—Saiful Islam*—
“Karena itu, menurut saya, terjemah
Qur’an ke dalam bahasa setempat, itu menjadi fardhu kifayah. Sangat penting dan
harus dilakukan penerjemahan…”
Pernah seorang kawan membagikan
tulisan menarik judulnya ‘Terjemahan Al Qur’an Saja Tidak Cukup’.
Di akhir, disimpulkan: Jika Anda
menemukan kutipan-kutipan terjemahan Al Qur’an di media sosial, broadcast WA,
meme dan sebagainya, apalagi sudah ditambahi dengan caption-caption tertentu,
jangan serta-merta memahami pesannya begitu saja. Carilah informasi tambahan.
Bisa jadi, di Mushhaf terjemahan, bagian itu memiliki catatan kaki. Atau
bertanya kepada guru yang berkompeten.
Saya setuju dengan judul dan
pernyataan di atas. Tetapi di dalam tulisan itu, ada yang saya tidak setuju. Bermasalah.
Yaitu dua paragraf di bawah ini.
Percetakan Al Qur’an seperti itu
dipertahankan karena terjemahan Al Qur’an hanyalah tujuan sekunder dari sebuah
percetakaan Al Qur’an. Tujuan utamanya adalah supaya Al Qur’an dibaca, untuk
tabarruk. Al Qur’an adalah kitab ibadah. Membacanya mendapatkan pahala,
meskipun si pembaca tidak memahami artinya.
Adapun jika ia ingin memahami
maknanya, maka ia hendaknya belajar kepada guru atau membaca tafsir. Sementara
terjemahan Al Qur’an hanyalah informasi sekilas dan sekunder bahkan tersier
saja.
***
Menurut saya, pernyataan itu terbalik.
Tujuan utama (primer) Al Qur’an, itu adalah dibaca untuk dipahami, dimengerti,
lantas mendapatkan petunjuk. Bukan pahala secara ‘potong kompas’ seperti itu. Al
Qur’an adalah Kitab petunjuk. Sebenar-benarnya petunjuk. Al Qur’an adalah Kitab
pembeda. Yang informasinya dengan sangat jelas mampu menyibak kabut kegelapan.
Membacanya (Al Qur’an) mendapatkan
pahala? Kalau membaca mendapatkan pahala, itu tidak hanya membaca Qur’an.
Membaca apa pun dengan niat yang baik, itu sudah otomatis mendapatkan pahala.
Membaca buku-buku Ilmu Pengetahuan (Sains), membaca karya Sastra seperti novel
dan cerpen, membaca koran dan majalah, tentu sudah jelas semua itu akan
diganjar kebaikan oleh Allah. Tentang pahala dan tabarruk, insya Allah akan
saya detailkan di tempat tersendiri.
Meskipun si pembaca tidak memahami
artinya? Kalimat itu saya rasa yang bisa secara terselubung memalingkan fungsi
utama Qur’an. Sangat berpotensi membut umat meleset memosisikan Qur’an
sebagaimana mestinya. Akalnya anak SMP saja, itu pasti sudah tahu. Bahwa yang
namanya bacaan, itu ya mesti untuk dipahami. Membaca tidak memahami artinya,
itu bukan membaca. Tapi merapal mantra atau mengigau. Ngelendor, istilah
orang Jawa.
Sekarang, terjemahan Qur’an itu
apa?
Dari kata tarjama,
diceritakan oleh Lisan al-Arab begini. Al-turjumaan dan al-tarjamaan
artinya adalah orang yang menafsirkan (al-mufassir) bahasa (kata atau
kalimat). Kata kerjanya adalah tarjama yutarjimu. Jika disebutkan
huwa alladziy yutarjim al-kalaam, maka artinya adalah orang yang
memindahkan kalimat dari satu bahasa ke bahasa yang lain.
Al Qur’an berbahasa Arab. Dengan
demikian, tarjama al-Qur’aan artinya adalah orang yang memindahkan
kalimat Al Qur’an yang berbahasa Arab itu kepada bahasa lain.
KBBI telah menyerap tarjama
itu ke dalam Bahasa Indonesia: terjemah. Atau menerjemahkan itu artinya adalah
menyalin (memindahkan) suatu bahasa ke bahasa lain; mengalihbahasakan.
Terjemahan artinya 1. Salinan bahasa; alih bahasa (dari suatu bahasa ke bahasa
lain); 2. Hasil menerjemahkan. Orang yang melakukan alih bahasa itu disebut
penerjemah.
Jadi terjemah Al Qur’an Indonesia
misalnya, itu mengalihbahasakan Qur’an dari yang berbahasa Arab kepada Qur’an
yang berbahasa Indonesia. Sehingga meskipun disebut terjemah, itu sejatinya
adalah Qur’an juga maknanya.
