—Saiful Islam—
Paling tidak
ada tiga golongan menyikapi Hadis sebagai sumber ajaran Islam. Pertama, sangat
membela Hadis. Golongan ini meyakini Hadis sebagai wahyu yang harus diteladani.
Jadi, semua Hadis (qoulan, fi’lan, dan takriran) harus
diikuti. Asumsi dasarnya adalah Nabi Muhammad sebagai uswaun hasanah (QS.33:21).
Pendapat ini banyak diikuti oleh para ahli Hadis.
Golongan
kedua, menolak otoritas Hadis sebagai sumber ajaran Islam. Sebab, Hadis banyak
yang palsu. Karenanya, Hadis diragukan validitasnya sebagai sumber ajaran
Islam. Menurut golongan ini, hanya Al Qur’an satu-satunya sumber yang otentik
dan otoritatif. Ini yang kemudian disebut sebagai ingkar sunnah.
Kalau dirinci
lagi, golongan munkir al-sunnah ini sebenarnya dibagi dua. Pertama,
kelompok yang hanya mengakui Hadis-Hadis Mutawatir dan menginkari Hadis Ahad.
Yaitu, kelompk Mu’tazilah. Kelompok kedua, yang menolak seluruh Hadis. Ini
adalah madzhab Rafidhah yang ekstrim.
Sedangkan
golongan ketiga, cenderung selektif dan kritis menerima Hadis. Menurutnya,
hanya Hadis Mutawatir dan Sahih saja—atau minimal Hasan—yang layak dipakai
sebagai sumber ajaran Islam. Itu pun kalau Hadis-Hadis tersebut memang terkait
dengan persoalan syariat. Ini adalah pendapat yang banyak diikuti oleh ahli
Ushul Fiqh. Menurut saya, sebenarnya Mu’tazilah bisa masuk dalam golongan ini.
Sebab, masih ada Hadis yang diterima. Tidak totalitas menolak Hadis.
Maka,
Hadis-Hadis yang tidak terkait dengan fungsi Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa
syariat dianggap sebagai Hadis-Hadis yang bersifat sekadar informatif saja.
Tidak harus diikuti. Seperti Hadis-Hadis penampilan fisik Nabi: jenggot, celana
cingkrang, berjubah, dan semisalnya—meski kalau mau meniru pun, misalnya dengan
rambut gondrong sebahu, juga tidak salah.
Termasuk juga
Hadis-Hadis tentang medis atau pengobatan yang pernah dilakukan Nabi SAW.
Diantara pemikir yang berpendapat demikian adalah Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya.
Bahwa, Hadis pengobatan itu urusan duniawi. Hanya kebiasaan orang Arab saja
saat itu. Bukan merupakan wahyu sedikitpun.
Jadi
Hadis-Hadis pengobatan tersebut adalah Hadis ghair syar’iyyah. Alias
Hadis yang bukan urusan syariat. Melainkan persoalan duniawi yang syarat dengan
konteks tradisi Arab ketika itu. Sehingga tidak harus diikuti secara mutlak.
Kalau pun Hadis-Hadis semacam ini mau diamalkan pada konteks sekarang,
diperlukan penelitian dengan melibatkan disiplin keilmuan medis modern.
Sehingga relevansi Hadis ini mempunyai sandaran ilmiah.
Analisis
singkat. Kelompok pertama, menurut saya, lemah. Sebab faktanya, Hadis itu ada
yang lemah (Dhaif). Sampai ada yang palsu (Maudhu’). Memang pernah terjadi
pemalsuan Hadis besar-besaran.
Kelompok kedua
juga lemah. Sebab kita tidak akan bisa melakukan teknis ibadah ritual jika
hanya menggunakan Al Quran. Harus menggunakan Hadis. Seperti teknis shalat,
puasa, zakat, dan haji.
Maka mau tidak
mau, kita harus kritis terhadap Hadis. Menurut saya, kelompok ketiga inilah
yang paling kuat. Paling tepat menyikapi Hadis, baik secara ontologis maupun
epistimologis. Kritik sanad Hadis dan kritik matan-nya…