Kamis, 07 November 2019

PROBLEM AL-ZAWJIYAH


—Saiful Islam—

“Karena pijakannya hanya dua (QS.23:6 dan QS.70:30). Berarti ia melupakan yang 13 sisanya…”

Milkul yamin itu sebenarnya hanya sebuah konsekuensi adanya perang. Pihak yang kalah, akan ditawan. Menjadi tawanan perang. Nah, milkul yamin itu lah tawanan perang tersebut. Bisa laki-laki, maupun perempuan. Disamping juga harta-harta yang lain—harta rampasan perang. Dan ingat, Qur’an telah mengatur bagaimana kaum Mukmin bersikap kepada tawanan perangnya. Sudah saya ceritakan, cek tulisan sebelumnya MENGGAULI AHLI KITAB.

Sehingga ketika perang sudah tidak ada, otomatis milkul yamin ini tidak ada. Tidak ada tawanan perang atau rampasan perang dalam bentuk apa pun. Secara historis, proses ini memang terjadi. Jika mengacu perang terakhir Rasulullah, itu adalah Perang Tabuk. Melawan Romawi dan raja Ghassan sekitar tahun 630 M. Ringkas kata, sekarang perang sudah tidak ada. Otomatis milkul yamin juga tidak ada.

Apakah ini berarti QS.23:6 itu terhapus oleh sejarah? Tentu tidak! Kenapa? Karena Qur’an menyemangati untuk damai jika Nasrani dan Yahudi ingin damai. Qur’an memerintahkan perang, itu hanya kalau diserang terlebih dahulu (QS.2:190). Jika mereka tidak mengganggu, maka tidak boleh ada permusuhan kecuali hanya bagi yang zalim (QS.2:193). Perang itu boleh, hanya jika Qur’an akan dilenyapkan, Nabi dan Kaum Mukmin akan dibinasakan. Kaum Mukmin, sampai sekarang, itu tidak boleh memerangi kafir yang damai.

Sehingga ketiadaan milkul yamin oleh Sejarah, itu sejatinya mendukung semangat Qur’an. Dengan kata lain, Sejarah mendukung tercapainya semangat Qur’an. Perang sudah tidak ada. Akibatnya, milkul yamin jadi tidak ada. Nah, berarti semangat dan cita-cita Qur’an untuk melenyapkan perbudakan di muka bumi sudah sukses! Jadi, kalimat, “sebagian hukum Qur’an terhapus oleh Sejarah,” itu tidak benar.

“Berarti seks dengan milkul yamin, tidak ada dan tidak bisa lagi dong?”

Iya. Dan tidak apa-apa. Sebab, pertama, diganti dengan yang lebih baik. Dengan hukum dan teknis yang lebih baik. Yaitu pernikahan resmi untuk membangun rumah tangga. Kedua, karena evolusi sosial itu sebuah niscaya. Sunnatullah. Peradaban dan kebudayaan manusia itu memang dinamis. Tidak statis. Seks dari pernikahan, jelas-jelas lebih baik daripada seks dari hasil rampasan perang—milkul yamin. Dan seks tanpa dengan tawanan perang itu juga Qur’aniy.

Jadi eksistensi milkul yamin itu sebenarnya hanyalah konsekuensi adanya perang. Kondisi normalnya, milkul yamin itu memang tidak ada. Tidak eksis. Jadi kalau sekarang sudah tidak ada milkul yamin kembali, tidak perlu Anda terlalu keberatan. Sampai-sampai memaksa mencari wujudnya lagi di abad 21 ini. Sebaiknya Anda mencurigai nafsu seksual Anda sendiri. Hehe.

OK. Itu terkait relevansi Qur’an terkait shoolih li kull zamaan wa makaan: Qur’an selalu sesuai dan relevan kapan pun dan dimana pun ke masa depan. Sekarang kita lanjutkan masalah berikutnya.

Di halaman 177 disebutkan bahwa Syahrur menolak sinonimitas (kesamaan arti kata) dalam bahasa. Dia membedakan antara milkul yamin dengan al-zawjiyah.

Meskipun Bahasa Arab menjadi bahasa sehari-hari Syahrur, menurut saya tidak tepat kalau milkul yamin dibedakan dengan al-zawjiyah. Mengapa? Karena menurut saya dari analisis kosa kata zawaja sebelumnya, setiap pasangan yang sudah kontak kelamin (seks), itu adalah al-zawjiyah. Ini makna umumnya. Jadi, seks dengan istri itu ya namanya al-zawjiyah, seks dengan milkul yamin, itu juga al-zawjiyah. Dan al-zawjiyah dalam konteks seks, itu harus dengan akad nikah.

Lantas di halaman 178 dituliskan oleh Abdul: “Berdasar landasan hubungan seksual, Syahrūr menemukan dua kemungkinan: pertama, antara suami dengan istri dan kedua antara suami dengan milk al-yamīn. Dalam dua kemungkinan tersebut terdapat hubungan seksual. Hal ini sangat jelas dalam firman-Nya: “...kecuali terhadap istri-istri mereka atau milk al-yamīn.” di dalam ayat tersebut terdapat pembedaan antara az-zaujiyah (pasangan suami-istri) dan antara milk al-yamīn dari kedua jenis (laki-laki dan perempuan), akan tetapi yang mempersatukan di antara kesemuanya adalah hubungan seksual.”

Ayat yang dikutip di atas, sebenarnya adalah QS.23:6 di bawah ini.

