Kamis, 06 Februari 2020

KRITIK ULAMA HADIS


—Saiful Islam*—

“Berikut saya berikan contoh Hadis muttafaq ‘alayh yang bertentangan dengan Qur’an dan Sains sekaligus…”

Kesahihah Hadis, itu harus ditinjau paling tidak dari dua aspek. Pertama, sisi sanad-nya (rangkaian para periwayat teks Hadis). Yang kemudian melahirkan istilah kritik sanad (naqd al-sanad). Kedua, dari sisi matan-nya, yakni teks Hadis itu sendiri. Yang lantas memunculkan istilah kritik matan (nadq al-matn).

Kali ini, saya akan mengajak kawan-kawan pembaca melihat kriteria kritik matan Hadis menurut ulama Hadis. Tentu saja, saya hanya menceritakan garis besarnya saja. Untuk detailnya, kawan-kawan bisa membaca buku berjudul Manhaj Naqd al-Matn ‘ind Ulama’ al-Hadits al-Nabawiy yang ditulis oleh Dr. Shalahudin ibn Ahmad al-Adlabiy. Versi terjemahannya juga sudah ada, dengan judul yang tak kalah keren: Metodologi Kritik Matan Hadis.

Di buku tersebut, kawan-kawan akan melihat dengan sangat jelas, mengapa gampangan mengumbar Hadis itu sangat berbahaya. Orang yang hati-hati, itu bukanlah orang yang banyak-banyakan menyampaikan Hadis. Justru sebaliknya, orang yang hati-hati adalah orang yang sedikit meriwayatkan Hadis. Apalagi bagi orang yang tidak tahu, tidak mengerti, dan tidak paham tentang bagaimana cara menyikapi Hadis. Ingat, cara menyikapi Hadis (how to deal with Hadith), itulah yang amat sangat penting terkait Hadis.

Dengan banyak sekali contoh Hadis yang telah dipaparkan, tampaknya Ulama Hadis sudah sepakat. Bahwa kesahihan sanad, itu tidak menjamin kesahihan matan. Disebutkan dalam buku itu, bahwa Hadis yang sahih, itu hanya jika sanad dan matan-nya sahih. Salah satu dari kedua aspek tersebut ada yang tidak sahih, maka Hadis yang berangkutan pasti tidak sahih. Tidak valid. Tidak otentik. Dan harus ‘diletakkan’.

Paling tidak ada empat kriteria sebuah matan (teks Hadis) dihukumi sahih. Yaitu: (1) Teks Hadis tidak boleh bertentangan dengan Qur’an; (2) Tidak boleh bertentangan dengan Hadis lain dan Sejarah atau Sirah yang sahih; (3) Tidak boleh bertentangan dengan akal sehat (Sains), Indra, dan Sejarah; (4) Kritik terhadap Hadis-Hadis yang tidak menyerupai perkataan Nabi.

Itulah kenapa saya berkali-kali menegaskan bahwa tidak perduli sanad-nya sahih, tidak perduli sebuah Hadis terdapat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, tidak perduli distempel muttafaq ‘alayh, tidak perduli diklaim sebagai Hadis Mutawatir, kalau redaksi teks Hadis tersebut bertentangan dengan Qur’an dan data-data Sains yang valid, maka niscaya Hadis yang bersangkutan wajib dan harus ‘diletakkan’.

Dengan kata lain, sebuah Hadis, itu harus diverivikasi terlebih dahulu. Paling tidak dengan Qur’an dan data-data Saintifik.

Kenapa bisa terjadi sanad yang sahih, itu tidak menjamin matan yang sahih? Karena ternyata sistem isnad, itu berkembang di akhir abad pertama Hijrah. Sementara Rasulullah wafat di awal abad pertama Hijrah. Selain itu, tidak mustahil sistem isnad itu sengaja dibuat untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Dan yang jelas, ketika Rasulullah masih hidup, Hadis-Hadis lengkap dengan sanad-sanad-nya, itu tidak ada. Sekali lagi, tidak ada!

Tulisan-tulisan sebelumnya, sebenarnya saya sudah menunjukkan contoh-contoh Hadis yang dicap muttafaq ‘alayh, bahkan distempel Mutawatir, yang harus dan wajib ‘diletakkan’ itu. Meskipun dengan sudut pandang Hadis qudsi dan Hadis ramalan atau Hadis prediktif. Kali ini saya berikan contoh sebuah Hadis, yang meskipun riwayat Bukhari dan Muslim (muttafaq ‘alayh), tetapi bertentangan dengan Qur’an dan Sains sekaligus. Berikut ini.

Penciptaan salah seorang diantara kalian dihimpun dalam perut ibunya selama 40 hari (malam). Kemudian menjadi segumpal darah dalam 40 hari berikutnya. Kemudian menjadi segumpal daging dalam 40 hari berikutnya. Kemudian Allah mengutus malaikat kepadanya dan memerintahkan untuk menetapkan empat kalimat (empat hal): tentang rejekinya, ajalnya, amalnya, sengsara ataukah bahagia. Kemudian ditiupkan ruh padanya. Sungguh ada salah seorang di antara kalian yang melakukan amalan-amalan penghuni surga hingga tak ada jarak antara dia dan surga selain sehasta, namun kemudian takdir telah mendahului dia, lantas ia pun melakukan amalan penghuni neraka dan akhirnya masuk neraka. Dan sungguh ada salah seorang diantara kalian yang melakukan amalan penghuni neraka, hingga tak ada jarak antara dia dan neraka selain sehasta, namun kemudian takdir mendahuluinya, lantas ia pun mengamalkan amalan penghuni surga sehingga ia memasukinya.

Hadis Bukhari nomor 6900 tersebut, secara sanad, dinilai sahih misalnya kalau kita menggunakan aplikasi Ensiklopedi Hadits Kitab 9 Imam. Hadis Muslim nomor 4781, ini juga dinilai sahih. Ditulis: shahih menurut Ijma’ Ulama. Tetapi sekali lagi, sahih yang dimaksud di sini adalah sahih sanad-nya. Jadi baru sahih sanad-nya. Saya pun setuju kalau sanad-nya memang sahih. Tetapi ingat, sebuah Hadis dikatakan sahih, itu tidak hanya sahih sanad-nya saja. Tapi juga harus sahih matan-nya.

Tentang nuthfah alias sperma selama 40 hari di dalam rahim, itu bertentangan dengan data Sains. Sperma itu hanya akan hidup maksimal 3 hari atau sekitar 72 jam. Jika dalam waktu tersebut sperma tidak bertemu dengan sel telur, maka jutaan sel sperma itu akan mati.

Hadis itu menyebut masa ‘alaqah 40 hari. Begitu juga 40 hari untuk mudhghah. Ini juga tidak berdasar. Sebab gumpalan ‘alaqah yang menempel di dinding rahim itu pada hari ke-21 sudah menjadi gumpalan mudhghah yang terus berkembang cepat. Sehingga pada usia 60 hari saja, sudah berbentuk manusia. Meski hanya sekitar 2 cm, tetapi organ-organnya sudah lengkap dan hidup.

Yang paling fatal adalah waktu ditiupkannya ruh kepada janin yang menurut Hadis itu baru setelah 4 bulan. Sampai sebagian umat Islam ada yang menghalalkan aborsi sebelum 4 bulan ini dengan alasan janin belum ada ruhnya. Tentu ini kesalahan fatal sekali. Kriminal!

Padahal menurut Qur’an, ruh itu sudah ditiupkan oleh Allah kepada cikal bakal manusia sejak hari pertama, dimana sel telur dan sperma dipertemukan di dalam rahim. Yakni, saat Allah mengeluarkan cikal bakal keturunan Adam yang masih berupa air mani dari sulbi alias organ reproduksinya. Sejak itu pula, manusia sudah hidup. Bahkan sudah bisa bersyahadat.

QS. Al-A’raf[7]: 172
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَافِلِينَ
Dan (ingatlah), KETIKA TUHANMU MENGELUARKAN KETURUNAN ANAK-ANAK ADAM DARI ORGAN REPRODUKSI MEREKA DAN ALLAH MENGAMBIL KESAKSIAN TERHADAP JIWA MEREKA (SERAYA BERFIRMAN): "BUKANKAH AKU INI TUHANMU?" MEREKA MENJAWAB: "BETUL (ENGKAU TUHAN KAMI), KAMI MENJADI SAKSI." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".

Masalah berikutnya dalam Hadis itu adalah tentang konsep takdir, yang mengatakan bahwa seseorang yang masuk surga atau neraka sudah ditetapkan sejak awal penciptaannya. Tentu ini tidak benar. Surga atau neraka itu, nasib yang tergantung pilihan seseorang. Iman, yang merupakan salah satu syarat masuk surga, itu saja pilihan. “Siapa yang ingin beriman, silakan beriman. Yang ingin kafir, silakan kafir,” begitu kata QS.18:29.

Ayat di bawah dengan tegas juga menyebutkan, bahwa Allah tidak mengubah nasib atau keadaan suatu kaum, sampai mereka mau mengubahnya dengan diri mereka sendiri. Dan bertaburan ayat yang lain hukum bahwa orang yang beriman dan beramal saleh, itu balasannya adalah surga. Balasan kebaikan adalah surga. Keburukan, kejahatan, dan kriminalitas balasannya adalah neraka. Sehingga Hadis di atas memang harus dan wajib ‘diletakkan’.

QS. Al-Ra’ad[13]: 11
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ ۗ
Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan (nasib) sesuatu kaum SAMPAI MEREKA MERUBAHNYA DENGAN DIRI MEREKA SENDIRI.

Begitu. Ini sudah tulisan ke-62. Saya rasa untuk tema MENGGUGAT KEWAHYUAN HADIS, ini kita cukupkan sampai di sini. Semoga bermanfaat.

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

*Penulis Ayat-Ayat Kemenangan

1 komentar:

  1. Mohon ma'af... Berdasarkan informasi yang saya fahami, Nutfah itu bukan sperma. Akan tetapi Nutfah itu merupakan sdh bertemunya antara mani laki-laki atau sel sperma dengan mani perempuan atau sel telur (ovum).
    Keterangan seperti ini saya simpulkan dari Qs.75 Al qiyamah ayat 37 yang berbunyi :

    أَلَمْ يَكُ نُطْفَةً مِّن مَّنِيٍّ يُمْنَى

    37. Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim),

    نُطْفَةً مِّن مَّنِيٍّ يُمْنَى

    BalasHapus

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...