—Saiful Islam—
“Ya, teknis zakat yang spesifik
ini, bisa, boleh, BAHKAN HARUS ‘BID’AH’. Pastilah itu bukan karena dapat wahyu
teologis antah berantah selain Qur’an...”
Sebenarnya, teknis spesifik zakat,
itu bukanlah perkara yang substansial. Melainkan perkara yang bersifat
ijtihadi. Artinya, teknis spesifik zakat tersebut, bersifat lokal dan temporal.
Yang bisa, boleh, bahkan harus berubah teknis tersebut sesuai zaman dan tempat
masing-masing.
Kalau tidak, pastilah Islam ini
tidak bisa dipraktekkan di segala tempat dan segala zaman. Dan itu tidak
mungkin. Islam bukan hanya agama Nabi Muhammad saja. Islam bukan hanya agama
orang Arab saja. Islam adalah agama universal. Untuk segala tempat, segala
zaman, dan segala SAR (suku, adat, dan ras).
Maka sudah pasti, teknis spesifik
zakat pun, itu bukan wahyu secara teologis. Bukan wahyu antah berantah. Tidak bersumber
dari wahyu lain selain Qur’an. Kewahyuan zakat, itu hanya yang bersumber dari
Qur’an saja. Sebagian ayat-ayatnya sudah saya tunjukkan sebelumnya.
Sejatinya, yang paling substansial
dari praktek beragama umat Islam itu, hanyalah yang bersumber dari Qur’an saja.
Sunnah Nabi hanyalah pelengkapnya. Terutama seperti teknis ritual salat non-substansial
yang contohnya sudah ada di depan. Cuma Nabi SAW yang berhak ijtihad soal
teknis salat yang demikian. Kita pun mencontoh Sunnah tersebut melalui
Hadis-Hadis dengan pendekatan Ulumul Hadis yang dicetuskan oleh para ulama.
Teknis zakat Nabi ini, berbeda
dengan teknis salat. Tenis salat Nabi, itu tidak boleh dilakukan
kontekstualisasi atau ijtihad—misalnya salat diterjemah. Sedangkan teknis zakat
ini, boleh dilakukan kontekstualisasi. Dengan kata lain, teknis salat Nabi, itu
bersifat global dan universal. Hanya boleh memilih satu di antara Hadis-Hadis
sahih. Tidak boleh di luar itu.
Sedangkan teknis zakat, boleh
bahkan harus berkreasi dan berinovasi sesuai dengan tempat dan zaman tertentu.
Ya, teknis zakat yang spesifik ini, bisa, boleh, bahkan harus ‘bid’ah’.
Pastilah itu bukan karena dapat wahyu teologis antah berantah selain Qur’an.
Sebelumnya, kita sudah tahu bahwa
menurut Hadis dalam Muwatta’, bentuk zakat itu pertanian (al-harts),
emas dan perak (al-‘ayn), dan al-maasyiyah (unta, sapi, dan
domba). Soal pertanian misalnya. Saat itu bentuknya bisa kurma atau gandum. Apakah
kita juga harus kurma dan gandum? Tentu tidak. Kita bisa berzakat dengan beras.
Intinya bahan pokok.
Nah, ketika ulama memperbolehkan
umat Islam berzakat dengan bahan pokoknya masing-masing, itu artinya mereka
telah melakukan proses kontekstualisasi. Atau proses ijtihadi. Secara tekstual,
jelas-jelas telah berbeda dengan Nabi. Menurut saya, proses itu benar. Dalam
perkara-perkara tertentu, seperti teknis zakat ini misalnya, dalil itu harus
dipahami secara kontekstual. Menyesuaikan keadaan, waktu, dan tempat (ketupat)
tertentu. Yang penting membawa maslahat (manfaat) dan tidak bertentangan dengan
dalil-dalil yang umum yang sudah muhkamat.
Qiyas istilahnya. Atau analogi. Yaitu
penetapan hukum suatu perkara baru yang belum ada pada masa sebelumnya, tetapi
memiliki kesamaan dalam sebab, manfaat, bahaya, dan berbagai aspek dengan
perkara terdahulu, sehinga dihukumi sama. Proses qiyas ini adalah mengambil
esensinya, intinya, atau substansi dari sebuah perkara. Contoh perkara yang
perlu dilakukan ijtihad seperti ini misalnya salat di pesawat, transplantasi
hati, puasa di daerah kutub, bayi tabung, donor sperma, stem cell, dan
lain-lain. Para ulama pun punya konsep maqashid al-syari’ah.
OK. Kalau diharuskan kurma atau
gandum, tentunya sangat menyusahkan. Dan tidak mungkin. Karena pertanian setiap
daerah di muka bumi ini berbeda-beda. Kawasan Amerika tengah, makanan pokoknya
adalah jagung. Beras (Asia Tenggara, Asia Selatan, Asia Timur). Gandum (Asia
Tengah, Mediterania, Afrika, Timur Tengah). Kentang (Amerika Selatan dan
Tengah). Singkong (Amerika Selatan). Kedelai (Asia Timur). Ubi jalar (Amerika
Selatan). Talas (Asia Tenggara, Afrika). Sorgum (Afrika). Pisang tanduk
(Afrika, Amerika Selatan, dan Amerika Tengah).
