Jumat, 29 November 2019

RUJUKAN SELAIN QUR’AN


—Saiful Islam*—

“Ketika firman telah menjadi daging, Yesus…”

Tampaknya, kali ini mesti dituliskan ulang dulu catatan-catatan ringan saya sebelumnya. Sebelum munculnya ‘game’ dari kawan saya yang dosen untuk menelusuri kewahyuan Hadis ini.

Firman bukan sabda. Ketika proses pewahyuan dan penulisan Qur’an, selama 23 tahun, itu Nabi melarang sabdanya ditulis. Agar tidak campur aduk antara Qur’an dan Sunnah. Maka, tidak benar jika dikatakan: semua ucapan Nabi adalah wahyu. Ucapan Nabi yang wahyu, itu hanya Qur’an saja (QS.10:109).

Baru berita. Hadis, itu memang baru berita tentang Nabi. Masih perlu diteliti dan dikritisi. Karena Hadis memang ada yang sahih, hasan (lumayan), lemah, bahkan palsu. Alias fiktif. Dikarang-karang penulis, bisa karena untuk kepentingan politis, ideologis, sampai jabatan atau ekonomis.

Hadis dan sanad-nya itu, memang karya penulis Hadis. Atau ulama Hadis. Jelas, tidak dikawal langsung oleh Nabi. Di masa Sahabat, Hadis dan sanad-nya, itu memang belum eksis. Tidak ada! Karena para Sahabat memang bisa langsung meneladani Sunnah Nabi. Praktek Nabi yang langsung ditiru lintas generasi sampai sekarang.

Hadis dan sanad-nya itu eksisnya memang belakangan. Sekitar awal abad ke-2 Hijrah. Atau akhir abad pertama Hijrah. Bahkan kalau acuannya adalah buku Muwaththa’ (buku Hadis tertua) karya Imam Malik (w. 179 H), berarti Hadis, itu baru ada sekitar 167 tahun setelah wafatnya sumber—Nabi wafat sekitar tahun 12 Hijrah!

Ketika Qur’an dalam proses pewahyuan dan penulisan, menurut Sejarah, Nabi bersabda, “Jangan menulis dari diriku. Barangsiapa (terlanjur) menulis dariku selain Qur’an, maka hapuslah. Barangsiapa berdusta atas namaku (dengan sengaja), bersiaplah tempatnya di neraka.”

Jadi sebenarnya, Hadis itu cuma berita. Bisa benar, bisa salah. Bisa otentik, bisa fiktif. Tapi kebanyakan antar orang Islam, berpolemik itu, karena berlebihan berprinsip dengan Hadis-Hadis.

Lalu ada kawan bertanya, “Sejauh mana urgensinya kita menggunakan Hadis? Mungkin ada prasyarat atau kondisi tertentu?”

Menggunakan Hadis itu pilihan. Sekiranya mendukung Qur’an, boleh kita pakai. Tetapi jika malah merancukan Qur’an, sebaiknya tidak memakai Hadis. Hadis sebagai tafsir dari Qur’an. Bukan kebalik, Qur’an malah digunakan tafsirnya Hadis. Sebagaimana sering terjadi pada Kaum Muslimin (saya).

Dasarnya dugaan. Semua rujukan-rujukan doktrin Islam, selain Qur’an, itu memang ditulis ratusan tahun setelah wafatnya sumber (Nabi SAW). Dan semua rujukan selain Qur’an tersebut, tidak ada yang pasti kebenarannya. Semuanya berdasar zhann (dugaan). Bisa jadi benar, bisa jadi meleset, bahkan fiktif.

Semua rujukan tersebut muncul di tengah-tengah konflik internal umat Islam sendiri. Dan setelahnya di abad-abad belakangan. Ada yang karena ideologi teologis. Ada juga karena ideologi politis, fanatik mazhab atau golongan.

Maksud saya. Menggunakan rujukan-rujukan selain Qur’an, baik itu Hadis-Hadis, Siirah atau Taariikh (Sejarah), dan lain-lain, mesti ekstra hati-hati.

Semua Hadis, itu memang zhanniy. Yakni diduga dari Rasulullah SAW. Yang pasti (qoth’iy) memang hanya Qur’an. Pasti firman Allah. Pasti dari Rasulullah. Soal kaifiyat (cara atau teknis) shalat dan rakaatnya, puasa, zakat, manasik haji, dan teknis-teknis yang semisalnya, itu memang zhanniy semua.

Penjelasan teknis shalat dan lain-lain, itu butuh Sunnah Nabi. Bukan Hadis Nabi. Di depan, insya Allah akan saya ceritakan bedanya Hadis dengan Sunnah. Makanya orang-orang Madinah, itu lebih percaya living tradition (praktek turun temurun), daripada Hadis-Hadis. Sebab, Nabi memang wafat di Madinah. Praktek atau teknis shalat dan lain-lainnya, langsung ditiru orang-orang Madinah berikutnya.

Umat Islam memang butuh Hadis. Tetapi Hadis-Hadis yang tidak ada cantolannya kepada Qur’an, harus ekstra hati-hati. Kritis. Tidak perduli dari kitab apa (yang pasti ditulis belakangan). Karya siapa. Tidak perlu fanatik pada Hadis-Hadis. Apalagi mazhab-mazhab dan kelompok-kelompok. Cukup fanatik pada Qur’an saja!

Selama itu Hadis, maka sudah wajib dilakukan paling tidak dua kritik (al-naqd). Yaitu pertama, adalah kritik sanad (rangkaian periwayat). Kedua, kritik matan (teks). Saya tambahi satu lagi, kritik fakta. Bahkan beberapa Hadis yang katanya mutawatir pun, bisa bermasalah secara matan-nya. Kesahihan sanad, tidak menjamin kesahihan matan. Sahihnya sanad, itu tidak otomatis sahih juga matan-nya!

Hadis itu memang baru upaya menelusuri Sunnah. Bukan Sunnah itu sendiri. makanya jangan nggetu-nggetu berprinsip dengan Hadis. “Lek gak atek Bukhari, bid’aaah,” katanya. Halah halah halahwong Abu Hanifah, Malik, dan Syafi’i, itu tidak pernah pakai Bukhari! Hehe.

Hadis dan Bible. Saya pernah bertemu dengan seorang kawan. Pastur atau calon pastur. Kira-kira seminggu saya diskusi langsung dengannya. Saya minta dia untuk bercerita tentang sikapnya, sebagai seorang Kristen Katolik, terhadap kitab sucinya, Bible. Menurut Klaus, Bible, itu memang bukan firman-Nya. Karena firman-Nya telah menjadi daging—Yesus.

Bible, itu memang ditulis belakangan. Tidak dikawal langsung oleh Yesus. Bible adalah cerita tentang Yesus. Jadi, baru berita tentang Yesus. Atau apa-apa yang disandarkan kepada Yesus. Bisa ucapannya, perbuatannya, sampai ketetapan-ketetapannya. “Tetapi penulisannya, itu diilhami oleh Roh Kudus,” kata Klaus. Para penulis Injil itu, adalah para nabi menurut iman Kristen (tolong dikoreksi kalau salah, Kawan).

Nah. Bagi saya yang Muslim, setelah belajar Ulumul Hadis, posisi Bible bagi orang Kristen, itu seperti posisi Hadis-Hadis bagi Muslim. Yaitu, cerita atau berita tentang Nabi. Tidak ditulis Nabi. Alias ditulis belakangan. Atau apa pun yang disandarkan kepada Nabi. Baik ucapan, perbuatan, atau tindak-tanduk beliau.

Tetapi ada satu hal yang membadakan keyakinan saya dengan Klaus. Pembeda ini sangat fundamental. Yaitu, bagi saya, Hadis itu hanya berita biasa. Titik. Sedangkan Klaus, berita yang diilhami oleh Roh Kudus.

Jadi kalau ada siapa pun yang mengaku Muslim—baik orang awam maupun profesor—yang mengatakan bahwa Hadis itu adalah wahyu, atau wahyu kedua (second revelation) selain Qur’an, atau wahyu tak tertulis, menurut saya itu sama dengan keyakinan Klaus!

OK. Anggap semua itu adalah dugaan sementara (hipotesis) saya. Insya Allah, tulisan-tulisan ke depan, saya mencoba untuk mengetesnya lebih lanjut.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

*Saiful Islam (bukan ustadz, tapi santri ndableg yang gampang mencintai dan ngefans kepada siapa pun yang pintar dan cerdas, termasuk kawan-kawan diskusinya).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...