—Saiful Islam—
“Al-Hikmah, artinya adalah
mendapatkan kebenaran dengan ilmu dan akal…”
Seorang kawan share tulisan
yang mencoba menyanggah kesimpulan saya bahwa baik Sunnah maupun Hadis-Hadis,
itu bukan wahyu yang berdiri sendiri. Tetapi ‘hanya’ terinspirasi oleh Qur’an
saja.
Menurut saya, tulisan dari kawan
itu menarik. Kalau menyanggah itu, sebaiknya seperti itu. Qur’an bil Qur’an.
Selevel. Jangan Qur’an mau dikoreksi dengan Hadis. Jauh sekali level-nya. Tulisan
itu, penting untuk diperhatikan. Karena di dalamnya juga menyertakan ayat Qur’an
sebagai landasan kesimpulannya bahwa Sunnah Nabi adalah wahyu.
Cukup panjang tulisan itu. Tetapi
supaya tidak makan tempat terlalu banyak, di sini akan saya kutipkan dalil yang
paling kuat saja. Yang paling inti dan paling substansial dari tulisan
tersebut. Begini:
Allah juga telah menjelaskan, apa yang Dia
turunkan bukan hanya al-Kitab (Al-Qur`ân). Bahkan yang Allah turunkan ialah
berupa al-Kitab (Al-Qur`ân) dan al-Hikmah (as-Sunnah). Allah Azza wa Jalla
berfirman (QS.2:231):
وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ
اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَمَا أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ
يَعِظُكُمْ بِهِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا
أَنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Dan ingatlah nikmat Allah padamu,
dan APA YANG TELAH DITURUNKAN ALLAH KEPADAMU YAITU AL-KITAB DAN AL-HIKMAH
(AL-SUNNAH). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya
itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.
Dalam ayat lain (QS.4:113), Allah
berfirman:
وَأَنْزَلَ اللَّهُ
عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ ۚ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا
DAN ALLAH TELAH MENURUNKAN AL-KITAB
DAN AL-HIKMAH KEPADAMU, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu
ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.
Bukti nyata bahwa maksud dari
al-Hikmah yang diturunkan Allah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
ialah as-Sunnah yaitu yang dibacakan di rumah-rumah istri Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam hanyalah Al-Qur`ân dan as-Sunnah. Sementara Allah Ta’âla
berfirman:
وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَىٰ
فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا
“Dan ingatlah APA YANG DIBACAKAN DI
RUMAH-RUMAH KAMU (PARA ISTRI NABI) DARI AYAT-AYAT ALLAH DAN HIKMAH (SUNNAH
NABI). Sesungguhnya Allah adalah Maha lembut lagi Maha mengetahui”.
[al-Ahzâb/33:34].
Dengan demikian, Sunnah Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam berasal dari Allah Ta’ala sebagaimana Al-Qur`ân. As-Sunnah
merupakan wahyu Allah kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagaimana Al-Qur`ân. Oleh karena itu, Keduanya Memiliki KEDUDUKAN YANG SAMA Sebagai
Hujjah (Argumen) Dalam Agama, dan wajib diikuti.
***
Jadi kalau disimpulkan tulisan
kawan itu, menjadi seperti ini: 1). Allah menurunkan Al-Kitab dan Al-Hikmah.
2). Al-Hikmah dipahami sebagai Sunnah Nabi. 3). Sunnah Nabi adalah wahyu. 4). Kedudukan
Sunnah Nabi sederajat dengan Qur’an.
Baiklah. Akan saya jawab
pelan-pelan. Mungkin membutuhkan dua atau tiga tulisan.
Pertama, kita mesti
paham dulu apa itu Sunnah Nabi. Sunnah, menurut Lisan al-‘Arab, asalnya
berarti al-thariiqah (jalan hidup) dan al-siirah (biografi atau
gambaran hidup). Begitu juga dalam Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an. Jadi,
Sunnah Nabi adalah apa pun yang disandarkan kepada Nabi ketika beliau masih
hidup. Baik berupa ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi. Semacam kebiasaan
hidup Nabi ketika beliau masih hidup.
Kedua, kita mesti
paham dulu apa itu Al-Hikmah. Nah, kata inilah yang menurut saya penting untuk
dieksplor lebih detail. Supaya kesimpulan yang akan saya buat nanti, tidak
dikira ngarang-ngarang sendiri. Seperti biasanya, paling tidak saya
menggunakan karya Al-Raghib al-Ashfahaniy, Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an
dan karya Ibnu Manzhur, Lisan al-‘Arab. Kamus Arab inilah yang biasa
digunakan para Mufassir.
Menurut Al-Mufradat, hakama
itu asalnya berarti menahan atau mencegah untuk perbaikan atau kemanfaatan.
Makanya, tali kekang kuda atau kendali kuda, itu disebut hakamah al-daabbah.
Jika dikatakan, “Hakamtuhu wa hakamtu al-daabbah,” maka artinya adalah “Aku
menahannya dengan hikmah (tali kekang).” Jika dikatakan, “Ahkamtuhaa,”
maka berarti, “Aku menjadikannya terkendali.” Begitu juga artinya untuk kapal. “Hakamtu
al-safiinah wa ahkamtuhaa,” yakni, “Aku mengendalikan, mengontrol,
mengoperasikan, dan mengarahkan kapal tersebut.
QS.32:7 dan QS.22:52. Hukum untuk
sesuatu adalah memutuskan seperti ini atau tidak seperti ini. Jadi soal memutuskan.
Baik Anda menetapkannya untuk orang lain, atau tidak. Disebut dalam QS.4:58, “Jika
kalian memutuskan sesuatu di antara manusia, maka putuskanlah dengan adil,”
dan QS. 5:95.
QS.5:50. Disebutkan bahwa Haakim
dan Hukkaam adalah untuk orang yang menentukan hukum di antara manusia
(hakim, kalau di Indonesia). Sebagaimana disebutkan dalam QS.2:188. Adapun kata
al-hakam, itu sama maknanya, yakni hukum. Hanya saja kata al-hakam
ini lebih mengena, lebih menyentuh, lebih dalam maknanya. Sebagaimana pada
QS.6: 114.
QS.4:35: “Jika kamu khawatirkan
ada persengketaan antara keduanya (suami istri), maka kirimlah seorang hakam
(juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan.”
Tidak disebut hakim, karena syarat untuk kedua hakam tersebut adalah
punya hak hukum di atas mereka (keluarga). Yaitu ketika kedua hakam
tersebut memutuskan suatu perkara, itu tidak bisa dibatalkan oleh keluarga yang
lain, yang tidak memiliki hak hukum.
Ada juga yang mengatakan bahwa al-hakam
itu bisa untuk bentuk kata tunggal (mufrad atau singular), dan
juga untuk kata plural atau jama’.
Redaksi tahaakamnaa ilaa
al-haakim, itu ada pada QS.4:60. Redaksi dobel ‘ain fi’il, hakkamtu
Fulaanan, itu juga seperti ada pada QS.4:60.
Jika dikatakan, “Dia menghukumi
dengan batil,” maka artinya adalah seperti menghukumi untuk kebenaran. Yaitu seseorang
menempuh jalur hukum tetapi tujuannya adalah untuk kebatilan (kesalahan,
kecurangan, kejahatan, dan kezaliman).
Sedangkan al-hikmah, artinya
adalah mendapatkan kebenaran dengan ilmu dan akal. (Catat, ini penting!). Al-hikmah
dari Allah adalah mengetahui sesuatu, dan mendapati sesuatu itu pada puncaknya
yang paling kokoh.
Al-hikmah dari manusia,
adalah pengetahuan terhadap sesuatu apapun yang ada (al-maujudaat atau the
beings), dan segala perbuatan yang baik. Inilah yang disifatkan untuk
Lukman dalam QS.31:12: “Sungguh, Kami telah memberikan al-hikmah kepada
Lukman.”
Ketika Allah itu disebut Hakiim,
maka maknanya hanya khusus untuk Allah saja. Yakni tidak seremeh makna hakim
untuk yang selain Allah. Ini tergambar dalam QS.95:8.
(Catat, bagian ini juga sangat
penting!) Ketika kata hakiim itu untuk mensifati Qur’an, maka artinya
adalah Qur’an tersebut mengandung al-hikmah. Sebagaimana disebut oleh
QS.10:1: “Alif laam raa. INILAH AYAT-AYAT QUR’AN YANG MENGANDUNG HIKMAH.”
الر ۚ تِلْكَ آيَاتُ الْكِتَابِ
الْحَكِيمِ
Karenanya, kata hikmah itu disebut
dalam QS.54:5, sebagai berikut.
QS. Al-Qomar[54]:4-5
وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مِنَ
الْأَنْبَاءِ مَا فِيهِ مُزْدَجَرٌ
Dan sesungguhnya telah datang
kepada mereka beberapa kisah yang di dalamnya terdapat cegahan (dari
kekafiran).
حِكْمَةٌ بَالِغَةٌ ۖ فَمَا
تُغْنِ النُّذُرُ
ITULAH HIKMAH YANG SEMPURNA. Maka
peringatan-peringatan itu tidak berguna (bagi mereka).
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar