—Saiful Islam—
“Jangan hanya menyalahkan,
menghakimi sesat, tetapi tidak bisa menunjukkan solusi yang benarnya...”
Ada pertanyaan menarik yang memang
belum saya singgung di depan. Tentang jumlah rakaat salat. Begini: “Bagaimana
cara membedakan yang ta’aqquliy dengan yang ta’abbudiy? Apakah
jumlah rakaat salat itu juga ijtihad Nabi?”
Secara umum, urusan ritual dan
metafisika, itu ta’abbudiy. Yakni, tidak boleh ada kreativitas dan
inovasi akal. Kita cukup menerima informasinya dan lantas mentaatinya. Sami’naa
wa atha’naa. Selain kedua urusan tersebut, semuanya ta’aqquliy. Yakni
harus berkreasi dan berinovasi. Ini maksud pernyataan saya sebelumnya: “Kalau
tidak, maka Islam tidak akan bisa diamalkan di segala tempat, zaman, dan segala
SAR.”
Urusan metafisika (gaib) seperti
informasi tentang Allah, malaikat, surga, neraka, pahala, dan seterusnya, itu ta’abbudiy.
Akal kita hanya akan tahu keberadaan dan sifatnya itu sebatas informasi dari wahyu
saja. Yakni dari Qur’an. Jangankan kita. Nabi Muhammad pun itu hanya akan tahu
urusan gaib seperti ini, sebatas info dari Qur’an saja (QS.6:50; QS.6:59;
QS.10:20; QS.7:187-188; dan lain-lain). Termasuk dalam urusan metafisika ini,
adalah proses pewahyuan kepada Nabi SAW. Ya, proses pewahyuan adalah ta’bbudiy.
Haram akal berkreasi dan berinovasi di sini.
Makanya, saya menolak semua
informasi tentang proses pewahyuan itu yang tidak bersumber dari Qur’an. Atau
informasinya melebihi informasi Qur’an. Pasti, semua informasi metafisik yang
berlebihan itu dikarang-karang sendiri oleh penulisnya. Baik sengaja, maupun
tidak. Meskipun itu bersumber dari Hadis-Hadis yang disandarkan kepada
Rasulullah. Kita bersyukur, para ulama Hadis telah mewarisi ilmu yang berharga:
metodologi kritik Hadis. Yaitu kritik sanad dan kritik matan. Saya menyumbang
satu lagi: kritik fakta historis! Detailnya, di belakang, insya Allah.
Urusan ritual, yang dicontohkan
adalah salat. Tepatnya soal rakaat salat. Teknis salat yang substansial, itu
disebut dalam Qur’an. Seperti sujud, rukuk, bertasbih, dan seterusnya. Hanya
sebagian kecil saja, yang tidak begitu substansial, tidak disebut oleh Qur’an.
Pokoknya, semua teknis yang tidak disebut oleh Qur’an itu tidak substansial. Yang
paling penting dan substansial, pasti disebut oleh Qur’an.
Termasuk jumlah raka’at (dari kata ruku’)
salat ini. Bagi Nabi, jumlah rakaat ini adalah ta’aqquliy. Alis ijtihadiy.
Yakni murni keputusan Nabi sendiri setelah terinspirasi oleh ayat-ayat Qur’an
tentang salat. Tidak apa-apa. Memang, yang memiliki hak prerogatif dalam
masalah teknis-teknis yang tidak substansial itu, hanyalah Nabi SAW saja.
Tetapi, tidak berarti, lantas disimpulkan bahwa Nabi mendapat wahyu lain selain
Qur’an terkait teknis-teknis non-substansial itu.
Teknis-teknis non-substansial
seperti jumlah rakaat ini, memang tidak perlu wahyu teologis lain lagi selain
Qur’an. Wong cuma teknis. Teknis ini bukan urusan teologis. Bukan urusan
metafisika (gaib). Bukan urusan eskatologi. Subuh, 2 rakaat. Dhuhur 4 rakaat. Asar
4 rakaat. Magrib 3 rakaat. Dan Isya’ 4 rakaat. Ini semua murni ijtihad Nabi
SAW. Perintah rukuknya, perintah sujudnya, itu ta’abbudiy. Tetapi teknis
non-substansialnya, bagi Nabi, adalah ta’aqquliy.
Sedangkan bagi kita, Kaum Mukminin,
ritual salat itu semuanya adalah ta’abbudiy. Mulai dari tata caranya,
sampai jumlah rakaatnya, harus sami’naa wa atha’naa. Kita tidak memiliki
hak untuk melakukan ijtihad di sini. Kita harus mengikuti Sunnah Nabi. Dengan
menelusurinya lewat Hadis-Hadis sahih. Kita hanya boleh mengikuti Hadis-Hadis
tersebut. Kalau pun mengikuti ulama, kita harus mengerti dan paham rujukan
Hadis sahih yang dipakainya.
