Rabu, 11 Desember 2019

MENELUSURI AL-HIKMAH


—Saiful Islam—

“Al-Hikmah, pemahaman terbaik terhadap objek setelah diketahui oleh Sains dan analisisnya…”

Sedangkan Ibnu Manzhur, dalam Lisan al-‘Arab menghabiskan sekitar tiga halaman untuk bercerita tentang apa yang terkait dengna al-hikmah itu. Saya ceritakan sebagian dulu. Sebagai berikut.

Allah itu Ahkam al-haakimiin. Dialah Al-Hakiim, Sang Pemilik hukum. Menurut Al-Layts, Al-Hakam adalah Allah. Al-Azhariy berpendapat, “Allah mempunyai sifat-sifat Al-Hakam, Al-Hakiim,  dan Al-Haakim. Kata-kata tersebut memiliki makna yang berdekatan. Hanya Allah yang Tahu maksud sesungguhnya. Kewajiban kita hanya iman bahwa itu semua adalah termasuk nama-nama-Nya.”

Menurut Ibnu al-Atsir, Al-Hakam dan Al-Hakiim itu bermakna Al-Haakim. Yaitu Penentu keputusan (hakim kalau di Indonesia). Atau Ia adalah Yang Menghukumi sesuatu dan menjadikannya kokoh.

Menurut satu pendapat, al-hakiim itu berarti yang memiliki al-hikmah. Sedangkan al-hikmah adalah keterangan (penjelasan) tentang pengetahuan suatu objek yang paling utama dengan ilmu-ilmu yang paling utama juga. Maka orang yang sangat teliti terhadap detail-detail sebuah karya, sehingga menghasilkan karya yang amat rapi, kokoh dan berkualitas, itu disebut dengan hakiim.

Al-Hakiim boleh juga bermakna al-haakim. Seperti qodiir yang bermakna qoodir, dan ‘aliim yang bermakna ‘aalim. Menurut al-Jauhariy, “Al-hukm (hukum) dan al-hikmah itu termasuk ilmu pengetahuan. Sedangkan al-hakiim, adalah orang yang berilmu dan memiliki al-hikmah.”

Al-hukm adalah ilmu dan pemahaman (al-fiqh di sini bukan Ilmu Fikih, tetapi umum, yakni pemahaman). Qur’an menyebutkan, “Dan Kami telah menganugerahinya al-hukm ketika ia masih kanak-kanak.” Yakni ilmu dan pemahaman untuk Yahya AS, putranya Zakariya AS. Begitu juga artinya, ungkapan, “Diam adalah al-hukm. Sedikit sekali yang mengamalkannya.”

QS. Maryam[19]: 12
يَا يَحْيَىٰ خُذِ الْكِتَابَ بِقُوَّةٍ ۖ وَآتَيْنَاهُ الْحُكْمَ صَبِيًّا
Hai Yahya, ambillah Al-Kitab itu dengan sungguh-sungguh. DAN KAMI BERIKAN KEPADANYA AL-HUKM SELAGI IA MASIH KANAK-KANAK.

Hadis menyebutkan, “Sesungguhnya sebagian syair (fiksi), itu ada hukman.” Maksudnya adalah dalam syair itu terdapat ungkapan yang bermanfaat, yang menolak dan mencegah pada kebodohan dan kedunguan. Menurut satu pendapat, yang dimaksud adalah nasihat-nasihat dan perumpamaan-perumpamaan yang bermanfaat.

Al-Hukm juga berarti ilmu, pemahaman, dan memutuskan dengan adil. Ada riwayat, “Sesungguhnya sebagian syair itu ada al-hikmah.” Al-hikmah di sini bermakna al-hukm. Dijumpai pula Hadis, “Al-khilaafah (pemerintahan) itu ada pada orang-orang Quraisy, sedangkan al-hukm (hukum) itu ada pada orang-orang Anshar.” Orang-orang Anshar dikhususkan dengan hukum, sebab sebagian besar Sahabat yang ahli-ahli hukum, itu berasal dari kalangan orang-orang Anshar. Diantaranya Mu’adz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zayd bin Tsabit, dan lain-lain.

Al-Layts berkata, “Telah sampai kepadaku bahwa Nabi SAW melarang seorang laki-laki diberi nama Hakiim.” Namun seperti dibantah oleh Al-Azhariy: “Orang-orang memberi nama Hakiim dan Hakam. Aku tidak pernah tahu bahwa larangan menami dengan Hakiim tersebut adalah sahih.”

Ibnu al-Atsir berkata, “Di dalam Hadis Abi Syurayh, ia dijuluki Abu al-Hakam. Nabi berkata kepadanya: Sesungguhnya Allah adalah al-Hakam. Dan julukan itu untuk Abi Syurayh.” Penamaan laki-laki dengan Hakam itu makruh, karena supaya tidak syirik (menyamai sifat-Nya yang al-Hakam).

Disebutkan dalam Hadis untuk mensifati Qur’an. Bahwa Qur’an itu adalah al-dzikr al-hakiim. Yakni Qur’an yang mengandung hukum untuk mereka (jadikan patokan) dan atas mereka (sebagai objek hukum). Atau Qur’an itu al-muhkam, yakni tidak ada kesalahan dan kontradiksi di dalamnya.

Di dalam Hadis Ibnu Abbas, mengatakan: “Aku membaca al-muhkam di hadapan Rasulullah SAW.” Ibnu Abbas mengharap penjelasan lebih rinci dari Qur’an. Karena tidak ada yang dihapus di dalamnya. Menurut pendapat yang lain, Qur’an itu tidak ada yang mutasyabihat (samar). Karena Qur’an memperjelas dirinya sendiri (suatu ayat, diperjelas oleh ayat yang lain). Dan tidak membutuhkan penjelasan yang lain lagi (selain ayat-ayat Qur’an itu sendiri).

Orang-orang Arab jika berkata, “Hakamtu, Ahkamtu, dan Hakkamtu,” maknanya adalah mencegah dan menolak (mengembalikan). Dari makna, lantas penentu keputusan di antara manusia itu disebut al-haakim. Karena ia mecegah dan menolak orang zalim dari kezaliman.

Al-Mundziriy meriwayatkan dari Abu Thalib, bahwa ia berkata seperti perkataan orang-orang Arab: “Allah menetukan hukum di antara kita.” Menurut Al-Ashma’iy, bahwa pemerintahan (didirikan) itu asalnya untuk mencegah seseorang supaya tidak berbuat zalim. Ia berkata, “Dari sini dinamailah hakamah al-lijaam (kendali atau kekang kuda). Karena tali kekang kuda itu mengembalikan (mengendalikan) gerakannya.

Labid bersyair tentang ahkama al-jintsiy dan hirbaa’. Al-jintsiy adalah pedang. Maksudnya adalah mengembalikan pedang pada tutupnya (seperti pedang samurai yang ada selontongan atau tutupnya, wedok’ane istilah orang Jawa). Adapun al-hirbaa’, menurut satu pendapat artinya adalah tutupnya pedang tersebut yang terbuat dari logam. Sedangkan makna al-ihkaam di sini adalah pemeliharaan.

Ibnu Sidah berkata bahwa al-hukm adalah penentuan keputusan. Bentuk pluralnya adalah al-ahkaam. Bentuk mashdar-nya adalah hukman dan hukuumah. Hakama yahkumu bainahum, memutuskan hukum di antara manusia. Menurut al-Azhariy, al-hukm adalah menentukan keputusan hukum dengan adil.

Adapun al-haakim adalah orang yang memutuskan hukum. Bentuk pluralnya adalah hukkaam. Dan dia adalah al-hakam.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...