Sabtu, 30 November 2019

QUR’AN MENEGUR NABI


—Saiful Islam—

“Bahkan Sunnah pun, itu bukan wahyu. Tapi murni ijtihad Nabi…”

Nabi itu memang manusia biasa. Yang mempunyai nafsu dan akal. Layaknya manusia-manusia yang lain. Beliau makan dan minum. Beliau tidur. Beliau menikah. Beliau beraktivitas. Cuma satu yang membedakan beliau dengan kita. Yaitu beliau mendapatkan wahyu secara langsung dari Allah. Yakni Qur’an (QS.18:110).

Mendapat Qur’an, itu sama sekali bukan keinginan Nabi. Muhammad SAW tidak pernah berharap mendapat Qur’an itu. Itu murni hak prerogatif Tuhan menurunkan kalimat-kalimat-Nya kepada seseorang yang Dia kehendaki.

QS. Al-Qashash[28]: 86
وَمَا كُنْتَ تَرْجُو أَنْ يُلْقَىٰ إِلَيْكَ الْكِتَابُ إِلَّا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ ۖ فَلَا تَكُونَنَّ ظَهِيرًا لِلْكَافِرِينَ
DAN KAMU TIDAK PERNAH MENGHARAP AGAR QUR’AN DITURUNKAN KEPADAMU. Tetapi ia (diturunkan) karena suatu rahmat yang besar dari Tuhanmu. Sebab itu janganlah sekali-kali kamu menjadi penolong bagi orang-orang kafir.

Bahkan Qur’an pernah menegur Nabi. Ya, Anda tidak salah baca. Saya juga tidak salah tulis. Qur’an menegur Nabi! Berarti ada yang keliru dengan Nabi. Dalam dua Surat berikut ini.

QS. ‘Abasa[80]: 1 – 12
عَبَسَ وَتَوَلَّىٰ
1.      Dia (Muhammad) BERMUKA MASAM DAN BERPALING.

أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَىٰ
2.      Karena telah datang seorang buta kepadanya (‘Abdullah bin Ummi Maktum).

وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّىٰ
3.      Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa).

أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَىٰ
4.      Atau ia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?

أَمَّا مَنِ اسْتَغْنَىٰ
5.      Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup (para pembesar Quraisy).

فَأَنْتَ لَهُ تَصَدَّىٰ
6.      Maka kamu melayaninya.

وَمَا عَلَيْكَ أَلَّا يَزَّكَّىٰ
7.      Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau ia tidak membersihkan diri (beriman).

وَأَمَّا مَنْ جَاءَكَ يَسْعَىٰ
8.      Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran),

وَهُوَ يَخْشَىٰ
9.      sedang ia takut kepada (Allah),

فَأَنْتَ عَنْهُ تَلَهَّىٰ
10.  maka KAMU MENGABAIKANNYA.

كَلَّا إِنَّهَا تَذْكِرَةٌ
11.  SEKALI-KALI JANGAN (DEMIKIAN)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan.

فَمَنْ شَاءَ ذَكَرَهُ
12.  Maka barangsiapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya.

QS. Al-Tahrim[66]: 1
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ ۖ تَبْتَغِي مَرْضَاتَ أَزْوَاجِكَ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Hai Nabi. Mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

QS.66:1 adalah Surat makkiyah. Diturunkan sebelum hijrah. Sedangkan QS.80:1-12 adalah Surat madaniyah. Turun setelah hijrah. Tidak diragukan lagi, Muhammad SAW sudah menjadi Nabi saat itu. Maka, sebagai manusia biasa, meskipun telah menerima Qur’an, Nabi bisa keliru. Itu artinya, tidak benar, bahwa Sunnah adalah wahyu. Apalagi Hadis.

Jadi, ketika Nabi mengharamkan (QS.66:1), pengharaman Nabi itu bukan berdasar Qur’an. Bukan wahyu. Tetapi murni ijtihad Nabi sendiri. Karenanya bisa salah. Kemudian dikoreksi oleh Qur’an. Kalau betul pengharaman Nabi itu adalah wahyu yang tak tertulis, tentunya pasti benar. Dan tak perlu ditegur oleh Qur’an (QS.66:2).

Begitu juga dalam QS.80:1-12 itu. Ketika Nabi gak patek ngereken (berpaling) Ibnu Maktum yang buta itu. Sampai disebut Qur’an, Nabi berwajah kecut. Karena lebih mempedulikan para pembesar Quraisy. Langsung ditegur Qur’an, “Sekali-kali jangan begitu!” Artinya, sikap dan perbuatan Nabi itu keliru. Jadi tidak benar kalau Sunnah adalah wahyu. Masak wahyu salah?!

Sekali lagi, wahyu itu ya cuma Qur’an saja. Sunnah bukan wahyu. OK. Tetapi fungsi beliau sebagai penyampai Qur’an—karenanya disebut Rasul—Nabi tidak pernah salah. Tidak pernah keliru. Nabi tidak pernah lupa Qur’an, meski satu hurufnya (QS.87:6). Semua wahyu dari Allah, itu sudah komplit. Tidak kurang, tidak lebih. Tidak ada wahyu lain, selain Qur’an (QS.6:115).

Kemanusiaan Nabi itu, bukan hanya ketika beliau belum menjadi Rasul. Di usia sekitar 40 tahun itu. Meskipun beliau mendapatkan Qur’an, lantas menjadi Rasul, Nabi tetap manusia biasa. Beliau bisa senang, bisa susah. Bisa bersuka, bisa berduka. Kadang bahagia, kadang sedih. Bisa sakit. Bahkan bisa kalah dalam peperangan.

Yang diingkari oleh para rival Nabi, itu ya Qur’an. Kerasulan Muhammad. Mereka menuntut bukti kepada Nabi dengan hal-hal yang non manusiawi. Dikiranya, kalau benar menjadi utusan Allah (Rasul Allah), itu harus tidak manusiawi. Harus bisa melakukan hal-hal yang magic. Harus tidak makan dan minum. Harus tidak berjalan di pasar. Harus tidak menikah. Intinya, harus tidak manusiawi. Digambarkan dalam ayat berikut.

QS. Al-Furqan[25]: 7 – 8
وَقَالُوا مَالِ هَٰذَا الرَّسُولِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِي فِي الْأَسْوَاقِ ۙ لَوْلَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَلَكٌ فَيَكُونَ مَعَهُ نَذِيرًا
7. Dan mereka (para rival Nabi) berkata: "Mengapa Rasul itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang Malaikat agar Malaikat itu memberikan peringatan bersama-sama dengan dia?

أَوْ يُلْقَىٰ إِلَيْهِ كَنْزٌ أَوْ تَكُونُ لَهُ جَنَّةٌ يَأْكُلُ مِنْهَا ۚ وَقَالَ الظَّالِمُونَ إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلَّا رَجُلًا مَسْحُورًا
8. “Atau (mengapa tidak) diturunkan kepadanya perbendaharaan, atau (mengapa tidak) ada kebun baginya, yang dia dapat makan dari (hasil)nya?" Dan orang-orang yang zalim itu berkata: "Kamu sekalian tidak lain hanyalah mengikuti seorang lelaki yang kena sihir.”

Qur’an telak sekali memberi jawaban pertanyaan para pengingkar seperti itu. Sebagaimana digambarkan dalam ayat berikut.

QS. Al-An’am[6]: 50
قُلْ لَا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلَا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلَا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ ۖ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَىٰ إِلَيَّ ۚ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الْأَعْمَىٰ وَالْبَصِيرُ ۚ أَفَلَا تَتَفَكَّرُونَ
KATAKANLAH: “Aku TIDAK mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku. Dan TIDAK (pula) AKU MENGETAHUI YANG GAIB. Dan TIDAK (pula) AKU MENGATAKAN KEPADAMU BAHWA AKU SEORANG MALAIKAT. AKU TIDAK MENGIKUTI KECUALI APA YANG DIWAHYUKAN KEPADAKU. Katakanlah: "Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?" Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?"

Makanya beberapa kali Qur’an menginformasikan bahwa Nabi hanyalah penyampai risalah. Penyampai Qur’an kepada umat manusia. Tidak lebih, tidak kurang. Nabi tidak bertanggung jawab, apakah mereka menjadi mendapat petunjuk, ataukah mereka tetap sesat (27:92). Beriman atau tidak, itu murni pilihan mereka sendiri (QS.18:29).

Karena mendapat Qur’an itulah, Nabi lantas shalat. Karena Qur’an memerintahkan shalat (QS.2:43). Nabi lantas puasa Ramadan. Karena Qur’an memerintahkan puasa Ramadan (QS.2:183). Nabi kemudian berhaji. Karena Qur’an memerintahkan haji (QS.3:97). Nabi berzakat. Karena Qur’an memerintahkan zakat (QS.9:103).

Nabi lantas juga tahu hal-hal gaib. Hal-hal metafisika. Nabi tahu gambaran surga, gambaran neraka, ada timbangan amal perbuatan (mizan), bahwa ada malaikat, Allah dan perbuatan-perbuatan-Nya, ada pahala, dan gambaran-gambaran metafisika yang lain. Karena Qur’an yang menginformasikannya. Semua itu diketahui Nabi, itu SEBATAS info dari Qur’an saja (QS.6:50).

Tanpa Qur’an, Nabi tidak akan tahu hal-hal eskatologi seperti itu. Karenanya, sulit dipercaya jika ada Hadis-Hadis yang berbicara hal-hal tersebut yang tidak ada cantolannya dari Qur’an. Pasti bertentangan dengan QS.6:50 itu. Bahwa soal metafisika tersebut, Nabi hanya mengikuti Qur’an saja.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Jumat, 29 November 2019

RUJUKAN SELAIN QUR’AN


—Saiful Islam*—

“Ketika firman telah menjadi daging, Yesus…”

Tampaknya, kali ini mesti dituliskan ulang dulu catatan-catatan ringan saya sebelumnya. Sebelum munculnya ‘game’ dari kawan saya yang dosen untuk menelusuri kewahyuan Hadis ini.

Firman bukan sabda. Ketika proses pewahyuan dan penulisan Qur’an, selama 23 tahun, itu Nabi melarang sabdanya ditulis. Agar tidak campur aduk antara Qur’an dan Sunnah. Maka, tidak benar jika dikatakan: semua ucapan Nabi adalah wahyu. Ucapan Nabi yang wahyu, itu hanya Qur’an saja (QS.10:109).

Baru berita. Hadis, itu memang baru berita tentang Nabi. Masih perlu diteliti dan dikritisi. Karena Hadis memang ada yang sahih, hasan (lumayan), lemah, bahkan palsu. Alias fiktif. Dikarang-karang penulis, bisa karena untuk kepentingan politis, ideologis, sampai jabatan atau ekonomis.

Hadis dan sanad-nya itu, memang karya penulis Hadis. Atau ulama Hadis. Jelas, tidak dikawal langsung oleh Nabi. Di masa Sahabat, Hadis dan sanad-nya, itu memang belum eksis. Tidak ada! Karena para Sahabat memang bisa langsung meneladani Sunnah Nabi. Praktek Nabi yang langsung ditiru lintas generasi sampai sekarang.

Hadis dan sanad-nya itu eksisnya memang belakangan. Sekitar awal abad ke-2 Hijrah. Atau akhir abad pertama Hijrah. Bahkan kalau acuannya adalah buku Muwaththa’ (buku Hadis tertua) karya Imam Malik (w. 179 H), berarti Hadis, itu baru ada sekitar 167 tahun setelah wafatnya sumber—Nabi wafat sekitar tahun 12 Hijrah!

Ketika Qur’an dalam proses pewahyuan dan penulisan, menurut Sejarah, Nabi bersabda, “Jangan menulis dari diriku. Barangsiapa (terlanjur) menulis dariku selain Qur’an, maka hapuslah. Barangsiapa berdusta atas namaku (dengan sengaja), bersiaplah tempatnya di neraka.”

Jadi sebenarnya, Hadis itu cuma berita. Bisa benar, bisa salah. Bisa otentik, bisa fiktif. Tapi kebanyakan antar orang Islam, berpolemik itu, karena berlebihan berprinsip dengan Hadis-Hadis.

Lalu ada kawan bertanya, “Sejauh mana urgensinya kita menggunakan Hadis? Mungkin ada prasyarat atau kondisi tertentu?”

Menggunakan Hadis itu pilihan. Sekiranya mendukung Qur’an, boleh kita pakai. Tetapi jika malah merancukan Qur’an, sebaiknya tidak memakai Hadis. Hadis sebagai tafsir dari Qur’an. Bukan kebalik, Qur’an malah digunakan tafsirnya Hadis. Sebagaimana sering terjadi pada Kaum Muslimin (saya).

Dasarnya dugaan. Semua rujukan-rujukan doktrin Islam, selain Qur’an, itu memang ditulis ratusan tahun setelah wafatnya sumber (Nabi SAW). Dan semua rujukan selain Qur’an tersebut, tidak ada yang pasti kebenarannya. Semuanya berdasar zhann (dugaan). Bisa jadi benar, bisa jadi meleset, bahkan fiktif.

Semua rujukan tersebut muncul di tengah-tengah konflik internal umat Islam sendiri. Dan setelahnya di abad-abad belakangan. Ada yang karena ideologi teologis. Ada juga karena ideologi politis, fanatik mazhab atau golongan.

Maksud saya. Menggunakan rujukan-rujukan selain Qur’an, baik itu Hadis-Hadis, Siirah atau Taariikh (Sejarah), dan lain-lain, mesti ekstra hati-hati.

Semua Hadis, itu memang zhanniy. Yakni diduga dari Rasulullah SAW. Yang pasti (qoth’iy) memang hanya Qur’an. Pasti firman Allah. Pasti dari Rasulullah. Soal kaifiyat (cara atau teknis) shalat dan rakaatnya, puasa, zakat, manasik haji, dan teknis-teknis yang semisalnya, itu memang zhanniy semua.

Penjelasan teknis shalat dan lain-lain, itu butuh Sunnah Nabi. Bukan Hadis Nabi. Di depan, insya Allah akan saya ceritakan bedanya Hadis dengan Sunnah. Makanya orang-orang Madinah, itu lebih percaya living tradition (praktek turun temurun), daripada Hadis-Hadis. Sebab, Nabi memang wafat di Madinah. Praktek atau teknis shalat dan lain-lainnya, langsung ditiru orang-orang Madinah berikutnya.

Umat Islam memang butuh Hadis. Tetapi Hadis-Hadis yang tidak ada cantolannya kepada Qur’an, harus ekstra hati-hati. Kritis. Tidak perduli dari kitab apa (yang pasti ditulis belakangan). Karya siapa. Tidak perlu fanatik pada Hadis-Hadis. Apalagi mazhab-mazhab dan kelompok-kelompok. Cukup fanatik pada Qur’an saja!

Selama itu Hadis, maka sudah wajib dilakukan paling tidak dua kritik (al-naqd). Yaitu pertama, adalah kritik sanad (rangkaian periwayat). Kedua, kritik matan (teks). Saya tambahi satu lagi, kritik fakta. Bahkan beberapa Hadis yang katanya mutawatir pun, bisa bermasalah secara matan-nya. Kesahihan sanad, tidak menjamin kesahihan matan. Sahihnya sanad, itu tidak otomatis sahih juga matan-nya!

Hadis itu memang baru upaya menelusuri Sunnah. Bukan Sunnah itu sendiri. makanya jangan nggetu-nggetu berprinsip dengan Hadis. “Lek gak atek Bukhari, bid’aaah,” katanya. Halah halah halahwong Abu Hanifah, Malik, dan Syafi’i, itu tidak pernah pakai Bukhari! Hehe.

Hadis dan Bible. Saya pernah bertemu dengan seorang kawan. Pastur atau calon pastur. Kira-kira seminggu saya diskusi langsung dengannya. Saya minta dia untuk bercerita tentang sikapnya, sebagai seorang Kristen Katolik, terhadap kitab sucinya, Bible. Menurut Klaus, Bible, itu memang bukan firman-Nya. Karena firman-Nya telah menjadi daging—Yesus.

Bible, itu memang ditulis belakangan. Tidak dikawal langsung oleh Yesus. Bible adalah cerita tentang Yesus. Jadi, baru berita tentang Yesus. Atau apa-apa yang disandarkan kepada Yesus. Bisa ucapannya, perbuatannya, sampai ketetapan-ketetapannya. “Tetapi penulisannya, itu diilhami oleh Roh Kudus,” kata Klaus. Para penulis Injil itu, adalah para nabi menurut iman Kristen (tolong dikoreksi kalau salah, Kawan).

Nah. Bagi saya yang Muslim, setelah belajar Ulumul Hadis, posisi Bible bagi orang Kristen, itu seperti posisi Hadis-Hadis bagi Muslim. Yaitu, cerita atau berita tentang Nabi. Tidak ditulis Nabi. Alias ditulis belakangan. Atau apa pun yang disandarkan kepada Nabi. Baik ucapan, perbuatan, atau tindak-tanduk beliau.

Tetapi ada satu hal yang membadakan keyakinan saya dengan Klaus. Pembeda ini sangat fundamental. Yaitu, bagi saya, Hadis itu hanya berita biasa. Titik. Sedangkan Klaus, berita yang diilhami oleh Roh Kudus.

Jadi kalau ada siapa pun yang mengaku Muslim—baik orang awam maupun profesor—yang mengatakan bahwa Hadis itu adalah wahyu, atau wahyu kedua (second revelation) selain Qur’an, atau wahyu tak tertulis, menurut saya itu sama dengan keyakinan Klaus!

OK. Anggap semua itu adalah dugaan sementara (hipotesis) saya. Insya Allah, tulisan-tulisan ke depan, saya mencoba untuk mengetesnya lebih lanjut.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

*Saiful Islam (bukan ustadz, tapi santri ndableg yang gampang mencintai dan ngefans kepada siapa pun yang pintar dan cerdas, termasuk kawan-kawan diskusinya).



Kamis, 28 November 2019

SUNNAH BUKAN WAHYU


—Saiful Islam*—

“Ide Hadis adalah wahyu, itu bukan main. Profesor pun ikut-ikutan mengamininya…”

Terimakasih. Pertanyaan, masukan, sanggahan, kritikan yang relevan, dan semisalnya dari kawan-kawan, akan saya pertimbangkan. Insya Allah akan saya jawab pada tulisan-tulisan di depan.

OK. Tampaknya, masih ada yang kurang paham dengan tulisan saya kemarin, MENGGUGAT KEWAHYUAN HADIS. Buktinya masih ada pertanyaan, di bagian mana pernyataan ustadz dalam video itu yang saya tidak setujui. Baiklah, kali ini akan lebih saya perjelas.

Jadi kan begini. Sang ustadz menyatakan bahwa Sunnah atau Hadis itu adalah wahyu. Atau wahyu kedua selain Qur’an. Dalilnya QS. Al-Najm[53]: 3-4. Di samping itu, dengan maksud mewajibkan Kaum Mukminin menggunakan Hadis atau Sunnah, dia mendasarkannya pada lima ayat yang lain itu (QS.16:44; QS.59:7; QS.3:31; QS.4:65; dan QS.24:63).

Menurut saya ustadz tersebut berlebihan dalam menyikapi Sunnah atau Hadis. Nah, tulisan saya kemarin itu membantah semua argumennya dengan mendasarkan pada dalil-dalil yang ia kutip. Jadi, tulisan sekitar 1000-an kata kemarin itu, semua isinya adalah ketidak setujuan saya. Setiap penjelasan di bawah 6 ayat tersebut, itu adalah gagasan saya yang membantah ide si ustadz. Jadi, isi tulisan saya kemarin itu, semuanya adalah bantahan kepadanya.

Bahwa menurut saya, maksud keenam ayat yang dia kutip itu tidak seperti penjelasannya dalam video itu. Menurut saya, si ustadz berlebihan dalam memposisikan Sunnah atau Hadis. Sampai berani mengatakan bahwa Hadis adalah wahyu kedua selain Qur’an. Baiklah. Kali ini akan saya pertegas lagi bahwa Hadis itu sangat-sangat jauh grade atau level-nya dibanding Qur’an. Tidak ada wahyu selain Qur’an.

Sunnah itu  bukan wahyu. Hadis itu baru upaya menelusuri Sunnah. Kalau pun ada ibadah-ibadah teknis, itu adalah ijtihad Nabi yang terinpirasi oleh Qur’an. Tidak terinspirasi oleh wahyu selain Qur’an. Sekali lagi, tidak ada wahyu selain Qur’an. Apalagi Hadis. Ya tentu saja Hadis sangat bukan wahyu. Wong Hadis itu karya penulis Hadis. Yang tidak dikawal langsung oleh Rasulullah.

Tidak ada informasi dari Qur’an bahwa Sunnah Nabi adalah wahyu. Sunnah itu, bukan wahyu. Juga bukan Qur’an. Meski Sunnah Nabi (bukan Hadis Nabi) itu cuma bisa terinspirasi oleh Qur’an. Hasil dari terinspirasi itu, menghasilkan ijtihad-ijtihad Nabi dalam teknis ibadah-ibadah ritual. Secara garis besar, Nabi memang hanya mengikuti Qur’an. Serta menyampaikannya kepada umat manusia. Sesuai perintah-Nya (QS.5:67). Hanya karena itulah beliau disebut utusan Allah (Rasul Allah).

Nabi hanya mengikuti apa yang diwahyukan kepada beliau. Yakni Qur’an itu sendiri. Misalnya QS.10:109 dan QS.33:2.

QS. Yunus[10]: 109.
وَاتَّبِعْ مَا يُوحَىٰ إِلَيْكَ وَاصْبِرْ حَتَّىٰ يَحْكُمَ اللَّهُ ۚ وَهُوَ خَيْرُ الْحَاكِمِينَ
Dan IKUTILAH APA YANG DIWAHYUKAN KEPADAMU. Dan bersabarlah hingga Allah memberi keputusan. Dan Dia adalah hakim yang sebaik-baiknya.

Nabi hanyalah manusia biasa yang mendapat wahyu Qur’an. Beliau memang hanyalah memberi peringatan dengan wahyu Qur’an. Misalnya QS.18:110, QS.41:6, QS.38:70, QS.22:49, dan lain-lain berikut ini.

QS. Al-Kahf[18]: 110
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Katakanlah: Sesungguhnya aku ini MANUSIA BIASA SEPERTI KAMU, YANG DIWAHYUKAN KEPADAKU: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".

QS. Al-An’am[6]: 50 – 51
قُلْ لَا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلَا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلَا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ ۖ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَىٰ إِلَيَّ ۚ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الْأَعْمَىٰ وَالْبَصِيرُ ۚ أَفَلَا تَتَفَكَّرُونَ
50. Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku. Dan tidak (pula) aku mengetahui yang gaib, dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. AKU TIDAK MENGIKUTI KECUALI APA YANG DIWAHYUKAN KEPADAKU. Katakanlah: "Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?" Maka Apakah kamu tidak memikirkan(nya)?"

وَأَنْذِرْ بِهِ الَّذِينَ يَخَافُونَ أَنْ يُحْشَرُوا إِلَىٰ رَبِّهِمْ ۙ لَيْسَ لَهُمْ مِنْ دُونِهِ وَلِيٌّ وَلَا شَفِيعٌ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
51. Dan BERILAH PERINGATAN DENGAN APA YANG DIWAHYUKAN ITU kepada orang-orang yang takut akan dihimpunkan kepada Tuhannya (pada hari kiamat). Sedang bagi mereka tidak ada seorang pelindung dan pemberi syafa'at pun selain daripada Allah, agar mereka bertakwa.

QS. Al-Ahqof[46]: 9
قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ وَمَا أَدْرِي مَا يُفْعَلُ بِي وَلَا بِكُمْ ۖ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَىٰ إِلَيَّ وَمَا أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ مُبِينٌ
Katakanlah: "Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul. Dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku. Dan tidak (pula) terhadapmu. AKU TIDAK LAIN HANYALAH MENGIKUTI APA YANG DIWAHYUKAN KEPADAKU DAN AKU TIDAK LAIN HANYALAH SEORANG PEMBERI PERINGATAN YANG MENJELASKAN".

Para pentolan Quraisy dan rival-rival Nabi yang lain, itu menentang beliau ya memang karena Qur’an yang disampaikan. Bukan karena kebiasaan hidup (Sunnah) Nabi. Sunnah-Sunnah Nabi itu hanya akibat dari Qur’an.

QS. Al-A’raf[7]: 203
وَإِذَا لَمْ تَأْتِهِمْ بِآيَةٍ قَالُوا لَوْلَا اجْتَبَيْتَهَا ۚ قُلْ إِنَّمَا أَتَّبِعُ مَا يُوحَىٰ إِلَيَّ مِنْ رَبِّي ۚ هَٰذَا بَصَائِرُ مِنْ رَبِّكُمْ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Dan apabila kamu tidak membawa suatu ayat Qur’an kepada mereka, mereka berkata: "Mengapa tidak kamu buat sendiri ayat itu?" Katakanlah: "Sesungguhnya AKU HANYA MENGIKUT APA YANG DIWAHYUKAN DARI TUHANKU KEPADAKU. Qur’an ini adalah bukti-bukti yang nyata dari Tuhanmu, petunjuk, dan rahmat bagi orang-orang yang beriman."

QS. Yunus[10]: 15
وَإِذَا تُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ آيَاتُنَا بَيِّنَاتٍ ۙ قَالَ الَّذِينَ لَا يَرْجُونَ لِقَاءَنَا ائْتِ بِقُرْآنٍ غَيْرِ هَٰذَا أَوْ بَدِّلْهُ ۚ قُلْ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أُبَدِّلَهُ مِنْ تِلْقَاءِ نَفْسِي ۖ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَىٰ إِلَيَّ ۖ إِنِّي أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّي عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ
Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata: "Datangkanlah Qur’an yang lain dari ini atau gantilah Qur’an itu". Katakanlah: "TIDAKLAH PATUT BAGIKU MENGGANTINYA DARI PIHAK DIRIKU SENDIRI. AKU TIDAK MENGIKUT KECUALI APA YANG DIWAHYUKAN KEPADAKU. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat)".

Qur’an, firman Allah, itu memang telah sempurna. Sejumlah 6000-an ayat. Komplit 30 juz. Tidak kurang. Tidak lebih. Tidak ada wahyu yang lain selain Qur’an. Tidak ada wahyu kedua (second revelation), wahyu ketiga, dan wahyu-wahyu yang lain. “Wahyu itu ya cuma Qur’an ini, Profesor!!!”

QS. Al-An’am[6]: 115
وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا ۚ لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ ۚ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
TELAH SEMPURNALAH KALIMAT TUHANMU (QUR’AN) sebagai kalimat yang benar dan adil. TIDAK ADA YANG DAPAT MERUBAH KALIMAT-KALIMAT-NYA. Dan Dia lah yang Maha Mendengar lagi Maha mengetahui.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

*Saiful Islam (bukan ustadz, tapi santri ndableg yang gampang mencintai dan ngefans kepada siapa pun yang pintar dan cerdas, termasuk kawan-kawan diskusinya).

Rabu, 27 November 2019

MENGGUGAT KEWAHYUAN HADIS


—Saiful Islam—

“Menolak Hadis palsu adalah wajib! Bahkan menurut saya, bukan hanya Hadis palsu. Menolak Hadis (dhaif) lemah, itu juga wajib!!”

Suatu hari, saya iseng mengetik di YouTube, ‘Hadith in History’. Kemudian saya tertarik dengan satu video yang berjudul Part 1 II History of the Compilation of Hadith Literature II Ustadh AbdulRahman Hassan. Saya menikmatinya. Tepat mulai di menit 16.19 dia berbicara tentang posisi Sunnah terhadap Qur’an.

Saya ingat betul saat kuliah di Tafsir Hadis sekitar 2008 - 2012 silam. Bahwa materi kedudukan Sunnah sebagai sumber hukum Islam nomer 2 setelah Qur’an, itu juga pernah saya tulis. Dalam bentuk makalah yang kemudian saya presentasikan kepada kawan-kawan di depan dosen.

Baiklah. Kembali kepada video berdurasi 1 jam lebih di atas. Sang ustadz dengan tegas menyatakan bahwa Sunnah is revelation from Allah. Sunnah adalah wahyu dari Allah. Dengan mengutip pendapat sana-sini, ustadz ini juga menyatakan bahwa Sunnah adalah wahyu kedua (second revelation) setelah Qur’an. Kemudian dia mengutip cuplikan 6 ayat berikut. Akan saya kutipkan semua di sini.

Pertama, QS. Al-Najm[53]: 3 – 4.
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ
3. Dan tiadalah YANG DIUCAPKANNYA ITU (QUR’AN) menurut kemauan hawa nafsunya.

إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ
4. UCAPANNYA ITU (QUR’AN) tiada lain hanyalah WAHYU yang diwahyukan (kepadanya).

Ayat inilah yang paling sering dirancukan oleh sebagian umat Islam. Bahwa semua perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi adalah wahyu. Padahal yang dimaksud wahyu di atas adalah Qur’an. Bukan Sunnah. Apalagi Hadis. Qur’an yang 6000-an ayat, semuanya itu bukan ide Muhammad. Bukan kepentingan Muhammad. Bukan kemauan Muhammad. Teksnya yang 30 juz, itu murni firman Allah. Bukan sabda Nabi meskipun memang disampaikan oleh Nabi.

Hati Nabi tidak bisa mendustakan wahyu itu (QS.53:11). Ketika Nabi menyampaikan Qur’an itu kepada masyarakatnya, barulah beliau mendapat penentangan, kritikan, ejekan, cemoohan, perlawanan, sampai serangan fisik. Ini tergambar dalam ayat berikutnya (QS.53:12). Apalagi di ayat 18-nya jelas Allah menyebut bahwa Nabi telah melihat sebagian ayat-ayat Allah itu.

Kenapa disebut sebagian ayat-ayat? Karena memang Qur’an itu turun kepada Nabi berangsur. Selamat kurang lebih 23 tahun. Ada yang turun sebelum hijrah, disebut ayat makkiyah. Ada yang turun setelah hijrah, disebut ayat madaniyah. Tidak sekaligus brek 30 juz berbentuk buku begitu. Jadi saya melihat Surat Al-Najm itu adalah proses pewahyuan Qur’an. Sama sekali bukan dalil sebagai pembenar bahwa Sunnah adalah wahyu.

Kedua, QS. Al-Nahl[16]: 44
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ ۗ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Keterangan-keterangan dan kitab-kitab. Dan KAMI TURUNKAN KEPADAMU QUR’AN, AGAR KAMU MENERANGKAN PADA UMAT MANUSIA APA YANG TELAH DITURUNKAN KEPADA MEREKA dan supaya mereka memikirkan.

Kalimat litubayyina linnaas (supaya engkau menerangkannya kepada manusia). Ini juga yang akan dibuat rancu. Padahal sudah jelas, ‘Dan kami turunkan kepadamu al-dzikr (Qur’an), supaya kamu menerangkan Qur’an itu kepada manusia.’ Qur’an itu memang disampaikan oleh Nabi. Diucapkan oleh Nabi. Dari mulut Nabi. Tapi itu bukan ide Nabi. Bukan keinginan Nabi. Bukan Sunnah Nabi. Apalagi Hadis Nabi.

Ketiga, QS. Al-Hasyr[59]: 7
مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ ۚ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Apa saja harta rampasan (fai’) yang diberikan Allah kepada rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota, maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. APA YANG DIBERIKAN RASUL KEPADAMU, MAKA TERIMALAH. DAN APA YANG DILARANGNYA BAGIMU, MAKA TINGGALKANLAH. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.

Ayat itu bunyinya yang diberikan RASUL terimalah, yang dilarang RASUL, tinggalkanlah. Kenapa kata rasul saya tulis huruf besar? Muhammad SAW itu disebut RASUL, sehingga menjadi RASULULLAH, itu karena satu hal! Yaitu karena beliau menerima QUR’AN untuk disampaikan kepada umat manusia!! Muhammad SAW disebut RASULULLAH itu bukan karena Hadis!!! Kaum Mukmin memang WAJIB beriman bulat 100 persen bahwa Qur’an adalah firman Allah. Kalaamullah.

Keempat, QS. Ali Imran[3]: 31
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah: "JIKA KAMU (BENAR-BENAR) MENCINTAI ALLAH, IKUTILAH AKU, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Kita memang harus mengikuti Nabi Muhammad kalau benar-benar cinta Allah. Lah, gimana kita bisa cinta Allah kalau tidak mengikuti Muhammad SAW yang amat kita sayangi dan amat kita cintai itu?! Tetapi mengikuti Hadis, itu belum tentu mengikuti Nabi Muhammad. Hadis itu CUMA berita tentang Nabi. Jadi baru berita. Hadis itu baru diduga dari Nabi. zhann. Makanya ada Hadis sahih, ada Hadis hasan (lumayan), ada Hadis lemah, bahkan Hadis fiktif alias Hadis palsu. Insya Allah di depan akan saya bahas lebih detail.

Kelima, QS. Al-Nisa’[4]: 65
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Tuhanmu, MEREKA (PADA HAKEKATNYA) TIDAK BERIMAN HINGGA MEREKA MENJADIKAN KAMU HAKIM TERHADAP PERKARA YANG MEREKA PERSELISIHKAN. Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan. Dan mereka menerima dengan sepenuhnya.

Kalau Nabi masih hidup, tentu saja orang beriman sejati akan bertanya langsung kepada Rasulullah. Pastilah Rasulullah akan memutuskan semua perkara dengan Qur’an. Rasulullah pasti akan selalu merujuk kepada Qur’an. Rasulullah pun akan selalu mengikuti Qur’an (QS.45:18). Tidak ngarang-ngarang ideologi sendiri. Soal teknis, seperti kaifiyat shalat, zakat, puasa, haji, dan semisalnya, itu memang hak prerogatif Nabi. Tetapi ideologi shalat, zakat, puasa, haji, itu sudah umum terdapat dalam Qur’an.

Soal teknis shalat, haji, zakat, dan lain-lain itu, insya Allah akan lebih kita eksplor di depan.

Keenam, QS. Al-Nur[24]: 63
لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا ۚ قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنْكُمْ لِوَاذًا ۚ فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Janganlah kamu jadikan panggilan rasul diantara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), MAKA HENDAKLAH ORANG-ORANG YANG MENYALAHI PERINTAH-NYA TAKUT AKAN DITIMPA COBAAN ATAU DITIMPA AZAB YANG PEDIH.

Lantas ayat itu dibuat untuk menakut-nakuti bahwa siapa yang menolak Hadis secara umum akan murtad. Bagian ini, tidak akan saya tanggapi banyak-banyak. Engkok podo nggak pintere, hehe. Tetapi, menolak Hadis palsu adalah wajib! Bahkan menurut saya, bukan hanya Hadis palsu. Menolak Hadis (dhaif) lemah, itu juga wajib!!

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

*Saiful Islam (bukan ustadz, tapi santri ndableg yang gampang mencintai dan ngefans kepada siapa pun yang pintar dan cerdas, termasuk kawan-kawan diskusinya).

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...