Selasa, 24 Desember 2019

KONTEKSTUALISASI KEWAHYUAN ZAKAT


—Saiful Islam—

“Ya, teknis zakat yang spesifik ini, bisa, boleh, BAHKAN HARUS ‘BID’AH’. Pastilah itu bukan karena dapat wahyu teologis antah berantah selain Qur’an...”

Sebenarnya, teknis spesifik zakat, itu bukanlah perkara yang substansial. Melainkan perkara yang bersifat ijtihadi. Artinya, teknis spesifik zakat tersebut, bersifat lokal dan temporal. Yang bisa, boleh, bahkan harus berubah teknis tersebut sesuai zaman dan tempat masing-masing.

Kalau tidak, pastilah Islam ini tidak bisa dipraktekkan di segala tempat dan segala zaman. Dan itu tidak mungkin. Islam bukan hanya agama Nabi Muhammad saja. Islam bukan hanya agama orang Arab saja. Islam adalah agama universal. Untuk segala tempat, segala zaman, dan segala SAR (suku, adat, dan ras).

Maka sudah pasti, teknis spesifik zakat pun, itu bukan wahyu secara teologis. Bukan wahyu antah berantah. Tidak bersumber dari wahyu lain selain Qur’an. Kewahyuan zakat, itu hanya yang bersumber dari Qur’an saja. Sebagian ayat-ayatnya sudah saya tunjukkan sebelumnya.

Sejatinya, yang paling substansial dari praktek beragama umat Islam itu, hanyalah yang bersumber dari Qur’an saja. Sunnah Nabi hanyalah pelengkapnya. Terutama seperti teknis ritual salat non-substansial yang contohnya sudah ada di depan. Cuma Nabi SAW yang berhak ijtihad soal teknis salat yang demikian. Kita pun mencontoh Sunnah tersebut melalui Hadis-Hadis dengan pendekatan Ulumul Hadis yang dicetuskan oleh para ulama.

Teknis zakat Nabi ini, berbeda dengan teknis salat. Tenis salat Nabi, itu tidak boleh dilakukan kontekstualisasi atau ijtihad—misalnya salat diterjemah. Sedangkan teknis zakat ini, boleh dilakukan kontekstualisasi. Dengan kata lain, teknis salat Nabi, itu bersifat global dan universal. Hanya boleh memilih satu di antara Hadis-Hadis sahih. Tidak boleh di luar itu.

Sedangkan teknis zakat, boleh bahkan harus berkreasi dan berinovasi sesuai dengan tempat dan zaman tertentu. Ya, teknis zakat yang spesifik ini, bisa, boleh, bahkan harus ‘bid’ah’. Pastilah itu bukan karena dapat wahyu teologis antah berantah selain Qur’an.

Sebelumnya, kita sudah tahu bahwa menurut Hadis dalam Muwatta’, bentuk zakat itu pertanian (al-harts), emas dan perak (al-‘ayn), dan al-maasyiyah (unta, sapi, dan domba). Soal pertanian misalnya. Saat itu bentuknya bisa kurma atau gandum. Apakah kita juga harus kurma dan gandum? Tentu tidak. Kita bisa berzakat dengan beras. Intinya bahan pokok.

Nah, ketika ulama memperbolehkan umat Islam berzakat dengan bahan pokoknya masing-masing, itu artinya mereka telah melakukan proses kontekstualisasi. Atau proses ijtihadi. Secara tekstual, jelas-jelas telah berbeda dengan Nabi. Menurut saya, proses itu benar. Dalam perkara-perkara tertentu, seperti teknis zakat ini misalnya, dalil itu harus dipahami secara kontekstual. Menyesuaikan keadaan, waktu, dan tempat (ketupat) tertentu. Yang penting membawa maslahat (manfaat) dan tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang umum yang sudah muhkamat.

Qiyas istilahnya. Atau analogi. Yaitu penetapan hukum suatu perkara baru yang belum ada pada masa sebelumnya, tetapi memiliki kesamaan dalam sebab, manfaat, bahaya, dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu, sehinga dihukumi sama. Proses qiyas ini adalah mengambil esensinya, intinya, atau substansi dari sebuah perkara. Contoh perkara yang perlu dilakukan ijtihad seperti ini misalnya salat di pesawat, transplantasi hati, puasa di daerah kutub, bayi tabung, donor sperma, stem cell, dan lain-lain. Para ulama pun punya konsep maqashid al-syari’ah.

OK. Kalau diharuskan kurma atau gandum, tentunya sangat menyusahkan. Dan tidak mungkin. Karena pertanian setiap daerah di muka bumi ini berbeda-beda. Kawasan Amerika tengah, makanan pokoknya adalah jagung. Beras (Asia Tenggara, Asia Selatan, Asia Timur). Gandum (Asia Tengah, Mediterania, Afrika, Timur Tengah). Kentang (Amerika Selatan dan Tengah). Singkong (Amerika Selatan). Kedelai (Asia Timur). Ubi jalar (Amerika Selatan). Talas (Asia Tenggara, Afrika). Sorgum (Afrika). Pisang tanduk (Afrika, Amerika Selatan, dan Amerika Tengah).

