—Saiful Islam—
“Ternyata, Nabi tidak pernah
bercerai selama hidupnya. Meskipun hanya sekali…”
Terjadi perselisihan di dalam
interaksi antar laki-laki dan perempuan, itu sudah biasa terjadi. Memang sudah
sunnatullah. “Sudah dari sononya,” orang bilang. Apalagi interaksi antar
suami istri. Satu dua perselisihan, percekcokan, dan masalah-masalah semisalnya,
itu memang wajar terjadi. Jangankan manusia biasa. Sekelas Nabi Muhammad pun,
itu tidak steril sama sekali dari permasalahan rumah tangga. Semua itu, memang
manusiawi.
Piring beriak, itu ya karena
berkumpul dengan piring-piring yang lain. Piring yang tenang, itu piring yang
sendirian. Jadi kalau ingin tidak ada masalah dengan pasangan, ya jomblo saja.
Hehe…
Syari’at cerai, itu memang ada dan diatur
di dalam Qur’an. Tetapi, bukan berarti Qur’an menyuruh cerai. Cerai hanyalah
solusi terakhir. Setelah dilakukan berbagai mediasi, dan memang benar-benar
tidak bisa lagi dipersatukan. Maka, cerai memang dibolehkan. Namun, al-shulh
khair, berdamai, itu tetap selalu lebih baik. Begitu kata QS.4:128. Suami
tidak dibolehkan ‘menggantung’ istrinya (QS.4:29). Kalau pun jadi cerai, Allah
akan menjamin rezeki semuanya (QS.4:30).
Sebaliknya. Jika suami istri itu
selalu latihan bersabar, mengalah, mengutamakan pasangannya, ingat tujuan final
pernikahan, maka semua masalah-masalah rumah tangga itu akan berubah menjadi
bumbu-bumbu penyedap bagi menu interaksi sepasang laki-laki dan perempuan itu
sendiri. Agaknya memang, sakiinah, mawaddah, dan rohmah,
itu justru diperoleh dari masalah-masalah rumah tangga yang disabari.
Nabi sendiri bagaimana? Apakah Nabi
pernah menceraikan istrinya? Qur’an tidak pernah menceritakan bahwa Nabi pernah
menceraikan istri-istrinya. Jangankan istri-istrinya. Satu istrinya pun,
Rasulullah tidak pernah menceraikannya. Sudah saya ubek-ubek Qur’an itu.
Tidak ada satu ayat pun yang menginformasikan kepada kita bahwa Nabi pernah
bercerai. Sekali lagi, tidak ada!
Dalam buku Sejarah, yang ditulis
belakangan, barulah ada. Misalnya saya buka buku Al-Thabaqat al-Kabir,
karya Ibnu Sa’ad. Lahir di Bashrah (Irak) tahun 784 M, dan wafat di Baghdad
(Irak) tahun 845 M. Di juz 10 halaman 136 – 144, diceritakan pernikahan Nabi
yang tidak sempurna dan perceraian Nabi dengan beberapa perempuan. Dalam
masalah ini, saya tidak mempercayai semua cerita perceraian Nabi itu. Saya
anggap kejadian itu tidak pernah ada.
Dalam kritik Hadis atau
kritik Sejarah, penolakan seperti ini memang dibenarkan. Tentu, tidak
memungkinkan untuk saya ceritakan semua di sini. Terkait epistemologi Hadis.
Bagaimana seharusnya kita bersikap dan berlaku terhadap Hadis-Hadis yang
disandarkan kepada Nabi.
Bagi saya, yang kebenarannya mutlak
itu hanya Qur’an. Bukan Hadis, bukan juga Sejarah. Umat Islam
memang harus tidak percaya 100 persen pada Hadis maupun Sejarah,
yang semuanya adalah karya penulis yang ditulis belakangan setelah Nabi wafat
(632 M). Ada yang dipercayai—yaitu yang sesuai dengan Qur’an, ada juga yang
mesti ditolak. Nah, kasus perceraian Nabi ini, termasuk Hadis atau Sejarah
yang saya tolak. Untuk kasus ini, saya memakai Qur’an saja yang tidak pernah
menginfokan bahwa Nabi pernah bercerai. Jadi, Nabi memang tidak pernah
bercerai.
Siapa pun, terutama umat Islam,
memang harus berhati-hati mengutip Hadis atau Sejarah terkait dengan kehidupan
Nabi. Mesti dicermati sumbernya. Tidak cukup mengutip Hadis, kemudian dikatakan
qoola Rasulullah. Penyampai Hadis Nabi wajib belajar ‘Ulumul Hadis-nya.
Ini juga termasuk kritikan saya kepada tulisan-tulisan yang beredar di Google.
By the way. Bagaimana
Qur’an menggambarkan seorang laki-laki seharusnya bersikap kepada pasangannya?
Bagaimana Qur’an mendidik suami memperlakukan istrinya? Bagaimana tuntunan
Qur’an terkait cara suami seharusnya bersikap dan berlaku kepada istrinya?
Qur’an melarang suami main paksa
terhadap istrinya. Suami tidak diperkenankan oleh Qur’an menyusahkan istrinya,
misalnya dengan mengambil lagi harta yang telah diberikan. Sebaliknya, Qur’an
mewajibkan suami berinteraksi dengan istri, dengan cara yang sebaik-baiknya. Tidak
boleh gampangan mencarikan istrinya. Bahkan kalau suami mendapat kekurangan
istrinya, Qur’an menganjurkan supaya bersabar (QS.4:19).
Kalau pun harus cerai, maka Qur’an
tetap mengharuskan bagi suami bersikap dan berlaku yang sebaik-baiknya kepada
mantan istrinya itu. Tidak boleh misalnya karena marah dan benci, lantas harta
yang diberikan kepada istrinya itu diambil kembali (QS.4:20-21). Tidak halal
mengambil kembali sesuatu yang telah diberikan kepada mantan istri, begitu kata
QS.2:229.
Jika pernikahan itu telah sempurna,
dan karena masalah yang membuat keduanya terpaksa bercerai, maka suami wajib
memberi suatu pemberian yang patut kepada mantan istrinya tersebut (QS.2:241).
Pun jika seandainya seorang
laki-laki tidak menyempurnakan pernikahannya, dengan menceraikan istrinya
sebelum menentukan mahar dan sebelum berhubungan intim, maka laki-laki tersebut
harus memberikan suatu pemberian yang layak (QS.2:236). Tetapi jika laki-laki
itu sudah janji akan memberikan mahar sejumlah tertentu, kemudian tidak
menyempurnakan pernikahannya, maka ia harus membayar separuh dari nominal yang
telah dijanjikannya itu (QS.2:237).
Kenapa? Karena secara sosial, pihak
perempuan lah yang dirugikan. Statusnya sudah janda. Meskipun ‘janda kembang’.
Jadi pembayaran dari laki-laki yang membatalkan pernikahan itu, seakan-akan
bentuk sebuah ganti rugi. Dan si laki-laki harus menceraikannya dengan cara
yang sebaik-baiknya. Tidak boleh mengumbar kemana-mana, jika misalnya ia
mendapati sesuatu yang dianggap kekurangan dari perempuan yang tidak jadi
dinikahinya tersebut (QS.33:49).
Jika suami telah menceraikan
istrinya, maka suami harus gentleman. Di dalam masa ‘iddah (waktu
menunggu), suami harus gentle memutuskan jadi menceraikan atau rujuk
kembali. Apalagi ketika masa ‘iddah itu telah habis. Suami harus
melapaskannya. Harus merelakannya jika seandainya mantan istrinya itu akan
menikah lagi dengan laki-laki lain. Tidak boleh istri diceraikan, tetapi
ditahan. Kalau rujuk, maka rujuklah yang baik (QS.2:229). Kalau cerai, maka ceraikanlah
dengan cara yang sebaik-baiknya (2:231).
Perlakukan suami yang tidak gentleman
(pecundang), itu tentu akan merugikan istrinya itu. Akan menyengsarakan
perempuan. Dirujuk, tetapi disakiti. Dicerai, tetapi tidak dilepaskan. Tidak
rela kalau istrinya pergi, dan apalagi menikah lagi dengan calon suaminya yang
baru. Tetapi tidak diperlakukan dengan baik. Ini dikritik oleh Qur’an, sebagai
mempermainkan hukum Allah (QS.2:231). Dicerai tetapi tidak dilepaskan, tentu
saja menyulitkan laki-laki lain melamar mantan istrinya itu. Sehingga,
perempuan ini menjadi tidak bisa mendapatkan suami baru yang lebih baik.
Begitu juga. Perempuan yang
diceraikan dalam pernikahan yang tidak sempurna itu, maka tidak ada ‘iddah
baginya. Perempuan seperti ini tidak perlu menunggu tiga kali suci, atau empat
bulan sepuluh hari, untuk misalnya mau menikah lagi dengan laki-laki lain
(QS.33:49). Bahkan dalam ayat ini, laki-laki yang menceraikan itu, diwajibkan
memberikan pemberian (sebagian hartanya) yang patut. Menceraikannya pun harus
dengan cara yang sebaik-baiknya.
QS. Al-Ahzab[33]: 49
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ
أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا ۖ فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ
سَرَاحًا جَمِيلًا
Hai orang-orang yang beriman.
Apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan
mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-sekali TIDAK WAJIB ATAS MEREKA
'IDDAH bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka BERILAH MEREKA PEMBERIAN
YANG PATUT (MUT’AH). Dan lepaskanlah mereka itu DENGAN CARA YANG SEBAIK-
BAIKNYA.
Dari ayat-ayat yang sudah saya
tunjukkan di atas, kita bisa melihat langsung bagaimana Qur’an itu memanusiakan
manusia. Terutama kaum perempuan. Kita bisa melihat dan merasakan sendiri
semangat Qur’an yang mengayomi dan melindungi kaum perempuan itu.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar