allah (QS.42:40).

Jadi, balasan kebaikan (ajrun), itu tidak selalu berupa atau bersifat metafisik (gaib) ukhrowiyyah. Balasan kebaikan itu bisa juga berupa fisik dunyawiyyah. Meskipun tentu saja balasan kebaikan akhirat itu jauh lebih baik (QS.16:41). Ini juga terjadi pada QS.35:30, kata ‘ujuurohum’ itu. Makanya balasan kebaikan, itu bisa disebut dua kali (QS.33:31 dan QS.28:54). Yakni di dunia dan di akhirat.

Seperti QS.12:57 yang menyebut ajrun akhirat adalah lebih baik. Adapun bentuk ajrun dunianya, adalah posisi mulia yang Allah berikan kepada Nabi Yusuf yang dikisahkan oleh ayat sebelumnya (QS.12:56).

Dalam kehidupan dunia sehari-hari, kita bisa melihat balasan kejahatan (jazaa’) dan balasan kebaikan (ajrun) itu. Misalnya orang yang mencuri (koruptor) sampai membunuh, orang itu bisa terpotong tangannya, atau ditembak dengan timah panas oleh polisi kedua betisnya, atau dipenjara bertahun-tahun, atau bahkan sampai hukuman mati. Buruk namanya dan keluarganya. Dan seterusnya.

Sebaliknya. Orang yang suka berbagi—baik dengan harta, akses, ilmu dan tenaga, suka bekerja dan berbisnis dengan jujur dan profesional, mengonsumsi yang halal dan bergizi serta tidak berlebih-lebihan, intinya taat kepada Allah sesuati petunjuk Qur’an (QS.48:16), orang itu akan mendapatkan upahnya. Seperti kesahatan, keluarga yang harmonis, mendapatkan gaji dan laba, panjang umur, harum namanya dan seterusnya.

Adapun balasan kebaikan (ajrun) akhirat (gaib metafisik), yang sudah jelas adalah jannah. Misalnya QS.3:136; QS.29:58; dan QS.39:74.

Maka sebenarnya, ajrun itu menunjuk kepada balasan nyata. Sudah bentuk kongkretnya. Kalau duniawi seperti sehat, gaji atau laba, kedudukan terhormat, cerdas dan berilmu, keluarga rukun harmonis, panjang umur, dan seterusnya. Kalau yang ukhrowi tidak lain dan tidak bukan adalah Jannah (surga) itu. Jadi, ajrun itu bukan catatan amal perbuatan lagi. Tetapi sudah hadiah amal perbuatan baik.

Semoga bermanfaat. Walloohu a’lam bishshowaab….

*Penulis buku Ayat-Ayat Kemenangan, dll.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...