Sabtu, 09 November 2019

MILKUL YAMIN WAJIB NIKAH


—Saiful Islam—

“Baik penyatuan keduanya (al-zawjiyah), bahkan seks antar keduanya, itu hanya konsekuensi dari nikah saja…”

Apakah nikah itu? Qur’an memang tidak pernah memberi definisi kata nakaha. Tidak ada dalam Qur’an misalnya al-nikaah huwa… Lalu bagaimana cara kita mengetahui makna dan maksud kata nikah? Pertama, kita mesti melihat maknanya melalui kamus-kamus Arab. Kedua, melalui konteks ayat-ayat Qur’an itu sendiri. Begitu juga untuk kata-kata lain yang terkait dengan tema yang sedang dibahas. Seperti zawaja, hashona, fahasya, baghoo, zinaa, dan semisalnya.

Langkah itulah yang saya coba lakukan. Meninjau kosa katanya yang terkait dan ayat-ayat Qur’an-nya secara holistik komprehensif (menyeluruh utuh). Serta aspek Sejarahnya, sebagai penunjangnya. Nikah itu asalnya untuk akad, begitu dalam Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an. Yakni persetujuan, kontrak, atau ikatan. Perjanjian, persetujuan, kontrak, atau ikatan itu amat sangat kokoh. Miitsaaqon gholiizhon, begitu kata QS.4:21.

Asalnya setiap orang itu sendiri. Belum punya pasangan. Ini oleh Qur’an disebut dengan istilah al-ayaamaa. Orang-orang yang sendirian. Baik laki-laki maupun perempuan. Lihat QS.24:32. Barulah ketika orang-orang yang sendirian ini telah menikah, mereka bukan al-ayaamaa lagi. Masing-masing sudah menjadi al-zawj. Penyatuan keduanya disebut al-zawjiyah. Yang sangat penting dicatat dan diingat adalah ini: dari sendiri menjadi berpasangan (menyatu) tersebut, Qur’an mewajibkan harus menikah dulu! Supaya lebih jelas, mari kita kutip lengkap ayatnya.

QS. Al-Nur[24]: 32
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Dan NIKAHKANLAH ORANG-ORANG YANG SENDIRIAN diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.

Maka sudah sangat jelas sekali. Baik penyatuan keduanya (al-zawjiyah), bahkan seks antar keduanya, itu hanya konsekuensi dari nikah. Nikah yang makna asalnya adalah akad tersebut. Bahkan akad yang amat sangat kokoh. Begitulah semua ayat-ayat Qur’an tentang perjodohan (yang menggunakan kata zawaja dan semua derivasinya), itu selalu diawali dengan nikah. Sekali lagi, s-e-m-u-a, semua! Kalau belum percaya, silakan tunjukkan ayat-ayat Qur’an tentang zawaja, zawj, azwaaj, kepada saya. Dalam konteks penyatuan antara laki-laki dan perempuan. Saya tunggu! Hehe

Sehingga ketika QS.23:6 mengatakan, “Kecuali (halal seks) kepada pasangan mereka (azwaajihim) atau milkul yamin,” itu sudah sangat jelas dan pasti bahwa kehalalan seks itu harus dan wajib setelah akad nikah. Milkul yamin setelah dinikahi statusnya berubah. Dari perempuan rampasan perang, menjadi al-azwaaj. Karenanya juga berlaku baginya hukum mas kawin, perceraian, ‘iddah, dan waris.

Tidak pernah ditemukan kehalalan seks antar laki-laki dan perempuan dalam Qur’an tanpa nikah. Penyatuan antar laki-laki dan perempuan dalam konteks hubungan seksual, tidak ada bentuk lain dalam al-Tanziil al-Hakiim kecuali dengan akad nikah yang dijiwai semangat ihshoon. Bentuk kehalalan hubungan seksual hanya satu itu. Tidak pernah ada bentuk kedua, ketiga, dan seterusnya. Untuk selama-lamanya!

Begitu juga QS.4:25 di bawah ini. Sangat jelas kalimat, “NIKAHILAH milkul yamin itu…”

QS. Al-Nisa’[4]: 25
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ۚ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِكُمْ ۚ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ ۚ فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ ۚ فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ۚ ذَٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنْكُمْ ۚ وَأَنْ تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk MENIKAHI perempuan merdeka lagi beriman, ia boleh MENIKAHI perempuan yang beriman, dari milkul yamin. Allah mengetahui keimananmu; sebagian kamu adalah dari sebahagian yang lain. Karena itu NIKAHILAH mereka (milkul yamin itu) dengan seizin tuan mereka. Dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, NIKAHILAH mereka SECARA IHSHOON, bukan secara zina dan bukan (pula) perempuan yang mengambilmu hanya sebagai laki-laki piaraan. Dan apabila mereka telah di-ihshon-kan, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separuh hukuman dari hukuman perempuan-perempuan merdeka yang bersuami. (Kebolehan menikahi) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu. Dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Memang ayat di atas hanya menyebut fa min maa malakat aymaanukum: maka dari milkul yamin yang dimiliki. Hanya begitu artinya. Iya, tidak ada kata nikah. Tetapi huruf fa di situ, sudah jelas artinya adalah nikahilah. Maka nikahilah. Arti yang demikian ini diperjelas oleh ayat lain. Yaitu QS.4:3 berikut.

QS. Al-Nisa’[4]: 3
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu menikahinya), maka NIKAHILAH (fa ankihuu) perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (fa) seorang saja, atau milkul yamin yang dimiliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Kalimat fa waahidatan (maka seorang saja) pada QS.4:3 di atas, tentu saja yang dimaksud adalah MAKA NIKAHILAH. Tidak ada makna lain. Apalagi di awal kalimat ayat tersebut jelas-jelas ada kalimat fa ankihuu, yang berarti MAKA NIKAHILAH. Secara keseluruhan ayat QS.4:3 ini juga tentang pernikahan. Tidak ada konteks yang lain. Fa waahidatan adalah MAKA NIKAHILAH SEORANG SAJA.

Ini perlu saya pertegas dulu di sini. Sebelum ‘menguliti’ 9 model bentuk milkul yamin yang digagas oleh Syahrur dan diamini serta disempurnakan oleh Abdul itu. Insya Allah di depan.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...