—Saiful Islam—
“Perlakukan orang lain, sebagaimana
kita ingin diperlakukan…”
Jadi, Allah menurunkan al-Kitab dan
al-Hikmah. Yakni teks Qur’an dan kandungan makna dari teks Qur’an itu sendiri.
Maka sebenarnya, Allah itu menurunkan satu paket. Yakni wahyu teks Qur’an
sekaligus dengan kandungan-kandungan maknanya. Teks Qur’an itu wahyu. Maka otomatis,
kandungan makna dari teks Qur’an, itu juga wahyu. Dengan kata lain, al-Hikmah
adalah wahyu.
Qur’an itu memang ngeplek wahyu
dari Allah. Baik lafaz (teks) dan maknanya. Sehingga, Rasulullah itu memang
hanya ‘copy paste’ saja. Menurut saya, tidak benar kalau Rasulullah pernah
meredaksikan sendiri wahyu dari Allah. Bagi saya, salah definisi Hadis Qudsi
yang sudah terkenal itu. Ia bukan firman Allah yang dibahasakan sendiri oleh
Nabi. Tetapi pernyataan Nabi yang terinspirasi oleh Qur’an.
Al-Hikmah, memang adalah wahyu. Ya jelas.
Teks Qur’an-nya kan memang wahyu. Maka al-Hikmah, kandungan makna dari teks Qur’an
itu sendiri, otomatis adalah wahyu. Maka untuk mendapatkan al-Hikmah, tidak ada
jalan lain, kecuali memahami teks-teks Qur’an itu sendiri. Ingat, al-Hikmah
adalah kandungan makna teks ayat-ayat Qur’an.
Jadi, bukan lalu mencari-cari wahyu
lain selain Qur’an untuk mendapatkan al-Hikmah. Sebuah wahyu yang antah
berantah. Kemudian secara ceroboh menyatakan bahwa teks-teks Hadis adalah
al-Hikmah. Lantas disimpulkan teks-teks Hadis adalah wahyu atau terinspirasi
oleh wahyu yang selain Qur’an. Jelas, keyakinan ada wahyu lain selain Qur’an,
itu adalah ‘penyakit’.
Jelas sekali disebutkan dalam QS.17:39
bahwa al-Hikmah itu adalah wahyu. Tetapi ingat, al-Hikmah adalah wahyu yang
tidak berdiri sendiri. Bukan wahyu yang antah berantah. Tidak lain, al-Hikmah
adalah kandungan makna dari teks ayat-ayat Qur’an yang memang wahyu itu
sendiri.
Teks Qur’an yang wahyu, itu bukan
hanya untuk Nabi. Bahkan Nabi itu hanyalah penyampai saja. Audiens Kalam Allah tersebut,
juga termasuk kita. Ya, teks Qur’an itu untuk kita. Maka wahyu al-Hikmah dari
teks Qur’an, itu juga untuk kita. Setiap orang akan bisa meraih al-Hikmah itu
sesuai dengan kualitas dan kapabilitasnya masing-masing.
QS. Al-Isra’[17]: 39
ذَٰلِكَ مِمَّا أَوْحَىٰ
إِلَيْكَ رَبُّكَ مِنَ الْحِكْمَةِ ۗ وَلَا تَجْعَلْ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ فَتُلْقَىٰ فِي جَهَنَّمَ مَلُومًا
مَدْحُورًا
ITULAH SEBAGIAN AL-HIKMAH YANG
ALLAH WAHYUKAN KEPADAMU. Dan janganlah kamu mengadakan Tuhan yang lain selain
Allah, yang menyebabkan kamu dilemparkan ke dalam neraka dalam keadaan tercela
lagi dijauhkan (dari rahmat Allah).
Jadi QS.17:39 ini telah menunjuk: “Itulah
sebagian al-Hikmah…” Maka untuk mengetahui isi ‘Itulah’ ini, kita mesti
merujuk ayat-ayat sebelum atau sesudahnya agar mendapatkan bentuk sebagian al-Hikmah
itu sendiri. Sebagian bentuk al-Hikmah itu adalah kira-kira (pemahaman saya) sebagai
berikut.
Mendapat petunjuk atau tersesat,
itu tanggung jawab masing-masing orang. Balasan pahala atau dosa, itu juga ditanggung
sendiri-sendiri. Tidak bisa diwakilkan kepada orang tua, anak, saudara, guru,
dan seterusnya (QS.17:13-15).
Sebuah negeri akan hancur, itu
diawali oleh orang-orang kaya yang bermaksiat kepada Allah (QS.17:16-17). Harta
memang adalah power. Jika kekuatan harta itu digunakan di jalan yang
salah, pasti akan menghasilkan kerusakan yang mengerikan.
Siapa pun yang menghendaki
kehidupan dunia, akan diberi. Begitu juga, siapa pun yang menghendaki akhirat,
akan diberi. Setiap orang mempunyai kelebihan masing-masing, itu sudah
sunnatullah. Dan kehidupan akhirat, itu lebih tinggi derajatnya dan lebih besar
keutamaannya (QS.17:18-21).
Ber-Tuhan, itu harus hanya kepada
Allah. Supaya selamat. Juga mesti berbuat yang sebaik-baiknya kepada kedua
orang tua. Terutama ketika mereka sudah berusia lanjut. Sebisa mungkin menjaga
kalimat agar tidak menyakiti hati orang tua. Dan mendoakan mereka: “Wahai
Tuhanku, sayangilah orang tuaku…,” (QS.17:22-25).
QS.17:26, 27, dan 29, di dalam
harta kita, itu sebenarnya ada hak-hak orang lain. Yang mesti diberikan kepada
mereka. Yaitu kerabat atau saudara dekat yang mengalami kesulitan ekonomi,
orang-orang miskin (dhu’afa), dan Ibnu Sabil (seperti pelajar, santri,
mahasiswa yang membiayai sendiri, dan orang-orang baik penempuh perjalanan yang
‘kekurangan’ bekal). Dermawanlah, jangan boros.
Bentuk sebagian al-Hikmah, yang
harus kita jadikan sebagai prinsip hidup adalah selalu berkata-kata yang baik
(QS.17:28).
Allah melapangkan rezeki yang
dikehendaki-Nya. Yaitu bagi orang yang dermawan. Allah juga membatasi rezeki
tersebut. Yaitu bagi orang yang bakhil (QS.17:30). Orang yang bakhil dan boros
akan tercela dan menyesal (QS.17:29).
Tidak perlu takut rezeki anak-anak
kita. Taatlah kepada Allah. Baiklah dengan siapa pun. Rajinlah bekerja dan
berusaha. Tawakkal-lah kepada-Nya. Maka Allah lah yang akan menjamin rezeki kita,
pasangan kita, dan anak-anak kita itu (QS.17:31).
Jangan mendekati zina. Mendekati saja,
jangan. Apalagi melakukan (QS.17:32).
Nyawa itu karunia Allah yang sangat
berharga. Maka jangan gampangan membunuh orang (QS.17:33). Lebih baik salah
mengampuni, daripada salah menghukum.
Boleh mengelola harta anak yatim,
tetapi hanya dengan cara yang baik dan bijaksana. Yang win-win solution.
Misalnya supaya produktif, harta itu dibuat modal usaha yang jelas
keuntungannya (QS.17:34). Penuhilah janji-janji yang dibuat antar sesama.
Tidak boleh curang dalam transaksi
jual beli. Jujurlah dalam berbisnis dan berdagang (QS.17:35). Sukses akan
diraih oleh orang-orang yang jujur. Sebaliknya, orang-orang curang akan
mendapat akibat buruk.
Tidak boleh ikut-ikutan, sebelum
kita tahu ilmunya. Terutama terkait soal keyakinan dan ibadah ritual mahdhah.
Sebab mendapat petunjuk atau tersesat, itu tanggung jawab kita pribadi
(QS.17:36).
Jangan pernah sombong. Yaitu menolak
kebenaran, padalah sudah jelas. Dan merendahkan orang lain. Hormatilah setiap
orang. Perlakukanlah orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan (QS.17:37).
Kesombongan itu dibenci Allah (QS.17:38).
“Loh, Mas. Anda tadi mengatakan
bahwa al-Hikmah adalah wahyu?”
“Iya betul.”
“Jadi, tafsiran Anda barusan, itu
wahyu?”
“Bukan. Tetapi ‘wahyu’. Saya beri
tanda kutip, itu artinya adalah upaya saya menangkap sebagian wahyu al-Hikmah
itu sendiri.”
Wahyu teks Qur’an dan Hikmah-nya,
itu memang seperti berlian. Setiap orang—sesuai dengan kualitas dan
kapabilitasnya masing-masing—akan menemukan keindahan di setiap sisi berlian
itu. Makanya, pakar Sosiologi akan menemukan keindahan berlian itu dengan ‘wahyu’
Soiologinya. Pakar Biologi, akan menemukan keindahannya dengan ‘wahyu’
Biologinya. Begitu juga pakar Astronomi, Fisika, Kimia, Sejarah, Antropologi, Psikologi,
kedokteran, dan lain seterusnya.
Nah. Untuk memperoleh al-Hikmah
yang lebih baik dan lebih indah, itu memang tidak cukup hanya belajar Ulumul
Qur’an, Ulum al-Tafsir, Ulumul Hadis, Ushul Fikih, serta Bahasa dan Sastra Arab
saja. Tapi juga diperlukan ilmu-ilmu bantu lainnya yang tak kalah penting.
Yakni Sains dan Teknologi, sebagaimana yang saya sebut di atas.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar