Rabu, 25 Desember 2019

RAKAAT SALAT WAHYUKAH?


—Saiful Islam—

“Jangan hanya menyalahkan, menghakimi sesat, tetapi tidak bisa menunjukkan solusi yang benarnya...”

Ada pertanyaan menarik yang memang belum saya singgung di depan. Tentang jumlah rakaat salat. Begini: “Bagaimana cara membedakan yang ta’aqquliy dengan yang ta’abbudiy? Apakah jumlah rakaat salat itu juga ijtihad Nabi?”

Secara umum, urusan ritual dan metafisika, itu ta’abbudiy. Yakni, tidak boleh ada kreativitas dan inovasi akal. Kita cukup menerima informasinya dan lantas mentaatinya. Sami’naa wa atha’naa. Selain kedua urusan tersebut, semuanya ta’aqquliy. Yakni harus berkreasi dan berinovasi. Ini maksud pernyataan saya sebelumnya: “Kalau tidak, maka Islam tidak akan bisa diamalkan di segala tempat, zaman, dan segala SAR.”

Urusan metafisika (gaib) seperti informasi tentang Allah, malaikat, surga, neraka, pahala, dan seterusnya, itu ta’abbudiy. Akal kita hanya akan tahu keberadaan dan sifatnya itu sebatas informasi dari wahyu saja. Yakni dari Qur’an. Jangankan kita. Nabi Muhammad pun itu hanya akan tahu urusan gaib seperti ini, sebatas info dari Qur’an saja (QS.6:50; QS.6:59; QS.10:20; QS.7:187-188; dan lain-lain). Termasuk dalam urusan metafisika ini, adalah proses pewahyuan kepada Nabi SAW. Ya, proses pewahyuan adalah ta’bbudiy. Haram akal berkreasi dan berinovasi di sini.

Makanya, saya menolak semua informasi tentang proses pewahyuan itu yang tidak bersumber dari Qur’an. Atau informasinya melebihi informasi Qur’an. Pasti, semua informasi metafisik yang berlebihan itu dikarang-karang sendiri oleh penulisnya. Baik sengaja, maupun tidak. Meskipun itu bersumber dari Hadis-Hadis yang disandarkan kepada Rasulullah. Kita bersyukur, para ulama Hadis telah mewarisi ilmu yang berharga: metodologi kritik Hadis. Yaitu kritik sanad dan kritik matan. Saya menyumbang satu lagi: kritik fakta historis! Detailnya, di belakang, insya Allah.

Urusan ritual, yang dicontohkan adalah salat. Tepatnya soal rakaat salat. Teknis salat yang substansial, itu disebut dalam Qur’an. Seperti sujud, rukuk, bertasbih, dan seterusnya. Hanya sebagian kecil saja, yang tidak begitu substansial, tidak disebut oleh Qur’an. Pokoknya, semua teknis yang tidak disebut oleh Qur’an itu tidak substansial. Yang paling penting dan substansial, pasti disebut oleh Qur’an.

Termasuk jumlah raka’at (dari kata ruku’) salat ini. Bagi Nabi, jumlah rakaat ini adalah ta’aqquliy. Alis ijtihadiy. Yakni murni keputusan Nabi sendiri setelah terinspirasi oleh ayat-ayat Qur’an tentang salat. Tidak apa-apa. Memang, yang memiliki hak prerogatif dalam masalah teknis-teknis yang tidak substansial itu, hanyalah Nabi SAW saja. Tetapi, tidak berarti, lantas disimpulkan bahwa Nabi mendapat wahyu lain selain Qur’an terkait teknis-teknis non-substansial itu.

Teknis-teknis non-substansial seperti jumlah rakaat ini, memang tidak perlu wahyu teologis lain lagi selain Qur’an. Wong cuma teknis. Teknis ini bukan urusan teologis. Bukan urusan metafisika (gaib). Bukan urusan eskatologi. Subuh, 2 rakaat. Dhuhur 4 rakaat. Asar 4 rakaat. Magrib 3 rakaat. Dan Isya’ 4 rakaat. Ini semua murni ijtihad Nabi SAW. Perintah rukuknya, perintah sujudnya, itu ta’abbudiy. Tetapi teknis non-substansialnya, bagi Nabi, adalah ta’aqquliy.

Sedangkan bagi kita, Kaum Mukminin, ritual salat itu semuanya adalah ta’abbudiy. Mulai dari tata caranya, sampai jumlah rakaatnya, harus sami’naa wa atha’naa. Kita tidak memiliki hak untuk melakukan ijtihad di sini. Kita harus mengikuti Sunnah Nabi. Dengan menelusurinya lewat Hadis-Hadis sahih. Kita hanya boleh mengikuti Hadis-Hadis tersebut. Kalau pun mengikuti ulama, kita harus mengerti dan paham rujukan Hadis sahih yang dipakainya.

Bagi kita, haram akal berkreativitas dan berinovasi di sini. Misalnya salat diterjemah dengan Bahasa Jawa, atau Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Jerman, Bahasa Perancis, Bahasa Mandarin, dan lain seterusnya. Begitu juga haram menambahi atau mengurangi jumlah rakaatnya. Misalnya subuh dibuat 4 rakaat. Atau Dhuhur dikreasi menjadi 4 rakaat. Dan seterusnya.

Tentu saja, semua yang saya sebutkan di atas, itu dalam kondisi normal. Adapun dalam kondisi yang tidak normal lagi, maka Umat Islam harus melakukan proses ta’aqquliy, ijtihadiy, kontekstualisasi, qiyas, dan istilah lain semisalnya. Seperti salat dalam perjalanan, itu ada konsep salat jama’. Salat yang disatukan waktunya. Yaitu salat Dhuhur dan Asar yang dikerjakan di satu waktu. Begitu juga salat Magrib dan Isya’.

Belum lagi ada konsep qashar. Yaitu Duhur yang 4 rakaat bisa menjadi 2 rakaat. Malah ada jama’ qashar sekaligus. Yaitu salat Dhuhur dan Asar yang dikerjakan dalam satu waktu hanya dengan 4 rakaat saja. Magrib dan Isya’ menjadi 5 rakaat saja yang dikerjakan dalam satu waktu: di waktu Magribnya (jama’ taqdiim) atau di waktu Isya’nya (jama’ ta’khiir). Belum lagi salatnya orang yang sakit, dan lain seterusnya yang dibahas panjang lebar dalam Fikih. Padahal belum tentu sama, perjalanan dan sakitnya Nabi secara spesifik itu dengan perjalanan dan sakitnya kita.

Apalagi tantangan zaman yang semakin modern. Pastilah proses ta’aqquliy itu amat sangat diperlukan. Bahkan harus. Alias wajib. Kalau tidak, pasti Islam ini tidak akan bisa diamalkan. Dan itu mustahil. Islam, terutama Qur’annya, pasti selalu sesuai dengan tempat di mana pun, dan zaman kapan pun. Serta manusia dengan suku, adat, budaya, dan ras apa pun. Shoolih li kull zamaan wa makaan.

Misalnya bagaimana salatnya astronot yang berhari-hari bahkan berbulan-bulan hidup di luar angkasa? Misalnya bagaimana cara bersuci dan salat di Bulan dan Mars? Bagaimana teknis salatnya kelak jika umat manusia benar-benar bisa pindah dan bertempat tinggal menetap di planet Mars? Bagaimana salat misalnya di daerah kutub yang siangnya lebih panjang daripada malamnya? Dan seterusnya dan seterusnya. Yang pasti, semua itu membutuhkan proses ta’aqquliy, ijtihadiy, kontekstualisasi. Yang paling substansial, adalah salatnya itu sendiri.

Itu artinya, bahkan dalam urusan teknis salat yang non-substansial, itu kita pun ternyata melakukan proses ijtihadiy. Ta’aqquliy. Sudah berbeda dengan Nabi. Ya, urusan teknis salat yang seperti ini, pun kita ternyata memungkinkan untuk beda dengan Nabi. Tentu, bukan karena kita mendapat wahyu lain selain Qur’an. Tetapi karena keadaan, waktu, dan tempat (ketupat) tertentu yang mengharuskan kita berbeda dengan Nabi. Mau tidak mau, kita harus beda dengan Nabi.

Maka, memang tidak boleh kita kaku (rigid) dalam beragama Islam ini. Kita harus luwes dan lentur. Fleksibel. Jangan menyesat-nyesatkan Muslim lain. Jangan mengkafir-kafirkan Muslim yang lain. Boleh mengoreksi. Silahkan menyalahkan. Tetapi harus mau menunjukkan kesalahan itu. Dan harus mau menunjukkan bagaimana yang benarnya. Harus mau dan bisa memberi solusinya. Juga harus dengan cara yang baik. Jangan hanya menyalahkan, menghakimi sesat, tetapi tidak bisa menunjukkan solusi yang benarnya.

Begitu juga dengan istilah ta’abbudiy dan ta’aqquliy itu sendiri. Boleh-boleh saja membuat istilah-istilah tersebut dan semisalnya, untuk memudahkan pemahaman. Tetapi jangan berlebihan. Jangan sampai menjadikan istilah-istilah dan disiplin-disiplin ilmu, metodologi, yang semuanya bukan karya Allah dan bukan karya Nabi, itu menjadi ‘tuhan’. Kemudian membuat kita menjadi gampangan menghukumi bid’ah atau sesat sesama Muslim yang tidak menggunakan istilah dan metodologi seperti kita. Atau kelompok kita. Atau institusi kita.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...