Sabtu, 31 Agustus 2019

ABANGAN BUKAN ISLAM


—Saiful Islam—

“Wong kuburan Nabi Muhammad itu loh tidak keramat. Jangankan kuburannya. Nabi Muhammad sekali pun itu tidak keramat. Qur’an juga tidak keramat…”

Marzuki, mengutip Clifford Geertz, menyatakan bahwa pada masa sekarang ini sistem keagamaan di pedesaan Jawa umumnya merupakan perpaduan seimbang antara animisme, Hindhu, dan Islam. Yaitu sebuah sinkretisme (campur aduk) dasar yang menjadi tradisi masyarakat. Penelitian Geertz ini lantas melahirkan tiga golongan masyarakat Jawa. Yakni golongan priyayi, santri, dan abangan. Setiap golongan memiliki karakteristik keberagamaan yang berbeda.

Priyayi itu menunjuk golongan bangsawan atau keturunan kerajaan. Kalau sekarang seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS). Keberagamaannya cenderung ke Hindu. Adapun santri, lebih menekankan kepercayaan kepada Islam. Sedangkan abangan menekankan kepercayaannya pada unsur-unsur lokal. Seperti ritual yang sering disebut slametan, kepercayaan kepada makhluk halus metafisik, sihir dan magis.

Sinkretisme itu lantas memunculkan istilah Islam kejawen. Atau agama Jawi. Yang menurut Koentjaraningrat merupakan suatu keyakinan dan konsep-konsep Hindu-Buddha yang cenderung ke arah mistik yang tercampur menjadi satu dan diakui sebagai agama Islam.

Penganut Islam kejawen ini, pada umumnya adalah masyarakat Muslim. Tapi tidak menjalankan ajaran Islam secara keseluruhan. Sebab ada aliran kejawen yang juga dijalankan sebagai pedoman. Aliran kejawen itu masih mempercayai ada kekuatan lain selain kekuatan Allah. Seperti kekuatan roh, benda-benda pusaka, dan makam para tokoh yang dianggap bisa memberi berkah pada kehidupan seseorang.

Masyarakat Jawa ini memang memiliki kebiasaan. Terutama yang menganut Islam kejawen. Seperti berziarah (mengunjungi) makam-makam yang dianggap suci atau keramat pada malam Selasa Kliwon dan Jum’at Kliwon untuk mencari berkah. Di Jogja, ada makam raja-raja atau makam suci Imogiri dan makam-makam lain yang dianggap keramat dan bisa membawa berkah itu.

Menurut saya, anggapan keramat itu keliru. Tidak ada orang keramat. Tidak ada kuburan keramat. Tidak ada benda-benda pusaka keramat. Tidak ada pepohonan, gunung, atau materi apa pun di dunia ini yang keramat. Tidak ada. Wong kuburan Nabi Muhammad itu loh tidak keramat. Jangankan kuburannya. Nabi Muhammad sekali pun itu tidak keramat. Kalau ziarah kuburnya, is OK. Tapi anggapan keramat pada kuburan, itu salah. Dan sesat menurut kacamata akidah Islam.

Ada lagi istilah Suran. Yaitu semacam perayaan menyambut tahun baru Jawa. Tradisi Suran ini banyak diisi dengan aktivitas keagamaan untuk mendapatkan berkah dari Tuhan yang oleh masyarakat Yogyakarta disimbolkan Kanjeng Ratu Roro Kidul. Alias Ratu Pantai Selatan (gaib metafisik). Upacara besarnya diadakan oleh Kraton Ngayogyakarta yang dipusatkan di Parangtritis—kawasan pantai selatan. Selain Islam kejawen, tradisi ini juga diikuti oleh Non Muslim.

Menurut saya, Ratu pantai selatan atau Nyai Roro Kidul itu mitos. Hayalan belaka. Kanjeng Ratu ini hanya sekadar rekaan imajinasi manusia. Karangan. Tokoh fiktif. Sama persis dengan kuntilanak, tuyul, genderuwo, dan kawan-kawannya. Santri haram mengimani yang demikian. Kecuali kalau kalian Islam abangan. Tapi sebaiknya, jangan bawa-bawa Islam. Abangan begitu saja. Atau kebatinan. Aliran kepercayaan. Atau apalah. Pokoknya jangan Islam.

Di Desa Traji, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung, juga memiliki tradisi Suran ini. Yaitu salah satu upaca ritual untuk melestarikan tradisi peninggalan nenek moyang serta dalam rangka perayaan atau tasyakkuran datangnya tahun baru dalam kalender Jawa. Keunikan tradisi ini adalah pengambilan air di sumber mata air Sendhang Sidhukun dan kirab pengantin pembawa sesaji. Dilanjutkan dengan malam tirakatan ke makam Simbah Kyai Adam Muhammad. Keyakinan masyarakat setempat, upacara ini wajib dilakukan. Kalau tidak, maka akan terjadi musibah atau malapetaka.

Menurut saya, kalau sekadar perayaan dan tasyakuran secara umum, itu masih ditolelir dalam Islam. Tapi kalau sudah sesaji (sajen) yang dipersembahkan untuk Tuhan atau arwah, baru ini keliru. Keyakinan bahwa kalau tidak tidak melakukan upacara (ritual) akan terjadi musibah, menurut saya, ini sesat. Dalam Islam tidak ada keyakinan seperti itu. Tidak boleh ngarang-ngarang soal keyakinan.

Jadi, ciri Islam kejawen itu mempunyai keyakinan (akidah) pada sesuatu yang dianggap gaib (metafisik) yang memiliki kekuatan seperti Tuhan. Mereka juga punya upacara atau perilaku ritual seperti melakukan persembahan. Misalnya dengan sesaji. Atau berdoa kepada Tuhan dengan berbagai cara tertentu. Seperti berdoa melalui perantara gaib metafisik.

Bahkan sekarang pun di masjid saya masih mendengar doa kurang lebih seperti ini, “Yaa sayyidiy yaa Rasuulalloh. Yaa Muhammad. Yaa Muhammad. Yaa Muhammad. Ya Syeikh Abdul Qodir Jailaniy. Innaa natawassalu bika ilaa robbika fii qodhoi haajaatina…” (Wahai tuanku wahai Rasulalloh. Wahai Muhammad. Wahai Muhammad. Wahai Muhammad. Wahai Syaikh Abdul Qadir Jailaniy. Sesungguhnya kami menjadikan engkau sebagai perantara kepada Tuhan engkau. Agar Ia mengabulkan hajat-hajat kami. Ia membacanya setelah shalat berjamaah dalam posisi berdoa—kedua tangan diangkat.

Saya termasuk yang tidak setuju dengan cara berdoa dengan perantara-perantara  seperti ini. Allah itu sudah amat sangat dekat dengan kita (QS.50:16). Dan berdoa itu memang harus langsung kepada Allah (QS.40:60). Redaksi yang benar mestinya, “Yaa Alloh… Robbanaa… Allohummaa…,” dan semisalnya seperti doa-doa yang dicontohkan dalam Qur’an dan Hadis. Menurut saya, keyakinan roh orang yang sudah mati dapat memberi manfaat kepada orang yang masih hidup itu sudah terpengaruh keyakinan animisme-dinamisme dan Hindu-Buddha.

Bagi masyarakat Jawa santri, jelas dan tegas. Bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali sumbernya dari Allah. laa haula walaa quwwata illaa billaah. Tapi masyarakat Jawa abangan, Nyai Roro Kidul dipercaya ada dan memiliki kekuatan yang bisa menentukan nasib seseorang. Serta benda-benda pusaka, kuburan, sampai roh leluhur.

Sekali lagi, tidak ada benda-benda pusaka keramat. Tidak ada kuburan keramat. Tidak ada roh atau arwah keramat. Bahkan Qur’an itu pun tidak keramat. Keramat dalam artian mengandung kekuatan magis.

Masyarakat abangan juga mempunyai tradisi upacara-upacara keagamaan (ritual) sebagai ungkapan persembahan kepada Tuhan. Seperti upacara labuhan di pantai Parangtritis, upacara ruwatan (Jawa) atau ruatan (Sunda)—ritual membuang atau menolak sial atau apes, upacara kelahiran sampai kematian seseorang, upacara tahun baru Jawa (suran), dan bentuk-bentuk ritual semisalnya.

Saya termasuk yang tidak percaya pada kesialan atau apes sebagai sesuatu yang gaib metafisik. Karenanya tidak perlu dilakukan ritual-ritual tertentu. Berdoa saja langsung kepada Allah supaya selalu untung, sukses, menang dan bahagia dunia akhirat. Dilanjutkan dengan ikhtiar (kerja) yang baik dan halal serta amal salih. Kelahiran dan kematian seseorang juga tidak perlu dilakukan ritual. Kalau memang harus, cukup dinamai syukuran saja.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat.

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Jumat, 30 Agustus 2019

JAWA SANTRI VS JAWA ABANGAN


—Saiful Islam—

“Secara tradisi dan budaya, is OK. Tapi secara akidah Islam, itu sangat berbahaya…”

Di Jawa itu, tidak hanya dihuni oleh masyarakat Jawa. Tapi juga masyarakat Sunda, Madura, dan lainnya. Seiring berjalannya waktu, masyarakat Jawa tidak hanya tinggal di pulau Jawa. Tapi juga menyebar hampir dari sabang sampai merauke. Program transmigrasi pemerintah juga sangat mempengaruhi penyebaran tersebut. Masyarakat Jawa itu punya kekhasan sendiri dibanding Madura, Sunda, Minang, dan lain seterusnya.

Masyarakat Jawa penganut Islam santri (Islam murni), lebih banyak terikat dengan aturan Islamnya. Meski bertentangan dengan tradisi dan budaya Jawanya. Sebab memang ada tradisi-tradisi Jawa yang bertentangan dengan ajaran Islam. Sebaliknya. Para penganut Islam kejawen (Islam abangan), tradisi Jawa tetap dijunjung tinggi. Walaupun bertentangan dengan ajaran Islam.

Sebagian besar masyarakat Jawa itu beragama Islam. Masih banyak juga yang mewarisi agama nenek moyangnya. Yaitu Hindu dan Buddha. Ada lagi yang beragama Nasrani. Baik Kristen atau Katolik.

Menurut Koentjaraningrat (1995:211), yang beragama Islam, secara garis besar bisa dibagi dua. Pertama, Islam murni. Atau sering disebut Islam santri. Dan kelompok yang menganut Islam abangan. Atau Islam kejawen. Masyarakat Jawa penganut Islam santri biasanya tinggal di daerah pesisir. Seperti Surabaya dan Gresik. Adapun yang menganut Islam kejawen banyak ditemukan di Yogyakarta, Surakarta, dan Bagelen.

Simuh (1996:110) membagi tiga terkait dengan ciri-ciri keagamaan masyarakat Jawa. Pertama, masa sebelum Hindu-Buddha. Masyarakat Jawa masih sederhana. Agama mereka adalah animisme-dinamisme. Agama yang oleh Barat disebut religion magis, ini merupakan hal yang paling mengakar di masyarkat Jawa.

Kedua, masa Hindu-Buddha. Yaitu ketika masyarakata Jawa menerima pengaruh dan menyerap unsur-unsur Hindu-Buddha. Prosesnya tidak hanya akulturasi saja. Tapi juga memanfaatkan unsur-unsur agama dan kebudayaan India. Masuknya Hindu-Buddha ini semakin mempersubur kepercayaan serba magis yang sudah mengakar dengan cerita tentang orang-orang sakti setangah dewa dan jasa mantra-mantra yang dianggap magis.

Ketiga, masa kerajaan Islam. Yaitu saat tamatnya kerajaan Jawa-Hindu menjadi Jawa-Islam di Demak. Sekitar abad 15. Kemarin sudah saya sebut, bahwa para tokoh sufilah yang banyak berperan. Sehingga mereka disebut wali. Islam yang berhadapan dengan tradisi Hindu-Buddha inilah yang lantas melahirkan dua varian masyarakat Islam Jawa. Yaitu Islam santri dan Islam abangan (kejawen). Pembedanya adalah taraf kesadaran keislaman mereka.

Menurut Suyanto (1990:144) budaya Jawa itu adalah antara lain religius, non-doktriner, toleran, akomodatif, dan optimistik. Karakter seperti ini memunculkan corak, sifat, dan kecenderungan yang khas seperti berikut: percaya kepada Tuhan Yang Mahaesa sebagai Sangkan Paraning Dumadi; percaya kepada sesuatu yang metafisika dan bersifat adikodrati (supernatural) serta cenderung mistis; lebih mengutamakan hakikat dibanding formalitas dan ritual; mengutamakan cinta kasih hubungan antara manusia; percaya kepada takdir dan cenderung pasrah; cenderung pada simbolisme; gotong royong, guyub, rukun, dan damai; dan kurang kompetitif serta kurang mengutamakan materi.

Orang-orang Jawa itu menerima dengan baik semua agama dan kepercayaan yang datang. Mereka tidak terbiasa mempertentangkan agama dan keyakinan. Anggapan mereka, semua agama itu baik. Semua agama itu baik (sedaya agama niku sae), begitu  ungkapan mereka. Karakter seperti inilah yang lantas menimbulkan campur aduk (sinkretisme) keyakinan di kalangan masyarakat Jawa itu.

Koentjaraningrat (1994:313) menyebutkan bahwa masyarakat Jawa yang menganut Islam sinkretis sampai sekarang masih banyak ditemukan. Utamanya di Yogyakarta dan Surakarta. Secara formal administrative, mereka akan tetap mengakui Islam sebagai agamanya. Meskipun tidak menjalankan rukun Islam, seperti shalat 5 waktu, puasa Ramadan, zakat, dan haji.

Masyarakat Jawa yang kejawen, biasanya masih mengramatkan orang atau benda-benda tertentu. Yang dianggap keramat itu biasanya para tokoh yang banyak berjasa pada masyarakat. Atau para tokoh agama. Adapun benda yang sering dikeramatkan itu biasanya benda-benda pusaka peninggalan dan juga makam-makam dari para leluhur. Serta para tokoh yang dihormati.

Di antara tokoh yang dikeramatkan adalah Sunan Kalijaga dan para wali sembilan yang lain sebagai tokoh penyebar agama Islam di Jawa. Tokoh-tokoh lain di kalangan raja yang dikeramatkan adalah  Sultan Agung, Panembahan Senopati, Pangeran Purbaya, dan lain semisalnya. Masyarakat Jawa percaya bahwa para tokoh dan benda-benda keramat itu bisa memberi berkah. Itulah alasan mereka melakukan bermacam-macam aktivitas untuk mendapatkan berkah dari para tokoh dan benda-benda yang diyakini keramat itu.

Selain itu, masyarakat Jawa juga percaya kepada makhluk-makhluk halus gaib metafisika. Menurut mereka, adalah roh-roh halus yang berkeliaran di sekitar manusia yang masih hidup. Para makhluk itu dianggap ada yang menguntungkan dan merugikan bagi manusia. Maka mereka harus menjinakkannya. Yaitu dengan memberikan berbagai ritus atau upacara.

Masyarakat Jawa ini juga percaya para dewa. Keyakinan mereka itu terlihat jelas sekali ketika mengimani adanya penguasa Laut Selatan yang mereka namakan Nyai Roro Kidul. Atau Ratu Pantai Selatan. Saya pernah berdebat dengan orang yang memuja Nyai Roro Kidul ini. Masyarakat Jawa yang berdomisili di daerah pantai selatan sangat mengimani bahwa Nyai Roro Kidul adalah penguasa Laut Selatan yang mempunyai hubungan dengan kerabat Mataram (Yogyakarta). Mereka memberi bentuk sedekah laut supaya mereka terhindar dari mala petaka.

Sampai 2019 sekarang ini, tradisi semacam ini tetap lestari. Dihormati bahkan dijunjung tinggi. Sebab secara budaya memang, itu bisa mendatangkan pundi-pundi rupiah bagi pemerintah daerah yang memiliki dan mengelolanya. Malah digali lagi tradisi-tradisi yang seperti ini. Tendensinya adalah ekonomi. Yaitu dijadikan tempat tujuan wisata. Baik bagi turis lokal maupun luar negeri. Namun secara agama, terutama akidah Islam, hal demikian ini sangat berbahaya.

Sekali lagi, Islam itu memang pro terhadap budaya dan tradisi. Tapi syaratnya, memang tidak boleh bertentangan dengan syariat dan akidah Islam. Pakar filosof hukum Islam memberi rumus, “Al-Ashlu fi al-asyyaa’ ibaahah hatta yaquma al-daliil ‘ala al-nahy,” budaya dan tradisi itu asalnya memang boleh-boleh saja. Tetapi sekali lagi, tidak boleh bertentangan dengan syariat dan akidah Islam itu sendiri. Terutama Alquran dan Hadis-Hadis yang sahih.

QS. Al-Maidah[5]: 104
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَىٰ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۚ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul". Mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya". Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?!

Begitu dulu. Semoga bermanfaat.

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Kamis, 29 Agustus 2019

ISLAM KITA KEJAWEN?


—Saiful Islam—

“Jadi, semacam ada masa transisi antara Hindu-Buddha, Kejawen, Animisme ke Islam. Lantas sampai sekarang kita mendengar istilah Islam Kejawen…”

Kejawen mengakui adanya Tuhan Gusti Allah. Tetapi juga mengakui adanya mistik yang berkembang dari ajaran tasawuf agama-agama yang ada sebelum Islam masuk. Bagi orang Jawa, hakikat Kejawen adalah kebatinan. Dekat dengan mistisisme (tasawuf). Atau dengan kata lain, ilmu tentang sesuatu yang berada di batin. Karenanya dekat sekali juga dengan keyakinan (akidah).

Meski begitu, ada dua pendapat mengenai sumber ajaran tasawuf itu sendiri. Pertama, bahwa tasawuf (mistisisme) itu berasal dari ajaran Islam. Dan kedua, tasawuf berasal dari luar agama Islam. Yaitu dari Kristen, neo platonisme, dan pengaruh Persia dan India yang ikut menentukan paham tasawuf sebagai arah asketis-mistis dalam ajaran Islam. Bahkan ada yang mengatakan bahwa tasawuf itu berbeda sekali dengan ajaran Qur’an dan Hadis.

Saya menduga, agama atau keyakinan mayoritas, itu tergantung apa pemerintahan, agamanya, dan para pemimpin atau tokohnya. Sebab merekalah yang punya pengaruh kuat kepada masyarakat. Ketika Majapahit berkuasa, pastinya agama mayoritas penduduknya adalah Hindu-Buddha. Ketika berganti Kesultanan Demak, pastinya agama masyarakatnya adalah Islam.

Pemerintahan Bani Umayyah adalah kekhalifahan Islam pertama setelah masa Khulafaur Rasyidin. Kekhalifahan Umayyah memerintah dari 661 – 750 Masehi di jazirah Arab dan sekitarnya. Beribu kota Damaskus (ibu kota Suriah atau Syam). Juga memerintah di Cordoba, Spanyol, sebagai kekhalifahan Cordoba dari tahun 756 sampai 1031 Masehi.

Jika dilihat tahun Bani Umayyah memerintah, maka kita mendapati tokoh sufi terkenal pada masa ini. Terutama periode di sekitar jazirah Arab. Yaitu Hasan al-Bashri (lahir di Madinah 642M, wafat 728M di Basrah, Iraq); dan Rabi’ah al-Adawiyah (lahir di Basrah, Iraq 713M, wafat 801M di Basrah, Iraq).

Mu’awiyah bin Abi Sufyan (memimpin pemerintahan dari 661 – 680M); Yazid bin Mu’awiyah (memimpin 680 – 683); Mu’awiyah bin Yazid (memimpin 683 – 684); Marwan bin al-Hakam (memimpin 684 – 685); ‘Abdul Malik bin Marwan (memimpin 685 – 705); Al-Walid bin ‘Abdul Malik (memimpin dari 705 – 715); Sulaiman bin ‘Abdul Malik (memimpin 715 – 717); ‘Umar bin Abdul ‘Aziz (memimpin 717 – 720); Yazid bin ‘Abdul Malik (memimpin 720 – 724); Hisyam bin ‘Abdul Malik (memimpin 724 – 743); Al-Walid bin Yazid (memimpin 743 – 744); Yazid bin al-Walid bin ‘Abdul Malik (memimpin hanya 170 hari tahun 744); Ibrahim bin al-Walid bin ‘Abdul Malik (memimpin 61 hari juga tahun 744); dan Marwan bin Muhammad (memimpin 744 – 750 Masehi).

Pada tahun 750M, berganti pemerintahan Bani Abbasiyah yang memimimpin. Setelah berhasil merebutnya dari Bani Umayyah. Ibu kota yang semula di Damaskus, itu lantas dipindahkan ke Baghdad, Iraq. Di sini, pemerintahan Bani Abbasiyah bertahan sampai tahun 1258M. Yaitu ketika tentara Mongol menyerang dan membumi hanguskan Baghdad.

Sedangkan pemerintahan Abbasiyah yang berada di Kairo, Mesir, itu bermula pada tahun 1261M. Tepatnya pada masa khalifah Al-Mustanshir II. Dan tamat ketika khalifah Al-Mutawakkil III menjabat. Yaitu pada tahun 1517 Masehi.

Jika melihat tahun pemerintahan Bani Abbasiyah, (750 – 1517M) itu, maka kita mengenal beberapa tokoh sufi. Yaitu Al-Qusyairi (986M – 1074M di Naisabur, Iran); Al-Ghazali (1085M – 1111M di Khurasan, Iran); Junaid al-Baghdadi (lahir di Nihawand, Persia 830M, wafat 910 di Baghdad, Iraq); Al-Hallaj (lahir 866M di Thur, Iran, wafat 922M di Baghdad, Iraq); Syekh Abdul Qadir Jaelaniy (lahir 1078M, di Amol, Iran, wafat 1166M Baghdad, Iraq); Ibnu Arabi (lahir 1165 di Murcia, Spanyol, wafat 1240 di Damaskus, Suriah); Jalaluddin Rumi (lahir 1207 di Balkh, Afganistan, wafat 1273 di Konya, Turki); Syekh Siti Jenar yang nama aslinya Raden Abdul Jalil (lahir 1404 di Iran, wafat 1517M di Jepara, Indonesia); dan Sunan Bonang (lahir 1465M di Tuban, Indonesia, wafat 1525 di pulau Bawean, Indonesia).

Corak Islam yang berkembang di Jawa adalah Islam yang berwujud ajaran-ajaran tasawuf. Diduga kuat, hal ini berkaitan dengan kemiripan ajaran tasawuf dengan unsur-unsur mistik yang kuat di masyarakat peninggalan tradisi animisme sampai era Hindu-Buddha.

Kerajaan Islam pertama dan terbesar di Jawa adalah Kesultanan Demak. Yaitu antara tahun 1475 – 1554 Masehi. Menurut tradisi Jawa, Demak itu sebelumnya adalah kadipaten dari kerajaan Majapahit. Majapahit yang beragama Hindu-Buddha, Kejawen, dan Animisme, itu memang tamat pada tahun 1527.

Jadi di Jawa ini, semacam ada masa transisi antara Hindu-Buddha, Kejawen, Animisme ke Islam. Majapahit ke Kesultanan Demak. Sehingga wajar kalau Islam yang berkembang di sini adalah Islam mistik (sufisme). Tokoh-tokoh yang kerap diidolakan sehingga sering ‘dimarketingkan’ juga yang sudah saya sebut di atas. Bahkan sampai sekarang telinga kita masih akrab dengan istilah Islam kejawen.

Para ulama yang dipercaya berjasa terkait penyebaran Islam di tanah Jawa adalah wali songo. Yaitu Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim); Sunan Ampel (Raden Rahmat); Sunan Bonang; Sunan Drajat (Raden Qasim); Sunan Kudus (Ja’far Shadiq); Sunan Giri (Raden Paku atau Ainul Yaqin); Sunan Kalijaga (Raden Sahid); Sunan Muria (Raden Umar Said); dan Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah). Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa. Surabaya-Gresik-Lamongan-Tuban di Jawa Timur; Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah; dan Cirebon di Jawa Barat. Antara abad ke-14 dan 16.

Jadi dua diantara 9 tokoh wali songo itu, tercatat sebagai sufi. Dan Sunan Bonang itu adalah anak Sunan Ampel. Tokoh sufi lain yang populer di Indonesia selain Sunan Bonang dan Sunan Gunung Jati adalah Syekh Abdullah Mubarak bin Nur Muhammad (Abah Sepuh) pendiri pondok pesantren Suryalaya, Hamzah al-Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Syekh Abdurrauf al-Sinkili, Syekh Yusuf al-Makasari, Syekh Nurjati (guru Sunan Bonang), Syekh Abdullah Iman (Pangeran Cakra Buana), Syekh Mulyani (Syekh Royani), Mbah Kriyan, Syekh Tolhah (guru Abah Sepuh), Syekh Jauharul Arifin (pendiri ponpes Jauhariyah Balerante, dan lain-lain.

Jadi kita bisa melihat benang merah corak Islam di Indonesia ini. Khususnya di Jawa. Mulai dari kerajaannya, para tokohnya, tradisi-budaya (kepercayaan) asal, sampai bagaimana gambaran Islam itu mulai menular dan lantas menggantikan kepercayaan yang terlebih dahulu ada. Yaitu Islam yang soft. Lembut. Mampu menggandeng tradisi, budaya dan kepercayaan yang sudah ada. “Mengislamkan perlahan-lahan”.

Bukan Islam yang frontal. Yang mentandingkan antara ajaran Islam yang murni bersumber dari Qur’an dan Hadis yang sahih dengan kepercayaan lokal yang sudah ada. Bukan. Tapi Islam yang ramah dan persuasif. Tepatnya ketika Kerajaan Majapahit berganti dengan Kerajaan Demak. Ketika Islam masih minoritas. Di abad 14.

Tapi sekarang, sudah abad 21. Sudah berlangsung kira-kira 600-an tahun. Dan kini Islam sudah mayoritas. Negara sudah demokrasi. Yang menjamin kebebasan berpendapat yang bertanggung jawab. Era sudah internet. Informasi bebas. Siapa pun memungkinkan untuk bisa melacak. Menelusuri. Menelisik dan meneliti. Termasuk keyakinannya sendiri. Islamnya sendiri.

Maka kita temui orang-orang tertentu yang masih mempertahankan Islam yang bersahabat dengan tradisi itu. Termasuk tradisi mistisnya. Biasanya diikuti oleh sebagian besar orang awam. Ada pula yang terang-terangan membersihkan tradisi mistis tersebut. Dan kita, tinggal memilih dan memilah mana yang benar dan terbaik.

Memang para prinsipnya, Islam itu ramah dengan tradisi, budaya, atau keyakinan apa pun. Tapi yang sesuai dengan Al Qur’an dan Hadis yang sahih. Sebaliknya, Islam tegas menolak semua keyakinan, ritual, budaya, dan tradisi apa pun yang bertentangan dengan Qur’an dan Hadis sahih. Tetap bijak-situasional dengan situasi dan kondisi. Dan kita mesti paham, mana yang Islam, mana yang budaya. Supaya tidak mengatakan, “bijak-situasional”, padahal ternyata kita terjatuh pada kesyirikan!

QS. Al-Isra’[17]: 36
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Dan JANGANLAH kamu MENGIKUTI apa yang kamu TIDAK MEMPUNYAI PENGETAHUAN tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta PERTANGGUNGAN JAWABNYA.

Semoga bermanfaat.

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam.







Jumat, 23 Agustus 2019

DIMENSI 4 ALAMNYA JIN


—Saiful Islam—

“Menurut saya, alam dimensi 4 adalah alamnya Jin, itu adalah tafsir yang kebablasan…”

Mungkin kita sering mendengar istilah alam Jin. Atau alam lain. Atau alam dimensi lain. Alam dimensi lebih tinggi. Yang maksudnya adalah sebuah alam yang khusus dihuni oleh bangsa Jin gaib matafisika. Apakah benar ada alam dimensi lebih tinggi dari alam yang kita huni saat ini? Sehingga di situlah bangsa Jin itu berada?

Kalau Jin yang dimaksud adalah makhluk gaib metafisika, jawabannya adalah tidak ada. Inilah kesimpulan yang bisa kita putuskan berdasar penulusuran dari beberapa tulisan terdahulu. Adapun sebuah alam berdimensi lebih tinggi, memang ilmuwan memungkinkan keberadaannya. Yaitu alam dimensi 4, dimensi 5, dimensi 6, dan seterusnya.

Dalilnya, yang paling mutakhir, adalah ditemukannya cold spot pada tahun 2015 oleh para ahli astrofisika dari Universitas Durham. Atau bintik-bintik dingin di sisi luar alam semesta kita ini. Cold spot adalah tanda bahwa alam semesta ini telah bertabrakan dengan alam semesta yang lain.

Luas cold spot itu 1,8 miliar tahun cahaya. Menurut para ilmuwan, itu adalah goresan sisa tabrakan beruntun antara alam semesta kita dengan alam semesta lainnya. Tabrakan itu kuat sekali. Sehingga energinya pun sangat besar dan menciptakan bintik-bintik dingin dengan sunu minus 400 derajat celcius.

Cold spot bisa jadi sinyal yang tersisa dari tabrakan antara alam semesta kita dengan salah satu dari triliunan alam semesta lainnya. Jika analisis selanjutnya berhasil menemukan jawaban yang tepat, maka cold spot bisa menjadi bukti pertama dari eksistensi (keberadaan) multi (banyak) alam semesta yang mirip dengan apa yang kita miliki saat ini.” Begitu kata Tom Shanks—seorang profesor dari pusat Astronomi Unversitas Durham.

Meskipun, alam berdimensi lebih tinggi itu, sampai saat ini belum terbukti. Ya, belum terbukti. Alias baru hipotesis. Dugaan sementara. Dan tidak ada satu pun ilmuwan itu yang mengatakan bahwa alam berdimensi 4, 5, dan seterusnya itu adalah alamnya Jin gaib metafisik. Jadi, ‘tempat Jin-nya’ saja, itu sampai saat ini belum terbukti! Masih debatable!! Apalagi Jin metafisikanya!!!

Atau paling tidak, alam semesta lain itu dimungkinkan ada baru berdasar analisis dari teori. Belum sebuah fakta yang terbukti memang ada. Dunia pararel itu muncul berdasarkan pandangan umum para ilmuwan yang menyimpulkan begini. Bahwa ruang waktu itu datar dan meluas. Tidak bundar atau lonjong. Ketika ruang waktu datar, maka apa yang kita lihat selama ini di alam semesta merupakan bagian terluar dari dimensi alam yang lebih besar. Atau yang dikenal sebagai sembilan dimensi.

Memang salah satu guru saya yang saya kagumi, itu mengatakan bahwa Jin itu ada. Dan bangsa Jin ini menghuni di alam dimensi 4. Dia mengibaratkan begini. Kalau alam (bumi) yang kita huni ini kita anggap sebagai alam berdimensi 2, maka alam yang berdimensi 4, kita misalkan dulu berdimensi 3.

Dimensi 2 tidak bisa masuk ke dimensi 3. Namun sebaliknya. Dimensi tiga, itu masuk ke dimensi 2. Meskipun tidak semua alam yang berdimensi tiga itu bisa tampak di dimensi 2. Ambil contoh bayangan orang di tembok. Orangnya adalah berdimensi tiga. Yang mempunyai luas dan volume. Sedangkan bayangannya, hanya memiliki besaran luas.

Orang yang berdimensi tiga itu bisa masuk ke bayangannya yang berdimensi dua. Caranya mudah. Orang tersebut tinggal menempelkan telapak tangannya saja ke tembok. Maka permukaan tangannya akan masuk ke dimensi dua. Seandainya bayangan itu bisa ngomong, dia akan bilang begini: “Ooo… jadi begitu tangan.”

Tapi sebaliknya. Bayangan yang berdimensi dua itu, tidak mungkin masuk ke dimensi tiga. Tidak mungkin. Lantas mengutip 7:27 bahwa Jin itu bisa melihat manusia. Tapi sebaliknya. Manusia tidak akan bisa melihat Jin. Kecuali kalau Jin menampakkan sebagian dirinya, ketika ia masuk ke alam kita yang berdimensi tiga. Maka, manusia menjadi bisa melihat Jin.

Menurut saya, bahkan melihat Jin versi dimensi 4 seperti itu, tidak mungkin. Mustahil. Kalau benar Jin masuk ke dimensi tiga, itu berarti sudah menabrak firman Allah 7:27 itu sendiri yang jelas-jelas menegaskan: “Mereka bisa melihat kalian. Sedangkan kalian tidak bisa melihat mereka.”

Jadi begitulah permisalannya. Selalu untuk menggambarkan alam berdimensi empat itu, harus menggunakan permisalan. Supaya secara teori, tampaknya masuk akal. Tapi sekali lagi. Belum terbukti secara nyata. Makanya, bahasan dimensi 4, dimensi 5, dan seterusnya itu, dikategorikan dalam science fiction. Fiksi tetapi saintifik. Imajinasi yang didasarkan pada prediksi-prediksi ilmiah.

Para ahli fisika memang pernah mengemukakan beberapa model alam semesta ini. Misalnya pertama adalah Bubble Theory atau Black Hole Theory. Menurut teori ini, alam semesta ini sebenarnya MUNGKIN saja adalah bagian dari semesta yang lebih besar. Kita tidak bisa melihat atau mengobservasinya, hanya karena bagian-bagian lain dari semesta itu jauh sekali dari semesta kita. Atau mungkin juga semesta-semesta lain itu berada di black hole yang membuat tak seorang pun bisa menembusnya.

Teori kedua adalah string. Atau String Theory. Bunyinya begini: Jika alam semesta kita memiliki tiga dimensi, maka MUNGKIN saja semesta ini adalah bagian dari semesta lain yang lebih besar yang mempunyai 9 dimensi. Diibaratkan koran yang memiliki banyak halaman, semesta kita ini adalah salah satu dari halaman-halaman koran tersebut.

Dan yang ketiga adalah Parallel Universe Theory. Alias teori dunia pararel. Mudahnya, teori ini menyatakan bahwa ada banyak dunia yang bekerja secara pararel. Yakni ada alam lain yang bekerja bersamaan dengan alam kita ini.

Yang perlu diingat, adalah ini. Tidak satu pun dari teori-teori di atas yang sudah terbukti. Meskipun, itu semua memang bukan imajinasi atau hayalan belaka. Ya, bukan hayalan belaka. Tetapi hayalan berdasar teori sebelumnya. “Maka, masuk akalnya semesta ini harus lebih dari tiga dimensi…,” begitu kira-kira kesimpulan logisnya. Kemudian lantas dikembangkanlah imajinasi di atas.

Ingat. Saya memang pro Sains untuk menafsirkan ayat-ayat Qur’an. Sangat malah. SMA saya ambil jurusan IPA. Kuliah saya jurusan Tafsir Qur’an. Ada seorang guru yang menulis tafsir Qur’an dengan pendekatan saintifik berseri. Lebih dari 40-an buku. Saya beli semua. Saya hatamkan semua. Tapi kalau dikatakan bahwa Jin yang gaib metafisika itu menghuni alam dimensi 4, menurut saya itu tafsir yang teterlaluan. Melampaui batas. Kebablasan. Hehe..

Mengkritisi penafsiran guru seperti ini, sungguh bukan saya benci pada guru saya ini. Justru sebaliknya. Saya sangat cinta. Saya memang ngefans kepada orang-orang seperti beliau. Saya sangat berterimakasih beliau telah menulis buku. Yang mencerdaskan murid-muridnya. Yang memancing murid-muridnya untuk berpikir. Semoga beliau terus menulis buku. Dan semoga semua isinya bisa melintas di otak dan hati kita. Di akal anak-cucu keturunan kita. Aamiin.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Senin, 19 Agustus 2019

JINNYA SALIB


—Saiful Islam—

“Bagi saya, yang Muslim, salib itu hanya sekadar kayu. Tidak kurang, tidak lebih!”

Benarkah salib itu ada Setannya? Atau ada Jin kafirnya? Terus apakah benar juga bahwa palang merah yang biasa ditempel di ambulan itu juga ada Setannya? Ada Jin kafirnya?

Jawabannya tidak benar. Salah. Saya sebagai orang Islam, tidak yakin bahwa salib itu ada Setannya. Atau ada Jin kafirnya sebagai sesuatu yang gaib metafisik. Alasan saya simpel: Al Qur’an, sebagai kitab suci yang saya imani, tidak pernah memberi informasi kepada kita bahwa salib itu ada Setannya. Atau ada Jin kafirnya. Ya, tidak ada dalam Qur’an! Kalau Qur’an tidak memberi info tentang sesuatu yang gaib metafisik, kita tidak boleh mengarang-ngarang sendiri tentang hal gaib itu.

Begitu juga tentang simbol palang merah yang biasa ditempel di ambulan. Tidak benar kalau lambang itu mengandung sesuatu yang gaib metafisik. Misalnya mengatakan bahwa di dalam palang merah itu ada Setannya atau Jin kafirnya yang mengajak orang Islam untuk murtad atau kafir menjelang wafatnya. Sama sekali tidak benar itu. Salah.

Bagi saya, baik salib maupun palang merah, itu hanya sekadar simbol. Kalau terbuat dari kayu, ya sekadar kayu. Kayu yang dipalang. Kalau diberi patung, ya cuma begitu saja. Tidak kurang tidak lebih. Kayu terus diberi patung. Begitu saja selesai. Tidak ada itu Setannya. Atau Jin kafirnya. Menurut saya, siapa pun yang meyakini bahwa salib atau palang merah itu ada Jin kafirnya atau ada Setannya, itu terpengaruh keyakinan dinamisme.

Ciri-ciri warisan animisme-dinamisme itu menurut saya, misalnya. Ada cincin akik, dikira ada jinnya. Ada setannya. Ada keris, dikira ada jinnya. Ada setannya. Ada pohon besar atau batu besar, dikira ada jinnya. Ada setannya. Ada ‘penunggunya’. Ada rumah kosong yang kumuh, langsung dikira ada jinnya. Ada setannya. Ada perempuan cantik, dikira ada peletnya. Ada jinnya. Ada laki-laki ganteng (kayak yang nulis, hehe) langsung dikira ada jinnya. Ada peletnya. Ada guna-gunanya. Dan seterusnya.

Bahkan, saya rasa, orang Kristen sendiri tidak meyakini bahwa dalam salib itu ada Setannya atau ada Jin kafirnya. Orang Kristen sendiri pun tidak pernah meyakini itu. Jadi kalau kita umat Islam, tapi latah meyakini bahwa salib itu ada Setannya atau pun ada Jin kafirnya, agaknya memang itu keyakinan nenek moyang yang terus kita warisi tanpa sadar. Budaya animisme-dinamisme yang kita yakini tanpa kritik apa pun sampai sekarang.

Bagi orang Kristen, yang saya tahu, salib itu adalah simbol yang melambangkan kasih Tuhan. Atau salib adalah pertemuan antara kasih Allah dan keadailan Allah. Karena bagi orang Kristen, Yesus itu mati di palang salib. Dan kematian Yesus di palang salib itu diyakini bahwa kematian itu untuk menebus dosa dunia. Lebih tepatnya menebus dosa semua orang yang beriman dan percaya kepada-Nya saja sehingga dijamin kehidupan yang kekal (Yohanes 3:16).

Jadi bagi orang Kristen sendiri, salib itu bukan Tuhan. Atau dituhankan. Atau disaktikan misalnya salib itu tempatnya Setan atau Jin kafir. Tidak ada. Orang Kristen sendiri tidak pernah meyakini bahwa salib itu Setan. Atau Jin kafir. Atau Tuhan. Atau rumahnya Setan. Atau rumahnya Jin kafir. Atau rumahnya Tuhan. Tidak ada. Bagi orang Kristen salib adalah simbol kasih Tuhan.

Bahkan. Berdasar penelitian, salib Mesir kuno itu menunjuk kepada simbol seksual. Pada saat itu salib identik dengan penyembahan kepada Dewa Matahari. Jadi, pada masa sebelum kekristenan, pernah ada salib Mesir kuno yang dihubungkan dengan penyembahan kepada Dewa Matahari.

Di Mesir purba, salib yang umumnya berbentuk T itu dijadikan lambang keagamaan. Para pakar menyebut salib ini dengan Tau. Dijumpai juga salib Tau yang di atasnya dipasang semacam gagang berupa lingkaran. Lingkaran ini melambangkan kekekalan. Ya. Salib yang di atasnya bergantung lingkarang tersebut adalah lambang hidup yang kekal. Salib ini biasa dipakai di leher pada pendeta Mesir kuno. Dijadikan kalung. Salib ini juga melambangkan hikmah atau kebijaksanaan rahasia. Terutama di sekitar wilayah Mediterania.

Jadi tidak ada yang mengartikan bahwa salib itu adalah Setan atau Jin kafir. Yang mengartikan ‘lambang setan’ atau ‘Jin kafir’ saja, itu tidak ada. Apalagi yang meyakini bahwa salib sendiri itu ada Setannya atau ada Jin kafirnya. Jelas sekali, keyakinan ini adalah warisan keyakinan aminisme-dinamisme. Atau terpengaruh tanpa disadari.

Sebagaimana diartikan oleh Dictionary of Musticism and the Occult (Kamus Drury), salib adalah suatu simbol pra-Kristen kuno yang ditafsirkan oleh beberapa pakar ilmu gaib sebagai menyatukan zakar lelaki (palang tegaknya) dengan vagina perempuan (palang melintang). Salib juga merupakan simbol empat arah mata angin. Serta senjata kuat untuk menentang kejahatan. Nah, inilah yang saya kritisi. Bagi saya, beragama Islam, salib itu hanya sekadar kayu. Tidak kurang, tidak lebih!

Apalagi simbol palang merah di ambulan itu. Tepatnya tahun 1863. Ada Konferensi Internasional I di Jenewa, Swiss. Dihadiri 16 negara. Disadari perlunya ada simbol yang sama untuk anggota kesatuan medis militer. Simbol itu harus berstatus netaral. Serta bisa menjadi perlindungan pada mereka di medan perang.

Konferensi Internasional bersepakat menggunakan simbol Palang Merah di atas dasar putih. Ini sebagai bentuk penghormatan kepada Swiss. Simbol tersebut sebagai tanda pengenal untuk kesatuan medis militer dari setiap negara.

 Di tahun itu juga, Komite Internasional untuk Pertolongan Bagi Tentara yang Terluka diganti menjadi ICRC (International Committee of the Red Cross). Alias Komite Internasional Palang Merah. Jadi, palang merah ini tidak ada mitosnya. Tidak ada kleniknya. Tidak ada kaitannya dengan Setan atau Jin kafir gaib metafisik.

Lalu, ada yang mengait-ngaitkan antara salib dengan ka’bah atau hajar aswad. Sebagai sikap penghormatan, bisa jadi. Artinya orang Islam menghormati ka’bah atau hajar aswad. Bahkan di musim haji ini, saya kira banyak yang ingin mencium hajar aswad, batu hitam yang ada di sudut ka’bah itu. Orang Kristen juga menghormati salib. Tapi ingat! Itu penghormatan. Bukan penyembahan. Kami orang Islam, tidak menyembah batu berbentuk kubus itu.

Meskipun ka’bah itu namanya baitullah (rumah Allah), itu tidak berarti Allah berada di dalam ka’bah. Atau Allah ada di ka’bah. Bukan seperti itu. Ka’bah ya sekadar ka’bah. Hajar aswad ya sekadar hajar aswad. Jangankan ka’bah yang hanya sekian meter pangkat tiga. Apa saja, termasuk alam semesta pun, itu diliputi oleh Allah (baca misalnya QS.4:126). Laisa kamitslihi syay’. Imajinasi apa pun yang bisa dibayangkan oleh manusia, pastilah itu bukan Allah.

Bagi umat Islam, ka’bah hanyalah sebuah  kiblat (arah) shalat. Kenapa shalat harus menghadap ke kiblat? Ya karena Nabi Muhammad SAW yang mencontohkan itu. Titik. Kenapa orang Islam berebut mencium hajar aswad? Ya karena Nabi mencontohkan itu. Nabi itu the role model of moslems. Memang untuk ditiru. Jadi tidak ada mitosnya. Tidak ada kleniknya.

“Loh, kenapa ikut?” Pertanyaan ini seperti pertanyaan, “Kenapa shalat lima kali sehari. Kok tidak sekali saja?” Atau kenapa shalat subuh dua kali, sementara isya’ empat kali?” Ya jawabannya cuma ini: karena Nabi, sebagai uswatun hasanah, mencontohkan begitu. Sudah titik.

Begitu juga saya rasa, orang Kristen tidak ada yang menyembah salib. Namun, apakah orang Islam menghormati salib, ataukah orang Kristen menghormati ka’bah, saya rasa itu tergantung pilihan orangnya masing-masing. Kalau ada orang Kristen tidak menghormati ka’bah, ya wajar. Wong dia memang tidak beriman kepada Nabi Muhammad. Orang Islam tidak menghormati salib, ya biasa saja. Wong Muslim memang tidak mempercayai Nabi Isa mati disalib.

Meski tidak harus juga orang Kristen mencela apa yang dihormati oleh Muslim. Dan sebaliknya, tidak harus juga Muslim mencela apa yang dihormati oleh umat Kristiani. Bahkan sebaiknya keduanya harus saling menghormati keyakinan masing-masing. Apalagi kalau konteksnya adalah sebangsa setanah air. Indonesia. Kalau pun harus diskusi atau berdebat, sebaiknya tetap dengan cara yang baik dan santun. Mengkritisi argumentasinya. Tetap santun pada orangnya. Kritis yang santun. Mendebat argumentasinya, sambil tetap menghormati orangnya.

Dan. Tidak perlu juga terlalu terburu-buru menyesatkan orang. Atau mengatakan bahwa seseorang telah menista agama kita. Ah, jangan-jangan cepat menghakimi seseorang telah menista agama kita, atau kitab suci kita, itu hanya buah dari kebencian kita saja. Yang dibumbui oleh fanatisme kelompok dan kepentingan politik. Na’uudzu billaah.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah.

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam







Sabtu, 17 Agustus 2019

ROH NABI MAHALLUL QIYAM


—Saiful Islam—

“Saya tidak mengritisi budayanya. Yang sedang saya kritisi adalah keyakinannya. Akidahnya…”

Memang ada yang mengatakan bahwa Baginda Nabi Muhammad SAW itu hadir ketika dibacakan shalawat saat mahallul qiyam. Ya, mahallul qiyam artinya saatnya berdiri ketika membaca yaa Nabiy salam ‘alaika yaa Rasul salam ‘alaika... Bahkan ada yang lebih jelas menyatakan bahwa, Nabi Muhammad benar-benar hadir dengan ruh dan jasadnya ketika dibacakan mahallul qiyam.

Di sini, saya memang sengaja tidak menggunakan istilah-istilah seperti ustadz (ah), habib (habaib), guru, gos, kiai, mbah, suhu, dan lain semisalnya. Supaya jika ada dialog, rembugan, atau musyawarah, kita lebih fokus kepada kekuatan argumentasinya. Sehingga kalau mau menyanggah, yang disanggah itu adalah argumentasinya. Bukan sang ustadz, bukan sang habib, bukan sang gos, sang kiai, guru, suhu, dan semisalnya itu. OK lanjut.

Di masyarakat kita lihat, memang sebagian umat Islam itu ada yang membaca shalawat bersama. Saya pun sering ikut. Di tengah-tengah kegiatan shalawatan itu, ada saat dimana sang pemimpinnya mengatakan, “mahallul qiyaam”. Saatnya berdiri. Kemudian semua hadirin berdiri. Dan lantas membaca, yaa Nabiy salaam ‘alaika yaa Rasul salaam ‘alaika. Ya Habiib salaam ‘alaika. Shoolaawaatullooh ‘alaika.

Nah, ternyata berdirinya para audiens tersebut ada yang meyakini bahwa itu adalah penghormatan. Penghormatan apa? Berdiri itu dianggap sebagai penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW yang sedang hadir. Karena yakin Nabi Muhammad SAW hadir, baik dengan jasad maupun ruhnya, maka para audiens tersebut termasuk sang pemimpinnya itu berdiri. Ya, berdiri karena yakin jasad dan ruh Nabi sedang hadir ketika dibacakan shalawat tersebut.

Perlu saya tegaskan di sini. Bahwa di sini saya tidak sedang mengritisi shalawatan sebagai tradisi atau budayanya. Bagi saya, budaya itu, secara umum, boleh-boleh saja. Halal. Termasuk hal mubah yang asalnya memang halal. Kecuali ada dalil yang mengharamkan. Yang saya kritisi adalah keyakinannya. Bahwa Nabi Muhammad SAW hadir dengan jasad dan ruhnya ketika dibacakan shalawat tersebut, nah inilah yang akan saya kritisi. Sebab kalau soal keyakinan (akidah), menurut saya asalnya adalah haram. Sampai ada dalil yang menunjukkan bahwa kita harus beriman.

Nah. Bagi saya, landasan utama keyakinan soal gaib metafisik itu ya Al Qur’an. Jika ada Hadis yang berbicara soal gaib metafisik itu, pastilah ada cantolannya kepada Qur’an. Perlu kita waspadai jika ada Hadis tapi ternyata tidak menemukan pijakan Qur’annya. Atau isinya yang melebihi informasi Qur’an. Nabi memang hanyalah manusia biasa (QS.18:110). Tidak mungkin Nabi mengetahui hal gaib metafisik kecuali diberi informasinya oleh Allah lewat Qur’an. Bisa dicek misalnya QS.7:188, QS.6:50, dan QS.11:31.

QS. Hud[11]: 31
وَلَا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلَا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلَا أَقُولُ إِنِّي مَلَكٌ وَلَا أَقُولُ لِلَّذِينَ تَزْدَرِي أَعْيُنُكُمْ لَنْ يُؤْتِيَهُمُ اللَّهُ خَيْرًا ۖ اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا فِي أَنْفُسِهِمْ ۖ إِنِّي إِذًا لَمِنَ الظَّالِمِينَ
Dan aku tidak mengatakan kepada kamu (bahwa): "Aku mempunyai gudang-gudang rezki dan kekayaan dari Allah. Dan AKU TIDAK MENGETAHUI YANG GAIB". Dan tidak (pula) aku mengatakan: "Bahwa sesungguhnya aku adalah malaikat". Dan tidak juga aku mengatakan kepada orang-orang yang dipandang hina oleh penglihatanmu: "Sekali-kali Allah tidak akan mendatangkan kebaikan kepada mereka". Allah lebih mengetahui apa yang ada pada diri mereka. Sesungguhnya aku, kalau begitu benar-benar termasuk orang-orang yang zalim.”

OK. Yang perlu kita catat adalah ini: keyakinan bahwa Nabi Muhammad SAW itu hadir saat mahallul qiyam ketika dibacakan shalawat, itu tidak ada dasarnya dari Qur’an. Ini dulu. Soal ruh, Qur’an bercerita dalam kira-kira 60 ayat. Semuanya, tidak ada yang menginfokan kepada kita bahwa Nabi yang telah wafat itu bisa hadir ketika mahallul qiyam. Di antaranya berikut.

QS. Al-Sajdah[32]: 9
ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ ۖ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۚ قَلِيلًا مَا تَشْكُرُونَ
Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya RUH-NYA. Dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.

QS. Al-Hijr[15]: 29
فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ
Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya RUH-KU, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.

QS. Al-Isra’[17]: 85
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ ۖ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: "RUH itu termasuk urusan Tuhan-ku. Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan (tentang ruh itu) melainkan sedikit".

Ruh Nabi bisa hadir itu pun janggal bahkan dengan logika sederhana sekalipun. Misalnya di dunia ini sekarang 2019 ada jutaan orang yang bershalawat. Mahallul qiyam semua. Di ratusan negara yang berbeda. Tidak mungkin ruh Nabi juga menjadi ratusan. Lantas kemudian menghadiri semua majelis shalawatan itu.

Apalagi berdasar 17.85 yang terakhir saya kutip itu. Jelas sekali disebut. Bahwa ruh itu urusan Allah. Infonya tidak banyak yang diberikan kepada manusia. Hanya sedikit saja. Makanya, tidak sepatutnya kita mengarang-ngarang sendiri tentang ruh. Misalnya ruh itu begini dan begitu.

Apalagi jasad beliau. Secara jasad, Nabi Muhammad memang sudah wafat pada 8 Juni 632 Masehi lalu. Di Madinah. Dulu ketika luas masjid Nabawi masih 50 meter persegi, rumah Nabi tepat di sebelah masjid tersebut. Nah, Nabi pun dimakamkan di rumah beliau itu.

Orang-orang Jawa memang masih ada yang yakin bahwa roh orang yang sudah mati, itu bisa pulang ke rumahnya. Gentayangan. Malam jum’at, mbae moleh (nenek—sudah wafat—pulang). Sampai disajikan kopi, dan ketan putih bertabur kacang plus gulanya. Ada yang bilang, “Itu yang dimakan oleh roh adalah aromanya”. Ada-ada saja.

Secara umum, orang yang sudah wafat, itu memang tidak bisa lagi kembali ke dunia ini. Apalagi sampai berinteraksi dengan orang-orang yang masih hidup. Tidak bisa. Di hadapan mereka sudah ada barzakh. Dinding. Orang yang sudah mati, tidak akan bisa hidup lagi. Digambarkan dalam ayat berikut.

QS. Al-Mukminun[23]: 99 – 100
حَتَّىٰ إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ
99. Hingga apabila datang KEMATIAN kepada seseorang dari mereka, dia berkata: "Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia).

لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ ۚ كَلَّا ۚ إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا ۖ وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَىٰ يَوْمِ يُبْعَثُونَ
100. Agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. SEKALI-KALI TIDAK. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada BARZAKH (DINDING) sampal hari mereka dibangkitkan.

Dengan demikian, tidak benar keyakinan bahwa Nabi Muhammad SAW hadir, baik jasad maupun ruhnya, di majelis shalawatan. Di mahallul qiyam sekalipun. Maka, kalau mau shalawatan, ya shalawatan saja. Mau mahallul qiyam, ya mahallul qiyam saja. Tidak perlu ada keyakinan bahwa Nabi Hadir.

Saya saja. Kadang tapi. Kalau pagi, masih terasa ngantuk-ngantuk, daripada mutar musik rock. Tidak enak sama tetangga. Saya lebih memilih memutar shalawatan Habib Syeikh. Saya putar agak kencang. Saya gerakkan badan. Semacam olahraga ringan. Dance ringan. Hehe. Saya ikut shalawatan. Sambil mengingat-ingat perjuangan Nabi yang sangat tulus itu sebisa saya. Uwah. Enak tenan. Seger. Ilang ngantuk e. Hehehe.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...