—Saiful Islam—
“Wahyu kepada manusia (Muhammad,
Isa, Harun, Musa, ibunya Musa, dan lain-lain), wahyu kepada lebah, sampai wahyu
kepada langit dan bumi…”
Sudah saya katakan. Bahwa semua
rujukan selain Qur’an, dalam doktrin Islam, itu zhanniy semua. Tidak ada
yang pasti kebenarannya. Semuanya relatif. Hanya Qur’an yang kebenarannya
mutlak dan pasti. Pasti firman Allah. Pasti dari Rasulullah. Qur’an ini, memang
harus menjadi rujukan sentral, primer, dan pokok bagi Kaum Mukminin. Selain Qur’an,
hanya rujukan sekunder saja. Dan semua rujukan selain Qur’an itu, harus diuji kebenarannya
dengan Qur’an (QS.5:48). Termasuk Hadis-Hadis.
Meski begitu. Karena Qur’an ini
diturunkan dengan Bahasa Arab (misalnya QS.12:2), maka mau tidak mau kita harus
merujuk kepada kamus-kamus Arab supaya mengerti maknanya. Tetapi tetap harus
waspada. Pernyataan-pernyataan yang melebihi informasi Qur’an—terutama hal-hal
metafisika—harus ekstra hati-hati. Kita mesti kritis menerima pernyataan. Alias
diuji dulu. Tidak langsung percaya oleh penulis. Termasuk tulisan saya ini,
jangan langsung diamini.
Kali ini saya akan bercerita
tentang wahyu menurut al-Raghib al-Ashfahaniy, dalam Al-Mufradat fi Gharib
al-Qur’an. Ingat, saya baru menceritakan. Baru menggambarkan. Belum saya
kritisi. Beserta analisisnya insya Allah, nanti di depan.
OK, let’s go…
WAHYU ITU ASALNYA BERARTI PETUNJUK
YANG CEPAT. Untuk memberi makna cepat itu, biasanya dikatakan, amrun wahyun
(urusan yang cepat).
Petunjuk yang cepat itu bisa berupa
kata-kata melalui simbol dan lambang. Bisa juga dengan suara. Dan bisa pula
petunjuk dengan isyarat anggota badan, dan dengan tulisan. Makna tersebut terkandung
dalam QS.19:11.
Ada pula yang mengatakan bahwa
wahyu itu adalah simbol, i’tibar (ibrah), dan menulis atau tulisan. Seperti disebut
oleh QS.6:112.
Adapun kata mewahyukan dalam QS.6:121,
artinya adalah membuat was-was. Seperti ditunjukkan oleh QS.114:4.
Adapun kata-kata ilahiyah (firman
Allah), yang disampaikan kepada para nabi dan para wali-Nya, itu disebut wahyu.
Sebagaimana ditunjukkan oleh QS.42:51.
QS. Al-Syura[42]: 51
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ
يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ
رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ ۚ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ
Dan TIDAK MUNGKIN ALLAH
BERKATAK-KATA LANGSUNG KEPADA MANUSIA kecuali dengan PERANTARAAN WAHYU, atau DIBELAKANG
TABIR, atau dengan MENGUTUS SEORANG UTUSAN (MALAIKAT). Lalu diwahyukan
kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha
Tinggi lagi Maha Bijaksana.
Maka, adakalanya wahyu itu
disampaikan oleh utusan yang disaksikan, yang tampak fisiknya, serta didengar
ucapannya. Seperti penyampaikan Jibril kepada Nabi dengan penampakan yang
nyata.
Atau seperti mendengar ucapan yang
suaranya saja, tanpa tampak siapa yang berbicara. Seperti Nabi Musa yang
mendengar firman-Nya. Atau langsung ke dalam jiwa. Seperti sabda Nabi, “Sesungguhnya
Ruhul Qudus meniup di dalam jiwaku.”
Atau dengan ilham. Yakni petunjuk
ke dalam hati. Seperti QS.28:7. Atau dengan penundukan (insting). Seperti wahyu
kepada lebah, QS.16:68.
Atau dengan mimpi. Seperti sabda
Nabi, “Wahyu telah selesai. Tinggal mimpinya orang beriman.”
Ilham, insting, dan mimpi ditunjukkan
oleh kalimat “Illaa wahyan, kecuali wahyu,” dalam QS.42:51.
Adapun mendengar kalimat yang
jelas, ditunjukkan dengan kalimat, “Aw min waraa’i hijaab, atau dari
balik tabir,” dalam QS.42:51.
Sedangkan penyampain Jibril dengan
rupa yang jelas, ditunjukkan dengan kalimat, “Aw yursila rasuulan fayuuhiya,
atau Dia mengutus utusan dan kemudian utusan tersebut mewahyukan,” dalam
QS.42:51.
Adapun QS.6:93, itu adalah gambaran
orang yang mengaku-ngaku mendapat wahyu. Dengan cara-cara pewahyuan seperti
disebutkan di atas. Padahal sejatinya dia hanya mengada-ada saja.
Wahyu yang disebut dalam QS.21:25, bersifat
umum. Mencakup semua model-model pewahyuan. Bahwa pengetahuan tentang keesaan Allah,
dan pengetahuan kewajiban beribadah kepada-Nya, bukan terbatas pada wahyu
kepada para rasul yang bergelar ulul ‘azmi saja. Tapi juga diketahui dengan
akal, dan ilham. Seperti juga diketahui dengan pendengaran (mendengar suara).
Yang dimaksud QS.21:25 ini adalah
mustahil kalau rasul itu tidak tahu keesaan Allah, dan mustahil tidak tahu
bahwa harus beribadah kepada-Nya.
Wahyu dalam QS.5:111, adalah wahyu
dengan perantara Isa AS. Begitu juga wahyu dalam QS.21:73, merupakan wahyu
kepada umat manusia dengan perantara para Nabi.
Adapun wahyu yang khusus kepada
Nabi Muhammad SAW adalah QS.10:109, QS.10:15, dan QS.18:110.
Wahyu kepada Nabi Musa dalam
QS.10:87, itu melalui perantara Malaikat Jibril. Sedangkan wahyu kepada Harun,
itu melalui perantara Jibril dan Musa.
Wahyu pada QS.8:12, adalah wahyu
kepada orang-orang beriman melalui lembaran dan pena.
Wahyu kepada langit, disebut dalam
QS.41:12. Jika wahyu tersebut ditujukan kepada penduduk langit saja, maka
objeknya itu dihapus (tidak disebutkan). Seakan-akan Allah berfirman, “Dia
mewahyukan kepada malaikat.” Karena penduduk langit adalah malaikat. Itu
seperti disebut oleh QS.8:12.
Dan jika objek wahyu itu adalah
langit (tujuh langit), maka itu wahyu penundukan bagi orang yang menganggap
langit adalah makhluk (benda) mati. Dan sebagai wahyu ucapan bagi orang yang
menganggap langit itu makhluk hidup.
Mewahyukan kepada bumi, QS.99:5. Makna
yang lebih dekat adalah yang pertama. Yakni objeknya tidak disebutkan. Yang dimaksud
adalah penduduk bumi. Berarti, “Dia mewahyukan kepada penduduk bumi.”
Wahyu dalam QS.20:114, adalah
motivasi supaya tenang, dan fokus dalam mendengar dan memperhatikan proses
pewahyuan Qur’an. Jangan cepat-cepat, jangan terburu-buru, dalam menerima atau
menyampaikan ayat-ayat Qur’an.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar