Minggu, 30 Juni 2019

ULAR DALAM QUR’AN


—Saiful Islam—

“Kata ular tidak hanya dua. Tapi tiga: hayyah, tsu’baan, dan jaann…”

Masih menurut Lisan al-‘Arab, al-tsu’baan adalah ular yang gemuk dan panjang. Kata ini khusus untuk ular jantan. Menurut satu pendapat, setiap hayyah (ular) adalah tsu’baan. Firman Allah (7:107 dan 26:32), “Musa melemparkan tongkatnya, maka tongkat itu (menjadi) tsu’baan yang jelas,” menurut Al-Zazzaj yang dimaksud adalah jenis ular yang besar.

Jika ditanyakan, “Bagaimana tsu’baan itu disebut ular besar, sementara di tempat yang lain (27:10 dan 28:31) ada ayat: bergerak seakan-akan al-jaann, sementara arti al-jaann itu sejenis ular kecil?” Maka jawabannya adalah bentuk fisiknya memang ular besar. Hanya pergerakannya dan ringannya itu seperti ular kecil.

Menurut Ibnu al-Syumayl, semua jenis al-hayaat (ular) adalah tsu’baan. Baik ular kecil, besar, ular betina, maupun ular jantan. Sedangkan Abu Khayrah dan Al-Dhahhak berpendapat bahwa al-tsu’baan adalah ular jantan.

Adapun Quthrub mengatakan bahwa al-tsu’baan adalah al-hayyah (ular) jantan yang kuning dan berbulu. Ini adalah jenis ular terbesar. Menurut Al-Syamir al-tsu’baan yang dari al-hayyaat (jenis ular), yaitu ular gemuk yang besar, merah, pemburu tikus. Ia lantas berkata, “Ular ini (al-tsu’baan) di beberapa tempat, dipinjam untuk mengusir tikus. Di dalam rumah, ular tersebut lebih bermanfaat daripada kucing.”

Sedangkan menurut Al-Khalil, al-tsu’baan adalah air. Bentuk kata tunggalnya (singular atau mufrod) adalah tsa’bun. Namun dikritik oleh yang lain, yang bermakna air itu adalah al-tsaghb. Dengan huruf ghain (bukan ‘ain).

Sementara itu, Al-Raghib al-Ashfahaniy dalam Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, cukup ringkas mengulas kata al-tsu’baan ini. Terutama ketika mengomentari firman Allah (7:107 dan 26:32). Menurutnya, boleh saja kata al-tsu’baan itu diambil dari kata-kata orang Arab, “Tsa’abtu al-maa’a fantsa’aba (aku menuang air, maka air itu pun mengalir), ay fajartuhu wa asaltuhu fasaala (yakni aku menjalankannya dan mengalirkannya, maka air itu pun mengalir).” Termasuk juga aliran hujan.

Adapun al-tsu’bah perumpamaan untuk cicak. Bentuk kata jamaknya (plural) adalah tsu’ab. Cicak diserupakan dengan ular (tsu’baan) karena karakteristiknya yang mirip. Kata tsu’bah ini adalah ringkasan dari kata tsu’baan. Karena karakteristik cicak itu bagian dari karakteristik ular.

Nah, ternyata kata yang sering diterjemahkan ular, itu dalam Qur’an bukan hanya dua. Tidak hanya hayyah dan tsu’baan. Tapi ada tambahan satu lagi. Jadi tiga. Yaitu, kata jaann. Seperti disebut dalam ayat berikut.

QS. Al-Naml[27]: 10
وَأَلْقِ عَصَاكَ ۚ فَلَمَّا رَآهَا تَهْتَزُّ كَأَنَّهَا جَانٌّ وَلَّىٰ مُدْبِرًا وَلَمْ يُعَقِّبْ ۚ يَا مُوسَىٰ لَا تَخَفْ إِنِّي لَا يَخَافُ لَدَيَّ الْمُرْسَلُونَ
“Dan lemparkanlah tongkatmu". Maka tatkala Musa melihatnya bergerak-gerak seolah-olah seperti seekor ular yang gesit, larilah ia berbalik ke belakang tanpa menoleh. "Hai Musa, janganlah kamu takut. Sesungguhnya orang yang dijadikan rasul, tidak takut di hadapan-Ku.”

QS. Al-Qashash[28]: 31
 وَأَنْ أَلْقِ عَصَاكَ ۖ فَلَمَّا رَآهَا تَهْتَزُّ كَأَنَّهَا جَانٌّ وَلَّىٰ مُدْبِرًا وَلَمْ يُعَقِّبْ ۚ يَا مُوسَىٰ أَقْبِلْ وَلَا تَخَفْ ۖ إِنَّكَ مِنَ الْآمِنِينَ
“Dan lemparkanlah tongkatmu. Maka tatkala Musa melihatnya bergerak-gerak seolah-olah ia seekor ular yang gesit. Larilah Musa berbalik ke belakang tanpa menoleh. (Kemudian Musa diseru): "Hai Musa datanglah kepada-Ku dan janganlah kamu takut. Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang aman.”

Dan Lisan al-‘Arab cukup menarik mengartikan kata al-jaann ini. Nantikan berikutnya.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Salam

Sabtu, 29 Juni 2019

MENGALIR TAK MESTI ULAR


—Saiful Islam—

“Menurut saya, tafsirnya Layts itu tidak pas…”

Ketiga, masih menurut Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, arti al-hayaah adalah untuk kekuatan berakal. Seperti kalimat penyair, “Waqod naadayta law asma’ta hayyan. Walaakin laa hayaata liman tunaadiy, Engkau sukses berdakwah jika memperdengarkan kepada yang hidup, sayangnya yang kau dakwahi itu mati.”

QS. Al-An’am[6]: 122
أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا ۚ كَذَٰلِكَ زُيِّنَ لِلْكَافِرِينَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Dan apakah orang yang sudah mati kemudian Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.

Keempat, al-hayyah berarti sebuah ibarat untuk menghilangkan duka cita atau kesedihan hati.

QS. Ali Imran[3]: 169
وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.

Kelima, kehidupan akhirat yang abadi. Ini juga terkait dengan kehidupan akal dan ilmu.

QS. Al Anfal[8]: 24
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ ۖ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang menghidupkanmu. Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.

QS. Al-Fajr[89]: 24
يَقُولُ يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي
Dia mengatakan: "Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini.”

Keenam, hidup yang menjadi sifat Yang Maha Menciptakan. Ketika Allah disebut Yang Maha Hidup, maka Ia tak akan pernah mati. Dan hidup yang ini hanya milik Allah saja.

Dari Lisan al-‘Arab, kita sudah tahu kemarin, bahwa ada yang berpendapat bahwa al-hayyah (ular) itu diambil dari kata hawaytu. Yang dibenarkan oleh Abu Manshur. Nah, di Al-Mufradat ini, kata al-hawaayaa diartikan sebagai usus. Ular dan usus terambil dari kata yang sama, karena sama-sama melingkar.

Kira-kira begitulah gambaran kata ular dari kata hayyah. Baik dari Lisan al-‘Arab maupun Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an. Sekarang kita coba menelisik kata lain yang juga diterjemahkan ular. Yaitu kata tsu’baan (7:107 dan 26:32).

Al-Munawwir dan Mahmud Yunus, memang mengartikan tsu’baan itu adalah ular. Bentuk pluralnya tsa’aabiin.

Dari kata tsa’aba. Al-tsa’ab itu adalah aliran air di lembah. Jadi untuk menyebut alirannya. Bukan airnya. Jika dikatakan, “Maa’un tsa’bun,” ini berarti air yang mengalir.

Lisan al-‘Arab mengartikan tsa’aba itu mengalir atau mengalirkan. Seperti kalimat, tsa’aba al-maa’a wa al-dama. Yakni berarti mengalirkan air, darah, dan yang semisalnya. Mats’ab al-mathar, aliran hujan, juga terambil dari kata yang sama itu juga menurut Al-Layts.

Dalam Hadis juga dijumpai redaksi yang menggunakan kata tsa’aba yang berarti mengalir itu. Misalnya, “Wa jurhuhu yats’ab daman, lukanya mengalirkan darah,” dan begitu juga “intsa’abat jadyad al-dam”.

Al-tsa’ab, al-waqii’ah, dan al-ghadiir, semua kata ini berarti sama. Yaitu tempat berkumpulnya air. Al-Layts berpendapat bahwa al-tsa’ab itu adalah sebagian buih yang terkumpul dalam aliran hujan. Namun dikritik oleh Al-Azhariy, “Tafsirnya Layts terhadap kata al-tsa’b itu tidak pas. Menurut saya, al-tsa’ab itu alirannya (bukan buihnya). Bukan buih yang terkumpul dari aliran hujan.”

Begitu dulu. Mohon yang sabar ya. Hehe. Memahami Qur’an itu memang harus sabar. Tartil. Saya sengaja mengeksplor kosa katanya, supaya analisisnya nanti antum tahu ada sandarannya. Tidak ngawur. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Salam

Jumat, 28 Juni 2019

TAMSIL KATA ULAR


—Saiful Islam—

“Orang, suku, tempat, dll, bisa disebut ular oleh orang Arab…”

Di antara perumpaan yang dilakukan oleh orang Arab dengan kata ular adalah seperti, “Kepalanya adalah kepala ular,” yakni cemerlang, cerdas dan cerdik. “Si Fulan adalah ular jantan,” yakni sangat berani. Mereka memanggil seorang laki-laki dengan ungkapan, “Allah memberinya minum dengan darah ular-ular,” yakni Allah membinasakannya. Ada lagi, “Aku melihat ular dan kala jengking di bukunya,” yakni ketika penulisnya memfitnahkan seseorang kepada pemimpin, agar orang yang difitnah tersebut berada dalam keadaan sulit (dilema).

Untuk laki-laki atau perempuan yang panjang umur, dikatakan, “Laki-laki itu, tiada lain kecuali ular,” atau “Tak lain dan tak bukan, perempuan ini adalah ular.” Itu karena panjangnya umur ular. Seakan-akan laki-laki atau perempuan itu disebut ular karena panjang umurnya. “Si Fulan adalah ularnya padang pasir, ularnya bumi, ularnya pohon al-hamath,” yakni ketika kelicikan dan kejahatannya sudah mencapai puncaknya. Begitu kata Al-A’robiy.

“Al-hayyah min simaat al-ibil,” yaitu nama sebuah tanda (andeng-andeng, orang Jawa bilang) di pipi atau pun leher yang melingkar seperti ular. Ini dari Ibnu Habib sebagai sebutan untuk Abi Aliy.

“Hayyah ibn Bahdalah,” ini untuk menyebut sebuah kabilah. Atau suku tertentu. Yakni kabilah Hayawiy seperti diceritakan Sibawaih dari al-Khalil dari orang-orang Arab.

Sedangkan “Banu Hayy” atau  Banu al-Hayaa”, itu nama untuk marga atau klan orang Arab. “Muhayyaah” adalah nama tempat. Orang-orang Arab menyebut yahya, huyayyan, hayyan, hiyyan, hayyaan, huyayyah, dan al-hayaa untuk nama orang perempuan. Dan adapun Abu Tihyaah, itu julukan seorang laki-laki.

Jadi, kata al-hayyah (ular), dalam Lisan al-‘Arab, itu adalah dari kata hayaa. Yakni al-hayaah (hidup) diartikan sebagai lawan dari mati.

*******************

Dari kata hayiya, menurut Al-Raghib al-Ashfahaniy, kata al-hayaah dipakai untuk beberapa sudut pandang. Pertama, adalah kekuatan inheren yang muncul pada tumbuh-tumbuhan dan hewan. Makanya ada ungkapan, “Tanaman itu hidup”. Allah berfirman dalam ayat-ayat berikut ini.

QS. Al-Rum[30]: 19
يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَيُحْيِي الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا ۚ وَكَذَٰلِكَ تُخْرَجُونَ
Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan menghidupkan bumi sesudah matinya. dan seperti Itulah kamu akan dikeluarkan (dari kubur).

QS. Qaf[50]: 11
رِزْقًا لِلْعِبَادِ ۖ وَأَحْيَيْنَا بِهِ بَلْدَةً مَيْتًا ۚ كَذَٰلِكَ الْخُرُوجُ
Untuk menjadi rezeki bagi hamba-hamba (Kami), dan Kami hidupkan dengan air itu tanah yang mati (kering). Seperti Itulah terjadinya kebangkitan.

QS. Al-Anbiya’[21]: 30
أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا ۖ وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ ۖ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ
Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman?

Kedua, al-hayaah berarti kekuatan instingtif (rasa). Karenanya binatang itu disebut hayawan (hewan). Makna ini yang ada dalam ayat-ayat berikut ini.

QS. Fathir[35]: 22
وَمَا يَسْتَوِي الْأَحْيَاءُ وَلَا الْأَمْوَاتُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُسْمِعُ مَنْ يَشَاءُ ۖ وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ
Dan tidak (pula) sama yang hidup dan yang mati. Sesungguhnya Allah memberi pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang didalam kubur dapat mendengar.

QS. Al-Mursalat[77]: 25 - 26
أَلَمْ نَجْعَلِ الْأَرْضَ كِفَاتًا
25. Bukankah Kami menjadikan bumi (tempat) berkumpul,
أَحْيَاءً وَأَمْوَاتًا
26. Yang hidup dan yang mati?

QS. Fushshilat[41]: 39
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنَّكَ تَرَى الْأَرْضَ خَاشِعَةً فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ ۚ إِنَّ الَّذِي أَحْيَاهَا لَمُحْيِي الْمَوْتَىٰ ۚ إِنَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Dan di antara tanda-tanda-Nya (ialah) bahwa kau lihat bumi kering dan gersang. Maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan yang menghidupkannya, pastilah dapat menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Penggalan firman Allah, “inna al-ladziy ahyaaha,” untuk kekuatan tumbuhan. Dan “lamuhyi al-maut,” untuk kekuatan instingtif.

Begitu dulu. Semoga manfaat. Bersambung, insya Allah…

Salam

Kamis, 27 Juni 2019

MENYOROT KATA ULAR


—Saiful Islam—

“Orang Arab itu menggunakan kata al-hayyah (ular) itu untuk banyak perumpamaan…”

Bumi yang hayyah maksudnya adalah bumi yang subur. Sedangkan bumi mayyit adalah bumi yang gersang. Kami hidupkan tanah, kami dapati bumi itu subur tumbuh-tumbuhannya.

Disebutkan dalam Hadis, bahwa Rasulullah SAW shalat asar. Sedangkan matahari sedang hayyah. Yakni matahari masih cerah (terang). Matahari belum tenggelam. Seakan-akan Nabi menamai matahari yang tenggelam itu mati (mautan). Nabi bermaksud shalat di awal waktunya.

Ada Hadis Ibnu Umar bahwa seseorang itu akan diminta pertanggungan jawab tentang apa pun, sampai soal hidup (hayyah) keluarganya. Maknanya menurut Al-Tahdzib, yaitu soal apa pun yang hidup di rumahnya, seperti kucing dan semisalnya. Ia memuannatskan (bentuk feminim) hayyun menjadi hayyah.

Menurut Abu Ubaydah dalam tafsir Hadis tersebut, disebut hayyah karena kata ini (hayyah) bisa digunakan untuk setiap jiwa manusia maupun hewan. Maka ia pun memuannatskannya.

Begini pendapat Abu Amr. Orang Arab berkata, “Bagaimana (kabar) kamu, dan bagaimana kehidupan keluargamu (hayyatu ahlik)?” Yakni, bagaimana (kabar) anggota keluargamu yang masih hidup. Bentuk plural hayyah adalah hayawaat.

Al-hayyah adalah ular besar (al-hanasy) yang diketahui. Kata ini diambil dari kata al-hayaah (hidup) menurut sebagian pendapat. Yakni posisi ‘ain fi’ilnya adalah ya’. Bukan waw, hawwaa’a. Menurut Abi Utsman, asal kedua kata ini berdekatan. Dan maknanya pun bersesuaian. Seperti sabitthin dengan sibathrin, dilaashin dengan dulaamishin, dan lain-lain. Boleh juga berasal dari al-tahawwiy yang berarti mengandung, karena isinya.

Bentuk muannats (feminim) dan mudzakkarnya (maskulin) sama. Seperti pendapaat al-Jauhariy, al-mahayyah itu untuk muannats dan mudzakkar. (Ingat, dalam Bahasa Arab itu ada kata yang dianggap perempuan dan kata yang dianggap laki-laki. Misalnya qooimun berarti orang laki-laki yang berdidi, qooimah berarti orang perempuan yang berdiri).

Dijumpai dari riwayat orang Arab begini: roaytu hayyan ‘ala hayyatin. Artinya aku memandang laki-laki itu di atas (derajatnya) perempuan. Juga kalimat, fulaan hayyah, yakni laki-laki. Maksudnya kata hayyah itu bisa untuk orang perempuan, bisa juga untuk laki-laki. Meskipun bentuknya seperti perempuan, muannats (ada ta’-nya di akhir kata tersebut). “Orang Arab menganggap al-hayyah itu bisa mudzakkar, bisa juga muannats,” kata al-Jauhariy.

Al-hayyuut adalah bentuk mudzakkar al-hayyaat. Al-haawiy adalah subjek untuk al-hayyaat. Menurut al-Azhariy ta’ di akhir kata ini hanyalah tambahan. Aslinya adalah al-hayyuw. Bentuk jamak al-hayyah adalah hayawaat. Disebutkan dalam Hadis, “Tidak salah membunuh hayawaat (sebangsa ular kira-kira reptil).”

Pendapat yang lain mengatakan al-hayyah itu berasal dari al-hayyaah. Yang berarti hidup atau kehidupan. Sedangkan yang lain lagi berpendapat, kata al-hayyah berasal dari haywah.

Dijumpai pendapat yang lain bahwa al-hayyah (ular) itu diambil dari kata hawaytu. Karena ular itu tampak berisi (wongkol kata orang Jawa atau bungkol kata orang Madura) ketika melingkar. Semua itu diucapkan oleh orang Arab.

Abu Manshur membolehkan orang yang menjadikan kata al-hayyah itu dari hawyah. Yakni waw dalam ‘ain fi’il-nya. (Sebaiknya kalian tahu ada fa’ fi’il, ‘ain fi’il, dan ada lam fi’il).

Jika disebut ardhun mahyaatun wa mahwaatun itu berarti bumi yang banyak makhluk hidupnya. Menurut al-Azhariy, orang Arab itu menggunakan kata al-hayyah (ular) itu untuk banyak perumpamaan. (Catat ya. Bagian yang ini penting sekali!). Sebagian perumpamaan itu begini: “Dia lebih melihat daripada ular,” karena ketajaman pandangannya. "Dia lebih gelap (hitam) daripada ular,” karena ular itu masuk lubang atau sarang biawak, memakan anaknya, lantas menempati sarang tersebut.

Orang Arab juga berkata, “Fulan adalah ular lembah,” atau “Mereka adalah ular lembah,” ketika dia sangat keras kepala, melindungi apa pun yang dimilikinya (kekuasaannya atau haknya).

Dan masih ada beberapa lagi perumpaan, seperti yang dicontohkan dalam buku tersebut, Lisan al-‘Arab. Insya Allah berikutnya akan saya ceritakan. Ingat, kita orang Indonesia juga perumpaan serupa. Seperti: buaya darat,  kucing garong, macam Asia, “Orang itu tidak bisa dipegang ekornya,” kecamatan saya di Banyuwangi namanya Singotrunan (turunan singa), group sepak bola atau volley sering disebut, “Singo Edan,” dan lain seterusnya.

Sampai di situ dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Salam

Rabu, 26 Juni 2019

KATA-KATA MISTERIUS


—Saiful Islam—

“Kata hayyah dan tsu’baan, dua-duanya sering diterjemahkan sama: ular…”

Kita akan bandingkan dua buah kata yang sering diterjemahkan dengan ular. Pertama, kata hayyah diterjemahkan ular. Kedua, kata tsu’baan yang juga diterjemahkan ular untuk tongkat Nabi Musa. Hayyatun tas’aa, yang diartikan seekor ular yang merayap cepat, itu seperti diceritakan di ayat berikut.

QS. Thaha[20]: 17 – 21
وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَىٰ
17. “Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa?”

قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَىٰ غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَىٰ
18. Musa menjawab, "Ini adalah tongkatku. Aku bertelekan padanya. Dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku. Dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya.”

قَالَ أَلْقِهَا يَا مُوسَىٰ
19. Allah berfirman: "Lemparkanlah ia, hai Musa!"

فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَىٰ
20. Lalu Musa melemparkan tongkat itu. Maka tiba-tiba ia (menjadi) seekor ular yang merayap dengan cepat.

قَالَ خُذْهَا وَلَا تَخَفْ ۖ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الْأُولَىٰ
21. Allah berfirman, "Peganglah ia dan jangan takut. Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula.”

Berikutnya adalah “tsu’baan mubiin”, yang juga diterjemahkan sebagai ular yang nyata atau ular yang sebenarnya, itu terdapat dalam ayat di bawah ini.

QS. Al-A’raf[7]: 104 – 107
وَقَالَ مُوسَىٰ يَا فِرْعَوْنُ إِنِّي رَسُولٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ
104. Dan Musa berkata, "Hai Fir'aun. Sesungguhnya aku ini adalah seorang utusan dari Tuhan semesta alam.

حَقِيقٌ عَلَىٰ أَنْ لَا أَقُولَ عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ ۚ قَدْ جِئْتُكُمْ بِبَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ فَأَرْسِلْ مَعِيَ بَنِي إِسْرَائِيلَ
105. “Wajib atasku tidak mengatakan sesuatu terhadap Allah, kecuali yang hak. Sesungguhnya aku datang kepadamu dengan membawa bukti yang nyata dari Tuhanmu, Maka lepaskanlah Bani Israil (pergi) bersamaku.”

قَالَ إِنْ كُنْتَ جِئْتَ بِآيَةٍ فَأْتِ بِهَا إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ
106. Fir'aun menjawab, "Jika benar kamu membawa sesuatu bukti, maka datangkanlah bukti itu jika (betul) kamu termasuk orang-orang yang benar.”

فَأَلْقَىٰ عَصَاهُ فَإِذَا هِيَ ثُعْبَانٌ مُبِينٌ
107. Maka Musa menjatuhkan tongkat-nya. Lalu seketika itu juga tongkat itu (menjadi) ular yang sebenarnya.

QS. Al-Syu’ara[26]: 30 - 32
قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكَ بِشَيْءٍ مُبِينٍ
30. Musa berkata, “Dan apakah (kamu akan melakukan itu) meski kutunjukkan kepadamu sesuatu (keterangan) yang nyata?"

قَالَ فَأْتِ بِهِ إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ
31. Fir'aun menjawab, "Datangkanlah sesuatu (keterangan) yang nyata itu, jika kamu adalah termasuk orang-orang yang benar.”

فَأَلْقَىٰ عَصَاهُ فَإِذَا هِيَ ثُعْبَانٌ مُبِينٌ
32. Maka Musa melemparkan tongkatnya, lalu tiba-tiba tongkat itu (menjadi) ular yang nyata.

Kita coba lihat arti kedua kata tersebut di kamus yang umum dipakai: Mahmud Yunus dan Al-Munawwir. Kata hayyah yang jamaknya hayyaat, Mahmud Yunus mengartikannya ular. Dari kata dasar hayiya yahya yang berarti hidup (hayaah). Begitu juga Al-Munawwir mengartikan hayyah dengan al-af’aa. Yakni ular.

Selanjutnya kita akan cari makna kedua kata tersebut dalam Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an dan Lisan al-‘Arab. Benarkah kedua kata itu berarti sama? Atau adakah perbedaannya?

Note: masih ada beberapa kata lagi yang penting kita selidiki lebih jauh terkait dengan kisah Nabi Musa ini. Seperti kata talqof (menelan), alquu (lemparkan), bukti atau keterangan (bayyinah), dan lain-lain.

Sekian dulu. Semoga manfaa. Bersambung, insya Allah…

Salam

Selasa, 25 Juni 2019

TONGKAT NABI MUSA


—Saiful Islam—

“Tali dan tongkat mereka, itu tak jadi ular. Hanya seakan-akan jadi ular…”

Ini adegan seru. Antara Nabi Musa dengan para ahli sihir. Sekilas, antara mukjizat Nabi Musa dengan sihir para penyihir itu. Duel keduanya digambarkan seperti aksi lempar-lemparan tongkat. Tali-tali dan tongkat-tongkat ahli sihir itu berubah menjadi ular. Tongkat Nabi Musa pun berubah menjadi ular yang menelan ular-ular mereka. Benarkah demikian?

Jika menyorot para ahli sihir lawan Musa AS, maka sudah jelas bagi kita bahwa sihir yang mereka lakukan itu hanya tipuan. Atau trik. Cuma sulapan. Tali-tali dan tongkat-tongkat mereka tidak benar-benar menjadi ular. Tali-tali dan tongkat-tongkat mereka itu, hanya terbayang menjadi ular. Sekali lagi, Cuma terbayang! Seolah-olah saja menjadi ular. Seakan-akan merayap cepat. Mereka menyulap mata banyak orang yang hadir. Termasuk mata Nabi Musa.

Sama seperti tukang sulap yang saya temui di pasar ketika saya mengajak kawan saya itu. Kain dan putung rokok yang hilang itu, tidak benar-benar hilang. Hanya seakan-akan hilang. Terbukti kain dan potung rokok tersebut dimasukkan ke dalam seperti tutup pulpen yang dibentuk dan dicat seperti jempol. Untuk mengelabui kami. Dan benar, meski hanya berjarak satu meter peris di hadapannya, kain dan putung rokok itu seperti lenyap begitu saja dari tangannya.

Saya tegaskan lagi, bahwa aksi para penipu itu di hadapan Nabi Musa, tersebut hanyalah sulapan belaka! Tali-tali dan tongkat-tongkat mereka TIDAK menjadi ular. Kenyataannya, TIDAK merayap cepat. Hanya SEAKAN-AKAN menjadi ular yang merayap cepat.

QS. Al-A’raf[7]: 116
قَالَ أَلْقُوا ۖ فَلَمَّا أَلْقَوْا سَحَرُوا أَعْيُنَ النَّاسِ وَاسْتَرْهَبُوهُمْ وَجَاءُوا بِسِحْرٍ عَظِيمٍ
Musa menjawab: "Lemparkanlah (lebih dahulu)!" Maka tatkala mereka melemparkan, mereka MENYULAP mata orang dan menjadikan orang banyak itu takut, serta mereka mendatangkan sihir yang besar (menakjubkan).

QS. Thaha[20]: 66
قَالَ بَلْ أَلْقُوا ۖ فَإِذَا حِبَالُهُمْ وَعِصِيُّهُمْ يُخَيَّلُ إِلَيْهِ مِنْ سِحْرِهِمْ أَنَّهَا تَسْعَىٰ
Musa berkata: "Silahkan kamu sekalian melemparkan". Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka, TERBAYANG kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat, lantaran sihir mereka.

Lagian, tipuan atau trik mereka itu pun dibongkar oleh Allah. Sebagaimana diceritakan dalam ayat berikut.

QS. Yunus[10]: 81 - 82
فَلَمَّا أَلْقَوْا قَالَ مُوسَىٰ مَا جِئْتُمْ بِهِ السِّحْرُ ۖ إِنَّ اللَّهَ سَيُبْطِلُهُ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُصْلِحُ عَمَلَ الْمُفْسِدِينَ
81. Maka setelah mereka lemparkan, Musa berkata: "Apa yang kamu lakukan itu, adalah sihir. Sungguh Allah akan MEMBONGKAR ketidak benarannya." Sesungguhnya Allah tidak akan membiarkan terus berlangsungnya pekerjaan orang-yang membuat kerusakan.
وَيُحِقُّ اللَّهُ الْحَقَّ بِكَلِمَاتِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُجْرِمُونَ
82. Dan Allah akan mengokohkan yang benar dengan kalimat-kalimat-Nya. Walaupun orang-orang yang berbuat dosa tidak menyukai(nya).

Setelah aksi tipu-tipu mereka terbongkar itulah, akhirnya para ahli sihir itu menyerah kepada Nabi Musa. Lantas memutuskan untuk beriman kepada Allah.

QS. Thaha[20]: 70
فَأُلْقِيَ السَّحَرَةُ سُجَّدًا قَالُوا آمَنَّا بِرَبِّ هَارُونَ وَمُوسَىٰ
70. Lalu tukang-tukang sihir itu tersungkur dengan bersujud, seraya berkata: "Kami telah percaya kepada Tuhan Harun dan Musa.”

Sekarang, marilah kita lihat sebaliknya. Kita sorot Nabi Musa. Digambarkan bahwa tongkat Nabi Musa menelan apa yang mereka perbuat itu. Dan ayat-ayat inilah yang sering digunakan oleh kawan-kawan diskusi saya. Hehehe. Let’s go…

QS. Thaha[20]: 67 – 69
أَوْجَسَ فِي نَفْسِهِ خِيفَةً مُوسَىٰ
67. Maka Musa merasa takut dalam hatinya.

قُلْنَا لَا تَخَفْ إِنَّكَ أَنْتَ الْأَعْلَىٰ
68. Kami berkata: "Janganlah kamu takut. Sungguh kamulah yang paling unggul (menang).

وَأَلْقِ مَا فِي يَمِينِكَ تَلْقَفْ مَا صَنَعُوا ۖ إِنَّمَا صَنَعُوا كَيْدُ سَاحِرٍ ۖ وَلَا يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَىٰ
69. “Dan lemparkanlah apa yang ada ditangan kananmu. Niscaya ia akan MENELAN APA YANG MEREKA PERBUAT. Sesungguhnya apa yang mereka perbuat itu adalah tipu daya tukang sihir (belaka). Dan tidak akan menang tukang sihir itu. Dari mana saja ia datang.”

Ingat ya. Pada ayat di atas, Allah tidak menyebut “menelan ular-ular mereka”. Di situ hanya disebut, “menelan apa yang mereka perbuat”. Apa yang mereka perbuat? Jelas disebutkan di kalimat selanjutnya, “itu hanyalah tipu daya tukang sihir belaka”. Alias tipu-tipu belaka. Hanya trik. Cuma sulapan! Seolah-olah tampak seperti ular yang merayap gesit. Padahal aslinya, BUKAN!

Begitu juga di ayat di bawah ini. Allah tidak menyebut, “menelan ular-ular mereka”. Tapi di sini disebut, “menelan kebohongan mereka” atau “menelan habis segala kepalsuan mereka” atau “menelan apa yang mereka sulapkan”. Marilah kita cermati!

QS. Al-A’raf[7]: 117 – 122
وَأَوْحَيْنَا إِلَىٰ مُوسَىٰ أَنْ أَلْقِ عَصَاكَ ۖ فَإِذَا هِيَ تَلْقَفُ مَا يَأْفِكُونَ
117. Dan Kami wahyukan kepada Musa: "Lemparkanlah tongkatmu!". Maka tongkat itu menelan apa yang mereka sulapkan.

فَوَقَعَ الْحَقُّ وَبَطَلَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
118. Karena itu nyatalah yang benar dan batallah yang selalu mereka kerjakan.

فَغُلِبُوا هُنَالِكَ وَانْقَلَبُوا صَاغِرِينَ
119. Maka mereka kalah di tempat itu dan jadilah mereka orang-orang yang hina.

وَأُلْقِيَ السَّحَرَةُ سَاجِدِينَ
120. Dan ahli-ahli sihir itu serta merta meniarapkan diri dengan bersujud.

قَالُوا آمَنَّا بِرَبِّ الْعَالَمِينَ
121. Mereka berkata: "Kami beriman kepada Tuhan semesta alam.

رَبِّ مُوسَىٰ وَهَارُونَ
122. "(Yaitu) Tuhan Musa dan Harun.”

Maka menurut saya, yang jelas tongkat Nabi Musa tidak benar-benar menjadi ular. Baik ular piton, maupun ular anaconda. Kenapa? Karena tali dan tongkat para pesihir itu tidak menjadi ular. Baik ular cobra, ular hijau, ular derik, sampai ular kacangan. Tentu ini semakin menarik. Selanjutnya akan kita lihat.

Sampai di sini dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Salam

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...