*QS. Al-Mukminun[23]: 6*
إِلَّا عَلَىٰ أَزْوَاجِهِمْ أَوْ *مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ* فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
Kecuali (halal seks) terhadap isteri-isteri mereka atau BUDAK YANG TELAH MEREKA MILIKI. Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa.

Ayat di atas senada dengan ayat berikut.

*QS. Al-Ma’arij[70]: 30*
إِلَّا عَلَىٰ أَزْوَاجِهِمْ أَوْ *مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ* فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau BUDAK-BUDAK YANG MEREKA MILIKI. Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.

Milkul yamin dengan al-zawj itu memang beda secara status sosial. Milkul yamin itu budak rampasan perang. Sedangkan al-zawj adalah perempuan merdeka. Tetapi seks dengan milkul yamin dengan seks dengan al-zawj, itu sama saja. Yaitu harus dengan akad nikah. Ketika sudah akad nikah, maka seks dengan milkul yamin, seks dengan al-zawj, seks dengan amah, sampai seks dengan roqobah, itu disebut al-zawjiyah. Sekali lagi, semua ayat Qur’an yang menggunakan kata zawj dalam konteks perjodohan suami istri, maka harus melalui nikah.

Bandingkan kesimpulan saya itu dengan apa yang ditulis Abdul ini: “...kecuali terhadap istri-istri mereka atau milk al-yamīn.” di dalam ayat tersebut terdapat pembedaan antara az-zaujiyah (pasangan suami-istri) dan antara milk al-yamīn dari kedua jenis (laki-laki dan perempuan), akan tetapi yang mempersatukan di antara kesemuanya adalah hubungan seksual.”

Menurut saya, kesimpulan itu tidak tepat. Yang mempersatukan di antara kesemuanya, itu adalah akad nikah. Bukan hubungan seksual! Ini perlu digarisbawahi. Sekali lagi, yang menyamakan antara al-zawj dengan milkul yamin itu adalah akad nikah. Dan bukan hubungan seksual!!

Tampak di situ, Abdul melompat. Langsung menyamakan al-zawj dengan milkul yamin dalam konteks hubungan seksual. Langsung dipahami tanpa akad nikah. Ini artinya ia dan Syahrur mengabaikan ayat-ayat lain bahwa seks dengan milkul yamin itu harus menikah dulu. Misalnya, jelas-jelas disebut, “NIKAHILAH MILKUL YAMIN itu…,” begitu kata QS.4:25. Milkul yamin pada QS.4:3, QS.4:24, QS.4:25, dan QS.24:33, itu juga konteksnya adalah pernikahan.

Membedakan milkul yamin dengan al-zawjiyah dengan maksud yang pertama dengan akad nikah, dan yang kedua tanpa akad nikah, hanya berdasar QS.23:6, itu adalah kesimpulan yang tidak komprehensif. Kesimpulannya itu dibangun hanya berlandaskan satu atau dua ayat saja. (QS.23:6 dan QS.70:30). Padahal sudah tahu, ayat yang berbicara milkul yamin ini ada 15. Berarti melupakan yang 13. Baca lagi tulisan saya sebelumnya, AYAT-AYAT MILKUL YAMIN.

Penulisnya (sengaja atau tidak) rancu memahami kata azwaaj (istri-istri) dalam QS.23:6 itu, dengan al-zawjiyah (pasangan atau perjodohan). Kita tahu dari kalimatnya ini: “di dalam ayat tersebut terdapat pembedaan antara az-zaujiyah (pasangan suami-istri) dan antara milk al-yamīn dari kedua jenis (laki-laki dan perempuan),”.

Padahal, al-azwaaj dengan al-zawjiyah itu beda. Para perempuan yang sudah menikah, itu al-azwaaj. Para laki-laki yang sudah menikah, itu juga al-azwaaj. Nama dari pernikahan atau perjodohan mereka itu adalah al-zawjiyah. Seks dengan milkul yamin dengan didahului akad nikah, itu juga al-zawjiyah. Dengan demikian, tidak benar kalau dikatakan bahwa dalam QS.23:6 itu terdapat pembedaan antara al-zawjiyah dan milkul yamin. Dua-duanya harus tetap wajib dengan akad nikah.

Supaya lebih jelasnya begini. Pembedaan yang disebut oleh QS.23:6 itu, adalah antara seks dengan azwaaj dan seks dengan maa malakat aymaan. Atau antara seks dengan azwaaj dan seks dengan milkul yamin. Qur’an TIDAK menyebut: seks dengan al-zawjiyah dan seks dengan milkul yamin. Sebagaimana diklasifikasikan oleh Syahrur dan Abdul itu. Ini perlu diperjelas. Karena akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Ketika milkul yamin, itu sudah mereka bedakan dengan al-zawjiyah dari awal, ya wajar kalau kesimpulannya milkul yamin dianggap bukan bagian al-zawjiyah.

Kalau klasifikasi oleh QS.23:6, itu kesimpulannya begini: Baik seks dengan azwaaj maupun seks dengan milkul yamin, itu tetap dengan akad nikah (al-zawjiyah). Ini setelah memperhatikan QS.4:25, QS.4:3, QS.4:24, QS.4:25, dan QS.24:33 di atas. Tetapi klasifikasi oleh Syahrur dan Abdul, akan menghasilkan kesimpulan yang 180 derajat berbeda. Yaitu seks dengan azwaaj itu dengan akad nikah, sedangkan seks dengan milkul yamin tanpa akad nikah. Kenapa bisa terjadi? Karena dari awal patokan mereka hanya QS.23:6 saja.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...