Bagi kita, haram akal
berkreativitas dan berinovasi di sini. Misalnya salat diterjemah dengan Bahasa
Jawa, atau Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Jerman, Bahasa Perancis,
Bahasa Mandarin, dan lain seterusnya. Begitu juga haram menambahi atau
mengurangi jumlah rakaatnya. Misalnya subuh dibuat 4 rakaat. Atau Dhuhur
dikreasi menjadi 4 rakaat. Dan seterusnya.
Tentu saja, semua yang saya
sebutkan di atas, itu dalam kondisi normal. Adapun dalam kondisi yang tidak
normal lagi, maka Umat Islam harus melakukan proses ta’aqquliy, ijtihadiy,
kontekstualisasi, qiyas, dan istilah lain semisalnya. Seperti salat dalam
perjalanan, itu ada konsep salat jama’. Salat yang disatukan waktunya. Yaitu salat
Dhuhur dan Asar yang dikerjakan di satu waktu. Begitu juga salat Magrib dan
Isya’.
Belum lagi ada konsep qashar.
Yaitu Duhur yang 4 rakaat bisa menjadi 2 rakaat. Malah ada jama’ qashar
sekaligus. Yaitu salat Dhuhur dan Asar yang dikerjakan dalam satu waktu hanya
dengan 4 rakaat saja. Magrib dan Isya’ menjadi 5 rakaat saja yang dikerjakan
dalam satu waktu: di waktu Magribnya (jama’ taqdiim) atau di waktu Isya’nya
(jama’ ta’khiir). Belum lagi salatnya orang yang sakit, dan lain
seterusnya yang dibahas panjang lebar dalam Fikih. Padahal belum tentu sama,
perjalanan dan sakitnya Nabi secara spesifik itu dengan perjalanan dan sakitnya
kita.
Apalagi tantangan zaman yang
semakin modern. Pastilah proses ta’aqquliy itu amat sangat diperlukan. Bahkan
harus. Alias wajib. Kalau tidak, pasti Islam ini tidak akan bisa diamalkan. Dan
itu mustahil. Islam, terutama Qur’annya, pasti selalu sesuai dengan tempat di
mana pun, dan zaman kapan pun. Serta manusia dengan suku, adat, budaya, dan ras
apa pun. Shoolih li kull zamaan wa makaan.
Misalnya bagaimana salatnya
astronot yang berhari-hari bahkan berbulan-bulan hidup di luar angkasa? Misalnya
bagaimana cara bersuci dan salat di Bulan dan Mars? Bagaimana teknis salatnya
kelak jika umat manusia benar-benar bisa pindah dan bertempat tinggal menetap
di planet Mars? Bagaimana salat misalnya di daerah kutub yang siangnya lebih
panjang daripada malamnya? Dan seterusnya dan seterusnya. Yang pasti, semua itu
membutuhkan proses ta’aqquliy, ijtihadiy, kontekstualisasi. Yang paling
substansial, adalah salatnya itu sendiri.
Itu artinya, bahkan dalam urusan
teknis salat yang non-substansial, itu kita pun ternyata melakukan proses
ijtihadiy. Ta’aqquliy. Sudah berbeda dengan Nabi. Ya, urusan teknis
salat yang seperti ini, pun kita ternyata memungkinkan untuk beda dengan Nabi.
Tentu, bukan karena kita mendapat wahyu lain selain Qur’an. Tetapi karena
keadaan, waktu, dan tempat (ketupat) tertentu yang mengharuskan kita berbeda
dengan Nabi. Mau tidak mau, kita harus beda dengan Nabi.
Maka, memang tidak boleh kita kaku
(rigid) dalam beragama Islam ini. Kita harus luwes dan lentur. Fleksibel.
Jangan menyesat-nyesatkan Muslim lain. Jangan mengkafir-kafirkan Muslim yang
lain. Boleh mengoreksi. Silahkan menyalahkan. Tetapi harus mau menunjukkan
kesalahan itu. Dan harus mau menunjukkan bagaimana yang benarnya. Harus mau dan
bisa memberi solusinya. Juga harus dengan cara yang baik. Jangan hanya
menyalahkan, menghakimi sesat, tetapi tidak bisa menunjukkan solusi yang
benarnya.
Begitu juga dengan istilah ta’abbudiy
dan ta’aqquliy itu sendiri. Boleh-boleh saja membuat istilah-istilah
tersebut dan semisalnya, untuk memudahkan pemahaman. Tetapi jangan berlebihan. Jangan
sampai menjadikan istilah-istilah dan disiplin-disiplin ilmu, metodologi, yang
semuanya bukan karya Allah dan bukan karya Nabi, itu menjadi ‘tuhan’. Kemudian membuat
kita menjadi gampangan menghukumi bid’ah atau sesat sesama Muslim yang tidak
menggunakan istilah dan metodologi seperti kita. Atau kelompok kita. Atau
institusi kita.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar