—Saiful Islam—
“Kalau perempuan, budak yang
beruntung adalah budak yang cantik. Budak yang kebetulan memiliki ukuran-ukuran
cantik menurut orang-orang Arab saat itu…”
Setelah melihat semua ayat-ayat
Qur’an tentang perbudakan ini, saya di sini akan mencoba melakukan klasifikasi
budak itu sendiri. Tapi ingat. Sekali lagi, ini bukan berarti Qur’an memotivasi
kaum Mukmin untuk memperbudak orang. Tidak. Qur’an hanya menggambarkan realitas
sosial abad 7 M itu. Merespon sekaligus memberi solusinya. Bahkan bermaksud
untuk melakukan revolusi sosial: membentuk tatanan politik dan ekonomi yang
lebih baik. Serta bahkan melenyapkan perbudakan sama sekali di atas muka bumi.
Secara umum, masyarakat Arab itu
dibagi menjadi dua kelas sosial. Pertama adalah masyarakat merdeka.
Masyarakat merdeka ini, yang jelas lahir dari orang tua yang merdeka. Para
orang tua yang merdeka itu, tentu dari kalangan tokoh masyarakat. Sekelompok
masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk mandiri. Bisa karena kekuatan
hartanya (ekonomi), pengaruhnya (politik), dan kekuatan-kekuatan yang lain yang
bisa mendominasi masyarakat yang lain.
Kedua, adalal kelas
budak. Masyarakat yang dianggap atau dilabel rendah oleh yang lain. Karena
miskin. Lebih tepatnya tidak punya kekuatan apa pun. Baik kekuatan ekonomi,
kekuatan ilmu dan politik sehingga bisa mempunyai pengaruh, dan seterusnya.
Bisa jadi mereka memang lahir dari orang tua dan nenek moyang yang juga budak.
Yang lemah dalam segala hal. Kalau beruntung, satu-satunya kekuatan yang mereka
miliki adalah kekuatan fisik.
Jika yang punya kekuatan fisik itu
laki-laki, maka ia akan bekerja dengan kekuatan fisiknya itu. Dia akan menjual
dirinya sebagai budak. Dia akan bekerja kepada tuannya tanpa bayaran. Jadi
semacam romusha. Kerja paksa. Tapi tidak benar-benar sama dengan kerja paksa.
Sebab dengan menjual dirinya itu—karena lemah ekonomi—ia lantas dihidupi oleh
tuan yang membelinya. Susah senang bersama tuannya. Nah, setelah Qur’an turun,
Kaum yang beriman diperintah untuk berbuat sebaik-baiknya kepada para budak
itu. Bahkan kalau bisa dibebaskan. Jangan dilabel budak lagi.
Tentu secara bertahap. Tidak
langsung. Tidak dadakan. Qur’an tidak frontal ujug-ujug mengatakan:
haram perbudakan! Tidak begitu. Kenapa? Karena memang tatanan ekonomi, sosial, hukum
dan politik saat itu yang belum memungkinkan untuk penghapusan secara frontal. Orang
yang kuat bisa mempekerjakan yang lemah. Alias memanfaatkan yang lemah ekonominya
terutama. Dengan menjadi budak, si budak pun lantas bisa menyambung hidup dan
kehidupan. Peradaban masyarakat Arab abad 7 M itu, memang tidak seperti
sekarang, di Indonesia misalnya.
Sudah sunnatullah (dari sononya
orang bilang), manusia diciptakan ada yang kuat dan ada yang lemah. Ada yang
kaya dan ada yang miskin. Supaya memang yang satu bisa memanfaatkan yang lain (QS.43:32).
Terjadi simbiosis mutualistik. Homo homoni socius. Manusia tidak akan
bisa hidup tanpa bantuan manusia yang lain. Supaya drama pagelaran hidup dan
kehidupan ini terus berputar.
Kalau perempuan, budak yang beruntung
adalah budak yang cantik. Budak yang kebetulan memiliki ukuran-ukuran cantik
menurut orang-orang Arab saat itu. Budak yang seperti ini, akan diperebutkan
oleh orang-orang berduit. Kalau budak laki-laki seperti di atas mesti aktif
menawarkan dirinya untuk menjadi budak kepada seorang tuan, beda dengan budak
cantik ini. Tidak melakukan apa-apa pun, ia akan diburu oleh mereka yang punya
pengaruh tadi. Tuan-tuan Arab yang lebat brengos dan jenggotnya, yang
unta dan domba adalah santapan utamanya. Hehe.
Budak yang cantik ini, akan semakin
beruntung dengan melahirkan anak majikannya. Apalagi anak itu adalah laki-laki.
Pastilah ia akan semakin dipelihara oleh majikannya. Ia akan terbebaskan
melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar. Pekerjaan-pekerjaan keras dan berat yang
harus dilakukan seperti budak-budak yang kebetulan tidak cantik (sekali lagi
versi tradisi orang Arab saat itu). Budak yang cantik ini akan lebih fokus
mengurus anak majikannya. Dan yang lebih penting, dengan dipelihara oleh
seorang majikan yang bonafit itu, status budak yang cantik ini menjadi
meningkat.
Dua kelas sosial semacam itu,
adalah akibat dari sistem hukum, politik, dan ekonomi yang memang masih
sederhana. Masyarakat saat itu hidup berkelompok-kelompok. Bersuku-suku dan
berkabilah-kabilah. Peperangan antar suku merupakan pemandangan yang kerap
terjadi. Suku yang kuat akan memonopoli suku yang lemah. Sementara yang kalah,
akan ditawan dan dijadikan budak. Budak yang ditawan ini bisa bebas. Syaratnya,
sukunya, kabilahnya, atau keluarganya membayar uang tebusan.
Setelah Qur’an turun pun, perang
masih terjadi. Terutama perang antara Nabi dan kaum Mukminin melawan
orang-orang yang ingkar kepada kenabiannya. Baik kaum musyrik, maupun ahli
kitab. Insya Allah, tentang perang ini dibahas di bagian lain.
Maka, status budak itu bisa
dibedakan menjadi tiga. Pertama, menjadi budak karena keturunan. Kedua,
menjadi budak karena menjual dirinya sebagai budak. Dua-duanya adalah akibat
dari lemah tadi. Menjadi budak dengan nurut dan pasrah. Dan ketiga,
menjadi budak karena ditawan akibat dari kalah perang. Ini asalnya orang-orang
kuat yang terpaksa jadi budak. Ya karena kalah perang itu. Atau gampangnya kita
bedakan menjadi dua saja. Yaitu budak karena lemah, dan budak karena kalah
perang.
Nah Menurut saya. Budak tawanan
perang ini, masuk kelompok maa malakat aymaanuhum. ‘Yang dikuasai oleh
tangan kananmu’. Yaitu budak-budak tawanan hasil dari rampasan perang. Misalnya
disebut oleh ayat berikut ini.
QS. Al-Ahzab[33]: 50
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ
إِنَّا أَحْلَلْنَا لَكَ أَزْوَاجَكَ اللَّاتِي آتَيْتَ أُجُورَهُنَّ *وَمَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ* مِمَّا أَفَاءَ
اللَّهُ عَلَيْكَ وَبَنَاتِ عَمِّكَ وَبَنَاتِ عَمَّاتِكَ وَبَنَاتِ خَالِكَ
وَبَنَاتِ خَالَاتِكَ اللَّاتِي هَاجَرْنَ مَعَكَ وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ
وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ يَسْتَنْكِحَهَا
خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ ۗ قَدْ عَلِمْنَا مَا فَرَضْنَا عَلَيْهِمْ
فِي أَزْوَاجِهِمْ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ لِكَيْلَا يَكُونَ عَلَيْكَ
حَرَجٌ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Hai Nabi. Sesungguhnya Kami telah
menghalalkan bagimu isteri-isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan
HAMBA SAHAYA YANG KAMU MILIKI yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam
peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu. Dan (demikian pula) anak-anak
perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara
perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan
anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu
dan perempuan mukminah yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau
mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu. Bukan untuk semua orang mukmin.
Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang
isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi
kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
QS. Al-Nur[24]: 33
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ
لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّىٰ يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَالَّذِينَ يَبْتَغُونَ الْكِتَابَ *مِمَّا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ* فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا ۖ وَآتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي
آتَاكُمْ ۚ وَلَا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى
الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِتَبْتَغُوا عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۚ وَمَنْ يُكْرِهْهُنَّ فَإِنَّ اللَّهَ
مِنْ بَعْدِ إِكْرَاهِهِنَّ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Dan orang-orang yang tidak mampu nikah
hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan
karunia-Nya. Dan BUDAK-BUDAK YANG KALIAN MILIKI yang memginginkan perjanjian,
hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan
pada mereka. Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang
dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak perempuanmu
untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena
kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka,
maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada
mereka) sesudah mereka dipaksa itu.
Sedangkan budak karena lemah, itu
masuk dalam kosa budak sisanya. Yaitu amah (QS.2:221) atau imaa’ (QS.24.32),
rojul (QS.39:29), ‘abd atau ‘ibaad (QS.44:18, QS.24:32, QS.2:221,
QS.26:22), dan roqobah atau riqoob (QS.9:60, QS.5:98, QS.4:92,
QS.58:3, QS.90:13, QS.2:177).
Wah. Tentu saja.
Dengan klasifikasi yang saya lakukan ini, bahasan ini menjadi semakin menarik.
Semakin membutuhkan deskripsi dan argumentasi lagi ke depannya. Tampaknya,
bakal memunculkan bahasan-bahasan baru.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar