Senin, 17 Juni 2019

IMAN BABI BUTA


—Saiful Islam—

“Jangan sembarangan beriman. Supaya tidak dilaknat oleh Allah..”

Something metafisik yang wajib kita imani itu memang cuma dua. Pertama, Allah. Dan yang kedua, adalah Malaikat. Jin atau Iblis atau setan, tidak termasuk yang wajib diimani. Bahkan, haram beriman kepada Jin itu. Karena bisa membuat orang sesat dan syirik kepada Allah. “Kebanyakan mereka beriman kepada Jin itu…” (34:41). Selain itu, Jin memang bukan makhluk metafisik. Bukan ‘barang halus’.
QS. Al-Baqarah[2]: 177
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا ۖ وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ ۗ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. Tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian (kiamat), malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi. Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji. Dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya). Dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.

Dari alif, min, dan nun, al-amn asal maknanya adalah tentramnya jiwa dan hilangnya ketakutan. Dari sini memunculkan kata iman, aman, dan amanah. Iman ini bisa berarti syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW (QS.6:69). Disifati dengan ayat ini, yaitu setiap orang yang masuk ke dalam syariatnya, yang meyakini Allah dan kenabiannya. Allah berfirman, “Dan sebahagian besar mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan mempersekutukan-Nya,” (QS.12:106).

Kata iman juga bisa digunakan untuk maksud menundukkan jiwa (patuh) kepada kebenaran dengan membenarkan. Maka di dalam kata iman itu menghimpun tiga hal. Pertama, membenarkan dengan hati (qalb). Kedua, mengakui dengan lisan. Dan ketiga, membuktikan hati dan lisan itu dengan perbuatan. Allah berfirman dalam QS. Al-Hadid[57] ayat 19, “Orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, mereka itulah para shiddiqin.”

Adapun QS Yusuf[12] ayat17, “Engkau tidak akan beriman kepada mami, meski kami adalah orang-orang yang benar," maknanya adalah membenarkan. Karena iman itu membenarkan yang harus disertai dengan rasa aman atau tentram.

Berdasar (2:177) di atas, rukun iman itu cuma lima. Dua yang metafisik, yakni Allah dan Malaikat. Dua sisanya adalah fisik, yakni para utusan Allah (Nabi atau Rasul-Nya) dan kitab-kitab-Nya. Dan satu yang terakhir adalah sesuatu yang akan terjadi di masa yang akan datang (future atau mustaqbal), yakni hari yang terakhir (kiamat) di dalam kehidupan dunia ini.

Jadi, keimanan itu tidak selalu kepada sesuatu yang metafisik. Tetapi juga iman kepada sesuatu yang fisik. Iman kepada kitab-kitab-Nya dan para nabi atau rasul-Nya. Iman kepada kitab-kitab-Nya misalnya. Itu bukan sekadar percaya bahwa ada buku yang bernama Suhuf Ibrahim, Zabur, Taurat, Injil, dan Al Qur’an. Tapi beriman bahwa buku-buku tersebut adalah firman Allah. Sebab tidak sedikit orang yang tidak percaya bahwa buku-buku itu adalah firman Allah. Menurut mereka, itu hanya buku-buku karangan manusia biasa.

Begitu juga beriman kepada para rasul-Nya. Misalnya kepada Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad. Bukan sekadar percaya bahwa mereka itu ada. Tapi percaya bahwa mereka adalah para tokoh yang dipilih Allah untuk menyampaikan firman-Nya kepada manusia yang lain. Karena banyak para ateis dan agnostik yang tidak percaya bahwa mereka telah dipilih Tuhan. Mereka yakin, para tokoh tersebut adalah orang biasa. Atau bahkan tokoh-tokoh rekaan belaka. Fiksi atau cuma dongeng yang tak pernah ada di dunia nyata.

Banyak yang salah paham dengan keimanan ini. Atau sengaja menyalahkan pahamnya sendiri. Dikiranya, iman itu sekadar percaya. “Harus beriman kepada Jin, karena Jin itu ada dalam Al Qur’an,” katanya. “Harus beriman kepada sihir, karena sihir itu tercantum di dalam Al Qur’an,” kata yang lain lagi. Malah mengaitkan keimanan kepada Jin itu dengan Jin Nabi Sulaiman.

Insya Allah, nanti akan saya ceritakan tentang Jin Nabi Sulaiman itu. Sekilas info, Jin Nabi Sulaiman ini memang sering dijadikan kambing hitam untuk menipu dan membodohi umat. Jangankan orang rata-rata. Yang sudah profesor sekalipun bisa membenarkan aksi tipu-tipu murahan itu. Kasus Dimas Kanjeng misalnya. Orang-orang ‘lugu’ seperti ini yakin bahwa magic yang tak ada sebab musababnya itu ada. Padahal di YouTube sudah banyak, bagaimana trik magic itu dikupas, dibahas, dan dibongkar. Revealed!

Sekali lagi, iman itu tidak hanya sekadar percaya kepada keberadaan. Kata-kata seperti Jin, Iblis, setan, dan sihir, itu memang ada dalam Al Qur’an. Tidak bisa kita ingkari keberadaan kata-kata tersebut. Justru, yang harus kita ingkari adalah konsep Jin, Iblis, setan, dan sihir tahayyul dan mitos yang dikarang-karang sendiri oleh masyarakat. Baik oleh masyarakat primitif jahiliyah, maupun masyarakat modern jahiliyah. Ingat, Qur’an ini datang memang untuk mengoreksi konsep animisme—dinamisme (seperti penyembah berhala), Nasrani, dan Yahudi.

Kita ini memang tidak boleh sembarang beriman. Jangan sembarangan beriman. Supaya tidak dilaknat oleh Allah. Seperti dikisahkan dalam ayat berikut ini.

QS. Al-Nisa’[4]: 51—52
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ الْكِتَابِ يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا هَٰؤُلَاءِ أَهْدَىٰ مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا سَبِيلًا
51. Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari al-kitab? Mereka beriman kepada Jibt dan Thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang mukmin.

أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ ۖ وَمَنْ يَلْعَنِ اللَّهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ نَصِيرًا
52. Mereka itulah orang yang dilaknat Allah. Barangsiapa yang dilaknat Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya.

Sampai di situ dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...