—Saiful Islam—
“Membayar mahar, itu kasuistik. Tidak
ujug-ujug wajib di depan…”
Baiklah. Sekarang sudah tiba
saatnya untuk ‘menguliti’ tiga bentuk milkul yamin kontemporer ala
Syahrur, yang sekaligus diperluas sampai sembilan bentuk oleh Abdul.
Soal nikah mut’ah. Ini
tidak sah. Semua nikah dalam Qur’an, itu selalu dengan ihshoon (spirit saling
menjaga, melindungi, menghormati, dan memperkokoh). Tidak ada dalam Qur’an itu
nikah yang tujuannya adalah cerai otomatis, setelah waktu tempo yang disepakati
telah selesai. Biasanya QS.4:24 dijadikan dalil untuk melegitimasi nikah mut’ah
ini. Mari kita lihat.
QS. Al-Nisa’[4]: 24
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ
النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۖ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ ۚ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَٰلِكُمْ أَنْ
تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ ۚ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ
أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ
ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Dan (diharamkan juga kamu MENIKAHI)
perempuan yang bersuami, kecuali milkul yamin yang kamu miliki.
(Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan
bagi kamu selain yang demikian. (Yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu SECARA
IHSHOON bukan untuk berzina. Maka ISTERI-ISTERI YANG TELAH KAMU ‘NIKMATI’
(CAMPURI) di antara mereka, BERIKANLAH KEPADA MEREKA UPAHNYA (DENGAN SEMPURNA),
SEBAGAI SUATU KEWAJIBAN. Dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang
kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan upah itu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Terutama kalimat famaa istamta’tum
bih minhunna… Tampaknya istilah mut’ah itu diambil dari kalimat istamta’tum
(kalian telah ‘menikmati’), pada ayat tersebut. Atau kata mataa’an
(QS.2:236) yang berarti pemberian yang patut. Lantas dibayangkan membayar atau
membeli perempuan yang mau. Dengan kontrak tempo waktu. Setelah kontraknya
habis, otomatis cerai. Tentu saja tidak begitu. Sama sekali tidak ada kata tempo
waktu (durasi) di ayat tersebut.
QS.4:24 ini berbicara pernikahan
pada umumnya. Yaitu halal memang menjadikan perempuan sebagai istri. Dengan menentukan
upah atau mahar atau bayarannya, kalau memang diminta oleh si perempuan dan
disepakati oleh si laki-laki. Tetapi kalau si perempuan tidak mengharuskan
bayaran itu atau merelakannya, maka pembayaran itu menjadi tidak wajib. Jadi
memang, asalnya kewajiban bayaran tersebut tergantung pihak perempuannya.
Akad nikahlah yang membuat perempuan menjadi
halal sebagai istri. Pernikahan itu pun tetap harus dengan semangat ihshoon.
Gampangnya, untuk membangun rumah tangga. Baca lagi tulisan sebelumnya, RUHNYA
NIKAH dan MEMBINA KELUARGA KOKOH. Tidak boleh ada kesepakatan waktu yang
membuat keduanya cerai otomatis. Sekali lagi, tidak pernah ada dalam Qur’an
menikah untuk tujuan cerai.
“Loh, Mas. Tapi kan QS.4:24 itu
berbunyi seks dulu. Baru setelah itu membayar?”
Dalam nikah, pembayaran (mahar) itu
memang tidak harus di depan. Boleh di depan. Boleh juga di belakang. Pembayaran
(mahar) itu sebenarnya kasuistik. Bukan ujug-ujug wajib di depan bersama
akad nikah. Bahkan kalau si perempuan merelakan pembayaran itu, karena kaya
misalnya, maka pembayaran itu tidak wajib. Berbeda kasusnya misalnya si
perempuan meminta bayaran yang disekapati oleh si laki-laki. Dan si perempuan
tidak merubah permintaannya itu sampai setelah seks. Maka, si laki-laki harus
komitmen membayar sesuai kesepakatannya.
Jadi, memang beda antara
kesepakatan atau janji membayar mahar, dengan tindakan membayar mahar itu
sendiri. Janji membayar, itu memang biasanya di depan karena diminta pihak
perempuan. Sedangkan tindakan membayarnya, itu memang tidak wajib di depan. Sebab
perempuan yang jadi dinikahi, belum tentu jadi berhubungan intim. Malah bisa
cerai. Meskipun kasus ini jarang (kata ‘in’ yang berarti ‘jika’, menurut
kaidah tafsir, memang bisa untuk kasus yang jarang terjadi). Perhatikan juga
ayat di bawah ini.
QS. Al-Baqarah[2]: 236 - 237
لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ
فَرِيضَةً ۚ وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ
قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ
236. Tidak ada kewajiban membayar
(mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu
bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah
kamu berikan suatu mut'ah (pemberian yang wajar) kepada
mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut
kemampuannya (pula). Yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu
merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ
مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا
فَرَضْتُمْ إِلَّا أَنْ يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ
النِّكَاحِ ۚ وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۚ وَلَا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ
ۚ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
237. Jika kamu menceraikan
isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu
sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu
tentukan itu. Kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh
orang yang memegang akad nikah. Dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa.
Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
melihat segala apa yang kamu kerjakan.
Selain itu, istilah nikah mut’ah
itu memang tidak ada di dalam Qur’an. Mut’ah itu bukan nikah atau
pernikahan. Kata mut’ah (mataa’an) dalam QS.2:236 itu artinya
adalah pemberian. Dalam konteks ayat tersebut yang dimaksud adalah pemberian
yang layak, wajar, atau patut (mataa’an bi al-ma’ruuf). Jadi sekali
lagi, mut’ah itu bukan nikah atau pernikahan. Karenanya frase atau
istilah nikah mut’ah sendiri, itu tidak ada dalam Qur’an. Maka istilah nikah mut’ah
itu tidak tepat. Dan cenderung dibuat-buat.
Di samping itu. QS.4:24,
sebagaimana QS.4:23, itu sejatinya adalah kelanjutan dari QS.4:22 yang
berbicara tentang pernikahan. “Janganlah menikahi…,” begitu kata
QS.4:22. Sehingga ketika pada QS.4:24 itu disebut muhshiniin ghayr
musaafihiin, itu artinya adalah secara semangat ihshoon yang ada
dalam pernikahan itu sendiri. Yakni nikahilah perempuan untuk melindungi dan
mengayominya.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar