Senin, 11 November 2019

SALAH KAPRAH NIKAH MUT’AH


—Saiful Islam—

“Membayar mahar, itu kasuistik. Tidak ujug-ujug wajib di depan…”

Baiklah. Sekarang sudah tiba saatnya untuk ‘menguliti’ tiga bentuk milkul yamin kontemporer ala Syahrur, yang sekaligus diperluas sampai sembilan bentuk oleh Abdul.

Soal nikah mut’ah. Ini tidak sah. Semua nikah dalam Qur’an, itu selalu dengan ihshoon (spirit saling menjaga, melindungi, menghormati, dan memperkokoh). Tidak ada dalam Qur’an itu nikah yang tujuannya adalah cerai otomatis, setelah waktu tempo yang disepakati telah selesai. Biasanya QS.4:24 dijadikan dalil untuk melegitimasi nikah mut’ah ini. Mari kita lihat.

QS. Al-Nisa’[4]: 24
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۖ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ ۚ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَٰلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ ۚ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Dan (diharamkan juga kamu MENIKAHI) perempuan yang bersuami, kecuali milkul yamin yang kamu miliki. (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian. (Yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu SECARA IHSHOON bukan untuk berzina. Maka ISTERI-ISTERI YANG TELAH KAMU ‘NIKMATI’ (CAMPURI) di antara mereka, BERIKANLAH KEPADA MEREKA UPAHNYA (DENGAN SEMPURNA), SEBAGAI SUATU KEWAJIBAN. Dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan upah itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Terutama kalimat famaa istamta’tum bih minhunna… Tampaknya istilah mut’ah itu diambil dari kalimat istamta’tum (kalian telah ‘menikmati’), pada ayat tersebut. Atau kata mataa’an (QS.2:236) yang berarti pemberian yang patut. Lantas dibayangkan membayar atau membeli perempuan yang mau. Dengan kontrak tempo waktu. Setelah kontraknya habis, otomatis cerai. Tentu saja tidak begitu. Sama sekali tidak ada kata tempo waktu (durasi) di ayat tersebut.

QS.4:24 ini berbicara pernikahan pada umumnya. Yaitu halal memang menjadikan perempuan sebagai istri. Dengan menentukan upah atau mahar atau bayarannya, kalau memang diminta oleh si perempuan dan disepakati oleh si laki-laki. Tetapi kalau si perempuan tidak mengharuskan bayaran itu atau merelakannya, maka pembayaran itu menjadi tidak wajib. Jadi memang, asalnya kewajiban bayaran tersebut tergantung pihak perempuannya.

 Akad nikahlah yang membuat perempuan menjadi halal sebagai istri. Pernikahan itu pun tetap harus dengan semangat ihshoon. Gampangnya, untuk membangun rumah tangga. Baca lagi tulisan sebelumnya, RUHNYA NIKAH dan MEMBINA KELUARGA KOKOH. Tidak boleh ada kesepakatan waktu yang membuat keduanya cerai otomatis. Sekali lagi, tidak pernah ada dalam Qur’an menikah untuk tujuan cerai.

“Loh, Mas. Tapi kan QS.4:24 itu berbunyi seks dulu. Baru setelah itu membayar?”

Dalam nikah, pembayaran (mahar) itu memang tidak harus di depan. Boleh di depan. Boleh juga di belakang. Pembayaran (mahar) itu sebenarnya kasuistik. Bukan ujug-ujug wajib di depan bersama akad nikah. Bahkan kalau si perempuan merelakan pembayaran itu, karena kaya misalnya, maka pembayaran itu tidak wajib. Berbeda kasusnya misalnya si perempuan meminta bayaran yang disekapati oleh si laki-laki. Dan si perempuan tidak merubah permintaannya itu sampai setelah seks. Maka, si laki-laki harus komitmen membayar  sesuai kesepakatannya.

Jadi, memang beda antara kesepakatan atau janji membayar mahar, dengan tindakan membayar mahar itu sendiri. Janji membayar, itu memang biasanya di depan karena diminta pihak perempuan. Sedangkan tindakan membayarnya, itu memang tidak wajib di depan. Sebab perempuan yang jadi dinikahi, belum tentu jadi berhubungan intim. Malah bisa cerai. Meskipun kasus ini jarang (kata ‘in’ yang berarti ‘jika’, menurut kaidah tafsir, memang bisa untuk kasus yang jarang terjadi). Perhatikan juga ayat di bawah ini.

QS. Al-Baqarah[2]: 236 - 237
لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ
236. Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian yang wajar) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula). Yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.

وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلَّا أَنْ يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ ۚ وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۚ وَلَا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
237. Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu. Kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang akad nikah. Dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan.

Selain itu, istilah nikah mut’ah itu memang tidak ada di dalam Qur’an. Mut’ah itu bukan nikah atau pernikahan. Kata mut’ah (mataa’an) dalam QS.2:236 itu artinya adalah pemberian. Dalam konteks ayat tersebut yang dimaksud adalah pemberian yang layak, wajar, atau patut (mataa’an bi al-ma’ruuf). Jadi sekali lagi, mut’ah itu bukan nikah atau pernikahan. Karenanya frase atau istilah nikah mut’ah sendiri, itu tidak ada dalam Qur’an. Maka istilah nikah mut’ah itu tidak tepat. Dan cenderung dibuat-buat.

Di samping itu. QS.4:24, sebagaimana QS.4:23, itu sejatinya adalah kelanjutan dari QS.4:22 yang berbicara tentang pernikahan. “Janganlah menikahi…,” begitu kata QS.4:22. Sehingga ketika pada QS.4:24 itu disebut muhshiniin ghayr musaafihiin, itu artinya adalah secara semangat ihshoon yang ada dalam pernikahan itu sendiri. Yakni nikahilah perempuan untuk melindungi dan mengayominya.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...