Maka Muslimim Amerika Selatan, misalnya. Zakat fitrahnya tidak harus dengan kurma atau gandum. Tetapi boleh dengan ubi jalar. Yang tidak boleh itu, tidak berzakat. Hehe.

Tidak hanya soal jenis bahan baku untuk berzakat itu, ulama telah melakukan proses ijtihadi atau proses kontekstualisasi tersebut sesuai zamannya. Contoh lain yang paling mencolok adalah khutbah salat Jum’at. Pasti dan pasti, Nabi sendiri khutbahnya memakai Bahasa Arab. Tetapi kita sekarang, di Surabaya misalnya, mayoritas masjid-masjid itu khutbah dengan Bahasa Indonesia. Jadi, sekelas khutbah salat Jum’at, pun dilakukan proses ijtihadi. Menurut saya, tidak apa-apa. Sah.

Begitu juga soal zakat dengan emas dan perak. Dulu, emas dan perak berfungsi sebagai alat pembayaran yang sah. Tetapi sekarang di Indonesia misalnya. Sistem ekonomi sudah berubah. Tidak setiap orang memiliki emas dan perak. Alat pembayaran yang sah di sini bukan emas dan perak lagi. Tetapi sudah rupiah. Setiap negara pun bisa berbeda-beda mata uangnya. Dinar (seperti Aljazair, Bahrain, Irak, Kuwait, Serbia, Tunisia, Yordania). Riyal (Arab Saudi, Qatar). Dollar (AS, Australia, Singapura, Selandia Baru). Euro (Spanyol, Belanda, Belgia, Italia). Rupee (India, Mauritius, Nepal). Dan lain seterusnya.

Berikutnya soal teknis zakat ini adalah masalah ukurannya. Jelas Hadis di Muwatta’ itu menyebut dzawd (3 sampai 10 ekor), awaaq (40 dirham), dan awsuq (60 sha’). Kemudian versi Mazhab Malikiy, 1 sha’ itu sama dengan 2,7 kilogram (kg). Mazhab Syafi’i 1 sha’ itu 2,75 kg. Dan Mazhab Hambali 1 sha’ adalah 2,2 kg.

Kenapa muncul nama-nama ukuran dzawd, awaaq, awsuq, dan sha’ itu? Ya karena pada abad ke-2 dan ke-3 di sekitar Timur Tengah (terutama di Madinah) saat itu yang dikenal adalah ukuran tersebut. Apakah kita sekarang di Indonesia misalnya, harus menggunakan ukuran-ukuran seperti Nabi itu? Tentu tidak harus. Kita bisa menggunakan Satuan Internasional (SI), yaitu kilogram (kg). Misalnya kita zakat beras minimal 3 kg. Zakat 1 ton, malah bagus sekali.

Sebenarnya ketika ulama menetapkan bahwa 1 sha’ itu sama dengan 2,7 kg, ada pula yang menetapkan 1 sha’ sama dengan 2,75 kg, dan yang lain 1 sha’ adalah 2,2 kg, maka itu berarti mereka telah melakukan proses kontekstualisasi. Alias proses ijtihadi. Ini tidak berarti ulama telah mendapat wahyu teologis lain selain Qur’an. Tetapi murni ijtihad mereka. Begitu juga Nabi, penentuan bentuk zakat, ukurannya, dan lain seterusnya, itu bukan karena mendapat wahyu teologis lain selain Qur’an. Tetapi murni ijtihad beliau setelah terinspirasi dari ayat-ayat zakat dalam Qur’an.

Terbukti kemudian, ulama mazhab pun bisa berbeda-beda tafsir dan kesimpulannya. Ya wajar. Sebab memang, konteks tempat dan waktu dimana mereka masing-masing hidup, itu berbeda-beda. Maka pasti salahnya, kalau dikatakan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup. Kalau kita yang hidup di Indonesia di abad 21 M ini diharus-haruskan secara membabi buta ikut kesimpulan hukum abad 8 dan 9 M itu, maka kita akan kesulitan mengamalkan Islam itu sendiri.

Padahal gamblang sekali Qur’an menyebutkan bahwa Islam ini bukan untuk menyulitkan dan menyempitkan. Tetapi menyelamatkan dan membebaskan.

QS. Al-Hajj[22]: 78
وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ ۚ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ ۚ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ ۚ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَٰذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ ۚ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَاعْتَصِمُوا بِاللَّهِ هُوَ مَوْلَاكُمْ ۖ فَنِعْمَ الْمَوْلَىٰ وَنِعْمَ النَّصِيرُ
Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kam. DAN DIA SEKALI-KALI TIDAK MENJADIKAN UNTUK KAMU DALAM AGAMA SUATU KESEMPITAN. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia. Maka dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu. Dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...