—Saiful Islam—
“Menolak Hadis palsu adalah wajib! Bahkan
menurut saya, bukan hanya Hadis palsu. Menolak Hadis (dhaif) lemah, itu juga wajib!!”
Suatu hari, saya iseng mengetik di
YouTube, ‘Hadith in History’. Kemudian saya tertarik dengan satu video
yang berjudul Part 1 II History of the Compilation of Hadith
Literature II Ustadh AbdulRahman Hassan. Saya menikmatinya. Tepat mulai di menit
16.19 dia berbicara tentang posisi Sunnah terhadap Qur’an.
Saya ingat betul saat kuliah di
Tafsir Hadis sekitar 2008 - 2012 silam. Bahwa materi kedudukan Sunnah sebagai
sumber hukum Islam nomer 2 setelah Qur’an, itu juga pernah saya tulis. Dalam bentuk
makalah yang kemudian saya presentasikan kepada kawan-kawan di depan dosen.
Baiklah. Kembali kepada video berdurasi
1 jam lebih di atas. Sang ustadz dengan tegas menyatakan bahwa Sunnah is revelation
from Allah. Sunnah adalah wahyu dari Allah. Dengan mengutip pendapat
sana-sini, ustadz ini juga menyatakan bahwa Sunnah adalah wahyu kedua (second
revelation) setelah Qur’an. Kemudian dia mengutip cuplikan 6 ayat berikut. Akan
saya kutipkan semua di sini.
Pertama, QS. Al-Najm[53]: 3 – 4.
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ
الْهَوَىٰ
3. Dan tiadalah YANG DIUCAPKANNYA ITU
(QUR’AN) menurut kemauan hawa nafsunya.
إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ
يُوحَىٰ
4. UCAPANNYA ITU (QUR’AN) tiada
lain hanyalah WAHYU yang diwahyukan (kepadanya).
Ayat inilah yang paling sering
dirancukan oleh sebagian umat Islam. Bahwa semua perkataan, perbuatan, dan
ketetapan Nabi adalah wahyu. Padahal yang dimaksud wahyu di atas adalah Qur’an.
Bukan Sunnah. Apalagi Hadis. Qur’an yang 6000-an ayat, semuanya itu bukan ide
Muhammad. Bukan kepentingan Muhammad. Bukan kemauan Muhammad. Teksnya yang 30 juz,
itu murni firman Allah. Bukan sabda Nabi meskipun memang disampaikan oleh Nabi.
Hati Nabi tidak bisa mendustakan
wahyu itu (QS.53:11). Ketika Nabi menyampaikan Qur’an itu kepada masyarakatnya,
barulah beliau mendapat penentangan, kritikan, ejekan, cemoohan, perlawanan,
sampai serangan fisik. Ini tergambar dalam ayat berikutnya (QS.53:12). Apalagi di
ayat 18-nya jelas Allah menyebut bahwa Nabi telah melihat sebagian ayat-ayat
Allah itu.
Kenapa disebut sebagian ayat-ayat?
Karena memang Qur’an itu turun kepada Nabi berangsur. Selamat kurang lebih 23
tahun. Ada yang turun sebelum hijrah, disebut ayat makkiyah. Ada yang turun
setelah hijrah, disebut ayat madaniyah. Tidak sekaligus brek 30 juz berbentuk
buku begitu. Jadi saya melihat Surat Al-Najm itu adalah proses pewahyuan Qur’an.
Sama sekali bukan dalil sebagai pembenar bahwa Sunnah adalah wahyu.
Kedua, QS. Al-Nahl[16]: 44
بِالْبَيِّنَاتِ
وَالزُّبُرِ ۗ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ
إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Keterangan-keterangan dan
kitab-kitab. Dan KAMI TURUNKAN KEPADAMU QUR’AN, AGAR KAMU MENERANGKAN PADA UMAT
MANUSIA APA YANG TELAH DITURUNKAN KEPADA MEREKA dan supaya mereka memikirkan.
Kalimat litubayyina linnaas (supaya
engkau menerangkannya kepada manusia). Ini juga yang akan dibuat rancu. Padahal
sudah jelas, ‘Dan kami turunkan kepadamu al-dzikr (Qur’an), supaya kamu
menerangkan Qur’an itu kepada manusia.’ Qur’an itu memang disampaikan oleh
Nabi. Diucapkan oleh Nabi. Dari mulut Nabi. Tapi itu bukan ide Nabi. Bukan
keinginan Nabi. Bukan Sunnah Nabi. Apalagi Hadis Nabi.
Ketiga, QS. Al-Hasyr[59]: 7
مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَىٰ
رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَىٰ
وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً
بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ ۚ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ
عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Apa saja harta rampasan (fai’) yang
diberikan Allah kepada rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk
kota-kota, maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Supaya harta itu
jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. APA YANG
DIBERIKAN RASUL KEPADAMU, MAKA TERIMALAH. DAN APA YANG DILARANGNYA BAGIMU, MAKA
TINGGALKANLAH. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras
hukumannya.
Ayat itu bunyinya yang diberikan
RASUL terimalah, yang dilarang RASUL, tinggalkanlah. Kenapa kata rasul saya
tulis huruf besar? Muhammad SAW itu disebut RASUL, sehingga menjadi RASULULLAH,
itu karena satu hal! Yaitu karena beliau menerima QUR’AN untuk disampaikan
kepada umat manusia!! Muhammad SAW disebut RASULULLAH itu bukan karena Hadis!!!
Kaum Mukmin memang WAJIB beriman bulat 100 persen bahwa Qur’an adalah firman Allah.
Kalaamullah.
Keempat, QS. Ali Imran[3]: 31
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ
تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ
ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah: "JIKA KAMU
(BENAR-BENAR) MENCINTAI ALLAH, IKUTILAH AKU, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Kita memang harus mengikuti Nabi Muhammad
kalau benar-benar cinta Allah. Lah, gimana kita bisa cinta Allah kalau tidak
mengikuti Muhammad SAW yang amat kita sayangi dan amat kita cintai itu?! Tetapi
mengikuti Hadis, itu belum tentu mengikuti Nabi Muhammad. Hadis itu CUMA berita
tentang Nabi. Jadi baru berita. Hadis itu baru diduga dari Nabi. zhann. Makanya
ada Hadis sahih, ada Hadis hasan (lumayan), ada Hadis lemah, bahkan Hadis
fiktif alias Hadis palsu. Insya Allah di depan akan saya bahas lebih detail.
Kelima, QS. Al-Nisa’[4]: 65
فَلَا وَرَبِّكَ لَا
يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا
فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Tuhanmu, MEREKA (PADA
HAKEKATNYA) TIDAK BERIMAN HINGGA MEREKA MENJADIKAN KAMU HAKIM TERHADAP PERKARA
YANG MEREKA PERSELISIHKAN. Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka
sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan. Dan mereka menerima
dengan sepenuhnya.
Kalau Nabi masih hidup, tentu saja
orang beriman sejati akan bertanya langsung kepada Rasulullah. Pastilah Rasulullah
akan memutuskan semua perkara dengan Qur’an. Rasulullah pasti akan selalu
merujuk kepada Qur’an. Rasulullah pun akan selalu mengikuti Qur’an (QS.45:18).
Tidak ngarang-ngarang ideologi sendiri. Soal teknis, seperti kaifiyat shalat,
zakat, puasa, haji, dan semisalnya, itu memang hak prerogatif Nabi. Tetapi
ideologi shalat, zakat, puasa, haji, itu sudah umum terdapat dalam Qur’an.
Soal teknis shalat, haji, zakat,
dan lain-lain itu, insya Allah akan lebih kita eksplor di depan.
Keenam, QS. Al-Nur[24]: 63
لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ
الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا ۚ قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِينَ
يَتَسَلَّلُونَ مِنْكُمْ لِوَاذًا ۚ فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ
أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Janganlah kamu jadikan panggilan rasul
diantara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang lain).
Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di
antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), MAKA HENDAKLAH ORANG-ORANG
YANG MENYALAHI PERINTAH-NYA TAKUT AKAN DITIMPA COBAAN ATAU DITIMPA AZAB YANG
PEDIH.
Lantas ayat itu dibuat untuk
menakut-nakuti bahwa siapa yang menolak Hadis secara umum akan murtad. Bagian ini,
tidak akan saya tanggapi banyak-banyak. Engkok podo nggak pintere, hehe.
Tetapi, menolak Hadis palsu adalah wajib! Bahkan menurut saya, bukan hanya
Hadis palsu. Menolak Hadis (dhaif) lemah, itu juga wajib!!
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
*Saiful Islam (bukan ustadz, tapi
santri ndableg yang gampang mencintai dan ngefans kepada siapa
pun yang pintar dan cerdas, termasuk kawan-kawan diskusinya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar