—Saiful Islam—
“Bentuk-bentuk hubungan seksual non marital yang lain sepanjang
memenuhi syarat sebagai milk al-yamīn yang digagas oleh Muḥammad Syaḥrūr dapat dikelompokkan ke
dalam akad ihşān, katanya…"
Di halaman 184, dalam Disertasi
tersebut, Syahrur lantas memberi definisi milkul yamin itu. Sebagaimana
dikutip dan diamini oleh Abdul. Berikut ini:
هوعلاقة طوعية
بين رجل بالغ
عاقل وامرأة بالغة
عاقلة ليس فيها
صهر
ولا نسب
ولا نية في
الإنجاب والاستمرار، وتقتصر
على ممارسة الجنس
بين الطرفين. وقد تكون المرأة
ملكا ليمين الرجل
فينفق عليها، ومثاله
زواج
المتعة. وقد
يكون الرجل ملكا
ليمين المرأة فلا
تطلب منه أي
نفقة أو سكن
ومثاله زواج
المسيار.
وقد يكون ملك
يمين متبادل بينهما،
ومثاله زواج
)الفرند (
Hubungan sukarela antara seorang
pria dewasa dan seorang wanita dewasa, bukan hubungan kekerabatan, keturunan
atau motivasi berkembang biak dan untuk selamanya, terbatas pada hubungan seks
antara kedua belah pihak. Seorang wanita terkadang menjadi milik seorang pria
kemudian menerima pemberian darinya, misalnya dalam kasus nikah mut‘ah. Seorang pria terkadang menjadi
milik seorang wanita di mana pihak wanitanya tidak menuntut nafkah atau rumah,
misalnya dalam kasus nikah misyār. Atau ada
kalanya saling memiliki di antara mereka, misalnya dalam kasus nikah friend (persahabatan).
Di kesempatan lain, Syahrur
mengatakan begini:
لقد أحل
االله سبحانه لنا
نوعين من النكاح )العلاقة الجنسية( وهما: الزواج
وملك اليمين. فالزوجة ليست ملك
يمين ، وملك
اليمين ليست زوجة
أو
زوجا.ً
ولايوجد حالة ثالثة
ابداً.
ونكاح المتعة هو
من حالات ملك
اليمين
ولاغبار عليه
ابداً، ولكنه ليس
بزواج وليس بحرام .
وكذلك زواج
المسيار هو ملك
يمين وليس بزواج،
وفيه الرجل ملك
يمين
للمرأة. أما
نكاح المتعة ففيه
المرأة ملك يمين
الرجل، وكلاهما لاغبار
عليه
Allah swt. telah menghalalkan dua
bentuk pernikahan (hubungan seksual), yaitu: perkawinan dan milk al-yamīn. Perkawinan
bukan milk al-yamīn. Milk al-yamīn bukan perkawinan. Tidak diketemukan
bentuk hubungan seksual yang ketiga selamanya. Nikah mut‘ah termasuk bagian dari milk al-yamīn adalah sangat jelas. Akan tetapi, mut‘ah bukan perkawinan dan tidak
dilarang. Demikian pula dengan nikah misyār ialah milk al-yamīn dan bukan perkawinan, dalam hal ini
si laki-laki adalah milk al-yamīn-nya si perempuan. Adapun nikah mut‘ah si perempuan adalah milk al-yamīn-nya si laki-laki. Keduanya sangat
terang benderang.
================
Dari dua definisi yang diberikan
oleh Syahrur di atas, tampak tiga model hubungan seksual tanpa nikah yang ia
halalkan. Tentu saja, ini hanyalah konsekuensi pembedaan antara al-zawjiyah
dengan milkul yamin yang dibuatnya sendiri di awal. Sebagaimana yang
telah saya ceritakan sebelumnya.
Artinya, kesimpulan itu hanya
akibat dari premis-premis yang telah dia buat sebelumnya. Ketika
premis-premisnya bisa kita runtuhkan, dengan sendirinya kesimpulannya otomatis
juga runtuh. Ketika kesimpulannya runtuh, maka sejatinya tiga model hubungan seksual
non marital yang dihalalkannya, itu juga otomatis runtuh.
Tiga model hubungan seksual tanpa
nikah (non marital) yang oleh Syahrur dan Abdul halalkan itu adalah nikah mut’ah,
nikah misyar, dan nikah friend (persahabatan). Bahkan oleh Abdul
dalam Disertasinya itu, diperluas (ekstensi) sampai 9 model. Yaitu ditambah
nikah muhallil, nikah ‘urfi, nikah al-misfar, nikah al-hibah,
al-musakanah (kumpul kebo), dan akad ihshon.
Sejatinya, kalau Kawan-Kawan
membaca tulisan saya ini dari awal, pastinya akan langsung bisa menyimpulkan. Bahwa
semua model hubungan seksual yang 9 itu tidak ada dasarnya dari Qur’an. Kalau
kita membaca Qur’an secara holistik (menyeluruh) itu, pastilah akan meruntuhkan
teori milkul yamin ala Syahrur yang diamini Abdul tersebut.
Saya coba ringkaskan dulu di sini. Berhubung
keterbatasan tempat, saya akan tanggapi lebih gamblang di belakang.
Pertama, nikah mut’ah.
Ini dipahami sebagai perkawinan yang hanya untuk waktu tertentu. Nikah kontrak.
Syarat-syarat sahnya lengkap. Hanya ada tambahan waktu tempo. Artinya, ketika
waktu temponya habis, atau si laki-laki mempersingkatnya, otomatis hubungan
keduanya berakhir. Putus. Cerai. Atau apalah namanya. Dalil yang digunakan
adalah QS.4:24.
Kedua, nikah muhallil.
Nikah yang bertujuan untuk menghalalkan istri yang ditalak tiga. Atau cerai
tiga kali. Laki-laki lain yang mengawini mantan istri laki-laki tersebut
disebut muḥallil (orang yang
menghalalkan). Sedangkan laki-laki mantan suaminya disebut muḥallal lah (orang yang
dihalalkan). Ini semacam solusi dari larangan QS.2:230, supaya istri yang
dicerai tiga kali bisa rujuk kepada suami yang pertama.
Ketiga, nikah ‘urfi.
Tidak ada ikatan tertulis yang mengikat kedua belah pihak. Biasanya tanpa wali
dan dilakukan secara rahasia. Prakteknya mirip ziwaj mut’ah atau kawin
kontrak.
Keempat, nikah misyar.
Yaitu pernikahan
yang memenuhi segala rukun dan syaratnya, dilakukan karena suka sama suka, ada
walinya, ada saksinya, dan ada maharnya. Hanya saja, sang istri merelakan
beberapa haknya tidak dipenuhi oleh suaminya, misalnya hak nafkah, hak gilir,
atau tempat tinggal.
Kelima,
nikah misfar. Yaitu nikah karena alasan bepergian. Ada kesamaan degnan
nikah misyar. Yaitu baik nikah misfār maupun nikah misyār, seorang
istri tidak membebani suami. Ia membebaskan suami dari tanggungjawab finansial
dan melepaskan beberapa haknya.
Keenam, nikah friend. Dipahami oleh Abdul sebagai hubungan
sukarela antara seorang pria dewasa yang berakal sehat dan wanita dewasa yang
berakal sehat, bukan untuk berkeluarga, berketurunan dan berkembang biak,
melainkan sebatas pada hubungan seksual antara kedua belah pihak atas dasar
persahabatan. Ini kalau istilah anak muda: Teman Tapi Mesra (TTM).
Ketujuh,
nikah hibah. Yaitu sebuah perkawinan yang mana seorang perempuan
menyerahkan dirinya kepada seorang lak-laki, tanpa mahar. Seperti seorang perempuan berkata kepada seorang laki-laki: “Aku
menyerahkan diriku untukmu.” Menurut Abdul, bahwa bentuk perkawinan ini dapat
dikategorikan sebagai salah satu bentuk hubungan seksual non marital yang sah. Dasarnya
adalah kriteria keumuman akad ihshoon yang dikemukakan oleh Syahrur.
Kedelapan, adalah al-musakanah. Yaitu dua orang
berlainan jenis yang hidup serumah tanpa ikatan perkawinan. Di Indonesia
istilah ini berkembang menjadi “kumpul kebo”.
Kesembilan, akad ihshon. Abdul mengutip Syahrur: “Syarat-syarat sahnya perkawinan misyār adalah bukan seperti syarat-syarat perkawinan resmi pada umumnya,
karena tujuannya bukanlah menjalin hubungan kekeluargaan, meneruskan keturunan
dan membina keluarga, tetapi murni hubungan seksual, dan ia tidak termasuk
kategori perkawinan resmi meskipun pada saat yang sama ia tidak haram. Menurut
kami, hal itu adalah salah satu kasus milk al-yamīn kontemporer, dan kami menyebutnya dengan “aqd ihşān” sebagai ganti dari “perkawinan
misyār” atau “perkawinan
mut’ah”.”
Kemudian Abdul menyatakan begini: “Oleh karena itu, penulis dapat menyimpulkan bahwa di samping
nikah-nikah sebagaimana telah penulis uraikan, bentuk-bentuk hubungan seksual non
marital yang lain sepanjang memenuhi syarat sebagai milk al-yamīn yang digagas oleh Muḥammad Syaḥrūr dapat dikelompokkan ke
dalam akad ihşān.”
Lantas
Abdul menulis: “Dalam sejarah, bentuk-bentuk pernikahan selain yang telah
penulis uraikan di atas, masih banyak lagi. Hal ini membuktikan betapa inovatif
dan kayanya manusia dalam budaya hubungan seksual, baik dalam bentuk marital
maupun non marital.”
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar