Selasa, 04 Februari 2020

NABI BUKAN PERAMAL


—Saiful Islam*—

“Saya termasuk yang ‘meletakkan’ Hadis prediktif (ramalan) tersebut. Meskipun diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim…”

Terkait tema MENGGUGAT KEWAHYUAN HADIS, ini seorang kawan menyodorkan tentang Hadis ramalan. Yang umum dikenal dengan Hadis prediktif. Dengan Hadis ramalan, itu tampaknya ia bermaksud bahwa Nabi ternyata bisa tahu sebelumnya tentang hal-hal yang akan terjadi di masa depan. Dengan begitu, disimpulkan bahwa bisa saja Nabi mendapat wahyu teologis mandiri selain Qur’an.

Terkait Hadis ramalan ini, kita bisa menyimak uraian Fazlur Rahman di dalam bukunya Islamic Methodology in History. Sebagai pelengkap, bisa disimak tulisan Abdul Fatah Idris yang dimuat di jurnal Teologia dengan judul Hadis Prediktif dalam Kitab al-Bukhari. Atau makalahnya yang lain dengan judul Studi Analisis Takhrij Hadis-Hadis Prediktif dalam Kitab al-Bukhari.

Menurut Rahman, berdasarkan bukti-bukti historis yang nyata, sebuah Hadis yang mengandung ramalan, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung, tidak dapat diterima seolah-olah benar-benar bersumber dari Nabi, dan Hadis tersebut harus dihubungkan dengan periode yang relevan di dalam Sejarah yang kemudian. Yang ditolak itu, lebih kepada ramalan yang bersifat spesifik.

Prinsip di atas telah diterima oleh hampir semua ahli Hadis klasik. Tetapi tidak benar-benar diterapkan berdasarkan bukti-bukti historis. Sementara menolak ramalan yang bersifat spesifik, seperti ramalan yang disebutkan hari, tanggal, atau tempat tertentu, mereka secara mentah-mentah menerima ramalan-ramalan mengenai kebangkitan kelompok-kelompok teologis Islam, kelompok-kelompok politik Islam, dan partai-partai Islam.

Rahman mendefinisikan Hadis prediktif sebagai Hadis yang tidak bersumber dari Nabi, tetapi merupakan Hadis-Hadis yang diformulasikan dan seolah-olah bersumber dari Nabi.

Bukti bahwa Hadis ramalan bukan dari Nabi, adalah tugas Rasul sejak awal diutus Allah di kota Mekah, itu bertujuan untuk membebaskan praktik-praktik kaahin (dukun/peramal) yang menjurus pada syirik kepada Allah.

QS. Al-Thur[52]: 29
فَذَكِّرْ فَمَا أَنْتَ بِنِعْمَتِ رَبِّكَ بِكَاهِنٍ وَلَا مَجْنُونٍ
Maka tetaplah memberi peringatan. Dan disebabkan nikmat Tuhanmu, KAMU BUKANLAH SEORANG TUKANG RAMAL (DUKUN) dan bukan pula seorang gila.

Karenanya, Hadis-Hadis ramalan yang secara langsung atau tidak langsung atau pun secara spesifik yang bertujuan untuk kepentingan golongan politik, dogmatis dan teologis, jelas sekali tidak bersumber dari Nabi.

Ciri-ciri Hadis ramalan, itu terdapat kata-kata atau kalimat seperti ‘sayakuun atau satakuun: akan ada…’ atau ‘akan terjadi…’, ‘yakuun ba’diy: setelah aku, nanti akan ada…’ atau ‘setelah aku, nanti akan terjadi…’, dan ‘saya’tiy zamaan: akan datang suatu zaman…’.

Peperangan-peperangan politik beserta pertentangan-pertentangan teologis dan dogmatis yang susul-menyusul telah menimbulkan Hadis-Hadis prediktif, dan dikenal sebagai Hadis mengenai perang saudara (Hadiits al-Fitan). Untuk membenarkan Hadis-Hadis mengenai perang saudara ini, disebarkanlah Hadis-Hadis yang sangat jitu. Misalnya dari Sahabat Hudzayfah yang mengatakan begini:

“Pada suatu ketika Nabi berdiri di antara kami, dengan cara yang sedemikian rupa sehingga tidak ada satu hal (penting) pun yang akan terjadi sebelum Hari Pengadilan nanti yang tidak dinyatakannya di dalam amanat itu. Ada orang-orang yang mengingat amanat itu dan ada pula yang telah melupakannya… Ada beberapa hal dalam amanat itu yang tidak kuingat lagi tetapi apabila dihadapkan kepadaku niscaya akan kuingat kembali seperti halnya seseorang mengingat wajah seseorang yang sedang tidak ada lagi. Tetapi jika ia melihatnya lagi niscaya ia segera mengenalnya.”

Hadis di atas, itu dikutip oleh Bukhari dan Muslim. Menurut Abu Dawud, Hudzayfah mengatakan bahwa Nabi telah menyebutkan nama, nama orang tua, dan suku dari setiap pemimpin golongan-golongan politik yang saling berselisih, golongan-golongan yang masing-masing mempunyai pengikut sebanyak tiga ratus orang atau lebih.

Ada lagi, Hadis-Fitnah (Hadis Fitan) yang khas berasal dari Bukhari dan Muslim di bawah ini yang diperkirakan diriwayatkan juga oleh Hudzayfah:

“Orang-orang biasanya bertanya kepada Nabi mengenai kebajikan. Tetapi aku bertanya mengenai kejahatan. Karena aku takut tergelincir kepada kejahatan. Aku bertanya: ‘Ya Rasulullah. Di masa lampau kami berada dalam kebodohan serta kejahatan dan setelah itu Allah membawakan kebajikan ini. Akan adakah kejahatan sesudah kebajikan ini?’ Nabi menjawab: ‘Ya!’

“Apakah kebajikan ini akan kembali lagi sesudah kejahatan itu?’ Tanyaku. Nabi menjawab: ‘Ya. Namun di dalamnya terdapat berbagai penyelewenagan.’

“Apakah penyelewengan-penyelewengan itu?’ Tanyaku. Nabi menjawab: ‘Ada orang-orang yang mengikuti bukan Sunnahku dan memberi bimbingan ke arah yang berlainan dari yang kuberikan. Ada perbuatan-perbuatan yang baik dan ada pula perbuatan-perbuatan yang jahat.’

“Aku bertanya: ‘Apakah setelah kebajikan (yang bercampur penyelewengan) ini juga timbul kejahatan?’ Ia menjawab: ‘Ya, orang-orang yang menyeru dan berdiri di pintu neraka. Barang siapa mendengar mereka pasti akan dilemparkan mereka ke dalam neraka.’

“Jelaskanlah kepada kami siapakah mereka itu ya Rasulullah,’ aku bermohon. Nabi menjawab: ‘Mereka adalah sebangsa dengan kita dan mempergunakan bahasa yang sama.’

“Apakah yang engkau perintahkan kepadaku apabila aku berada di dalam situasi yang seperti itu?’ aku bertanya. Nabi menjawab: ‘BERPEGANGLAH KEPADA PIHAK MAYORITAS KAUM MUSLIMIN DAN PEMIMPIN POLITIK MEREKA.’

“Apabila tidak ada pihak mayoritas dan pemimpin politik mereka?’ aku terus bertanya. Nabi menjawab: ‘Jika demikian, TINGGALKANLAH MEREKA SEMUA. Sekalipun engkau harus bergantung kepada akar sebuah pohon sampai ajalmu’.”

Menurut sebuah versi lain di dalam Shahih Muslim, Nabi Muhammad berkata: “Setelah aku nanti akan datang pemimpin-pemimpin politik yang tidak suka dengan bimbinganku dan tidak suka mematuhi Sunnahku. Di antara mereka ada yang berhati setan di dalam wujud manusia.” Hudzayfah mengatakan bahwa ia mengajukan pertanyaan: “Apakah yang harus kulakukan, Ya Rasulullah, jika aku berada di dalam situasi yang seperti itu?” Maka Nabi pun menjawab: “DENGAR DAN PATUHILAH PEMIMPIN POLITIK TERSEBUT. SEKALIPUN IA MENYIKSAMU DAN MERAMPAS HARTA BENDAMU, ENGKAU HARUS MENDENGAR DAN MEMATUHINYA.”

Juga dijumpai Hadis prediktif yang hanya diriwayatkan oleh Bukhari. Sebagai berikut: “AKAN TERJADI PERANG SAUDARA dimana manusia yang duduk di rumah dalah lebih baik daripada yang beridiri. Yang berdiri lebih baik dari yang berjalan. Dan yang berjalan lebih baik dari yang berlari…”

Sudah tentu, tak satu pun Hadis-Hadis di atas, itu dapat diterima sebagai Hadis yang benar-benar bersumber dari Nabi. Saya termasuk yang ‘meletakkan’ Hadis ramalan tersebut. Meskipun diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim. Seruan bahwa seorang pemimpin yang zalim sekalipun harus ditaati adalah saran berdasarkan kepentingan-kepentingan politik. Kepentingan politik tersebut timbul, itu karena perang saudara yang tak kunjung padam.

Tentu saja, Hadis-Hadis ramalan seperti itu, muncul bersamaan atau setelah terjadinya fitnah (perpecahan) antar umat Islam sendiri. Terutama golongan mayoritas yang berkuasa (Bani Umayyah) versus golongan Ali bin Abi Thalib.

Mustahil Hadis ramalan semacam ini ada ketika Nabi masih hidup. Tidak mungkin Nabi membenarkan atau merestui fitnah tersebut. Karena pasti bertentangan dengan Qur’an, misalnya QS.3:103 dan QS.49:11, yang menyuruh supaya semua umat Islam selalu bersatu dengan Qur’an sebagai pedoman dan prinsip hidup satu-satunya.

QS. Ali Imran[3]: 103
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ
Dan BERPEGANGLAH kalian semuanya kepada TALI ALLAH (AL-QUR’AN), dan JANGANLAH BERCERAI BERAI.

Pemimpin yang zalim harus tetap dipatuhi, tentu saja ini juga bertabrakan dengan prinsip Qur’an, misalnya QS.11:18,102; QS.6:21 dan lain-lain.

QS. Hud[11]: 18
أَلَا لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الظَّالِمِينَ
Ingatlah, LAKNAT ALLAH (DITIMPAKAN) atas orang-orang yang ZALIM.

Tentu beda sekali dengan kejadian-kejadian masa depan yang sudah disebutkan terlebih dahulu oleh Qur’an. Misalnya kemenangan bangsa Romawi sebagaimana ditegaskan oleh QS.30:2-4. Barulah ini wahyu. Nabi akan bisa tahu kejadian masa depan, itu hanya sebatas info dari wahyu. Yakni dari Qur’an saja. Atau prediksi-prediksi beliau SAW berdasarkan kejadian-kejadian terdahulu sebagai sunnatullah (sebab akibat) yang wajar dan alamiyah.

Masalah lain terkait Hadis ramalan ini adalah waktu datangnya kiamat. Masa depan seperti kiamat, ini memang perkara gaib. Tentu saja Nabi tidak akan tahu. Sampai ditegaskan oleh QS.7:187-188 bahwa hanya Allah saja yang tahu. Datangnya pun tiba-tiba. “Sekiranya aku mengetahui yang gaib, niscaya aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya. Aku hanyalah pemberi peringatan,” begitu kata Nabi.

Sehingga Hadis Shahih Bukhari, yang menyatakan Rasulullah bersabda, “Tidak akan terjadi kiamat sehingga matahari terbit dari arah barah,” jelas-jelas tertolak. Hadis semacam ini harus ‘diletakkan’. Saya termasuk yang ‘meletakkannya’.

Jadi kesimpulannya, Hadis-Hadis prediktif tidak bisa dijadikan dasar argumen bahwa Nabi bisa mendapat wahyu teologis mandiri yang lain di samping Qur’an.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

*Penulis Ayat-Ayat Kemenangan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...