Kamis, 14 November 2019

JANDA KEMBANG


—Saiful Islam—

“Ternyata, Nabi tidak pernah bercerai selama hidupnya. Meskipun hanya sekali…”
                                                                                 
Terjadi perselisihan di dalam interaksi antar laki-laki dan perempuan, itu sudah biasa terjadi. Memang sudah sunnatullah. “Sudah dari sononya,” orang bilang. Apalagi interaksi antar suami istri. Satu dua perselisihan, percekcokan, dan masalah-masalah semisalnya, itu memang wajar terjadi. Jangankan manusia biasa. Sekelas Nabi Muhammad pun, itu tidak steril sama sekali dari permasalahan rumah tangga. Semua itu, memang manusiawi.

Piring beriak, itu ya karena berkumpul dengan piring-piring yang lain. Piring yang tenang, itu piring yang sendirian. Jadi kalau ingin tidak ada masalah dengan pasangan, ya jomblo saja. Hehe…

Syari’at cerai, itu memang ada dan diatur di dalam Qur’an. Tetapi, bukan berarti Qur’an menyuruh cerai. Cerai hanyalah solusi terakhir. Setelah dilakukan berbagai mediasi, dan memang benar-benar tidak bisa lagi dipersatukan. Maka, cerai memang dibolehkan. Namun, al-shulh khair, berdamai, itu tetap selalu lebih baik. Begitu kata QS.4:128. Suami tidak dibolehkan ‘menggantung’ istrinya (QS.4:29). Kalau pun jadi cerai, Allah akan menjamin rezeki semuanya (QS.4:30).

Sebaliknya. Jika suami istri itu selalu latihan bersabar, mengalah, mengutamakan pasangannya, ingat tujuan final pernikahan, maka semua masalah-masalah rumah tangga itu akan berubah menjadi bumbu-bumbu penyedap bagi menu interaksi sepasang laki-laki dan perempuan itu sendiri. Agaknya memang, sakiinah, mawaddah, dan rohmah, itu justru diperoleh dari masalah-masalah rumah tangga yang disabari.

Nabi sendiri bagaimana? Apakah Nabi pernah menceraikan istrinya? Qur’an tidak pernah menceritakan bahwa Nabi pernah menceraikan istri-istrinya. Jangankan istri-istrinya. Satu istrinya pun, Rasulullah tidak pernah menceraikannya. Sudah saya ubek-ubek Qur’an itu. Tidak ada satu ayat pun yang menginformasikan kepada kita bahwa Nabi pernah bercerai. Sekali lagi, tidak ada!

Dalam buku Sejarah, yang ditulis belakangan, barulah ada. Misalnya saya buka buku Al-Thabaqat al-Kabir, karya Ibnu Sa’ad. Lahir di Bashrah (Irak) tahun 784 M, dan wafat di Baghdad (Irak) tahun 845 M. Di juz 10 halaman 136 – 144, diceritakan pernikahan Nabi yang tidak sempurna dan perceraian Nabi dengan beberapa perempuan. Dalam masalah ini, saya tidak mempercayai semua cerita perceraian Nabi itu. Saya anggap kejadian itu tidak pernah ada.

Dalam kritik Hadis atau kritik Sejarah, penolakan seperti ini memang dibenarkan. Tentu, tidak memungkinkan untuk saya ceritakan semua di sini. Terkait epistemologi Hadis. Bagaimana seharusnya kita bersikap dan berlaku terhadap Hadis-Hadis yang disandarkan kepada Nabi.

Bagi saya, yang kebenarannya mutlak itu hanya Qur’an. Bukan Hadis, bukan juga Sejarah. Umat Islam memang harus tidak percaya 100 persen pada Hadis maupun Sejarah, yang semuanya adalah karya penulis yang ditulis belakangan setelah Nabi wafat (632 M). Ada yang dipercayai—yaitu yang sesuai dengan Qur’an, ada juga yang mesti ditolak. Nah, kasus perceraian Nabi ini, termasuk Hadis atau Sejarah yang saya tolak. Untuk kasus ini, saya memakai Qur’an saja yang tidak pernah menginfokan bahwa Nabi pernah bercerai. Jadi, Nabi memang tidak pernah bercerai.

Siapa pun, terutama umat Islam, memang harus berhati-hati mengutip Hadis atau Sejarah terkait dengan kehidupan Nabi. Mesti dicermati sumbernya. Tidak cukup mengutip Hadis, kemudian dikatakan qoola Rasulullah. Penyampai Hadis Nabi wajib belajar ‘Ulumul Hadis-nya. Ini juga termasuk kritikan saya kepada tulisan-tulisan yang beredar di Google.

By the way. Bagaimana Qur’an menggambarkan seorang laki-laki seharusnya bersikap kepada pasangannya? Bagaimana Qur’an mendidik suami memperlakukan istrinya? Bagaimana tuntunan Qur’an terkait cara suami seharusnya bersikap dan berlaku kepada istrinya?

Qur’an melarang suami main paksa terhadap istrinya. Suami tidak diperkenankan oleh Qur’an menyusahkan istrinya, misalnya dengan mengambil lagi harta yang telah diberikan. Sebaliknya, Qur’an mewajibkan suami berinteraksi dengan istri, dengan cara yang sebaik-baiknya. Tidak boleh gampangan mencarikan istrinya. Bahkan kalau suami mendapat kekurangan istrinya, Qur’an menganjurkan supaya bersabar (QS.4:19).

Kalau pun harus cerai, maka Qur’an tetap mengharuskan bagi suami bersikap dan berlaku yang sebaik-baiknya kepada mantan istrinya itu. Tidak boleh misalnya karena marah dan benci, lantas harta yang diberikan kepada istrinya itu diambil kembali (QS.4:20-21). Tidak halal mengambil kembali sesuatu yang telah diberikan kepada mantan istri, begitu kata QS.2:229.

Jika pernikahan itu telah sempurna, dan karena masalah yang membuat keduanya terpaksa bercerai, maka suami wajib memberi suatu pemberian yang patut kepada mantan istrinya tersebut (QS.2:241).

Pun jika seandainya seorang laki-laki tidak menyempurnakan pernikahannya, dengan menceraikan istrinya sebelum menentukan mahar dan sebelum berhubungan intim, maka laki-laki tersebut harus memberikan suatu pemberian yang layak (QS.2:236). Tetapi jika laki-laki itu sudah janji akan memberikan mahar sejumlah tertentu, kemudian tidak menyempurnakan pernikahannya, maka ia harus membayar separuh dari nominal yang telah dijanjikannya itu (QS.2:237).

Kenapa? Karena secara sosial, pihak perempuan lah yang dirugikan. Statusnya sudah janda. Meskipun ‘janda kembang’. Jadi pembayaran dari laki-laki yang membatalkan pernikahan itu, seakan-akan bentuk sebuah ganti rugi. Dan si laki-laki harus menceraikannya dengan cara yang sebaik-baiknya. Tidak boleh mengumbar kemana-mana, jika misalnya ia mendapati sesuatu yang dianggap kekurangan dari perempuan yang tidak jadi dinikahinya tersebut (QS.33:49).

Jika suami telah menceraikan istrinya, maka suami harus gentleman. Di dalam masa ‘iddah (waktu menunggu), suami harus gentle memutuskan jadi menceraikan atau rujuk kembali. Apalagi ketika masa ‘iddah itu telah habis. Suami harus melapaskannya. Harus merelakannya jika seandainya mantan istrinya itu akan menikah lagi dengan laki-laki lain. Tidak boleh istri diceraikan, tetapi ditahan. Kalau rujuk, maka rujuklah yang baik (QS.2:229). Kalau cerai, maka ceraikanlah dengan cara yang sebaik-baiknya (2:231).

Perlakukan suami yang tidak gentleman (pecundang), itu tentu akan merugikan istrinya itu. Akan menyengsarakan perempuan. Dirujuk, tetapi disakiti. Dicerai, tetapi tidak dilepaskan. Tidak rela kalau istrinya pergi, dan apalagi menikah lagi dengan calon suaminya yang baru. Tetapi tidak diperlakukan dengan baik. Ini dikritik oleh Qur’an, sebagai mempermainkan hukum Allah (QS.2:231). Dicerai tetapi tidak dilepaskan, tentu saja menyulitkan laki-laki lain melamar mantan istrinya itu. Sehingga, perempuan ini menjadi tidak bisa mendapatkan suami baru yang lebih baik.

Begitu juga. Perempuan yang diceraikan dalam pernikahan yang tidak sempurna itu, maka tidak ada ‘iddah baginya. Perempuan seperti ini tidak perlu menunggu tiga kali suci, atau empat bulan sepuluh hari, untuk misalnya mau menikah lagi dengan laki-laki lain (QS.33:49). Bahkan dalam ayat ini, laki-laki yang menceraikan itu, diwajibkan memberikan pemberian (sebagian hartanya) yang patut. Menceraikannya pun harus dengan cara yang sebaik-baiknya.

QS. Al-Ahzab[33]: 49
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا ۖ فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
Hai orang-orang yang beriman. Apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-sekali TIDAK WAJIB ATAS MEREKA 'IDDAH bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka BERILAH MEREKA PEMBERIAN YANG PATUT (MUT’AH). Dan lepaskanlah mereka itu DENGAN CARA YANG SEBAIK- BAIKNYA.

Dari ayat-ayat yang sudah saya tunjukkan di atas, kita bisa melihat langsung bagaimana Qur’an itu memanusiakan manusia. Terutama kaum perempuan. Kita bisa melihat dan merasakan sendiri semangat Qur’an yang mengayomi dan melindungi kaum perempuan itu.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...