—Saiful Islam*—
“Ketika firman telah menjadi daging,
Yesus…”
Tampaknya, kali ini mesti
dituliskan ulang dulu catatan-catatan ringan saya sebelumnya. Sebelum munculnya
‘game’ dari kawan saya yang dosen untuk menelusuri kewahyuan Hadis ini.
Firman bukan sabda. Ketika proses
pewahyuan dan penulisan Qur’an, selama 23 tahun, itu Nabi melarang sabdanya
ditulis. Agar tidak campur aduk antara Qur’an dan Sunnah. Maka, tidak benar
jika dikatakan: semua ucapan Nabi adalah wahyu. Ucapan Nabi yang wahyu, itu
hanya Qur’an saja (QS.10:109).
Baru berita. Hadis, itu memang baru
berita tentang Nabi. Masih perlu diteliti dan dikritisi. Karena Hadis memang
ada yang sahih, hasan (lumayan), lemah, bahkan palsu. Alias fiktif.
Dikarang-karang penulis, bisa karena untuk kepentingan politis, ideologis,
sampai jabatan atau ekonomis.
Hadis dan sanad-nya itu,
memang karya penulis Hadis. Atau ulama Hadis. Jelas, tidak dikawal langsung
oleh Nabi. Di masa Sahabat, Hadis dan sanad-nya, itu memang belum eksis.
Tidak ada! Karena para Sahabat memang bisa langsung meneladani Sunnah Nabi.
Praktek Nabi yang langsung ditiru lintas generasi sampai sekarang.
Hadis dan sanad-nya itu
eksisnya memang belakangan. Sekitar awal abad ke-2 Hijrah. Atau akhir abad
pertama Hijrah. Bahkan kalau acuannya adalah buku Muwaththa’ (buku Hadis
tertua) karya Imam Malik (w. 179 H), berarti Hadis, itu baru ada sekitar 167
tahun setelah wafatnya sumber—Nabi wafat sekitar tahun 12 Hijrah!
Ketika Qur’an dalam proses
pewahyuan dan penulisan, menurut Sejarah, Nabi bersabda, “Jangan menulis
dari diriku. Barangsiapa (terlanjur) menulis dariku selain Qur’an, maka hapuslah.
Barangsiapa berdusta atas namaku (dengan sengaja), bersiaplah tempatnya di
neraka.”
Jadi sebenarnya, Hadis itu cuma
berita. Bisa benar, bisa salah. Bisa otentik, bisa fiktif. Tapi kebanyakan
antar orang Islam, berpolemik itu, karena berlebihan berprinsip dengan
Hadis-Hadis.
Lalu ada kawan bertanya, “Sejauh
mana urgensinya kita menggunakan Hadis? Mungkin ada prasyarat atau kondisi
tertentu?”
Menggunakan Hadis itu pilihan. Sekiranya
mendukung Qur’an, boleh kita pakai. Tetapi jika malah merancukan Qur’an,
sebaiknya tidak memakai Hadis. Hadis sebagai tafsir dari Qur’an. Bukan kebalik,
Qur’an malah digunakan tafsirnya Hadis. Sebagaimana sering terjadi pada Kaum Muslimin
(saya).
Dasarnya dugaan. Semua rujukan-rujukan
doktrin Islam, selain Qur’an, itu memang ditulis ratusan tahun setelah wafatnya
sumber (Nabi SAW). Dan semua rujukan selain Qur’an tersebut, tidak ada yang
pasti kebenarannya. Semuanya berdasar zhann (dugaan). Bisa jadi benar,
bisa jadi meleset, bahkan fiktif.
Semua rujukan tersebut muncul di
tengah-tengah konflik internal umat Islam sendiri. Dan setelahnya di abad-abad
belakangan. Ada yang karena ideologi teologis. Ada juga karena ideologi
politis, fanatik mazhab atau golongan.
Maksud saya. Menggunakan rujukan-rujukan
selain Qur’an, baik itu Hadis-Hadis, Siirah atau Taariikh
(Sejarah), dan lain-lain, mesti ekstra hati-hati.
Semua Hadis, itu memang zhanniy.
Yakni diduga dari Rasulullah SAW. Yang pasti (qoth’iy) memang hanya Qur’an.
Pasti firman Allah. Pasti dari Rasulullah. Soal kaifiyat (cara atau teknis)
shalat dan rakaatnya, puasa, zakat, manasik haji, dan teknis-teknis yang
semisalnya, itu memang zhanniy semua.
Penjelasan teknis shalat dan
lain-lain, itu butuh Sunnah Nabi. Bukan Hadis Nabi. Di depan, insya Allah akan
saya ceritakan bedanya Hadis dengan Sunnah. Makanya orang-orang Madinah, itu
lebih percaya living tradition (praktek turun temurun), daripada
Hadis-Hadis. Sebab, Nabi memang wafat di Madinah. Praktek atau teknis shalat
dan lain-lainnya, langsung ditiru orang-orang Madinah berikutnya.
Umat Islam memang butuh Hadis.
Tetapi Hadis-Hadis yang tidak ada cantolannya kepada Qur’an, harus ekstra
hati-hati. Kritis. Tidak perduli dari kitab apa (yang pasti ditulis belakangan).
Karya siapa. Tidak perlu fanatik pada Hadis-Hadis. Apalagi mazhab-mazhab dan
kelompok-kelompok. Cukup fanatik pada Qur’an saja!
Selama itu Hadis, maka sudah wajib
dilakukan paling tidak dua kritik (al-naqd). Yaitu pertama, adalah kritik
sanad (rangkaian periwayat). Kedua, kritik matan (teks). Saya tambahi
satu lagi, kritik fakta. Bahkan beberapa Hadis yang katanya mutawatir pun, bisa
bermasalah secara matan-nya. Kesahihan sanad, tidak menjamin
kesahihan matan. Sahihnya sanad, itu tidak otomatis sahih juga matan-nya!
Hadis itu memang baru upaya
menelusuri Sunnah. Bukan Sunnah itu sendiri. makanya jangan nggetu-nggetu
berprinsip dengan Hadis. “Lek gak atek Bukhari, bid’aaah,”
katanya. Halah halah halah… wong Abu Hanifah, Malik, dan Syafi’i,
itu tidak pernah pakai Bukhari! Hehe.
Hadis dan Bible. Saya pernah
bertemu dengan seorang kawan. Pastur atau calon pastur. Kira-kira seminggu saya
diskusi langsung dengannya. Saya minta dia untuk bercerita tentang sikapnya,
sebagai seorang Kristen Katolik, terhadap kitab sucinya, Bible. Menurut Klaus,
Bible, itu memang bukan firman-Nya. Karena firman-Nya telah menjadi
daging—Yesus.
Bible, itu memang
ditulis belakangan. Tidak dikawal langsung oleh Yesus. Bible adalah
cerita tentang Yesus. Jadi, baru berita tentang Yesus. Atau apa-apa yang
disandarkan kepada Yesus. Bisa ucapannya, perbuatannya, sampai
ketetapan-ketetapannya. “Tetapi penulisannya, itu diilhami oleh Roh Kudus,”
kata Klaus. Para penulis Injil itu, adalah para nabi menurut iman Kristen
(tolong dikoreksi kalau salah, Kawan).
Nah. Bagi saya yang Muslim, setelah
belajar Ulumul Hadis, posisi Bible bagi orang Kristen, itu
seperti posisi Hadis-Hadis bagi Muslim. Yaitu, cerita atau berita tentang Nabi.
Tidak ditulis Nabi. Alias ditulis belakangan. Atau apa pun yang disandarkan
kepada Nabi. Baik ucapan, perbuatan, atau tindak-tanduk beliau.
Tetapi ada satu hal yang membadakan
keyakinan saya dengan Klaus. Pembeda ini sangat fundamental. Yaitu, bagi saya,
Hadis itu hanya berita biasa. Titik. Sedangkan Klaus, berita yang diilhami oleh
Roh Kudus.
Jadi kalau ada siapa pun yang
mengaku Muslim—baik orang awam maupun profesor—yang mengatakan bahwa Hadis itu
adalah wahyu, atau wahyu kedua (second revelation) selain Qur’an, atau
wahyu tak tertulis, menurut saya itu sama dengan keyakinan Klaus!
OK. Anggap semua itu adalah dugaan
sementara (hipotesis) saya. Insya Allah, tulisan-tulisan ke depan, saya mencoba
untuk mengetesnya lebih lanjut.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
*Saiful Islam (bukan ustadz, tapi
santri ndableg yang gampang mencintai dan ngefans kepada siapa
pun yang pintar dan cerdas, termasuk kawan-kawan diskusinya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar