—Saiful Islam—
“Dan tidak akan pernah bisa!! Semua
itu hanya kibul tipu-tipu belaka!!! Kenapa? Karena bertentangan dengan ayat
kauniyah Allah yang bernama Sunnatullah!!!!”
Seorang kawan berkomentar dan
bertanya seperti di bawah ini. Terimakasih komentar dan pertanyaannya.
AllahuAkbar...
Semakin lama semakin nyata bahwa
njenengan tdk percaya pada hal-hal gaib Bagaimana anda menjelaskan mengenai
Nabi Sulaiman yg berbicara dengan Jin. Mengerti bahasa Jin dan binatang. Apakah
Anda akan melabeli Nabi Sulaiman dengan "panya gangguan kejiwaan?".
Ilmu Allah itu Maha Luas. Didalam
Al-Qur'an pun dipaparkan mengenai yg ghoib juga. Hanya ilmu itu belum sampai
pada anda. Tentu saja banyak ilmu tentang hal hal gaib yg tidak anda ketahui. Bagaimana
anda menjabarkan mengenai peristiwa Isra' dan mi'raj Nabi Muhammad? Peristiwa
itu menembus dimensi waktu dan jarak.
Jangan jangan anda pun sudah tidak
percaya bahwa Nabi Muhammad telah melakukan perjalanan tersebut. Padahal hal
itu sudah termaktub dalam al Qur'an. Sayang sekali.
=============
Berikut tanggapan saya (sebenarnya
jawaban panjang lebarnya sudah bisa ditemukan kalau kawan satu ini membaca
semua seri tulisan ini yang itu pun sudah saya share):
Pertama, soal tidak percaya pada
hal-hal gaib. Kali ini, saya jawab tegas saja: iya. Sama memang tidak percaya
pada hal-hal gaib. Yaitu hal-hal gaib hayalan. Hal-hal gaib rekaan. Hal-hal
gaib buah imajinasi belaka. Hal-hal gaib yang tidak ada referensi pendukungnya.
Saya memang tidak percaya pada hal-hal gaib ala animisme—dinamisme, Hindu, dan
Buddha. Saya CUMA PERCAYA pada hal-hal gaib SEBATAS informasi dari Qur’an,
Hadis Sahih, dan Sains. Titik!
Jadi, jelas BATAS keyakinannya. Jelas
batas kepercayaannya. Bukan percaya kepada gaib secara ngawur. Nderobos. Atau jangan-jangan,
keyakinan kita pada gaib ini memang bercampur aduk dengan keyakinan Hindu atau
Buddha? Insya Allah akan kita lihat di depan. Konsep Jin versi agama-agama non
Islam, terutama yang paling dekat bersinggungan dengan masyarakat Indonesia
itu: Hindu dan Buddha.
Kedua, soal Nabi Sulaiman yang
berbicara dengan Jin. Mengerti bahasa Jin dan binatang. Ini pun sudah saya
ceritakan di tulisan ke-19, Jin Nabi Sulaiman. Yang dimaksud Jin di
situ, bukan Jin makhluk gaib halus antah-berantah. Jin Nabi Sulaiman itu adalah
salah seorang pembesar. Orang. OK. Di bawah ini saya kutipkan lagi sebagiannya
saja. Ingin lengkap, silakan baca lagi tulisan di atas.
Jin Nabi Sulaiman itu pembesar.
Atau orang besar. Atau orang bangsawan. Seperti menteri lah kalau sekarang.
Tampak sekali di situ, ketika Nabi Sulaiman berkata, “Wahai para pembesar…”
Kemudian barulah dijawab oleh Ifrit. Jadi, Ifrit itu ya salah seorang bangsawan
itu. Ingat ya, kalimatnya adalah “qoola ‘Ifriitun min al-jinni”. Ifrit
dari Jin berkata. Tidak “jinnu ‘Ifriitin”. Bukan Jin Ifrit, yang selama
ini umum di masyarakat.
Bangsawan itu disebut Jin, karena
biasanya tertutup dari rakyat biasa. Tidak gampang rakyat biasa bisa
berinteraksi dengan seorang bangsawan. Sehingga sifat-sifatnya, ide-idenya atau
rencana-rencana kerjanya, perkataan, sampai perbuatannya tertutup dari
masyarakat pada umumnya. Sudah pas dengan arti asal kata jinn, yaitu apa pun
yang tertutup oleh pandangan mata. Apalagi pada zaman itu, teknologi informasi
tidak secanggih sekarang. Tidak ada seperti gawai (gadget) dan internet.
Ingat lagi, al-jinn itu
sering Allah lawankan dengan al-ins. Jadi sudah pas, al-jinn itu
bisa digunakan untuk menyebut para bangsawan. Maka, al-ins bisa
digunakan untuk menyebut rakyat biasa. Masyarakat umum. Atau orang kebanyakan.
Kalimat Ifrit, "Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgsana itu
sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu,” bercerita tentang keyakinannya
bisa menaklukkan kerajaan ratu Balqis dengan mudah. Tidak perlu waktu lama.
Mengingat militer Nabi Sulaiman jauh lebih hebat dari militernya Balqis.
Adapun, kata al-kitab (buku)
yang disebut pada QS. Al-Naml[27] ayat 40 itu, berarti buku atau ilmu dan skill
canggih tentang teknik sipil. Bukan kitab suci. Adapun kalimat "Aku
akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip,” maksudnya
orang ini bisa lebih cepat menaklukkan kerajaan Saba’ dibanding Ifrit. Bukan
hanya menaklukkan, bahkan orang ini bisa membangun istana persis seperti milik
Balqis di kerajaan Nabi Sulaiman.
Adapun mengerti bahasa binatang,
seperti burung Hudhud misalnya, itu adalah kalimat majaz. Tamtsilyah. Makna
kiasan. Hudhud di situ, bukan makna burung yang sebenarnya. Tapi makna konotatif.
Hudhud itu adalah julukan Nabi Sulaiman kepada tentaranya yang punya keahlian
khusus. Orang memang bisa mengerti bahasa burung. Seperti burung Beo. Tapi burung
Beo itu dilatih dulu untuk mengatakan kata atau kalimat tertentu. Tentu saja,
orang yang punya burung Beo ini bisa mengerti bahasanya. Wong dia sendiri yang
melatih.
Ketiga, soal melabeli Nabi Sulaiman
punya gangguan kejiwaan. Membacanya, saya langsung ingat dengan kasus penipuan
dan pembunuhan berkedok magis ini setahun dua tahun yang lalu. Di Probolinggo.
Saya ikuti setiap hari beritanya di Jawa Pos. Polisi pun sudah mengetes
langsung. Disuruh membuktikan langsung. Kalau dia memang bisa menggandakan uang
secara gaib. Dan memang tidak pernah bisa! Dan tidak akan pernah bisa!! Semua itu
hanya kibul tipu-tipu belaka!!! Kenapa? Karena bertentangan dengan ayat
kauniyah Allah yang bernama Sunnatullah!!!!
Kini, pelakunya masih dipenjara. Katanya
orang ini bisa menggandakan uang secara gaib. Magis. Ironinya banyak sekali
(bahkan ribuan) orang percaya dan menjadi korbannya. Baru mereka merasa jadi
korban setelah pelakunya ditangkap itu. Dan ini yang membuat saya miris: ada
seorang profesor di ILC yang mencoba membenarkan tindakan gaib magis
menggandakan uang itu. Katanya, “Buktinya Nabi Sulaiman bisa.”
Masya Allah. Penipu dan pembunuh
disamakan dengan Nabi Sulaiman. Sama juga komentar di atas, menyamakan label
anak indigo dengan Nabi Sulaiman. Saya menulis yang mengalami gangguan mental
atau gangguan jiwa itu anak yang dilabel indigo. Jadi, bukan Nabi Sulaiman.
Jinnya Nabi Sulaiman, itu bukan Jin klenik seperti anak yang dilabeli indigo
itu. Sekali lagi, Jin Nabi Sulaiman itu adalah orang.
Saya kira, akan ada banyak orang
yang mengaku-ngaku bisa melihat dan bahkan bernteraksi dengan Jin, dengan
berdalil “Seperti Nabi Sulaiman”. Sedikit-sedikit, seperti Nabi Sulaiman. Wajar,
wong yang dibaca cuma terjemahan. Itu pun dibaca sepotong. Untuk bisa memahami konsep
Jin, saya kira kita mesti menyelam. Ya, menyelam Qur’an itu sendiri. Melibatkan
ilmu-ilmu Bahasa Arab. Juga membaca ayat-ayat lain yang terkait. Secara komprehensif.
Serta melibatkan ilmu bantu lainnya. Seperti Sains.
Untuk Isra’ Mikraj, Insya Allah saya
akan ceritakan di lain kesempatan saja. Ini saja dulu. Direnung-renungkan. Pelan-pelan.
Dipahami. Tartil.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung,
insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar