—Saiful Islam*—
“Saya termasuk yang ‘meletakkan’
Hadis prediktif (ramalan) tersebut. Meskipun diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim…”
Terkait tema MENGGUGAT KEWAHYUAN
HADIS, ini seorang kawan menyodorkan tentang Hadis ramalan. Yang umum dikenal
dengan Hadis prediktif. Dengan Hadis ramalan, itu tampaknya ia bermaksud bahwa
Nabi ternyata bisa tahu sebelumnya tentang hal-hal yang akan terjadi di masa
depan. Dengan begitu, disimpulkan bahwa bisa saja Nabi mendapat wahyu teologis
mandiri selain Qur’an.
Terkait Hadis ramalan ini, kita
bisa menyimak uraian Fazlur Rahman di dalam bukunya Islamic Methodology in
History. Sebagai pelengkap, bisa disimak tulisan Abdul Fatah Idris yang
dimuat di jurnal Teologia dengan judul Hadis Prediktif dalam Kitab
al-Bukhari. Atau makalahnya yang lain dengan judul Studi Analisis
Takhrij Hadis-Hadis Prediktif dalam Kitab al-Bukhari.
Menurut Rahman, berdasarkan bukti-bukti
historis yang nyata, sebuah Hadis yang mengandung ramalan, baik yang bersifat
langsung maupun tidak langsung, tidak dapat diterima seolah-olah benar-benar
bersumber dari Nabi, dan Hadis tersebut harus dihubungkan dengan periode yang
relevan di dalam Sejarah yang kemudian. Yang ditolak itu, lebih kepada ramalan
yang bersifat spesifik.
Prinsip di atas telah diterima oleh
hampir semua ahli Hadis klasik. Tetapi tidak benar-benar diterapkan berdasarkan
bukti-bukti historis. Sementara menolak ramalan yang bersifat spesifik, seperti
ramalan yang disebutkan hari, tanggal, atau tempat tertentu, mereka secara
mentah-mentah menerima ramalan-ramalan mengenai kebangkitan kelompok-kelompok
teologis Islam, kelompok-kelompok politik Islam, dan partai-partai Islam.
Rahman mendefinisikan Hadis
prediktif sebagai Hadis yang tidak bersumber dari Nabi, tetapi merupakan
Hadis-Hadis yang diformulasikan dan seolah-olah bersumber dari Nabi.
Bukti bahwa Hadis ramalan bukan
dari Nabi, adalah tugas Rasul sejak awal diutus Allah di kota Mekah, itu
bertujuan untuk membebaskan praktik-praktik kaahin (dukun/peramal) yang
menjurus pada syirik kepada Allah.
QS. Al-Thur[52]: 29
فَذَكِّرْ فَمَا أَنْتَ
بِنِعْمَتِ رَبِّكَ بِكَاهِنٍ وَلَا مَجْنُونٍ
Maka tetaplah memberi peringatan. Dan
disebabkan nikmat Tuhanmu, KAMU BUKANLAH SEORANG TUKANG RAMAL (DUKUN) dan bukan
pula seorang gila.
Karenanya, Hadis-Hadis ramalan yang
secara langsung atau tidak langsung atau pun secara spesifik yang bertujuan
untuk kepentingan golongan politik, dogmatis dan teologis, jelas sekali tidak
bersumber dari Nabi.
Ciri-ciri Hadis ramalan, itu
terdapat kata-kata atau kalimat seperti ‘sayakuun atau satakuun: akan
ada…’ atau ‘akan terjadi…’, ‘yakuun ba’diy: setelah aku, nanti
akan ada…’ atau ‘setelah aku, nanti akan terjadi…’, dan ‘saya’tiy zamaan:
akan datang suatu zaman…’.
Peperangan-peperangan politik
beserta pertentangan-pertentangan teologis dan dogmatis yang susul-menyusul
telah menimbulkan Hadis-Hadis prediktif, dan dikenal sebagai Hadis mengenai
perang saudara (Hadiits al-Fitan). Untuk membenarkan Hadis-Hadis
mengenai perang saudara ini, disebarkanlah Hadis-Hadis yang sangat jitu.
Misalnya dari Sahabat Hudzayfah yang mengatakan begini:
“Pada suatu ketika Nabi berdiri di
antara kami, dengan cara yang sedemikian rupa sehingga tidak ada satu hal
(penting) pun yang akan terjadi sebelum Hari Pengadilan nanti yang tidak
dinyatakannya di dalam amanat itu. Ada orang-orang yang mengingat amanat itu
dan ada pula yang telah melupakannya… Ada beberapa hal dalam amanat itu yang
tidak kuingat lagi tetapi apabila dihadapkan kepadaku niscaya akan kuingat
kembali seperti halnya seseorang mengingat wajah seseorang yang sedang tidak
ada lagi. Tetapi jika ia melihatnya lagi niscaya ia segera mengenalnya.”
Hadis di atas, itu dikutip oleh
Bukhari dan Muslim. Menurut Abu Dawud, Hudzayfah mengatakan bahwa Nabi telah
menyebutkan nama, nama orang tua, dan suku dari setiap pemimpin
golongan-golongan politik yang saling berselisih, golongan-golongan yang
masing-masing mempunyai pengikut sebanyak tiga ratus orang atau lebih.
Ada lagi, Hadis-Fitnah (Hadis
Fitan) yang khas berasal dari Bukhari dan Muslim di bawah ini yang
diperkirakan diriwayatkan juga oleh Hudzayfah:
“Orang-orang biasanya bertanya
kepada Nabi mengenai kebajikan. Tetapi aku bertanya mengenai kejahatan. Karena
aku takut tergelincir kepada kejahatan. Aku bertanya: ‘Ya Rasulullah. Di masa
lampau kami berada dalam kebodohan serta kejahatan dan setelah itu Allah
membawakan kebajikan ini. Akan adakah kejahatan sesudah kebajikan ini?’ Nabi
menjawab: ‘Ya!’
“Apakah kebajikan ini akan kembali lagi
sesudah kejahatan itu?’ Tanyaku. Nabi menjawab: ‘Ya. Namun di dalamnya terdapat
berbagai penyelewenagan.’
“Apakah penyelewengan-penyelewengan
itu?’ Tanyaku. Nabi menjawab: ‘Ada orang-orang yang mengikuti bukan Sunnahku
dan memberi bimbingan ke arah yang berlainan dari yang kuberikan. Ada
perbuatan-perbuatan yang baik dan ada pula perbuatan-perbuatan yang jahat.’
“Aku bertanya: ‘Apakah setelah
kebajikan (yang bercampur penyelewengan) ini juga timbul kejahatan?’ Ia
menjawab: ‘Ya, orang-orang yang menyeru dan berdiri di pintu neraka. Barang
siapa mendengar mereka pasti akan dilemparkan mereka ke dalam neraka.’
“Jelaskanlah kepada kami siapakah
mereka itu ya Rasulullah,’ aku bermohon. Nabi menjawab: ‘Mereka adalah sebangsa
dengan kita dan mempergunakan bahasa yang sama.’
“Apakah yang engkau perintahkan
kepadaku apabila aku berada di dalam situasi yang seperti itu?’ aku bertanya.
Nabi menjawab: ‘BERPEGANGLAH KEPADA PIHAK MAYORITAS KAUM MUSLIMIN DAN PEMIMPIN
POLITIK MEREKA.’
“Apabila tidak ada pihak mayoritas
dan pemimpin politik mereka?’ aku terus bertanya. Nabi menjawab: ‘Jika
demikian, TINGGALKANLAH MEREKA SEMUA. Sekalipun engkau harus bergantung kepada
akar sebuah pohon sampai ajalmu’.”
Menurut sebuah versi lain di dalam Shahih
Muslim, Nabi Muhammad berkata: “Setelah aku nanti akan datang
pemimpin-pemimpin politik yang tidak suka dengan bimbinganku dan tidak suka
mematuhi Sunnahku. Di antara mereka ada yang berhati setan di dalam wujud
manusia.” Hudzayfah mengatakan bahwa ia mengajukan pertanyaan: “Apakah yang
harus kulakukan, Ya Rasulullah, jika aku berada di dalam situasi yang seperti
itu?” Maka Nabi pun menjawab: “DENGAR DAN PATUHILAH PEMIMPIN POLITIK TERSEBUT.
SEKALIPUN IA MENYIKSAMU DAN MERAMPAS HARTA BENDAMU, ENGKAU HARUS MENDENGAR DAN
MEMATUHINYA.”
Juga dijumpai Hadis prediktif yang
hanya diriwayatkan oleh Bukhari. Sebagai berikut: “AKAN TERJADI PERANG SAUDARA dimana
manusia yang duduk di rumah dalah lebih baik daripada yang beridiri. Yang berdiri
lebih baik dari yang berjalan. Dan yang berjalan lebih baik dari yang berlari…”
Sudah tentu, tak satu pun
Hadis-Hadis di atas, itu dapat diterima sebagai Hadis yang benar-benar
bersumber dari Nabi. Saya termasuk yang ‘meletakkan’ Hadis ramalan tersebut.
Meskipun diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim. Seruan bahwa seorang pemimpin yang
zalim sekalipun harus ditaati adalah saran berdasarkan kepentingan-kepentingan
politik. Kepentingan politik tersebut timbul, itu karena perang saudara yang
tak kunjung padam.
Tentu saja, Hadis-Hadis ramalan
seperti itu, muncul bersamaan atau setelah terjadinya fitnah (perpecahan) antar
umat Islam sendiri. Terutama golongan mayoritas yang berkuasa (Bani Umayyah)
versus golongan Ali bin Abi Thalib.
Mustahil Hadis ramalan semacam ini
ada ketika Nabi masih hidup. Tidak mungkin Nabi membenarkan atau merestui
fitnah tersebut. Karena pasti bertentangan dengan Qur’an, misalnya QS.3:103 dan
QS.49:11, yang menyuruh supaya semua umat Islam selalu bersatu dengan Qur’an
sebagai pedoman dan prinsip hidup satu-satunya.
QS. Ali Imran[3]: 103
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ
اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ
Dan BERPEGANGLAH kalian semuanya
kepada TALI ALLAH (AL-QUR’AN), dan JANGANLAH BERCERAI BERAI.
Pemimpin yang zalim harus tetap
dipatuhi, tentu saja ini juga bertabrakan dengan prinsip Qur’an, misalnya
QS.11:18,102; QS.6:21 dan lain-lain.
QS. Hud[11]: 18
أَلَا لَعْنَةُ اللَّهِ
عَلَى الظَّالِمِينَ
Ingatlah, LAKNAT ALLAH (DITIMPAKAN)
atas orang-orang yang ZALIM.
Tentu beda sekali dengan
kejadian-kejadian masa depan yang sudah disebutkan terlebih dahulu oleh Qur’an.
Misalnya kemenangan bangsa Romawi sebagaimana ditegaskan oleh QS.30:2-4.
Barulah ini wahyu. Nabi akan bisa tahu kejadian masa depan, itu hanya sebatas
info dari wahyu. Yakni dari Qur’an saja. Atau prediksi-prediksi beliau SAW
berdasarkan kejadian-kejadian terdahulu sebagai sunnatullah (sebab akibat) yang
wajar dan alamiyah.
Masalah lain terkait Hadis ramalan
ini adalah waktu datangnya kiamat. Masa depan seperti kiamat, ini memang
perkara gaib. Tentu saja Nabi tidak akan tahu. Sampai ditegaskan oleh QS.7:187-188
bahwa hanya Allah saja yang tahu. Datangnya pun tiba-tiba. “Sekiranya aku
mengetahui yang gaib, niscaya aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya. Aku
hanyalah pemberi peringatan,” begitu kata Nabi.
Sehingga Hadis Shahih Bukhari, yang
menyatakan Rasulullah bersabda, “Tidak akan terjadi kiamat sehingga matahari
terbit dari arah barah,” jelas-jelas tertolak. Hadis semacam ini harus ‘diletakkan’.
Saya termasuk yang ‘meletakkannya’.
Jadi kesimpulannya, Hadis-Hadis
prediktif tidak bisa dijadikan dasar argumen bahwa Nabi bisa mendapat wahyu
teologis mandiri yang lain di samping Qur’an.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
*Penulis Ayat-Ayat Kemenangan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar