Rabu, 02 September 2020

MAKNA DALAM TERJEMAH


—Saiful Islam*—

“Karena itu, menurut saya, terjemah Qur’an ke dalam bahasa setempat, itu menjadi fardhu kifayah. Sangat penting dan harus dilakukan penerjemahan…”

Pernah seorang kawan membagikan tulisan menarik judulnya ‘Terjemahan Al Qur’an Saja Tidak Cukup’.

Di akhir, disimpulkan: Jika Anda menemukan kutipan-kutipan terjemahan Al Qur’an di media sosial, broadcast WA, meme dan sebagainya, apalagi sudah ditambahi dengan caption-caption tertentu, jangan serta-merta memahami pesannya begitu saja. Carilah informasi tambahan. Bisa jadi, di Mushhaf terjemahan, bagian itu memiliki catatan kaki. Atau bertanya kepada guru yang berkompeten.

Saya setuju dengan judul dan pernyataan di atas. Tetapi di dalam tulisan itu, ada yang saya tidak setuju. Bermasalah. Yaitu dua paragraf di bawah ini.

Percetakan Al Qur’an seperti itu dipertahankan karena terjemahan Al Qur’an hanyalah tujuan sekunder dari sebuah percetakaan Al Qur’an. Tujuan utamanya adalah supaya Al Qur’an dibaca, untuk tabarruk. Al Qur’an adalah kitab ibadah. Membacanya mendapatkan pahala, meskipun si pembaca tidak memahami artinya.

Adapun jika ia ingin memahami maknanya, maka ia hendaknya belajar kepada guru atau membaca tafsir. Sementara terjemahan Al Qur’an hanyalah informasi sekilas dan sekunder bahkan tersier saja.

***

Menurut saya, pernyataan itu terbalik. Tujuan utama (primer) Al Qur’an, itu adalah dibaca untuk dipahami, dimengerti, lantas mendapatkan petunjuk. Bukan pahala secara ‘potong kompas’ seperti itu. Al Qur’an adalah Kitab petunjuk. Sebenar-benarnya petunjuk. Al Qur’an adalah Kitab pembeda. Yang informasinya dengan sangat jelas mampu menyibak kabut kegelapan.

Membacanya (Al Qur’an) mendapatkan pahala? Kalau membaca mendapatkan pahala, itu tidak hanya membaca Qur’an. Membaca apa pun dengan niat yang baik, itu sudah otomatis mendapatkan pahala. Membaca buku-buku Ilmu Pengetahuan (Sains), membaca karya Sastra seperti novel dan cerpen, membaca koran dan majalah, tentu sudah jelas semua itu akan diganjar kebaikan oleh Allah. Tentang pahala dan tabarruk, insya Allah akan saya detailkan di tempat tersendiri.

Meskipun si pembaca tidak memahami artinya? Kalimat itu saya rasa yang bisa secara terselubung memalingkan fungsi utama Qur’an. Sangat berpotensi membut umat meleset memosisikan Qur’an sebagaimana mestinya. Akalnya anak SMP saja, itu pasti sudah tahu. Bahwa yang namanya bacaan, itu ya mesti untuk dipahami. Membaca tidak memahami artinya, itu bukan membaca. Tapi merapal mantra atau mengigau. Ngelendor, istilah orang Jawa.

Sekarang, terjemahan Qur’an itu apa?

Dari kata tarjama, diceritakan oleh Lisan al-Arab begini. Al-turjumaan dan al-tarjamaan artinya adalah orang yang menafsirkan (al-mufassir) bahasa (kata atau kalimat). Kata kerjanya adalah tarjama yutarjimu. Jika disebutkan huwa alladziy yutarjim al-kalaam, maka artinya adalah orang yang memindahkan kalimat dari satu bahasa ke bahasa yang lain.

Al Qur’an berbahasa Arab. Dengan demikian, tarjama al-Qur’aan artinya adalah orang yang memindahkan kalimat Al Qur’an yang berbahasa Arab itu kepada bahasa lain.

KBBI telah menyerap tarjama itu ke dalam Bahasa Indonesia: terjemah. Atau menerjemahkan itu artinya adalah menyalin (memindahkan) suatu bahasa ke bahasa lain; mengalihbahasakan. Terjemahan artinya 1. Salinan bahasa; alih bahasa (dari suatu bahasa ke bahasa lain); 2. Hasil menerjemahkan. Orang yang melakukan alih bahasa itu disebut penerjemah.

Jadi terjemah Al Qur’an Indonesia misalnya, itu mengalihbahasakan Qur’an dari yang berbahasa Arab kepada Qur’an yang berbahasa Indonesia. Sehingga meskipun disebut terjemah, itu sejatinya adalah Qur’an juga maknanya.

Jika dilihat dari sisi makna (meaning), yang paling inti dari sebuah bahasa itu adalah maknanya itu. Teksnya, itu sejatinya baru kulit. Isinya adalah maknanya. Substansi bahasa, itu adalah maknanya.

Begitu juga Qur’an yang teks itu. Teks Arabnya, itu sejatinya belum substansi dari Qur’an itu. Substansi Qur’an adalah maknanya. Maka wajar ada terjemah Qur’an Bahasa Inggris, terjemah Qur’an Bahasa Tionghoa, terjemah Qur’an Bahasa Persia (Iran), Bahasa Turki, Bahasa Urdu Tamil, Bahasa Pashto (Afghanistan), Bahasa Bangali, Bahasa Melayu, dan seterusnya.

Sekali lagi, teks Qur’an dari Allah, itu memang berbahasa Arab. Namun ingat, Qur’an ini bukan hanya untuk orang Arab saja. Tetapi juga, Qur’an untuk manusia yang mau mengimaninya di segala penjuru bumi.

Sehingga tidak ada alasan lagi jika misalnya nanti Jibril bertanya kepada kita, “Afalaa tatadabbar al-Qur’aan? Mengapa kamu tidak berupaya memahami Qur’an?” Kemudian kita menjawab, “Saya orang Indonesia, Jibril. Jadi maklum saya tidak mengerti Qur’an.” Kemudian ditanya lagi oleh Jibril, “Kan sudah banyak terjemah Qur’an dengan bahasamu sendiri?!”

Melihat fungsinya, sebenarnya terjemahan itu adalah tafsir. Meskipun tentu ada bedanya dengan tafsir. Bedanya begini. Terjemahan adalah alih bahasa secukupnya. Informasi yang diberikan sebatas ayat yang diterjemahkan itu saja. Sedangkan tafsir, memberikan penjelasan yang lebih rinci (detail). Sehingga tergambar dalam benak kedalaman dan keluasan makna yang dikandung oleh sebuah ayat. Mudahnya, tafsir itu lebih luas daripada terjemahan.

Siapa yang menerjemahkan Qur’an versi Depag RI misalnya? Tentu saja ulama yang mengerti bahasa Arab dan ilmu-ilmu bantu yang lain. Bukan dukun. Mustahil bisa menerjemahkan Qur’an tanpa bekal ilmu Bahasa Arab. Jadi kalau setiap kita membaca tafsiran Depag, itu sejatinya sudah ikut ulama.

Kalau diamati, terjemahan Mushhaf yang beredar di Indonesia, itu sebenarnya bukan terjemah harfiah (tekstual) apa adanya. Tetapi sudah dilengkapi dengan penjelasan singkat terhadap ayat yang diterjemahkan itu (kontekstual). Itu adalah upaya ulama untuk menghindari kekeliruan dalam pemahaman Al Qur’an. Informasi dalam terjemahan itu sudah diupayakan (ijtihad) tersampaikan dengan utuh dan benar.

Misalnya penggalan kalimat ‘wa ‘alalladziina yuthiquunahu fidyatun tho’aamu miskiin’ pada QS.2:184 ini.

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ

Kalau dimaknai secara harfiah, memang menjadi seperti ini: “Dan wajib atas orang yang mampu berpuasa itu membayar fidyah…” Jika disimpulkan, orang yang mampu berpuasa wajib membayar fidyah.

Sekarang marilah kita melihat Terjemah Qur’an Depag RI: “Dan bagi orang yang berat menjalankannya (puasa), wajib membayar fidyah...” Jika disimpulkan, orang yang tidak mampu berpuasa wajib membayar fidyah.

Begitu juga misalnya kita melihat terjemah aplikasi Qur’an Al Hadi begini: “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah…” Sama kesimpulannya dengan yang versi Depag.

Tentu saja kemampuan penerjemah, itu berbanding lurus dengan hasil terjemahan. Baik dalam penguasaan bahasa asli, maupun bahasa tempat terjemahan. Mereka yang lebih mampu dan lebih luas pengetahuan dan skill-nya, maka terjemahannya akan lebih berkualitas. Dan sebaliknya. Di samping itu, subyektifitas penerjemah juga ikut memengaruhi terjemahan.

Yang jelas, tujuan terjemah itu adalah memudahkan umat Islam untuk memahami Qur’an. Mendekatkan umat kepada Qur’annya. Soal kehati-hatian, tentu saja harus selalu hati-hati. Misalnya dengan mengutip dan membaca teks Arab aslinya dulu, membandingkan dengan terjemahan yang lain, dan lain semisalnya.

Semoga bermanfaat. Walloohu a’lam bishshowaab….

*Penulis buku Ayat-Ayat Kemenangan, dll.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...