Jika dilihat dari sisi makna (meaning),
yang paling inti dari sebuah bahasa itu adalah maknanya itu. Teksnya, itu
sejatinya baru kulit. Isinya adalah maknanya. Substansi bahasa, itu adalah
maknanya.
Begitu juga Qur’an yang teks itu.
Teks Arabnya, itu sejatinya belum substansi dari Qur’an itu. Substansi Qur’an
adalah maknanya. Maka wajar ada terjemah Qur’an Bahasa Inggris, terjemah Qur’an
Bahasa Tionghoa, terjemah Qur’an Bahasa Persia (Iran), Bahasa Turki, Bahasa
Urdu Tamil, Bahasa Pashto (Afghanistan), Bahasa Bangali, Bahasa Melayu, dan
seterusnya.
Sekali lagi, teks Qur’an dari
Allah, itu memang berbahasa Arab. Namun ingat, Qur’an ini bukan hanya untuk
orang Arab saja. Tetapi juga, Qur’an untuk manusia yang mau mengimaninya di
segala penjuru bumi.
Sehingga tidak ada alasan lagi jika
misalnya nanti Jibril bertanya kepada kita, “Afalaa tatadabbar al-Qur’aan?
Mengapa kamu tidak berupaya memahami Qur’an?” Kemudian kita menjawab, “Saya
orang Indonesia, Jibril. Jadi maklum saya tidak mengerti Qur’an.” Kemudian
ditanya lagi oleh Jibril, “Kan sudah banyak terjemah Qur’an dengan bahasamu
sendiri?!”
Melihat fungsinya, sebenarnya
terjemahan itu adalah tafsir. Meskipun tentu ada bedanya dengan tafsir. Bedanya
begini. Terjemahan adalah alih bahasa secukupnya. Informasi yang diberikan
sebatas ayat yang diterjemahkan itu saja. Sedangkan tafsir, memberikan
penjelasan yang lebih rinci (detail). Sehingga tergambar dalam benak kedalaman
dan keluasan makna yang dikandung oleh sebuah ayat. Mudahnya, tafsir itu lebih
luas daripada terjemahan.
Siapa yang menerjemahkan Qur’an
versi Depag RI misalnya? Tentu saja ulama yang mengerti bahasa Arab dan
ilmu-ilmu bantu yang lain. Bukan dukun. Mustahil bisa menerjemahkan Qur’an
tanpa bekal ilmu Bahasa Arab. Jadi kalau setiap kita membaca tafsiran Depag,
itu sejatinya sudah ikut ulama.
Kalau diamati, terjemahan Mushhaf yang
beredar di Indonesia, itu sebenarnya bukan terjemah harfiah (tekstual) apa
adanya. Tetapi sudah dilengkapi dengan penjelasan singkat terhadap ayat yang
diterjemahkan itu (kontekstual). Itu adalah upaya ulama untuk menghindari
kekeliruan dalam pemahaman Al Qur’an. Informasi dalam terjemahan itu sudah
diupayakan (ijtihad) tersampaikan dengan utuh dan benar.
Misalnya penggalan kalimat ‘wa
‘alalladziina yuthiquunahu fidyatun tho’aamu miskiin’ pada QS.2:184 ini.
وَعَلَى الَّذِينَ
يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ
Kalau dimaknai secara harfiah,
memang menjadi seperti ini: “Dan wajib atas orang yang mampu berpuasa itu
membayar fidyah…” Jika disimpulkan, orang yang mampu berpuasa wajib membayar
fidyah.
Sekarang marilah kita melihat
Terjemah Qur’an Depag RI: “Dan bagi orang yang berat menjalankannya (puasa),
wajib membayar fidyah...” Jika disimpulkan, orang yang tidak mampu berpuasa
wajib membayar fidyah.
Begitu juga misalnya kita melihat
terjemah aplikasi Qur’an Al Hadi begini: “Dan wajib bagi orang-orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah…” Sama
kesimpulannya dengan yang versi Depag.
Tentu saja kemampuan penerjemah,
itu berbanding lurus dengan hasil terjemahan. Baik dalam penguasaan bahasa asli,
maupun bahasa tempat terjemahan. Mereka yang lebih mampu dan lebih luas
pengetahuan dan skill-nya, maka terjemahannya akan lebih berkualitas. Dan
sebaliknya. Di samping itu, subyektifitas penerjemah juga ikut memengaruhi
terjemahan.
Yang jelas, tujuan terjemah itu
adalah memudahkan umat Islam untuk memahami Qur’an. Mendekatkan umat kepada
Qur’annya. Soal kehati-hatian, tentu saja harus selalu hati-hati. Misalnya
dengan mengutip dan membaca teks Arab aslinya dulu, membandingkan dengan
terjemahan yang lain, dan lain semisalnya.
Semoga bermanfaat. Walloohu
a’lam bishshowaab….
*Penulis buku Ayat-Ayat Kemenangan,
dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar