Senin, 04 November 2019

MAJIKAN PEREMPUAN


—Saiful Islam—

“Tentu, kesimpulan ini 180 derajat berbeda dengan apa yang ditulis dalam Disertasi tersebut…”

Disebut di dalam Disertasi Abdul Aziz yang berjudul Konsep Milk Al-Yamin Muhammad Syahrur Sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Non Marital itu. Halaman 174. Bahwa tidak diragukan lagi, para ahli tafsir dan pendukung asbab al-nuzul berhenti pada problematika QS.24:31 dan QS.33:55. Dikutip sepotong. Di sini, saya kutip semua.

QS. Al-Nur[24]: 31
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya. Dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau para perempuan muslimah, atau BUDAK-BUDAK YANG MEREKA MILIKI, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman. Supaya kamu beruntung.

QS. Al-Ahzab[33]: 55
لَا جُنَاحَ عَلَيْهِنَّ فِي آبَائِهِنَّ وَلَا أَبْنَائِهِنَّ وَلَا إِخْوَانِهِنَّ وَلَا أَبْنَاءِ إِخْوَانِهِنَّ وَلَا أَبْنَاءِ أَخَوَاتِهِنَّ وَلَا نِسَائِهِنَّ وَلَا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ ۗ وَاتَّقِينَ اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدًا
Tidak ada dosa atas isteri-isteri Nabi (untuk berjumpa) dengan bapak-bapak mereka, anak-anak laki-laki mereka, saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara mereka yang perempuan yang beriman dan HAMBA SAHAYA YANG MEREKA MILIKI, dan bertakwalah kamu (hai isteri-isteri Nabi) kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha menyaksikan segala sesuatu.

Kemudian disebutkan begini: Problemnya adalah bahwa sistem perbudakan memperbolehkan (memberikan hak) pada laki-laki untuk menyetubuhi milk al-yamin-nya, tetapi tidak memberikan hak yang sama pada perempuan untuk menyetubuhi milk al-yamin-nya. Hal ini karena hukum ditetapkan atas dasar sistem patriarkhis dalam masyarakat, dan berdasarkan stigma masyarakat pada perempuan. Tidak diragukan bahwa mereka masih berada dalam kebingungan hingga saat ini ketika dihadapkan pada masalah yang ditimbulkan pada kekukuhan mereka bahwa milk al-yamin adalah budak dan tidak dapat diartikan yang lain.

Pertama kali yang perlu disampaikan. Fokus saya di sini, tidak pro maupun kontra kepada pihak yang dikritik oleh Syahrur maupun Abdul. Saya tidak ada urusan dengan para ahli tafsir dan pendukung asbab al-nuzul seperti yang disebut. Fokus saya adalah menanggapi dan mengritisi pemikiran Syahrur atau Abdul. Dengan berdasar pada analisis ayat-ayat Qur’an dan analisis kosa kata Qur’an itu sendiri.

By the way. Pertama. Kalimat, “Problemnya adalah bahwa sistem perbudakan memperbolehkan (memberikan hak) pada laki-laki untuk menyetubuhi milk al-yamin-nya, tetapi tidak memberikan hak yang sama pada perempuan untuk menyetubuhi milk al-yamin-nya. Hal ini karena hukum ditetapkan atas dasar sistem patriarkhis dalam masyarakat, dan berdasarkan stigma masyarakat pada perempuan.” Yang jelas, ini bukan sistem perbudakan menurut Qur’an.

Meski begitu, semua ayat-ayat Qur’an tentang perbudakan, itu memang tidak ada yang membolehkan perempuan berhubungan intim dengan budaknya. Jangankan berhubungan intim. Perempuan menikahi budaknya saja, itu haram. Jika si tuan perempuan itu mempunyai suami. “Diharamkan juga menikahi perempuan yang bersuami,” begitu kata QS.4:24. Jangankan budak, laki-laki merdeka pun, itu haram menikahi perempuan yang sudah bersuami. Jangankan tuan perempuan itu adalah istri Nabi. Tuan perempuan mantan budak yang sudah bersuami, pun itu haram dinikahi oleh laki-laki siapa pun. Dengan status sosial apa pun.

Jadi. Tuan perempuan haram menikahi dan menggauli budak laki-lakinya, itu hukum bukan atas dasar sistem patriarki dalam masyarakat. Juga bukan karena stigma masyarakat pada perempuan. Tapi memang karena dilarang oleh QS.4:24.

Secara akal sehat, juga tidak mungkin. Ada seorang laki-laki yang sami’naa wa athao’naa jika istrinya digauli oleh budaknya. Poliandri, secara akal sehat, itu memang bertentangan dengan hati nurani. Bayangkan kalau si perempuan punya anak. Pastinya akan kacau itu anak siapa. Kacau pula nasabnya, hak warisnya, mahramnya, dan lain seterusnya. Ayam jago saja, itu kalau ada betina yang sedang dikawin oleh jago lain di depannya, ditablok.

Kedua. Kalimat maa malakat aymaanuhunna, dalam QS.24:31 yang berarti budak-budak yang dimiliki oleh perempuan muslimah. Itu tidak harus berarti budak-budak laki-laki. Maa malakat aymaanuhunna, itu bisa perempuan. Bahkan jika dilihat konteksnya, menurut saya lebih pas adalah budak-budak perempuan.

Mereka adalah budak-budak perempuan hasil rampasan perang suami mereka. Budak-budak itu kemudian dipelihara oleh suami mereka di rumahnya. Untuk menemani dan melayani istri-istrinya. Budak-budak perempuan tersebut diperlakukan dengan baik. Jadi para perempuan itu boleh menampakkan perhiasannya kepada para budak-budaknya.

“Loh, Mas. Kalau diartikan budak-budak perempuan, pastinya tidak perlu disebut dalam konteks perhiasan atau aurat perempuan?”

“Ya tidak begitu. Meski ini konteksnya perhiasan dan aurat perempuan, jelas-jelas QS.24:31 masih menyebut: aw nisaa’ihinna (atau sesama perempuan). Perempuan muslimah itu memang boleh menampakkan perhiasannya itu kepada sesama perempuan. Baik itu kepada perempuan merdeka, maupun budak-budak perempuan yang mereka miliki.”

Kalau budak-budak itu laki-laki dewasa, harus dipastikan tidak mempunyai maksud menikahi atau pun berhubungan intim dengan tuan perempuannya itu. “Ghayr uliy al-irbah min al-rijaal,” begitu kata QS.24:31 di atas. Misalnya dibuat sistem yang menutup celah terjadinya perselingkuhan. Kalau sekiranya tidak bisa memastikan, maka tidak diperbolehkan. Sebab normalnya laki-laki dewasa itu bernafsu kalau melihat aurat perempuan.

Begitu juga maa malakat aymaanuhunna dalam QS.33:55 yang berarti budak-budak yang dimiliki oleh istri-istri Nabi. Mereka adalah budak-budak perempuan. Yang diperlakukan baik untuk menemani dan melayani istri-istri beliau. Tentu kesimpulan saya ini berbeda 180 derajat dengan apa yang ditulis di Disertasi tersebut. Yang seakan-akan maa malakat aymaanuhunna di situ adalah budak laki-laki.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...