—Saiful Islam—
“Al-Hikmah, pemahaman terbaik
terhadap objek setelah diketahui oleh Sains dan analisisnya…”
Sedangkan Ibnu Manzhur, dalam Lisan
al-‘Arab menghabiskan sekitar tiga halaman untuk bercerita tentang apa yang
terkait dengna al-hikmah itu. Saya ceritakan sebagian dulu. Sebagai
berikut.
Allah itu Ahkam al-haakimiin.
Dialah Al-Hakiim, Sang Pemilik hukum. Menurut Al-Layts, Al-Hakam
adalah Allah. Al-Azhariy berpendapat, “Allah mempunyai sifat-sifat Al-Hakam,
Al-Hakiim, dan Al-Haakim. Kata-kata
tersebut memiliki makna yang berdekatan. Hanya Allah yang Tahu maksud
sesungguhnya. Kewajiban kita hanya iman bahwa itu semua adalah termasuk nama-nama-Nya.”
Menurut Ibnu al-Atsir, Al-Hakam
dan Al-Hakiim itu bermakna Al-Haakim. Yaitu Penentu keputusan
(hakim kalau di Indonesia). Atau Ia adalah Yang Menghukumi sesuatu dan
menjadikannya kokoh.
Menurut satu pendapat, al-hakiim
itu berarti yang memiliki al-hikmah. Sedangkan al-hikmah adalah keterangan
(penjelasan) tentang pengetahuan suatu objek yang paling utama dengan ilmu-ilmu
yang paling utama juga. Maka orang yang sangat teliti terhadap detail-detail
sebuah karya, sehingga menghasilkan karya yang amat rapi, kokoh dan
berkualitas, itu disebut dengan hakiim.
Al-Hakiim boleh juga
bermakna al-haakim. Seperti qodiir yang bermakna qoodir,
dan ‘aliim yang bermakna ‘aalim. Menurut al-Jauhariy, “Al-hukm
(hukum) dan al-hikmah itu termasuk ilmu pengetahuan. Sedangkan al-hakiim,
adalah orang yang berilmu dan memiliki al-hikmah.”
Al-hukm adalah ilmu
dan pemahaman (al-fiqh di sini bukan Ilmu Fikih, tetapi umum, yakni
pemahaman). Qur’an menyebutkan, “Dan Kami telah menganugerahinya al-hukm
ketika ia masih kanak-kanak.” Yakni ilmu dan pemahaman untuk Yahya AS, putranya
Zakariya AS. Begitu juga artinya, ungkapan, “Diam adalah al-hukm. Sedikit
sekali yang mengamalkannya.”
QS. Maryam[19]: 12
يَا يَحْيَىٰ خُذِ
الْكِتَابَ بِقُوَّةٍ ۖ وَآتَيْنَاهُ الْحُكْمَ صَبِيًّا
Hai Yahya, ambillah Al-Kitab itu
dengan sungguh-sungguh. DAN KAMI BERIKAN KEPADANYA AL-HUKM SELAGI IA MASIH
KANAK-KANAK.
Hadis menyebutkan, “Sesungguhnya
sebagian syair (fiksi), itu ada hukman.” Maksudnya adalah dalam syair itu
terdapat ungkapan yang bermanfaat, yang menolak dan mencegah pada kebodohan dan
kedunguan. Menurut satu pendapat, yang dimaksud adalah nasihat-nasihat dan
perumpamaan-perumpamaan yang bermanfaat.
Al-Hukm juga berarti
ilmu, pemahaman, dan memutuskan dengan adil. Ada riwayat, “Sesungguhnya
sebagian syair itu ada al-hikmah.” Al-hikmah di sini bermakna al-hukm.
Dijumpai pula Hadis, “Al-khilaafah (pemerintahan) itu ada pada orang-orang
Quraisy, sedangkan al-hukm (hukum) itu ada pada orang-orang Anshar.” Orang-orang
Anshar dikhususkan dengan hukum, sebab sebagian besar Sahabat yang ahli-ahli
hukum, itu berasal dari kalangan orang-orang Anshar. Diantaranya Mu’adz bin
Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zayd bin Tsabit, dan lain-lain.
Al-Layts berkata, “Telah sampai
kepadaku bahwa Nabi SAW melarang seorang laki-laki diberi nama Hakiim.”
Namun seperti dibantah oleh Al-Azhariy: “Orang-orang memberi nama Hakiim
dan Hakam. Aku tidak pernah tahu bahwa larangan menami dengan Hakiim
tersebut adalah sahih.”
Ibnu al-Atsir berkata, “Di dalam
Hadis Abi Syurayh, ia dijuluki Abu al-Hakam. Nabi berkata kepadanya:
Sesungguhnya Allah adalah al-Hakam. Dan julukan itu untuk Abi Syurayh.”
Penamaan laki-laki dengan Hakam itu makruh, karena supaya tidak syirik
(menyamai sifat-Nya yang al-Hakam).
Disebutkan dalam Hadis untuk
mensifati Qur’an. Bahwa Qur’an itu adalah al-dzikr al-hakiim. Yakni Qur’an
yang mengandung hukum untuk mereka (jadikan patokan) dan atas mereka (sebagai
objek hukum). Atau Qur’an itu al-muhkam, yakni tidak ada kesalahan dan
kontradiksi di dalamnya.
Di dalam Hadis Ibnu Abbas,
mengatakan: “Aku membaca al-muhkam di hadapan Rasulullah SAW.” Ibnu
Abbas mengharap penjelasan lebih rinci dari Qur’an. Karena tidak ada yang
dihapus di dalamnya. Menurut pendapat yang lain, Qur’an itu tidak ada yang mutasyabihat
(samar). Karena Qur’an memperjelas dirinya sendiri (suatu ayat, diperjelas oleh
ayat yang lain). Dan tidak membutuhkan penjelasan yang lain lagi (selain
ayat-ayat Qur’an itu sendiri).
Orang-orang Arab jika berkata, “Hakamtu,
Ahkamtu, dan Hakkamtu,” maknanya adalah mencegah dan menolak
(mengembalikan). Dari makna, lantas penentu keputusan di antara manusia itu
disebut al-haakim. Karena ia mecegah dan menolak orang zalim dari
kezaliman.
Al-Mundziriy meriwayatkan dari Abu
Thalib, bahwa ia berkata seperti perkataan orang-orang Arab: “Allah
menetukan hukum di antara kita.” Menurut Al-Ashma’iy, bahwa pemerintahan
(didirikan) itu asalnya untuk mencegah seseorang supaya tidak berbuat zalim. Ia
berkata, “Dari sini dinamailah hakamah al-lijaam (kendali atau kekang
kuda). Karena tali kekang kuda itu mengembalikan (mengendalikan) gerakannya.
Labid bersyair tentang ahkama
al-jintsiy dan hirbaa’. Al-jintsiy adalah pedang. Maksudnya adalah
mengembalikan pedang pada tutupnya (seperti pedang samurai yang ada selontongan
atau tutupnya, wedok’ane istilah orang Jawa). Adapun al-hirbaa’,
menurut satu pendapat artinya adalah tutupnya pedang tersebut yang terbuat dari
logam. Sedangkan makna al-ihkaam di sini adalah pemeliharaan.
Ibnu Sidah berkata bahwa al-hukm
adalah penentuan keputusan. Bentuk pluralnya adalah al-ahkaam. Bentuk mashdar-nya
adalah hukman dan hukuumah. Hakama yahkumu bainahum,
memutuskan hukum di antara manusia. Menurut al-Azhariy, al-hukm adalah
menentukan keputusan hukum dengan adil.
Adapun al-haakim adalah
orang yang memutuskan hukum. Bentuk pluralnya adalah hukkaam. Dan dia
adalah al-hakam.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar