—Saiful Islam—
“Karena pijakannya hanya dua (QS.23:6
dan QS.70:30). Berarti ia melupakan yang 13 sisanya…”
Milkul yamin itu
sebenarnya hanya sebuah konsekuensi adanya perang. Pihak yang kalah, akan
ditawan. Menjadi tawanan perang. Nah, milkul yamin itu lah tawanan
perang tersebut. Bisa laki-laki, maupun perempuan. Disamping juga harta-harta
yang lain—harta rampasan perang. Dan ingat, Qur’an telah mengatur bagaimana
kaum Mukmin bersikap kepada tawanan perangnya. Sudah saya ceritakan, cek
tulisan sebelumnya MENGGAULI AHLI KITAB.
Sehingga ketika perang sudah tidak
ada, otomatis milkul yamin ini tidak ada. Tidak ada tawanan perang atau
rampasan perang dalam bentuk apa pun. Secara historis, proses ini memang
terjadi. Jika mengacu perang terakhir Rasulullah, itu adalah Perang Tabuk.
Melawan Romawi dan raja Ghassan sekitar tahun 630 M. Ringkas kata, sekarang
perang sudah tidak ada. Otomatis milkul yamin juga tidak ada.
Apakah ini berarti QS.23:6 itu
terhapus oleh sejarah? Tentu tidak! Kenapa? Karena Qur’an menyemangati untuk
damai jika Nasrani dan Yahudi ingin damai. Qur’an memerintahkan perang, itu
hanya kalau diserang terlebih dahulu (QS.2:190). Jika mereka tidak mengganggu,
maka tidak boleh ada permusuhan kecuali hanya bagi yang zalim (QS.2:193).
Perang itu boleh, hanya jika Qur’an akan dilenyapkan, Nabi dan Kaum Mukmin akan
dibinasakan. Kaum Mukmin, sampai sekarang, itu tidak boleh memerangi kafir yang
damai.
Sehingga ketiadaan milkul yamin
oleh Sejarah, itu sejatinya mendukung semangat Qur’an. Dengan kata lain,
Sejarah mendukung tercapainya semangat Qur’an. Perang sudah tidak ada.
Akibatnya, milkul yamin jadi tidak ada. Nah, berarti semangat dan
cita-cita Qur’an untuk melenyapkan perbudakan di muka bumi sudah sukses! Jadi,
kalimat, “sebagian hukum Qur’an terhapus oleh Sejarah,” itu tidak benar.
“Berarti seks dengan milkul
yamin, tidak ada dan tidak bisa lagi dong?”
Iya. Dan tidak apa-apa. Sebab,
pertama, diganti dengan yang lebih baik. Dengan hukum dan teknis yang lebih
baik. Yaitu pernikahan resmi untuk membangun rumah tangga. Kedua, karena
evolusi sosial itu sebuah niscaya. Sunnatullah. Peradaban dan kebudayaan
manusia itu memang dinamis. Tidak statis. Seks dari pernikahan, jelas-jelas
lebih baik daripada seks dari hasil rampasan perang—milkul yamin. Dan
seks tanpa dengan tawanan perang itu juga Qur’aniy.
Jadi eksistensi milkul yamin
itu sebenarnya hanyalah konsekuensi adanya perang. Kondisi normalnya, milkul
yamin itu memang tidak ada. Tidak eksis. Jadi kalau sekarang sudah tidak
ada milkul yamin kembali, tidak perlu Anda terlalu keberatan.
Sampai-sampai memaksa mencari wujudnya lagi di abad 21 ini. Sebaiknya Anda
mencurigai nafsu seksual Anda sendiri. Hehe.
OK. Itu terkait relevansi Qur’an
terkait shoolih li kull zamaan wa makaan: Qur’an selalu sesuai dan
relevan kapan pun dan dimana pun ke masa depan. Sekarang kita lanjutkan masalah
berikutnya.
Di halaman 177 disebutkan bahwa
Syahrur menolak sinonimitas (kesamaan arti kata) dalam bahasa. Dia membedakan
antara milkul yamin dengan al-zawjiyah.
Meskipun Bahasa Arab menjadi bahasa
sehari-hari Syahrur, menurut saya tidak tepat kalau milkul yamin
dibedakan dengan al-zawjiyah. Mengapa? Karena menurut saya dari analisis
kosa kata zawaja sebelumnya, setiap pasangan yang sudah kontak kelamin
(seks), itu adalah al-zawjiyah. Ini makna umumnya. Jadi, seks dengan
istri itu ya namanya al-zawjiyah, seks dengan milkul yamin, itu
juga al-zawjiyah. Dan al-zawjiyah dalam konteks seks, itu harus
dengan akad nikah.
Lantas di halaman 178 dituliskan
oleh Abdul: “Berdasar landasan hubungan seksual, Syahrūr menemukan dua
kemungkinan: pertama, antara suami dengan istri dan kedua antara suami dengan milk
al-yamīn. Dalam dua kemungkinan tersebut terdapat hubungan seksual. Hal ini
sangat jelas dalam firman-Nya: “...kecuali terhadap istri-istri mereka atau
milk al-yamīn.” di dalam ayat tersebut terdapat pembedaan antara az-zaujiyah
(pasangan suami-istri) dan antara milk al-yamīn dari kedua jenis
(laki-laki dan perempuan), akan tetapi yang mempersatukan di antara kesemuanya
adalah hubungan seksual.”
Ayat yang dikutip di atas,
sebenarnya adalah QS.23:6 di bawah ini.
*QS. Al-Mukminun[23]: 6*
إِلَّا عَلَىٰ
أَزْوَاجِهِمْ أَوْ *مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ* فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
Kecuali (halal seks) terhadap
isteri-isteri mereka atau BUDAK YANG TELAH MEREKA MILIKI. Maka sesungguhnya
mereka dalam hal ini tiada terceIa.
Ayat di atas senada dengan ayat
berikut.
*QS. Al-Ma’arij[70]: 30*
إِلَّا عَلَىٰ
أَزْوَاجِهِمْ أَوْ *مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ* فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
Kecuali terhadap isteri-isteri
mereka atau BUDAK-BUDAK YANG MEREKA MILIKI. Maka sesungguhnya mereka dalam hal
ini tiada tercela.
Milkul yamin dengan al-zawj
itu memang beda secara status sosial. Milkul yamin itu budak rampasan
perang. Sedangkan al-zawj adalah perempuan merdeka. Tetapi seks dengan milkul
yamin dengan seks dengan al-zawj, itu sama saja. Yaitu harus dengan
akad nikah. Ketika sudah akad nikah, maka seks dengan milkul yamin, seks
dengan al-zawj, seks dengan amah, sampai seks dengan roqobah,
itu disebut al-zawjiyah. Sekali lagi, semua ayat Qur’an yang menggunakan
kata zawj dalam konteks perjodohan suami istri, maka harus melalui
nikah.
Bandingkan kesimpulan saya itu
dengan apa yang ditulis Abdul ini: “...kecuali terhadap istri-istri mereka
atau milk al-yamīn.” di dalam ayat tersebut terdapat pembedaan antara az-zaujiyah
(pasangan suami-istri) dan antara milk al-yamīn dari kedua jenis
(laki-laki dan perempuan), akan tetapi yang mempersatukan di antara kesemuanya
adalah hubungan seksual.”
Menurut saya, kesimpulan itu tidak
tepat. Yang mempersatukan di antara kesemuanya, itu adalah akad nikah. Bukan
hubungan seksual! Ini perlu digarisbawahi. Sekali lagi, yang menyamakan antara al-zawj
dengan milkul yamin itu adalah akad nikah. Dan bukan hubungan seksual!!
Tampak di situ, Abdul melompat.
Langsung menyamakan al-zawj dengan milkul yamin dalam konteks
hubungan seksual. Langsung dipahami tanpa akad nikah. Ini artinya ia dan
Syahrur mengabaikan ayat-ayat lain bahwa seks dengan milkul yamin itu
harus menikah dulu. Misalnya, jelas-jelas disebut, “NIKAHILAH MILKUL YAMIN
itu…,” begitu kata QS.4:25. Milkul yamin pada QS.4:3, QS.4:24,
QS.4:25, dan QS.24:33, itu juga konteksnya adalah pernikahan.
Membedakan milkul yamin
dengan al-zawjiyah dengan maksud yang pertama dengan akad nikah, dan
yang kedua tanpa akad nikah, hanya berdasar QS.23:6, itu adalah kesimpulan yang
tidak komprehensif. Kesimpulannya itu dibangun hanya berlandaskan satu atau dua
ayat saja. (QS.23:6 dan QS.70:30). Padahal sudah tahu, ayat yang berbicara milkul
yamin ini ada 15. Berarti melupakan yang 13. Baca lagi tulisan saya
sebelumnya, AYAT-AYAT MILKUL YAMIN.
Penulisnya (sengaja atau tidak)
rancu memahami kata azwaaj (istri-istri) dalam QS.23:6 itu, dengan al-zawjiyah
(pasangan atau perjodohan). Kita tahu dari kalimatnya ini: “di dalam ayat
tersebut terdapat pembedaan antara az-zaujiyah (pasangan suami-istri)
dan antara milk al-yamīn dari kedua jenis (laki-laki dan perempuan),”.
Padahal, al-azwaaj dengan al-zawjiyah
itu beda. Para perempuan yang sudah menikah, itu al-azwaaj. Para
laki-laki yang sudah menikah, itu juga al-azwaaj. Nama dari pernikahan
atau perjodohan mereka itu adalah al-zawjiyah. Seks dengan milkul
yamin dengan didahului akad nikah, itu juga al-zawjiyah. Dengan
demikian, tidak benar kalau dikatakan bahwa dalam QS.23:6 itu terdapat
pembedaan antara al-zawjiyah dan milkul yamin. Dua-duanya harus
tetap wajib dengan akad nikah.
Supaya lebih jelasnya begini.
Pembedaan yang disebut oleh QS.23:6 itu, adalah antara seks dengan azwaaj
dan seks dengan maa malakat aymaan. Atau antara seks dengan azwaaj
dan seks dengan milkul yamin. Qur’an TIDAK menyebut: seks dengan al-zawjiyah
dan seks dengan milkul yamin. Sebagaimana diklasifikasikan oleh Syahrur
dan Abdul itu. Ini perlu diperjelas. Karena akan menghasilkan kesimpulan yang
berbeda. Ketika milkul yamin, itu sudah mereka bedakan dengan al-zawjiyah
dari awal, ya wajar kalau kesimpulannya milkul yamin dianggap bukan
bagian al-zawjiyah.
Kalau klasifikasi oleh QS.23:6, itu
kesimpulannya begini: Baik seks dengan azwaaj maupun seks dengan milkul
yamin, itu tetap dengan akad nikah (al-zawjiyah). Ini setelah
memperhatikan QS.4:25, QS.4:3, QS.4:24, QS.4:25, dan QS.24:33 di atas. Tetapi
klasifikasi oleh Syahrur dan Abdul, akan menghasilkan kesimpulan yang 180
derajat berbeda. Yaitu seks dengan azwaaj itu dengan akad nikah,
sedangkan seks dengan milkul yamin tanpa akad nikah. Kenapa bisa
terjadi? Karena dari awal patokan mereka hanya QS.23:6 saja.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar