Kamis, 01 Agustus 2019

KEYAKINAN GAIB NDEROBOS


—Saiful Islam—

“Dan tidak akan pernah bisa!! Semua itu hanya kibul tipu-tipu belaka!!! Kenapa? Karena bertentangan dengan ayat kauniyah Allah yang bernama Sunnatullah!!!!”

Seorang kawan berkomentar dan bertanya seperti di bawah ini. Terimakasih komentar dan pertanyaannya.

AllahuAkbar...

Semakin lama semakin nyata bahwa njenengan tdk percaya pada hal-hal gaib Bagaimana anda menjelaskan mengenai Nabi Sulaiman yg berbicara dengan Jin. Mengerti bahasa Jin dan binatang. Apakah Anda akan melabeli Nabi Sulaiman dengan "panya gangguan kejiwaan?".

Ilmu Allah itu Maha Luas. Didalam Al-Qur'an pun dipaparkan mengenai yg ghoib juga. Hanya ilmu itu belum sampai pada anda. Tentu saja banyak ilmu tentang hal hal gaib yg tidak anda ketahui. Bagaimana anda menjabarkan mengenai peristiwa Isra' dan mi'raj Nabi Muhammad? Peristiwa itu menembus dimensi waktu dan jarak.

Jangan jangan anda pun sudah tidak percaya bahwa Nabi Muhammad telah melakukan perjalanan tersebut. Padahal hal itu sudah termaktub dalam al Qur'an. Sayang sekali.

=============
Berikut tanggapan saya (sebenarnya jawaban panjang lebarnya sudah bisa ditemukan kalau kawan satu ini membaca semua seri tulisan ini yang itu pun sudah saya share):

Pertama, soal tidak percaya pada hal-hal gaib. Kali ini, saya jawab tegas saja: iya. Sama memang tidak percaya pada hal-hal gaib. Yaitu hal-hal gaib hayalan. Hal-hal gaib rekaan. Hal-hal gaib buah imajinasi belaka. Hal-hal gaib yang tidak ada referensi pendukungnya. Saya memang tidak percaya pada hal-hal gaib ala animisme—dinamisme, Hindu, dan Buddha. Saya CUMA PERCAYA pada hal-hal gaib SEBATAS informasi dari Qur’an, Hadis Sahih, dan Sains. Titik!

Jadi, jelas BATAS keyakinannya. Jelas batas kepercayaannya. Bukan percaya kepada gaib secara ngawur. Nderobos. Atau jangan-jangan, keyakinan kita pada gaib ini memang bercampur aduk dengan keyakinan Hindu atau Buddha? Insya Allah akan kita lihat di depan. Konsep Jin versi agama-agama non Islam, terutama yang paling dekat bersinggungan dengan masyarakat Indonesia itu: Hindu dan Buddha.

Kedua, soal Nabi Sulaiman yang berbicara dengan Jin. Mengerti bahasa Jin dan binatang. Ini pun sudah saya ceritakan di tulisan ke-19, Jin Nabi Sulaiman. Yang dimaksud Jin di situ, bukan Jin makhluk gaib halus antah-berantah. Jin Nabi Sulaiman itu adalah salah seorang pembesar. Orang. OK. Di bawah ini saya kutipkan lagi sebagiannya saja. Ingin lengkap, silakan baca lagi tulisan di atas.

Jin Nabi Sulaiman itu pembesar. Atau orang besar. Atau orang bangsawan. Seperti menteri lah kalau sekarang. Tampak sekali di situ, ketika Nabi Sulaiman berkata, “Wahai para pembesar…” Kemudian barulah dijawab oleh Ifrit. Jadi, Ifrit itu ya salah seorang bangsawan itu. Ingat ya, kalimatnya adalah “qoola ‘Ifriitun min al-jinni”. Ifrit dari Jin berkata. Tidak “jinnu ‘Ifriitin”. Bukan Jin Ifrit, yang selama ini umum di masyarakat.

Bangsawan itu disebut Jin, karena biasanya tertutup dari rakyat biasa. Tidak gampang rakyat biasa bisa berinteraksi dengan seorang bangsawan. Sehingga sifat-sifatnya, ide-idenya atau rencana-rencana kerjanya, perkataan, sampai perbuatannya tertutup dari masyarakat pada umumnya. Sudah pas dengan arti asal kata jinn, yaitu apa pun yang tertutup oleh pandangan mata. Apalagi pada zaman itu, teknologi informasi tidak secanggih sekarang. Tidak ada seperti gawai (gadget) dan internet.

Ingat lagi, al-jinn itu sering Allah lawankan dengan al-ins. Jadi sudah pas, al-jinn itu bisa digunakan untuk menyebut para bangsawan. Maka, al-ins bisa digunakan untuk menyebut rakyat biasa. Masyarakat umum. Atau orang kebanyakan. Kalimat Ifrit, "Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgsana itu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu,” bercerita tentang keyakinannya bisa menaklukkan kerajaan ratu Balqis dengan mudah. Tidak perlu waktu lama. Mengingat militer Nabi Sulaiman jauh lebih hebat dari militernya Balqis.

Adapun, kata al-kitab (buku) yang disebut pada QS. Al-Naml[27] ayat 40 itu, berarti buku atau ilmu dan skill canggih tentang teknik sipil. Bukan kitab suci. Adapun kalimat "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip,” maksudnya orang ini bisa lebih cepat menaklukkan kerajaan Saba’ dibanding Ifrit. Bukan hanya menaklukkan, bahkan orang ini bisa membangun istana persis seperti milik Balqis di kerajaan Nabi Sulaiman.

Adapun mengerti bahasa binatang, seperti burung Hudhud misalnya, itu adalah kalimat majaz. Tamtsilyah. Makna kiasan. Hudhud di situ, bukan makna burung yang sebenarnya. Tapi makna konotatif. Hudhud itu adalah julukan Nabi Sulaiman kepada tentaranya yang punya keahlian khusus. Orang memang bisa mengerti bahasa burung. Seperti burung Beo. Tapi burung Beo itu dilatih dulu untuk mengatakan kata atau kalimat tertentu. Tentu saja, orang yang punya burung Beo ini bisa mengerti bahasanya. Wong dia sendiri yang melatih.

Ketiga, soal melabeli Nabi Sulaiman punya gangguan kejiwaan. Membacanya, saya langsung ingat dengan kasus penipuan dan pembunuhan berkedok magis ini setahun dua tahun yang lalu. Di Probolinggo. Saya ikuti setiap hari beritanya di Jawa Pos. Polisi pun sudah mengetes langsung. Disuruh membuktikan langsung. Kalau dia memang bisa menggandakan uang secara gaib. Dan memang tidak pernah bisa! Dan tidak akan pernah bisa!! Semua itu hanya kibul tipu-tipu belaka!!! Kenapa? Karena bertentangan dengan ayat kauniyah Allah yang bernama Sunnatullah!!!!

Kini, pelakunya masih dipenjara. Katanya orang ini bisa menggandakan uang secara gaib. Magis. Ironinya banyak sekali (bahkan ribuan) orang percaya dan menjadi korbannya. Baru mereka merasa jadi korban setelah pelakunya ditangkap itu. Dan ini yang membuat saya miris: ada seorang profesor di ILC yang mencoba membenarkan tindakan gaib magis menggandakan uang itu. Katanya, “Buktinya Nabi Sulaiman bisa.”

Masya Allah. Penipu dan pembunuh disamakan dengan Nabi Sulaiman. Sama juga komentar di atas, menyamakan label anak indigo dengan Nabi Sulaiman. Saya menulis yang mengalami gangguan mental atau gangguan jiwa itu anak yang dilabel indigo. Jadi, bukan Nabi Sulaiman. Jinnya Nabi Sulaiman, itu bukan Jin klenik seperti anak yang dilabeli indigo itu. Sekali lagi, Jin Nabi Sulaiman itu adalah orang.

Saya kira, akan ada banyak orang yang mengaku-ngaku bisa melihat dan bahkan bernteraksi dengan Jin, dengan berdalil “Seperti Nabi Sulaiman”. Sedikit-sedikit, seperti Nabi Sulaiman. Wajar, wong yang dibaca cuma terjemahan. Itu pun dibaca sepotong. Untuk bisa memahami konsep Jin, saya kira kita mesti menyelam. Ya, menyelam Qur’an itu sendiri. Melibatkan ilmu-ilmu Bahasa Arab. Juga membaca ayat-ayat lain yang terkait. Secara komprehensif. Serta melibatkan ilmu bantu lainnya. Seperti Sains.

Untuk Isra’ Mikraj, Insya Allah saya akan ceritakan di lain kesempatan saja. Ini saja dulu. Direnung-renungkan. Pelan-pelan. Dipahami. Tartil.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...