Maka Muslimim Amerika Selatan,
misalnya. Zakat fitrahnya tidak harus dengan kurma atau gandum. Tetapi boleh
dengan ubi jalar. Yang tidak boleh itu, tidak berzakat. Hehe.
Tidak hanya soal jenis bahan baku
untuk berzakat itu, ulama telah melakukan proses ijtihadi atau proses
kontekstualisasi tersebut sesuai zamannya. Contoh lain yang paling mencolok
adalah khutbah salat Jum’at. Pasti dan pasti, Nabi sendiri khutbahnya memakai
Bahasa Arab. Tetapi kita sekarang, di Surabaya misalnya, mayoritas
masjid-masjid itu khutbah dengan Bahasa Indonesia. Jadi, sekelas khutbah salat
Jum’at, pun dilakukan proses ijtihadi. Menurut saya, tidak apa-apa. Sah.
Begitu juga soal zakat dengan emas
dan perak. Dulu, emas dan perak berfungsi sebagai alat pembayaran yang sah. Tetapi
sekarang di Indonesia misalnya. Sistem ekonomi sudah berubah. Tidak setiap
orang memiliki emas dan perak. Alat pembayaran yang sah di sini bukan emas dan
perak lagi. Tetapi sudah rupiah. Setiap negara pun bisa berbeda-beda mata
uangnya. Dinar (seperti Aljazair, Bahrain, Irak, Kuwait, Serbia, Tunisia,
Yordania). Riyal (Arab Saudi, Qatar). Dollar (AS, Australia, Singapura,
Selandia Baru). Euro (Spanyol, Belanda, Belgia, Italia). Rupee (India,
Mauritius, Nepal). Dan lain seterusnya.
Berikutnya soal teknis zakat ini
adalah masalah ukurannya. Jelas Hadis di Muwatta’ itu menyebut dzawd (3
sampai 10 ekor), awaaq (40 dirham), dan awsuq (60 sha’). Kemudian
versi Mazhab Malikiy, 1 sha’ itu sama dengan 2,7 kilogram (kg). Mazhab
Syafi’i 1 sha’ itu 2,75 kg. Dan Mazhab Hambali 1 sha’ adalah 2,2
kg.
Kenapa muncul nama-nama ukuran dzawd,
awaaq, awsuq, dan sha’ itu? Ya karena pada abad ke-2 dan
ke-3 di sekitar Timur Tengah (terutama di Madinah) saat itu yang dikenal adalah
ukuran tersebut. Apakah kita sekarang di Indonesia misalnya, harus menggunakan
ukuran-ukuran seperti Nabi itu? Tentu tidak harus. Kita bisa menggunakan Satuan
Internasional (SI), yaitu kilogram (kg). Misalnya kita zakat beras minimal 3
kg. Zakat 1 ton, malah bagus sekali.
Sebenarnya ketika ulama menetapkan
bahwa 1 sha’ itu sama dengan 2,7 kg, ada pula yang menetapkan 1 sha’
sama dengan 2,75 kg, dan yang lain 1 sha’ adalah 2,2 kg, maka itu
berarti mereka telah melakukan proses kontekstualisasi. Alias proses ijtihadi. Ini
tidak berarti ulama telah mendapat wahyu teologis lain selain Qur’an. Tetapi
murni ijtihad mereka. Begitu juga Nabi, penentuan bentuk zakat, ukurannya, dan
lain seterusnya, itu bukan karena mendapat wahyu teologis lain selain Qur’an.
Tetapi murni ijtihad beliau setelah terinspirasi dari ayat-ayat zakat dalam Qur’an.
Terbukti kemudian, ulama mazhab pun
bisa berbeda-beda tafsir dan kesimpulannya. Ya wajar. Sebab memang, konteks
tempat dan waktu dimana mereka masing-masing hidup, itu berbeda-beda. Maka pasti
salahnya, kalau dikatakan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup. Kalau kita yang
hidup di Indonesia di abad 21 M ini diharus-haruskan secara membabi buta ikut
kesimpulan hukum abad 8 dan 9 M itu, maka kita akan kesulitan mengamalkan Islam
itu sendiri.
Padahal gamblang sekali Qur’an
menyebutkan bahwa Islam ini bukan untuk menyulitkan dan menyempitkan. Tetapi menyelamatkan
dan membebaskan.
QS. Al-Hajj[22]: 78
وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ
حَقَّ جِهَادِهِ ۚ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا
جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ ۚ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ ۚ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ
قَبْلُ وَفِي هَٰذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا
شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ ۚ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَاعْتَصِمُوا بِاللَّهِ هُوَ
مَوْلَاكُمْ ۖ فَنِعْمَ الْمَوْلَىٰ وَنِعْمَ
النَّصِيرُ
Dan berjihadlah kamu pada jalan
Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kam. DAN DIA
SEKALI-KALI TIDAK MENJADIKAN UNTUK KAMU DALAM AGAMA SUATU KESEMPITAN.
(Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian
orang-orang Muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya
Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas
segenap manusia. Maka dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu
pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu. Dialah sebaik-baik pelindung dan
sebaik-baik penolong.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar