Minggu, 01 Desember 2019

PROSES PEWAHYUAN


—Saiful Islam—

“Wahyu kepada manusia (Muhammad, Isa, Harun, Musa, ibunya Musa, dan lain-lain), wahyu kepada lebah, sampai wahyu kepada langit dan bumi…”

Sudah saya katakan. Bahwa semua rujukan selain Qur’an, dalam doktrin Islam, itu zhanniy semua. Tidak ada yang pasti kebenarannya. Semuanya relatif. Hanya Qur’an yang kebenarannya mutlak dan pasti. Pasti firman Allah. Pasti dari Rasulullah. Qur’an ini, memang harus menjadi rujukan sentral, primer, dan pokok bagi Kaum Mukminin. Selain Qur’an, hanya rujukan sekunder saja. Dan semua rujukan selain Qur’an itu, harus diuji kebenarannya dengan Qur’an (QS.5:48). Termasuk Hadis-Hadis.

Meski begitu. Karena Qur’an ini diturunkan dengan Bahasa Arab (misalnya QS.12:2), maka mau tidak mau kita harus merujuk kepada kamus-kamus Arab supaya mengerti maknanya. Tetapi tetap harus waspada. Pernyataan-pernyataan yang melebihi informasi Qur’an—terutama hal-hal metafisika—harus ekstra hati-hati. Kita mesti kritis menerima pernyataan. Alias diuji dulu. Tidak langsung percaya oleh penulis. Termasuk tulisan saya ini, jangan langsung diamini.

Kali ini saya akan bercerita tentang wahyu menurut al-Raghib al-Ashfahaniy, dalam Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an. Ingat, saya baru menceritakan. Baru menggambarkan. Belum saya kritisi. Beserta analisisnya insya Allah, nanti di depan.

OK, let’s go…

WAHYU ITU ASALNYA BERARTI PETUNJUK YANG CEPAT. Untuk memberi makna cepat itu, biasanya dikatakan, amrun wahyun (urusan yang cepat).

Petunjuk yang cepat itu bisa berupa kata-kata melalui simbol dan lambang. Bisa juga dengan suara. Dan bisa pula petunjuk dengan isyarat anggota badan, dan dengan tulisan. Makna tersebut terkandung dalam QS.19:11.

Ada pula yang mengatakan bahwa wahyu itu adalah simbol, i’tibar (ibrah), dan menulis atau tulisan. Seperti disebut oleh QS.6:112.

Adapun kata mewahyukan dalam QS.6:121, artinya adalah membuat was-was. Seperti ditunjukkan oleh QS.114:4.

Adapun kata-kata ilahiyah (firman Allah), yang disampaikan kepada para nabi dan para wali-Nya, itu disebut wahyu. Sebagaimana ditunjukkan oleh QS.42:51.

QS. Al-Syura[42]: 51
 وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ ۚ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ
Dan TIDAK MUNGKIN ALLAH BERKATAK-KATA LANGSUNG KEPADA MANUSIA kecuali dengan PERANTARAAN WAHYU, atau DIBELAKANG TABIR, atau dengan MENGUTUS SEORANG UTUSAN (MALAIKAT). Lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.

Maka, adakalanya wahyu itu disampaikan oleh utusan yang disaksikan, yang tampak fisiknya, serta didengar ucapannya. Seperti penyampaikan Jibril kepada Nabi dengan penampakan yang nyata.

Atau seperti mendengar ucapan yang suaranya saja, tanpa tampak siapa yang berbicara. Seperti Nabi Musa yang mendengar firman-Nya. Atau langsung ke dalam jiwa. Seperti sabda Nabi, “Sesungguhnya Ruhul Qudus meniup di dalam jiwaku.”

Atau dengan ilham. Yakni petunjuk ke dalam hati. Seperti QS.28:7. Atau dengan penundukan (insting). Seperti wahyu kepada lebah, QS.16:68.

Atau dengan mimpi. Seperti sabda Nabi, “Wahyu telah selesai. Tinggal mimpinya orang beriman.”

Ilham, insting, dan mimpi ditunjukkan oleh kalimat “Illaa wahyan, kecuali wahyu,” dalam QS.42:51.

Adapun mendengar kalimat yang jelas, ditunjukkan dengan kalimat, “Aw min waraa’i hijaab, atau dari balik tabir,” dalam QS.42:51.

Sedangkan penyampain Jibril dengan rupa yang jelas, ditunjukkan dengan kalimat, “Aw yursila rasuulan fayuuhiya, atau Dia mengutus utusan dan kemudian utusan tersebut mewahyukan,” dalam QS.42:51.

Adapun QS.6:93, itu adalah gambaran orang yang mengaku-ngaku mendapat wahyu. Dengan cara-cara pewahyuan seperti disebutkan di atas. Padahal sejatinya dia hanya mengada-ada saja.

Wahyu yang disebut dalam QS.21:25, bersifat umum. Mencakup semua model-model pewahyuan. Bahwa pengetahuan tentang keesaan Allah, dan pengetahuan kewajiban beribadah kepada-Nya, bukan terbatas pada wahyu kepada para rasul yang bergelar ulul ‘azmi saja. Tapi juga diketahui dengan akal, dan ilham. Seperti juga diketahui dengan pendengaran (mendengar suara).

Yang dimaksud QS.21:25 ini adalah mustahil kalau rasul itu tidak tahu keesaan Allah, dan mustahil tidak tahu bahwa harus beribadah kepada-Nya.

Wahyu dalam QS.5:111, adalah wahyu dengan perantara Isa AS. Begitu juga wahyu dalam QS.21:73, merupakan wahyu kepada umat manusia dengan perantara para Nabi.

Adapun wahyu yang khusus kepada Nabi Muhammad SAW adalah QS.10:109, QS.10:15, dan QS.18:110.

Wahyu kepada Nabi Musa dalam QS.10:87, itu melalui perantara Malaikat Jibril. Sedangkan wahyu kepada Harun, itu melalui perantara Jibril dan Musa.

Wahyu pada QS.8:12, adalah wahyu kepada orang-orang beriman melalui lembaran dan pena.

Wahyu kepada langit, disebut dalam QS.41:12. Jika wahyu tersebut ditujukan kepada penduduk langit saja, maka objeknya itu dihapus (tidak disebutkan). Seakan-akan Allah berfirman, “Dia mewahyukan kepada malaikat.” Karena penduduk langit adalah malaikat. Itu seperti disebut oleh QS.8:12.

Dan jika objek wahyu itu adalah langit (tujuh langit), maka itu wahyu penundukan bagi orang yang menganggap langit adalah makhluk (benda) mati. Dan sebagai wahyu ucapan bagi orang yang menganggap langit itu makhluk hidup.

Mewahyukan kepada bumi, QS.99:5. Makna yang lebih dekat adalah yang pertama. Yakni objeknya tidak disebutkan. Yang dimaksud adalah penduduk bumi. Berarti, “Dia mewahyukan kepada penduduk bumi.”

Wahyu dalam QS.20:114, adalah motivasi supaya tenang, dan fokus dalam mendengar dan memperhatikan proses pewahyuan Qur’an. Jangan cepat-cepat, jangan terburu-buru, dalam menerima atau menyampaikan ayat-ayat Qur’an. 

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...