Senin, 16 Desember 2019

WAHYU SEPERTI BERLIAN


—Saiful Islam—

“Perlakukan orang lain, sebagaimana kita ingin diperlakukan…”

Jadi, Allah menurunkan al-Kitab dan al-Hikmah. Yakni teks Qur’an dan kandungan makna dari teks Qur’an itu sendiri. Maka sebenarnya, Allah itu menurunkan satu paket. Yakni wahyu teks Qur’an sekaligus dengan kandungan-kandungan maknanya. Teks Qur’an itu wahyu. Maka otomatis, kandungan makna dari teks Qur’an, itu juga wahyu. Dengan kata lain, al-Hikmah adalah wahyu.

Qur’an itu memang ngeplek wahyu dari Allah. Baik lafaz (teks) dan maknanya. Sehingga, Rasulullah itu memang hanya ‘copy paste’ saja. Menurut saya, tidak benar kalau Rasulullah pernah meredaksikan sendiri wahyu dari Allah. Bagi saya, salah definisi Hadis Qudsi yang sudah terkenal itu. Ia bukan firman Allah yang dibahasakan sendiri oleh Nabi. Tetapi pernyataan Nabi yang terinspirasi oleh Qur’an.

Al-Hikmah, memang adalah wahyu. Ya jelas. Teks Qur’an-nya kan memang wahyu. Maka al-Hikmah, kandungan makna dari teks Qur’an itu sendiri, otomatis adalah wahyu. Maka untuk mendapatkan al-Hikmah, tidak ada jalan lain, kecuali memahami teks-teks Qur’an itu sendiri. Ingat, al-Hikmah adalah kandungan makna teks ayat-ayat Qur’an.

Jadi, bukan lalu mencari-cari wahyu lain selain Qur’an untuk mendapatkan al-Hikmah. Sebuah wahyu yang antah berantah. Kemudian secara ceroboh menyatakan bahwa teks-teks Hadis adalah al-Hikmah. Lantas disimpulkan teks-teks Hadis adalah wahyu atau terinspirasi oleh wahyu yang selain Qur’an. Jelas, keyakinan ada wahyu lain selain Qur’an, itu adalah ‘penyakit’.

Jelas sekali disebutkan dalam QS.17:39 bahwa al-Hikmah itu adalah wahyu. Tetapi ingat, al-Hikmah adalah wahyu yang tidak berdiri sendiri. Bukan wahyu yang antah berantah. Tidak lain, al-Hikmah adalah kandungan makna dari teks ayat-ayat Qur’an yang memang wahyu itu sendiri.

Teks Qur’an yang wahyu, itu bukan hanya untuk Nabi. Bahkan Nabi itu hanyalah penyampai saja. Audiens Kalam Allah tersebut, juga termasuk kita. Ya, teks Qur’an itu untuk kita. Maka wahyu al-Hikmah dari teks Qur’an, itu juga untuk kita. Setiap orang akan bisa meraih al-Hikmah itu sesuai dengan kualitas dan kapabilitasnya masing-masing.

QS. Al-Isra’[17]: 39
ذَٰلِكَ مِمَّا أَوْحَىٰ إِلَيْكَ رَبُّكَ مِنَ الْحِكْمَةِ ۗ وَلَا تَجْعَلْ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ فَتُلْقَىٰ فِي جَهَنَّمَ مَلُومًا مَدْحُورًا
ITULAH SEBAGIAN AL-HIKMAH YANG ALLAH WAHYUKAN KEPADAMU. Dan janganlah kamu mengadakan Tuhan yang lain selain Allah, yang menyebabkan kamu dilemparkan ke dalam neraka dalam keadaan tercela lagi dijauhkan (dari rahmat Allah).

Jadi QS.17:39 ini telah menunjuk: “Itulah sebagian al-Hikmah…” Maka untuk mengetahui isi ‘Itulah’ ini, kita mesti merujuk ayat-ayat sebelum atau sesudahnya agar mendapatkan bentuk sebagian al-Hikmah itu sendiri. Sebagian bentuk al-Hikmah itu adalah kira-kira (pemahaman saya) sebagai berikut.

Mendapat petunjuk atau tersesat, itu tanggung jawab masing-masing orang. Balasan pahala atau dosa, itu juga ditanggung sendiri-sendiri. Tidak bisa diwakilkan kepada orang tua, anak, saudara, guru, dan seterusnya (QS.17:13-15).

Sebuah negeri akan hancur, itu diawali oleh orang-orang kaya yang bermaksiat kepada Allah (QS.17:16-17). Harta memang adalah power. Jika kekuatan harta itu digunakan di jalan yang salah, pasti akan menghasilkan kerusakan yang mengerikan.

Siapa pun yang menghendaki kehidupan dunia, akan diberi. Begitu juga, siapa pun yang menghendaki akhirat, akan diberi. Setiap orang mempunyai kelebihan masing-masing, itu sudah sunnatullah. Dan kehidupan akhirat, itu lebih tinggi derajatnya dan lebih besar keutamaannya (QS.17:18-21).

Ber-Tuhan, itu harus hanya kepada Allah. Supaya selamat. Juga mesti berbuat yang sebaik-baiknya kepada kedua orang tua. Terutama ketika mereka sudah berusia lanjut. Sebisa mungkin menjaga kalimat agar tidak menyakiti hati orang tua. Dan mendoakan mereka: “Wahai Tuhanku, sayangilah orang tuaku…,” (QS.17:22-25).

QS.17:26, 27, dan 29, di dalam harta kita, itu sebenarnya ada hak-hak orang lain. Yang mesti diberikan kepada mereka. Yaitu kerabat atau saudara dekat yang mengalami kesulitan ekonomi, orang-orang miskin (dhu’afa), dan Ibnu Sabil (seperti pelajar, santri, mahasiswa yang membiayai sendiri, dan orang-orang baik penempuh perjalanan yang ‘kekurangan’ bekal). Dermawanlah, jangan boros.

Bentuk sebagian al-Hikmah, yang harus kita jadikan sebagai prinsip hidup adalah selalu berkata-kata yang baik (QS.17:28).

Allah melapangkan rezeki yang dikehendaki-Nya. Yaitu bagi orang yang dermawan. Allah juga membatasi rezeki tersebut. Yaitu bagi orang yang bakhil (QS.17:30). Orang yang bakhil dan boros akan tercela dan menyesal (QS.17:29).

Tidak perlu takut rezeki anak-anak kita. Taatlah kepada Allah. Baiklah dengan siapa pun. Rajinlah bekerja dan berusaha. Tawakkal-lah kepada-Nya. Maka Allah lah yang akan menjamin rezeki kita, pasangan kita, dan anak-anak kita itu (QS.17:31).

Jangan mendekati zina. Mendekati saja, jangan. Apalagi melakukan (QS.17:32).
Nyawa itu karunia Allah yang sangat berharga. Maka jangan gampangan membunuh orang (QS.17:33). Lebih baik salah mengampuni, daripada salah menghukum.

Boleh mengelola harta anak yatim, tetapi hanya dengan cara yang baik dan bijaksana. Yang win-win solution. Misalnya supaya produktif, harta itu dibuat modal usaha yang jelas keuntungannya (QS.17:34). Penuhilah janji-janji yang dibuat antar sesama.

Tidak boleh curang dalam transaksi jual beli. Jujurlah dalam berbisnis dan berdagang (QS.17:35). Sukses akan diraih oleh orang-orang yang jujur. Sebaliknya, orang-orang curang akan mendapat akibat buruk.

Tidak boleh ikut-ikutan, sebelum kita tahu ilmunya. Terutama terkait soal keyakinan dan ibadah ritual mahdhah. Sebab mendapat petunjuk atau tersesat, itu tanggung jawab kita pribadi (QS.17:36).

Jangan pernah sombong. Yaitu menolak kebenaran, padalah sudah jelas. Dan merendahkan orang lain. Hormatilah setiap orang. Perlakukanlah orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan (QS.17:37). Kesombongan itu dibenci Allah (QS.17:38).

“Loh, Mas. Anda tadi mengatakan bahwa al-Hikmah adalah wahyu?”

“Iya betul.”

“Jadi, tafsiran Anda barusan, itu wahyu?”

“Bukan. Tetapi ‘wahyu’. Saya beri tanda kutip, itu artinya adalah upaya saya menangkap sebagian wahyu al-Hikmah itu sendiri.”

Wahyu teks Qur’an dan Hikmah-nya, itu memang seperti berlian. Setiap orang—sesuai dengan kualitas dan kapabilitasnya masing-masing—akan menemukan keindahan di setiap sisi berlian itu. Makanya, pakar Sosiologi akan menemukan keindahan berlian itu dengan ‘wahyu’ Soiologinya. Pakar Biologi, akan menemukan keindahannya dengan ‘wahyu’ Biologinya. Begitu juga pakar Astronomi, Fisika, Kimia, Sejarah, Antropologi, Psikologi, kedokteran, dan lain seterusnya.

Nah. Untuk memperoleh al-Hikmah yang lebih baik dan lebih indah, itu memang tidak cukup hanya belajar Ulumul Qur’an, Ulum al-Tafsir, Ulumul Hadis, Ushul Fikih, serta Bahasa dan Sastra Arab saja. Tapi juga diperlukan ilmu-ilmu bantu lainnya yang tak kalah penting. Yakni Sains dan Teknologi, sebagaimana yang saya sebut di atas.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...