Sabtu, 09 November 2019

TEMAN TAPI MESRA


—Saiful Islam—

Bentuk-bentuk hubungan seksual non marital yang lain sepanjang memenuhi syarat sebagai milk al-yamīn yang digagas oleh Muḥammad Syaḥrūr dapat dikelompokkan ke dalam akad ihşān, katanya…"

Di halaman 184, dalam Disertasi tersebut, Syahrur lantas memberi definisi milkul yamin itu. Sebagaimana dikutip dan diamini oleh Abdul. Berikut ini:

هوعلاقة طوعية بين رجل بالغ عاقل وامرأة بالغة عاقلة ليس فيها صهر
ولا نسب ولا نية في الإنجاب والاستمرار، وتقتصر على ممارسة الجنس
بين الطرفين. وقد تكون المرأة ملكا ليمين الرجل فينفق عليها، ومثاله زواج
المتعة. وقد يكون الرجل ملكا ليمين المرأة فلا تطلب منه أي نفقة أو سكن
ومثاله زواج المسيار. وقد يكون ملك يمين متبادل بينهما، ومثاله زواج
)الفرند (
Hubungan sukarela antara seorang pria dewasa dan seorang wanita dewasa, bukan hubungan kekerabatan, keturunan atau motivasi berkembang biak dan untuk selamanya, terbatas pada hubungan seks antara kedua belah pihak. Seorang wanita terkadang menjadi milik seorang pria kemudian menerima pemberian darinya, misalnya dalam kasus nikah mut‘ah. Seorang pria terkadang menjadi milik seorang wanita di mana pihak wanitanya tidak menuntut nafkah atau rumah, misalnya dalam kasus nikah misyār. Atau ada kalanya saling memiliki di antara mereka, misalnya dalam kasus nikah friend (persahabatan).

Di kesempatan lain, Syahrur mengatakan begini:
لقد أحل االله سبحانه لنا نوعين من النكاح )العلاقة الجنسية( وهما: الزواج
وملك اليمين. فالزوجة ليست ملك يمين ، وملك اليمين ليست زوجة أو
زوجا.ً ولايوجد حالة ثالثة ابداً. ونكاح المتعة هو من حالات ملك اليمين
ولاغبار عليه ابداً، ولكنه ليس بزواج وليس بحرام .
وكذلك زواج المسيار هو ملك يمين وليس بزواج، وفيه الرجل ملك يمين
للمرأة. أما نكاح المتعة ففيه المرأة ملك يمين الرجل، وكلاهما لاغبار
عليه
Allah swt. telah menghalalkan dua bentuk pernikahan (hubungan seksual), yaitu: perkawinan dan milk al-yamīn. Perkawinan bukan milk al-yamīn. Milk al-yamīn bukan perkawinan. Tidak diketemukan bentuk hubungan seksual yang ketiga selamanya. Nikah mut‘ah termasuk bagian dari milk al-yamīn adalah sangat jelas. Akan tetapi, mut‘ah bukan perkawinan dan tidak dilarang. Demikian pula dengan nikah misyār ialah milk al-yamīn dan bukan perkawinan, dalam hal ini si laki-laki adalah milk al-yamīn-nya si perempuan. Adapun nikah mut‘ah si perempuan adalah milk al-yamīn-nya si laki-laki. Keduanya sangat terang benderang.

================

Dari dua definisi yang diberikan oleh Syahrur di atas, tampak tiga model hubungan seksual tanpa nikah yang ia halalkan. Tentu saja, ini hanyalah konsekuensi pembedaan antara al-zawjiyah dengan milkul yamin yang dibuatnya sendiri di awal. Sebagaimana yang telah saya ceritakan sebelumnya.

Artinya, kesimpulan itu hanya akibat dari premis-premis yang telah dia buat sebelumnya. Ketika premis-premisnya bisa kita runtuhkan, dengan sendirinya kesimpulannya otomatis juga runtuh. Ketika kesimpulannya runtuh, maka sejatinya tiga model hubungan seksual non marital yang dihalalkannya, itu juga otomatis runtuh.

Tiga model hubungan seksual tanpa nikah (non marital) yang oleh Syahrur dan Abdul halalkan itu adalah nikah mut’ah, nikah misyar, dan nikah friend (persahabatan). Bahkan oleh Abdul dalam Disertasinya itu, diperluas (ekstensi) sampai 9 model. Yaitu ditambah nikah muhallil, nikah ‘urfi, nikah al-misfar, nikah al-hibah, al-musakanah (kumpul kebo), dan akad ihshon.

Sejatinya, kalau Kawan-Kawan membaca tulisan saya ini dari awal, pastinya akan langsung bisa menyimpulkan. Bahwa semua model hubungan seksual yang 9 itu tidak ada dasarnya dari Qur’an. Kalau kita membaca Qur’an secara holistik (menyeluruh) itu, pastilah akan meruntuhkan teori milkul yamin ala Syahrur yang diamini Abdul tersebut.

Saya coba ringkaskan dulu di sini. Berhubung keterbatasan tempat, saya akan tanggapi lebih gamblang di belakang.

Pertama, nikah mut’ah. Ini dipahami sebagai perkawinan yang hanya untuk waktu tertentu. Nikah kontrak. Syarat-syarat sahnya lengkap. Hanya ada tambahan waktu tempo. Artinya, ketika waktu temponya habis, atau si laki-laki mempersingkatnya, otomatis hubungan keduanya berakhir. Putus. Cerai. Atau apalah namanya. Dalil yang digunakan adalah QS.4:24.

Kedua, nikah muhallil. Nikah yang bertujuan untuk menghalalkan istri yang ditalak tiga. Atau cerai tiga kali. Laki-laki lain yang mengawini mantan istri laki-laki tersebut disebut muḥallil (orang yang menghalalkan). Sedangkan laki-laki mantan suaminya disebut muḥallal lah (orang yang dihalalkan). Ini semacam solusi dari larangan QS.2:230, supaya istri yang dicerai tiga kali bisa rujuk kepada suami yang pertama.

Ketiga, nikah ‘urfi. Tidak ada ikatan tertulis yang mengikat kedua belah pihak. Biasanya tanpa wali dan dilakukan secara rahasia. Prakteknya mirip ziwaj mut’ah atau kawin kontrak.

Keempat, nikah misyar. Yaitu pernikahan yang memenuhi segala rukun dan syaratnya, dilakukan karena suka sama suka, ada walinya, ada saksinya, dan ada maharnya. Hanya saja, sang istri merelakan beberapa haknya tidak dipenuhi oleh suaminya, misalnya hak nafkah, hak gilir, atau tempat tinggal.

Kelima, nikah misfar. Yaitu nikah karena alasan bepergian. Ada kesamaan degnan nikah misyar. Yaitu baik nikah misfār maupun nikah misyār, seorang istri tidak membebani suami. Ia membebaskan suami dari tanggungjawab finansial dan melepaskan beberapa haknya.

Keenam, nikah friend. Dipahami oleh Abdul sebagai hubungan sukarela antara seorang pria dewasa yang berakal sehat dan wanita dewasa yang berakal sehat, bukan untuk berkeluarga, berketurunan dan berkembang biak, melainkan sebatas pada hubungan seksual antara kedua belah pihak atas dasar persahabatan. Ini kalau istilah anak muda: Teman Tapi Mesra (TTM).

Ketujuh, nikah hibah. Yaitu sebuah perkawinan yang mana seorang perempuan menyerahkan dirinya kepada seorang lak-laki, tanpa mahar. Seperti seorang perempuan berkata kepada seorang laki-laki: “Aku menyerahkan diriku untukmu.” Menurut Abdul, bahwa bentuk perkawinan ini dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk hubungan seksual non marital yang sah. Dasarnya adalah kriteria keumuman akad ihshoon yang dikemukakan oleh Syahrur.

Kedelapan, adalah al-musakanah. Yaitu dua orang berlainan jenis yang hidup serumah tanpa ikatan perkawinan. Di Indonesia istilah ini berkembang menjadi “kumpul kebo”.

Kesembilan, akad ihshon. Abdul mengutip Syahrur: “Syarat-syarat sahnya perkawinan misyār adalah bukan seperti syarat-syarat perkawinan resmi pada umumnya, karena tujuannya bukanlah menjalin hubungan kekeluargaan, meneruskan keturunan dan membina keluarga, tetapi murni hubungan seksual, dan ia tidak termasuk kategori perkawinan resmi meskipun pada saat yang sama ia tidak haram. Menurut kami, hal itu adalah salah satu kasus milk al-yamīn kontemporer, dan kami menyebutnya dengan aqd ihşānsebagai ganti dari perkawinan misyāratau perkawinan mut’ah”.”

Kemudian Abdul menyatakan begini: “Oleh karena itu, penulis dapat menyimpulkan bahwa di samping nikah-nikah sebagaimana telah penulis uraikan, bentuk-bentuk hubungan seksual non marital yang lain sepanjang memenuhi syarat sebagai milk al-yamīn yang digagas oleh Muḥammad Syaḥrūr dapat dikelompokkan ke dalam akad ihşān.”

Lantas Abdul menulis: “Dalam sejarah, bentuk-bentuk pernikahan selain yang telah penulis uraikan di atas, masih banyak lagi. Hal ini membuktikan betapa inovatif dan kayanya manusia dalam budaya hubungan seksual, baik dalam bentuk marital maupun non marital.”

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...