—Saiful Islam—
“Tentu, kesimpulan ini 180 derajat
berbeda dengan apa yang ditulis dalam Disertasi tersebut…”
Disebut di dalam Disertasi Abdul
Aziz yang berjudul Konsep Milk Al-Yamin Muhammad Syahrur Sebagai Keabsahan
Hubungan Seksual Non Marital itu. Halaman 174. Bahwa tidak diragukan lagi, para
ahli tafsir dan pendukung asbab al-nuzul berhenti pada problematika
QS.24:31 dan QS.33:55. Dikutip sepotong. Di sini, saya kutip semua.
QS. Al-Nur[24]: 31
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ
يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ
زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ
ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا
لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ
أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي
إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ
أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ
مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ
Katakanlah kepada wanita yang
beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah
mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya. Dan janganlah menampakkan
perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka,
atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau para perempuan muslimah, atau
BUDAK-BUDAK YANG MEREKA MILIKI, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai
keinginan (terhadap perempuan), atau anak-anak yang belum mengerti tentang
aurat perempuan. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan
yang mereka sembunyikan.” Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai
orang-orang yang beriman. Supaya kamu beruntung.
QS. Al-Ahzab[33]: 55
لَا جُنَاحَ عَلَيْهِنَّ
فِي آبَائِهِنَّ وَلَا أَبْنَائِهِنَّ وَلَا إِخْوَانِهِنَّ وَلَا أَبْنَاءِ
إِخْوَانِهِنَّ وَلَا أَبْنَاءِ أَخَوَاتِهِنَّ وَلَا نِسَائِهِنَّ وَلَا مَا
مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ ۗ وَاتَّقِينَ اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ
شَيْءٍ شَهِيدًا
Tidak ada dosa atas isteri-isteri Nabi
(untuk berjumpa) dengan bapak-bapak mereka, anak-anak laki-laki mereka, saudara
laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara laki-laki mereka, anak laki-laki
dari saudara mereka yang perempuan yang beriman dan HAMBA SAHAYA YANG MEREKA
MILIKI, dan bertakwalah kamu (hai isteri-isteri Nabi) kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha menyaksikan segala sesuatu.
Kemudian disebutkan begini: Problemnya
adalah bahwa sistem perbudakan memperbolehkan (memberikan hak) pada laki-laki
untuk menyetubuhi milk al-yamin-nya, tetapi tidak memberikan hak yang
sama pada perempuan untuk menyetubuhi milk al-yamin-nya. Hal ini karena
hukum ditetapkan atas dasar sistem patriarkhis dalam masyarakat, dan
berdasarkan stigma masyarakat pada perempuan. Tidak diragukan bahwa mereka
masih berada dalam kebingungan hingga saat ini ketika dihadapkan pada masalah
yang ditimbulkan pada kekukuhan mereka bahwa milk al-yamin adalah budak
dan tidak dapat diartikan yang lain.
Pertama kali yang perlu disampaikan.
Fokus saya di sini, tidak pro maupun kontra kepada pihak yang dikritik oleh
Syahrur maupun Abdul. Saya tidak ada urusan dengan para ahli tafsir dan
pendukung asbab al-nuzul seperti yang disebut. Fokus saya adalah
menanggapi dan mengritisi pemikiran Syahrur atau Abdul. Dengan berdasar pada
analisis ayat-ayat Qur’an dan analisis kosa kata Qur’an itu sendiri.
By the way. Pertama. Kalimat,
“Problemnya adalah bahwa sistem perbudakan memperbolehkan (memberikan hak) pada
laki-laki untuk menyetubuhi milk al-yamin-nya, tetapi tidak memberikan
hak yang sama pada perempuan untuk menyetubuhi milk al-yamin-nya. Hal
ini karena hukum ditetapkan atas dasar sistem patriarkhis dalam masyarakat, dan
berdasarkan stigma masyarakat pada perempuan.” Yang jelas, ini bukan sistem
perbudakan menurut Qur’an.
Meski begitu, semua ayat-ayat Qur’an
tentang perbudakan, itu memang tidak ada yang membolehkan perempuan berhubungan
intim dengan budaknya. Jangankan berhubungan intim. Perempuan menikahi budaknya
saja, itu haram. Jika si tuan perempuan itu mempunyai suami. “Diharamkan
juga menikahi perempuan yang bersuami,” begitu kata QS.4:24. Jangankan
budak, laki-laki merdeka pun, itu haram menikahi perempuan yang sudah bersuami.
Jangankan tuan perempuan itu adalah istri Nabi. Tuan perempuan mantan budak
yang sudah bersuami, pun itu haram dinikahi oleh laki-laki siapa pun. Dengan status
sosial apa pun.
Jadi. Tuan perempuan haram menikahi
dan menggauli budak laki-lakinya, itu hukum bukan atas dasar sistem patriarki
dalam masyarakat. Juga bukan karena stigma masyarakat pada perempuan. Tapi
memang karena dilarang oleh QS.4:24.
Secara akal sehat, juga tidak
mungkin. Ada seorang laki-laki yang sami’naa wa athao’naa jika istrinya
digauli oleh budaknya. Poliandri, secara akal sehat, itu memang bertentangan
dengan hati nurani. Bayangkan kalau si perempuan punya anak. Pastinya akan
kacau itu anak siapa. Kacau pula nasabnya, hak warisnya, mahramnya, dan lain
seterusnya. Ayam jago saja, itu kalau ada betina yang sedang dikawin oleh jago
lain di depannya, ditablok.
Kedua. Kalimat maa malakat
aymaanuhunna, dalam QS.24:31 yang berarti budak-budak yang dimiliki oleh
perempuan muslimah. Itu tidak harus berarti budak-budak laki-laki. Maa malakat
aymaanuhunna, itu bisa perempuan. Bahkan jika dilihat konteksnya, menurut
saya lebih pas adalah budak-budak perempuan.
Mereka adalah budak-budak perempuan
hasil rampasan perang suami mereka. Budak-budak itu kemudian dipelihara oleh suami
mereka di rumahnya. Untuk menemani dan melayani istri-istrinya. Budak-budak
perempuan tersebut diperlakukan dengan baik. Jadi para perempuan itu boleh
menampakkan perhiasannya kepada para budak-budaknya.
“Loh, Mas. Kalau diartikan
budak-budak perempuan, pastinya tidak perlu disebut dalam konteks perhiasan
atau aurat perempuan?”
“Ya tidak begitu. Meski ini
konteksnya perhiasan dan aurat perempuan, jelas-jelas QS.24:31 masih menyebut: aw
nisaa’ihinna (atau sesama perempuan). Perempuan muslimah itu memang boleh
menampakkan perhiasannya itu kepada sesama perempuan. Baik itu kepada perempuan
merdeka, maupun budak-budak perempuan yang mereka miliki.”
Kalau budak-budak itu laki-laki
dewasa, harus dipastikan tidak mempunyai maksud menikahi atau pun berhubungan
intim dengan tuan perempuannya itu. “Ghayr uliy al-irbah min al-rijaal,”
begitu kata QS.24:31 di atas. Misalnya dibuat sistem yang menutup celah
terjadinya perselingkuhan. Kalau sekiranya tidak bisa memastikan, maka tidak
diperbolehkan. Sebab normalnya laki-laki dewasa itu bernafsu kalau melihat
aurat perempuan.
Begitu juga maa malakat
aymaanuhunna dalam QS.33:55 yang berarti budak-budak yang dimiliki oleh
istri-istri Nabi. Mereka adalah budak-budak perempuan. Yang diperlakukan baik
untuk menemani dan melayani istri-istri beliau. Tentu kesimpulan saya ini
berbeda 180 derajat dengan apa yang ditulis di Disertasi tersebut. Yang
seakan-akan maa malakat aymaanuhunna di situ adalah budak laki-laki.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar