Selasa, 31 Desember 2019

KRITIK SANAD HADIS WAHYU


~ Saiful Islam ~

“Selama itu Hadis, maka tetap dalam posisinya yang zhanniy. Yang benar-benar pasti (qoth’iy), itu memang hanya Qur’an saja..”

Al-Hikmah pernah dipaksakan artinya adalah Sunnah Nabi. Supaya memberi kesan bahwa Sunnah Nabi adalah wahyu. Setelah dicek dengan kamus-kamus Arab yang ada, ternyata secara bahasa, tidak pernah ada al-Hikmah yang artinya Sunnah Nabi. Waktu itu yang digunakan ayat Qur’an.

Kali ini ada lagi. Hanya bedanya, dasar argumennya adalah Hadis-Hadis. Supaya terkesan Sunnah Nabi adalah wahyu, Hadis-Hadis berikut ini dijadikan dalil. Terutama penggalan kalimat: “Saya diberi Kitab (Qur’an) dan yang semisalnya.” Nah, “dan yang semisalnya,” itu langsung diterjemah sebagai al-Sunnah. Persis al-Hikmah sebelumnya, yang juga ujug-ujug diterjemah sebagai al-Sunnah. Benarkah?

حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ قَالَ أَخْبَرَنَا حَرِيزٌ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي عَوْفٍ الْجُرَشِيِّ عَنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ الْكِنْدِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْقُرْآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ لَا يُوشِكُ رَجُلٌ يَنْثَنِي شَبْعَانًا عَلَى أَرِيكَتِهِ يَقُولُ عَلَيْكُمْ بِالْقُرْآنِ فَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَلَالٍ فَأَحِلُّوهُ وَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَرَامٍ فَحَرِّمُوهُ أَلَا لَا يَحِلُّ لَكُمْ لَحْمُ الْحِمَارِ الْأَهْلِيِّ وَلَا كُلُّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ أَلَا وَلَا لُقَطَةٌ مِنْ مَالِ مُعَاهَدٍ إِلَّا أَنْ يَسْتَغْنِيَ عَنْهَا صَاحِبُهَا وَمَنْ نَزَلَ بِقَوْمٍ فَعَلَيْهِمْ أَنْ يَقْرُوهُمْ فَإِنْ لَمْ يَقْرُوهُمْ فَلَهُمْ أَنْ يُعْقِبُوهُمْ بِمِثْلِ قِرَاهُمْ
Telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun berkata; telah mengabarkan kepada kami Hariz dari Abdurrahman bin Abu Auf Al Jurasyi dari Al Miqdam bin Ma'di Karib (Abu Karimah Al Kindi) berkata; Rasulullah SAW bersabda: "KETAHUILAH, SESUNGGUHNYA SAYA TELAH DIBERI KITAB DAN YANG SEMISALNYA. SAYA TELAH DIBERI QUR’AN DAN YANG SEMISALNYA. Kiranya tak akan lama lagi ada seorang laki-laki yang duduk dalam keadaan kenyang di tempat duduknya berkata; 'Berpeganglah kalian dengan Qur’an, apa yang kau dapatkan halal di dalamnya, maka halalkanlah. Apa yang kalian dapatkan haram, maka haramkanlah'. Ketahuilah, tidak halal bagi kalian daging keledai jinak, semua hewan yang berkuku tajam dari hewan buas, barang temuan dari harta orang yang dalam perjanjian kecuali pemiliknya meninggalkannya. Barangsiapa yang singgah pada suatu kaum, maka mereka harus menjamunya. Jika mereka tidak menjamunya maka mereka berhak mendapatkan sebagaimana jamuan mereka." (HR. Ahmad [w. 241 H] No. 16546).

Pada sanad Hadis di atas, terdapat beberapa periwayat (rawi) sebagai berikut.

Yazid bin Harun. Nama lengkapnya adalah Yazid bin Harun bin Zadiy bin Tsabit. Terkenal dengan sebutan Yazin bin Harun al-Wasthiy. Dia pernah tinggal di Wasith, Iraq, dan Bukhara. Lahir tahun 117 H, dan wafat tahun 206 H. Banyak ulama menilainya tsiqah mutqin. Alias baik akhlaknya, serta cerdas.

Hariz. Nama lengkapnya adalah Hariz bin ‘Utsman bin Jabr bin Ahmar bin As’ad. Ia terkenal dengan sebutan Hariz bin ‘Utsman al-Rahbiy. Ia pernah tinggal di Hamsh, Masyriq, Baghdad, Rahbah, dan Syam. Tidak diketahui tahun lahir dan wafatnya. Beberapa ulama seperti Ibnu Hajar al-Asqolaniy, Abu Hatim al-Raziy, dan Al-Dzahabiy menilainya tsiqah.

Abdurrahman bin Abi Auf Al Jurasyiy. Terkenal dengan sebutan Abdurrahman bin Abi ‘Auf al-Qodiy. Ia tinggal di Hamsh. Dan wafat di Syam. Tidak diketahui tahun lahir dan wafatnya. Dinilai tsiqah oleh beberapa ulama.

Al Miqdam bin Ma'di Karib, (Abu Karimah Al Kindi). Nama lengkapnya adalah Miqdam bin Ma’diy Karb bin ‘Amr bin Yazid bin Ma’diy Karb bin Salamah. Terkenal dengan sebuatan Al-Miqdam bin Ma’diy Karb al-Kindiy. Ia tinggal di Hamsh, Syam. Wafat di Syam tahun 87 H. Ia adalah Sahabat.

Okelah. Saya beri nilai sanad di atas, sahih.

Sekarang, Hadis kedua. Berikut ini.

حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ نَجْدَةَ حَدَّثَنَا أَبُو عَمْرِو بْنُ كَثِيرِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ حَرِيزِ بْنِ عُثْمَانَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي عَوْفٍ عَنْ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ أَلَا يُوشِكُ رَجُلٌ شَبْعَانُ عَلَى أَرِيكَتِهِ يَقُولُ عَلَيْكُمْ بِهَذَا الْقُرْآنِ فَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَلَالٍ فَأَحِلُّوهُ وَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَرَامٍ فَحَرِّمُوهُ أَلَا لَا يَحِلُّ لَكُمْ لَحْمُ الْحِمَارِ الْأَهْلِيِّ وَلَا كُلُّ ذِي نَابٍ مِنْ السَّبُعِ وَلَا لُقَطَةُ مُعَاهِدٍ إِلَّا أَنْ يَسْتَغْنِيَ عَنْهَا صَاحِبُهَا وَمَنْ نَزَلَ بِقَوْمٍ فَعَلَيْهِمْ أَنْ يَقْرُوهُ فَإِنْ لَمْ يَقْرُوهُ فَلَهُ أَنْ يُعْقِبَهُمْ بِمِثْلِ قِرَاهُ
Telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab bin Najdah berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Amr bin Katsir bin Dinar dari Hariz bin Utsman dari 'Abdurrahman bin Abi Auf dari Al-Miqdam bin Ma'di Karib dari Rasulullah SAW, beliau bersabda: "KETAHUILAH, SESUNGGUHNYA AKU DIBERI QUR'AN DAN YANG SEMISAL BERSAMANYA. Lalu ada seorang laki-laki yang dalam keadaan kekenyangan duduk di atas kursinya berkata, ‘Hendaklah kalian berpegang teguh dengan Qur'an. Apa yang kalian dapatkan dalam Qur'an dari perkara halal maka halalkanlah. Dan apa yang kalian dapatkan dalam Qur'an dari perkara haram maka haramkanlah. Ketahuilah! Tidak dihalalkan bagi kalian daging himar jinak, daging binatang buas yang bertaring dan barang temuan milik orang kafir mu'ahid (kafir dalam janji perlindungan penguasa Islam) kecuali pemiliknya tidak membutuhkannya. Dan barangsiapa singgah pada suatu kaum hendaklah mereka menyediakan tempat, jika tidak memberikan tempat hendaklah memberikan perlakukan sesuai dengan sikap jamuan mereka." (HR. Abu Dawud [w. 275 H] No. 3988).

Pada sanad Hadis riwayat Abu Dawud, ini terdapat beberapa periwayat (rawi) sebagai berikut.

Abdul Wahhab bin Najdah. Itu adalah nama lengkapnya. Ia terkenal dengan nama Abdul Wahhab bin Najdah al-Huwthiy. Ia tinggal di al-Habl. Diketahui tahun wafatnya adalah 232 H. Beberapa ulama menilainya tsiqah, tsabt, dan yang lain laa ba’s bih (tidak ada masalah).

Abu Amr bin Katsir bin Dinar. Nama lengkapnya adalah ‘Utsman bin Sa’id bin Katsir bin Dinar. Ia masyhur dengan sebutan ‘Utsman bin Katsir al-Qurasyiy. Ia tinggal di Hamsh. Dan wafat pada tahun 209 H. Beberapa ulama menilainya tsiqah.

Adapun biografi Hariz bin Utsman, Abdurrahman bin Abi Auf, dan al-Miqdam, lengkap dengan jarh wa al-ta’diil (kritikan ulama) terhadap mereka, sama persis seperti yang terdapat pada Hadis Imam Ahmad sebelumnya. Sehingga sanad kedua Hadis di atas sama-sama bertemu di Hariz bin Utsman.

Baiklah, saya beri nilai sanad Hadis Abu Dawud ini sahih.

Sekarang Hadis ke-3. Di bawah ini.

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالَ حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الْحُبَابِ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ صَالِحٍ حَدَّثَنِي الْحَسَنُ بْنُ جَابِرٍ عَنْ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِيكَرِبَ الْكِنْدِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يُوشِكُ الرَّجُلُ مُتَّكِئًا عَلَى أَرِيكَتِهِ يُحَدَّثُ بِحَدِيثٍ مِنْ حَدِيثِي فَيَقُولُ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مَا وَجَدْنَا فِيهِ مِنْ حَلَالٍ اسْتَحْلَلْنَاهُ وَمَا وَجَدْنَا فِيهِ مِنْ حَرَامٍ حَرَّمْنَاهُ أَلَّا وَإِنَّ مَا حَرَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah berkata, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Zaid Ibnu Al Hubab dari Mu'awiyah bin Shalih berkata, telah menceritakan kepadaku Al Hasan bin Jabir dari Al Miqdam bin Ma'di Karib Al Kindi berkata; Rasulullah SAW bersabda: "Dikhawatirkan seseorang bersandaran di tempat duduknya, DICERITAKAN KEPADANYA SEBUAH HADITS DARIKU, NAMUN IA BERKATA; 'ANTARA KAMI DAN KALIAN ADALAH KITABULLAH (QUR’AN) 'AZZA WA JALLA. APA YANG KAMI TEMUKAN YANG HALAL DARINYA MAKA KAMI MENGHALALKANNYA DAN APA YANG KAMI TEMUKAN YANG HARAM DARINYA, MAKA KAMI MENGHARAMKANNYA.' KETAHUILAH, SESUNGGUHNYA APA YANG DIHARAMKAN RASULULLAH SAW ADALAH SEPERTI YANG DIHARAMKAN ALLAH." (HR. Ibnu Majah [w. 275 H] No.12).

Jadi pada sanad Hadis Ibnu Majah, itu terdapat seorang periwayat (rawi) yang bernama Mu'awiyah bin Shalih. Kemungkinan dia adalah Mu’awiyah bin Shalih al-Hadhramiy. Atau Mu’awiyah bin Shalih al-‘Asy’ariy. Yang pasti, kualitas dua-duanya dinilai kurang kredibel oleh beberapa ulama.

Jadi, ada dua orang yang bernama Mu’awiyah bin Shalih itu. Yang sama-sama memiliki murid Zaid ibn al-Hubbab. Pertama, bernama lengkap Mu’awiyah bin Shalih bin Jadir bin Said, yang memiliki murid Zaid bin al-Hubbab bin al-Rayyan. Terkenal dengan nama Mu’awiyah bin Shalih al-Hadhramiy. Ia pernah tinggal di Hamsh, Hadhramaut, Spanyol, Maghrib, dan Mesir. Dan wafat pada tahun 158 H. Ibnu Hajar al-‘Asqolaniy dan Abu Ishaq al-Fazariy menilainya kurang kredibel (lahuu awhaam).

Yang kedua, adalah Mu’awiyah bin Shalih bin Mu’awiyah bin ‘Ubaydillah bin Yasar. Yang masyhur dengan sebutan Mu’awiyah bin Shalih al-‘Asy’ariy. Ia pernah tinggal di Damaskus dan Mesir. Dan wafat pada tahun 262 H. Salah satu muridnya juga bernama Zaid bin al-Hubbab al-Rayyan. Ahmad bin Syu’ayb al-Nasaiy dan Maslamah bin al-Qasim al-Andalusiy menilainya kurang kredibel atau sedikit diragukan (arjuu an yakuuna shoduuqon).

Maka, saya menyimpulkan bahwa Hadis riwayat Ibnu Majah, ini tidak lolos uji sanadnya. Karenanya, tidak perlu lagi kita lakukan uji matan. Jadi, meskipun disebutkan ‘Rasulullah SAW bersabda’, tetap saja Hadis ini terdiskualifikasi. Kalau cuma ‘Rasulullah SAW bersabda’, Hadis-Hadis lemah (dhaif) dan bahkan palsu (Hadis hoax), juga menyebut ‘Rasulullah SAW bersabda’.

Oleh sebab itu, di belakang, kita hanya akan mendiskusikan dua Hadis pertama yang saya sebut di atas. Yaitu riwayat Ahmad dan Abu Dawud. Terutama terkait matan (redaksi) Hadis itu sendiri. Ingat, kesahihan sanad, itu belum menjamin kesahihan matan. Syarat Hadis sahih, itu harus sahih sanad-nya, juga sahih matan-nya. Dan meski dua-duanya sahih, tidak ada yang menjamin Hadis tersebut benar-benar pasti dari Rasulullah SAW. Selama itu Hadis, maka tetap dalam posisinya yang zhanniy. Yang benar-benar pasti, memang hanya Qur’an saja.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Senin, 30 Desember 2019

KEWAHYUAN MANASIK HAJI


~ Saiful Islam ~

“Saya sulit menerima, sesuatu yang zhanniy (Hadis) bisa membatasi keumuman dan kemutlakan yang qath’iy (Qur’an)...”

Bagaimana tentang manasik haji Nabi? Atau bagaimana tentang manasik haji Rasulullah? Apakah manasik haji tersebut wahyu?

Pertama. Sebenarnya pertanyaan di atas, itu terlalu umum. Kalau mau menyanggah, lebih baik tunjukkan ayat Qur’an-nya atau Hadisnya secara spesifik. Jadi tanggapannya juga bisa lebih spesifik. Lebih terarah. Kalau terlalu umum begitu, jawabannya sangat memungkinkan kurang terarah. Sebab dalam Muwaththa’ saja misalnya, itu ada sekitar 30 sub bab tentang haji ini. Per bab kadang ada yang dua Hadis, juga ada yang tiga Hadis. Tidak mungkin untuk dibahas semua di sini.

Kedua. Ketika disebut ‘manasik haji Nabi’ atau ‘manasik haji Rasulullah’, ujug-ujug ternyata yang dirujuk adalah Hadis-Hadis. Sering kita seperti ini. Informasi dari Hadis-Hadis, ujug-ujug dipastikan dari Rasulullah. Tentu tidak betul. Yang benar itu, kalau mau memastikan dari Rasulullah, mestinya rujukannya adalah ayat-ayat Qur’an. Sebab, kita tidak hidup sezaman dengan Rasulullah. Hadis-Hadis pun, dalam Muwaththa’ misalnya, itu ditulis sekitar 160-an tahun setelah wafatnya Nabi. Apalagi Hadis-Hadis dari kitab lain yang ditulis jauh lebih belakangan lagi.

Ketiga. Tidak ada sebuah Hadis pun yang wahyu. Tidak pernah ada Hadis yang penulisnya terinspirasi oleh wahyu selain Qur’an. Jangankan Hadis-Hadis yang belum pasti dari Rasulullah, yang jelas-jelas Sunnah Nabi pun—sebagaimana diceritakan dalam Qur’an, itu tidak berdasar wahyu lain selain Qur’an. Semua teknis-teknis ibadah mahdhah Nabi selain yang disebutkan dalam Qur’an, itu bukan wahyu yang berdiri sendiri. Selalu beliau mengikuti Qur’an dan berijtihad setelah terinspirasi oleh ayat-ayat Qur’an itu sendiri.

Sekali lagi, info seputar haji yang wahyu, begitu juga teknis-teknisnya, perintah dan larangan dalam berhaji dan umrah, itu hanya yang disebut dalam Qur’an saja. Benar sekali, bahwa syariat haji ini, landasannya adalah firman Allah langsung. Qur’an, yang jelas-jelas 100 persen keluar dari mulut Rasulullah SAW. Dengan kata lain, manasik haji yang pasti dilakukan Rasulullah SAW itu ada dalam Qur’an. Berikut ini.

Perintah haji secara umum (QS.3:97 dan QS.2:196). Bahkan syariat haji itu sudah ada pada zaman Nabi Ibrahim (QS.22:26). Nabi Ibrahim diperintah Allah untuk menyeru umat manusia supaya berhaji (QS.22:27). Haji hanya bagi yang mampu (QS.3:97). Rukun haji (QS.2:158, 196, 203; QS.5:2; QS.22:28, 29). Musim haji dan etika yang hendak pergi haji (QS.2:197). Larangan berburu selama mengerjakan haji (QS.5:2, 95, 96). Anjuran setelah melaksanakan haji (QS.2:200). Sampai larangan menghalangi orang yang akan berhaji (QS.22:25).

QS. Ali Imran[3]: 97
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ
Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.

QS. Al-Baqarah[2]: 158
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ ۖ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا ۚ
Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebagian dari syi'ar Allah. Maka Barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya.

QS. Al-Baqarah[2]: 196
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ ۚ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ۖ وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ ۚ فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ۚ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ ۗ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ۗ ذَٰلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah. jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.

QS. Al-Baqarah[2]: 203
وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ لِمَنِ اتَّقَىٰ ۗ
Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang. Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya, bagi orang yang bertakwa.

QS. Al-Maidah[5]: 2
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَائِدَ وَلَا آمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنْ رَبِّهِمْ وَرِضْوَانًا ۚ وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا ۚ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا ۘ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang hadya, dan binatang-binatang qalaa’id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya. Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka).

QS. Al-Hajj[22]: 28 dan 29
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ ۖ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
28. Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.

ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ
29. Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).

Jadi sebenarnya, manasik haji yang paling substansial, itu sudah ada tuntunannya dalam Qur’an. Seperti thawaf di sekitar Ka’bah, yang ditunjukkan oleh QS.22:29. Dan perintah sa’i, yang dijelaskan oleh QS.2:158. Itulah wahyu yang diperoleh dan diamalkan Rasulullah. Selain yang tertera di dalam Qur’an, memanglah bukan wahyu yang berdiri sendiri. Kalau pun ada Hadis sahih tentang haji yang tak disebut Qur’an, itu adalah inspirasi Nabi. Beliau memang punya hak prerogatif. Dan selalu menarik untuk diteliti lebih lanjut.

Mungkin Hadis no.97 dalam Muwatta’ inilah yang dikira sebagai wahyu lain selain Qur’an. Yaitu tentang jasa menggantikan haji untuk kewajiban orang lain (badal haji). Diceritakan dari Yahya dari Malik dari Ibn Syihab dari Sulaiman bin Yasar dari Ibnu Abbas. Suatu hari Ibnu Abbas berada di belakang Rasulullah. Kemudian ada seorang perempuan dari Kabilah Khasy’am datang untuk meminta fatwa kepada Rasulullah tentang ayahnya yang sudah tidak mampu mengerjakan ibadah haji karena sudah tua. “Bolehkah aku berhaji untuknya?” tanya perempuan itu. Dijawab oleh Rasulullah, “Iya.” Peristiwa itu pada haji wada’.

Menurut pen-tashhih-nya, Muhammad Fuad Abdul Baqiy, dalam kitab Muwatta’ yang saya pakai itu, Hadis di atas juga diriwatkan oleh Bukhari dan Muslim.

Di Surabaya, saya menyaksikan sendiri, ada seseorang yang menerima jasa badal haji itu. Entahlah di Madinah sekarang. Jadi misalnya Anda memiliki orang tua yang sudah wafat. Selama hidupnya, orang tua Anda itu tidak mampu berhaji. Entah karena biaya, usia, dan lain semisalnya. Lalu kemudian Anda memanfaatkan jasa orang lain supaya berhaji yang pahalanya untuk almarhum(ah) orang tua Anda dan sekaligus untuk tabungan pahala orang tua Anda tersebut.

Menurut saya, tidak sah badal haji itu. Kenapa? Karena bertentangan dengan ayat Qur’an. Haji itu memang kewajiban, tetapi bagi orang yang mampu (lihat QS.3:97 di atas). Orang yang tidak mampu, apalagi sudah wafat, itu sudah gugur dengan otomatis kewajiban hajinya. Alias sudah tidak wajib haji lagi. Dengan demikian, Hadis tersebut tidak lolos uji matan-nya.

Pelajarannya adalah kita mesti ekstra hati-hati dengan ungkapan bahwa Hadis-Hadis itu bisa membatasi keumuman dan kemutlakan ayat-ayat Qur’an. Sulit rasanya menerima, sesuatu yang zhanniy (Hadis) bisa membatasi keumuman dan kemutlakan yang qath’iy (Qur’an). Contoh kasus serupa, adalah keumuman perintah salat Jum’at bagi laki-laki dan perempuan (QS.62:9). Tetapi dengan berdasar Hadis, ada yang mengatakan bahwa salat Jum’at itu tidak wajib bagi perempuan.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Sabtu, 28 Desember 2019

BUKAN AGAMA TROPIS


—Saiful Islam—

“Kemudian dengan gegabah disimpulkan bahwa orang-orang Eropa memang tidak cocok jadi Muslim. Atau boleh jadi Muslim, tapi tidak wajib salat dan puasa…”

Sebagaimana salat dan zakat, begitu juga puasa. Dalam batas-batas tertentu dan apalagai dalam keadaan yang tidak normal lagi, harus dilakukan proses kontekstualisasi. Atau proses ta’aqquliy alias proses ijtihadiy. Lagi-lagi, karena situasi dan kondisi tertentu yang membuat umat Islam mau tidak mau harus berijtihad. Maka meskipun ini urusan ibadah mahdhah, bahkan ritual, ternyata dalam batas-batas tertentu, Kaum Mukminin memiliki hak untuk berijtihad.

Misalnya soal waktu. Kita tahu sebelumnya melalui ayat-ayat yang telah dikutip, bahwa penetapan waktu salat maupun puasa, itu berdasar pada siang dan malam. Untuk waktu salat lihat QS.17:78, QS.11:114, QS.30:17, dan QS.4:103. Begitu juga waktu puasa, siangnya tidak boleh makan, minum, dan berhubungan suami istri. Sedangkan malamnya diperbolehkan (QS.2:187). Dulu, dimana teknologi tidak secanggih sekarang, penetapkan waktu memang biasanya berdasar pada malam dan siang itu.

Maka wajar kalau kemudian ulama salaf dulu (kuno atau tiga abad pertama tahun Hijriyah) menetapkan waktu salatnya dengan bayangan benda. Mereka berdasar Hadis-Hadis. Masuk waktu Dhuhur, yaitu sesaat setelah bayangan benda tepat di bawah kaki. Masuk waktu Asar, yaitu ketika bayangan benda mulai lebih panjang dari bendanya. Waktu Magrib saat matahari tenggelam atau langit kemerah-merahan. Isya’ saat warna kemerah-merahan itu hilang. Subuh, yaitu ketika fajar.

Begitu juga soal puasa. Sudah umum jika puasa didefinisikan sebagai menahan makan, minum, dan berhubungan suami istri sejak masuk waktu Subuh sampai Magrib. Bukan hanya oleh ulama-ulama salaf. Bahkan Qur’an pun, sebagaimana definisi yang saya buat kemarin, juga menjadikan Subuh (fajar) sampai Magrib (awal malam) sebagai waktu atau durasi berpuasa.

Karena keterbatasan matahari yang tidak tampak di malam hari itu, lantas membuat manusia akhirnya menggunakan cara lain. Di India, Raja Jaipur, Jai Singh II membangun banyak instrumen dan jam matahari di observatorium di Jaipur, Varanasi, Ujjain, Mathura sekitar tahun 1700-an.

Kata jam sendiri berasal dari Bahasa Latin clocca. Kata jam, itu sudah dipakai pada abad ke-14. Alias sekitar 700 tahun yang lalu. Dan di awal abad ke-17 itu, mesin jam mulai diberi pembungkus dari kuningan, serta diperkaya dengan penutup kaca dan jarum sebagai penunjuk menit.

Melakukan penghitungan (hisaab), termasuk untuk menentukan durasi hari, bulan, tahun, dan seterusnya, pun sebenarnya inspirasinya adalah dalam Qur’an. Sudah disebut sekitar 15 abad yang lalu. Misalnya QS.10:5 berikut.

QS. Yunus[10]: 5
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ ۚ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَٰلِكَ إِلَّا بِالْحَقِّ ۚ يُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Dia lah yang menjadikan MATAHARI bersinar dan BULAN bercahaya dan (Dia) menentukan manzilah-manzilah-nya (tempat atau posisinya), SUPAYA KAMU MENGETAHUI BILANGAN TAHUN DAN PERHITUNGAN (WAKTU). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.

Apa malam dan siang itu? Malam dan siang, sejatinya hanyalah sebuah kondisi di saat bumi—bulat yang agak oval—itu menghadap dan membelakangi matahari. Bagian bumi yang menghadap matahari adalah siang. Dan bagian bumi yang membelakangi matahari adalah malam. Menurut Sains, siang dan malam itu terjadi karena sifat bumi yang berputar pada porosnya. Rotasi bumi, istilahnya. Proses ini terjadi selama 24 jam.

Jika dilihat dari kutub utara, maka bumi berputar dari barat ke timur. Searah jarum jam. Tetapi sebaliknya, jika dilihat dari kutub selatan. Berlawanan arah jarum jam. Perputaran bumi ini membuat seakan-akan matahari yang berputar dari timur ke barat. Sejatinya, yang berputar bukanlah matahari. Tetapi bumilah yang berputar mengelilingi matahari bersama planet-planet lain dalam tata surya. Sekali bumi berputar mengelilingi matahari itu, membutuhkan waktu selama 1 tahun. Periode perputaran ini disebut revolusi bumi.

Andai saja sumbu rotasi bumi (poros) itu tegak lurus, maka semua negara atau wilayah di muka bumi pasti mendapatkan pembagian waktu siang dan malam yang sama. Siangnya 12 jam dan malamnya 12 jam. Tetapi karena sumbu bumi ini ternyata miring (sekitar 23,5 derajat), maka bagian bumi yang lebih condong menghadap matahari akan mengalami waktu siang lebih banyak. Sedangkan yang lainnya akan mengalami waktu malam yang lebih banyak.

Negara-negara di daerah kutub Selatan, seperti Islandia. Dalam sehari, negara di benua Eropa, ini waktu siangnya berdurasi 22 jam. Jadi negara yang terletak di sebelah barat laut Eropa atau sebelah utara Samudera Atlantik, itu malanya cuma 2 jam saja. Dengan kata lain, sehari yang 24 jam, itu hampir seluruhnya siang.

Selain itu, juga negara-negara Skandinavia. Yaitu meliputi negara Swedia, Finlandia, dan sebagian Norwegia bagian tengah. Negara-negara yang berlokasi di bagian barat benua Eropa, itu waktu siang terlamanya mencapai 21 jam. Yaitu tepatnya ketika musim panas. Dengan kata lain, malamnya hanya 3 jam saja.

Ada juga Alaska. Ini adalah negara bagian terbesar dari Amerika Serikat. Alaska, secara geografis, memang terletak di daerah kutub Utara. Akibatnya, negara tersebut juga memiliki waktu siang yang lama. Yaitu 20 jam. Sedangkan malamnya cuma 4 jam.

Pun begitu, Rusia. Jika kita melihat globe, Rusia merupakan negara terbesar di dunia. Luas wilayahnya mencapai 17.075.400 km2. Tidak heran kalau hampir seluruh Benua Eropa, memanjang dari Timur ke Barat, itu diduduki oleh Rusia. Negara ini memiliki waktu siang terlamanya, yaitu 19 jam. Malamnya 5 jam.

 Berikutnya, adalah Inggris. Yang waktu siang terlamanya hampir 18 jam. Dan 7 jam untuk waktu malamnya. Begitu terus negara-negara yang semakin ke selatan sampai garis khatulistiwa. Semakin mendekati garis khatulistiwa itu, maka suatu negara akan semakin mendapat porsi siang dan malam yang seimbang. Contohnya Indonesia, yang waktu siang terlamanya adalah 13 jam.

Nah, coba kita kembalikan lagi kepada definisi puasa yang umum tersebut. Yaitu menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan intim dari Subuh sampai Magrib. Kalau ukurannya adalah siang dan malam, maka Muslimin di Islandia akan berpuasa sekitar 22 jam. Begitu juga Kaum Muslimin di Swedia, Finlandia, dan sebagian Norwegia bagian tengah akan berpuasa selama 21 jam. Dan seterusnya untuk umat Islam di Alaska, Rusia, dan Inggris.

Jadi jika definisi puasa ini tidak diubah, maka kita Muslimin Indonesia akan berpuasa cuma sekitar 13 jam, sedangkan Muslim di Islandia puasanya selama 22 jam. Belum lagi waktu salatnya. Kalau kita kaku dengan definisi kuno itu, meskipun berdasar Qur’an dan Hadis, maka wajar ada yang mengatakan bahwa Islam ini adalah agama yang hanya cocok untuk orang-orang tropis. Islam adalah agama tropis. Kemudian dengan gegabah disimpulkan bahwa orang-orang Eropa memang tidak cocok jadi Muslim. Atau boleh jadi Muslim, tapi tidak wajib salat dan puasa. Hehe.

Tentu saja tidak begitu. Inilah yang berkali-kali saya sebut, bahwa kalau kita sekarang ini tidak melakukan proses-proses ijtihad, maka Islam memang tidak akan bisa diamalkan di segala wilayah, segala zaman, dan segala SAR. Dan itu, tidak mungkin. Maka dalam situasi, kondisi, dan tempat (ketupat) tertentu, Umat Islam harus dan wajib melakukan proses ijtihadiy, ta’aqquliy, qiyasiy, dan kontekstualisasi. Karena Islam, adalah agama yang rahmatan lil ‘aalamiin.

Dan menjadi catatan pentingnya, adalah: semua proses ijtihadiy, ta’aqquliy, qiyasiy, dan kontekstualisasi, itu tidak berarti telah mendapatkan wahyu teologis lain selain Qur’an. Wahyu, itu cuma Qur’an saja. Selain Qur’an, tidak ada yang wahyu itu.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Kamis, 26 Desember 2019

MEMAHAMI WAHYU PUASA


—Saiful Islam—

“Puasa Nabi spesifik yang tidak ada dalam Qur’an, itu murni ijtihad beliau SAW sendiri, setelah terinspirasi oleh ayat-ayat Qur’an. Bukan karena dapat wahyu antah-berantah…”

Bagaimana tentang puasa Ramadan. Apakah ia wahyu? Jawabannya, iya. Puasa Ramadan adalah wahyu. Namun bukan wahyu Hadis. Melainkan wahyu Qur’an. Dengan kata lain, perintah puasa itu langsung wahyu dari Allah, firman Allah. Yakni dari Qur’an. Berikut saya tunjukkan ayatnya.

QS. Al-Baqarah[2]: 183
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman. DIWAJIBKAN ATAS KAMU BERPUASA sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.

QS. Al-Baqarah[2]: 185
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia, dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu, serta pembeda (antara yang benar dan yang salah). Karena itu, BARANGSIAPA DI ANTARA KAMU MENYAKSIKAN BULAN RAMADAN ITU, MAKA WAJIBLAH IA BERPUASA. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan, maka (wajiblah baginya mengganti puasanya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.

Bahkan, puasa Ramadan, ini tidak hanya perintahnya yang jelas-jelas disebut di dalam Qur’an. Waktu, teknis, tujuan, pantangan bagi yang berpuasa, manfaat puasa itu sendiri, sampai bagaimana menyikapi puasa ketika keadaan sudah tidak normal, seperti sakit, perjalanan, atau sudah tidak mampu lagi berpuasa misalnya karena usia, itu pun disebut oleh Qur’an. Berikut ini.

QS. Al-Baqarah[2]: 184
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ ۚ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan, maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang tidak mampu lagi berpuasa, maka wajib membayar fidyah, (yaitu): memberi makan orang miskin miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa, itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

 QS. Al-Baqarah[2]: 187
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ ۗ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۖ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu. Karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu. Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam. (Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf di dalam masjid. Itulah larangan Allah. Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.

Maka bisa dijawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini: Apa puasa Ramadan itu? Yaitu tidak makan, tidak minum, dan tidak berhubungan suami istri dari mulai terbit fajar hingga terbenam matahari. Ditunjukkan QS.2:187 oleh kalimat: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu.” Dan kalimat: “Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.”

Kapan dimulainya puasa Ramadan? Yaitu sejak mulai masuk bulan Ramadan. Lamanya sebulan penuh. Ditunjukkan QS.2:185 oleh kalimat: “Bulan RamadanBarangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan Ramadan itu, maka wajiblah ia berpuasa.” Dan QS.2:184 oleh kalimat: “(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu.”

Lantas dari dua pertanyaan dan jawaban di atas, bisa pula ditentukan pantangan bagi orang yang berpuasa Ramadan. Yaitu tidak boleh makan, tidak boleh minum, tidak boleh berhubungan seksual di siang harinya. Adapun malamnya, meski bulan puasa, maka itu semua boleh. Asalkan hubungan intim tersebut, tidak dilakukan di dalam masjid. “(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf di dalam masjid,” QS.2:187.

Mengapa kita berpuasa Ramadan? Karena pada bulan tersebut adalah awal Allah menurunkan wahyu Qur’an kepada Nabi SAW (QS.2:185), untuk disampaikan kepada kita Kaum Mukminin. Untuk apa berpuasa Ramadan itu? Supaya kita menjadi orang yang bertakwa (QS.2:183).

“Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan, maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain,” QS.2:184. Berkali-kali di Bulan Ramadan, saya bepergian Banyuwangi—Madura. Atau sebaliknya. Dan Surabaya—Banyuwangi. Atau sebaliknya. Baik naik kapal, kereta, atau bus. Dulu saya usahakan untuk tetap berpuasa. Tetapi ketika saya perhatikan berulang-ulang ayat ini, saya memilih tidak berpuasa adalah yang terbaik. Kemudian menggantinya di hari yang lain.

Adapun kalimat: “Dan berpuasa, itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui,” itu tidak berarti bahwa orang yang sakit atau orang yang dalam perjalanan (safar), itu lebih baik berpuasa daripada tidak berpuasa. Penggalan QS.2:184, itu informasi umum. Bahwa berpuasa itu lebih baik daripada tidak berpuasa. Termasuk puasa Senin dan Kamis, Puasa Dawud, dan puasa-puasa lain yang diceritakan dalam Hadis-Hadis sahih.

Ingat, kalau mau berpuasa yang tidak disebutkan oleh Qur’an, maka hanya harus berpuasa yang berdasar Hadis sahih saja. Betul, puasa ini adalah termasuk ibadah mahdhah. Maka tidak boleh berdasar pada Hadis lemah (dhaif). Apalagi Hadis palsu atau Hadis hoax. Semua puasa yang tidak berdasar Qur’an dan Hadis sahih, adalah haram. “Asal dari ibadah, itu batal (haram) sampai ada dalil yang menyuruh,” begitu rumus dari ulama Ushul.

Meski demikian, ketika Nabi melakukan suatu puasa yang tidak disebut dalam Qur’an, misalnya puasa Senin dan Kamis, itu tidak berarti Nabi mendapatkan wahyu lain selain Qur’an. Puasa-puasa Nabi spesifik yang tidak ada dalam Qur’an, itu murni ijtihad beliau SAW sendiri, setelah terinspirasi oleh ayat-ayat Qur’an tentang puasa. Bukan karena dapat wahyu antah-berantah. Nabi memang punya hak prerogatif di sini. Kita dan siapa pun yang selain Nabi, tidak punya hak. Maka, kita hanya boleh meniru (ittibaa’) puasanya Nabi saja.

Yang menarik adalah penyebutan, “Jika kamu mengetahui.” Nah, ternyata Sains (ayat kauniyyah Allah) menjelaskan dengan sangat apik manfaat puasa itu. Baik untuk fisik, maupun psikis kejiwaan. Bertaburan kalau kita mau search di Google. Di antaranya meningkatkan kesehatan jantung, menurunkan berat badan, memperbaiki sensitivitas insulin, mempercepat metabolisme, memperbaiki fungsi otak, memperbaiki pola makan, memperpanjang usia, meningkatkan sistem kekebalan tubuh, dan lain-lain.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...