Sabtu, 17 Agustus 2019

ROH NABI MAHALLUL QIYAM


—Saiful Islam—

“Saya tidak mengritisi budayanya. Yang sedang saya kritisi adalah keyakinannya. Akidahnya…”

Memang ada yang mengatakan bahwa Baginda Nabi Muhammad SAW itu hadir ketika dibacakan shalawat saat mahallul qiyam. Ya, mahallul qiyam artinya saatnya berdiri ketika membaca yaa Nabiy salam ‘alaika yaa Rasul salam ‘alaika... Bahkan ada yang lebih jelas menyatakan bahwa, Nabi Muhammad benar-benar hadir dengan ruh dan jasadnya ketika dibacakan mahallul qiyam.

Di sini, saya memang sengaja tidak menggunakan istilah-istilah seperti ustadz (ah), habib (habaib), guru, gos, kiai, mbah, suhu, dan lain semisalnya. Supaya jika ada dialog, rembugan, atau musyawarah, kita lebih fokus kepada kekuatan argumentasinya. Sehingga kalau mau menyanggah, yang disanggah itu adalah argumentasinya. Bukan sang ustadz, bukan sang habib, bukan sang gos, sang kiai, guru, suhu, dan semisalnya itu. OK lanjut.

Di masyarakat kita lihat, memang sebagian umat Islam itu ada yang membaca shalawat bersama. Saya pun sering ikut. Di tengah-tengah kegiatan shalawatan itu, ada saat dimana sang pemimpinnya mengatakan, “mahallul qiyaam”. Saatnya berdiri. Kemudian semua hadirin berdiri. Dan lantas membaca, yaa Nabiy salaam ‘alaika yaa Rasul salaam ‘alaika. Ya Habiib salaam ‘alaika. Shoolaawaatullooh ‘alaika.

Nah, ternyata berdirinya para audiens tersebut ada yang meyakini bahwa itu adalah penghormatan. Penghormatan apa? Berdiri itu dianggap sebagai penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW yang sedang hadir. Karena yakin Nabi Muhammad SAW hadir, baik dengan jasad maupun ruhnya, maka para audiens tersebut termasuk sang pemimpinnya itu berdiri. Ya, berdiri karena yakin jasad dan ruh Nabi sedang hadir ketika dibacakan shalawat tersebut.

Perlu saya tegaskan di sini. Bahwa di sini saya tidak sedang mengritisi shalawatan sebagai tradisi atau budayanya. Bagi saya, budaya itu, secara umum, boleh-boleh saja. Halal. Termasuk hal mubah yang asalnya memang halal. Kecuali ada dalil yang mengharamkan. Yang saya kritisi adalah keyakinannya. Bahwa Nabi Muhammad SAW hadir dengan jasad dan ruhnya ketika dibacakan shalawat tersebut, nah inilah yang akan saya kritisi. Sebab kalau soal keyakinan (akidah), menurut saya asalnya adalah haram. Sampai ada dalil yang menunjukkan bahwa kita harus beriman.

Nah. Bagi saya, landasan utama keyakinan soal gaib metafisik itu ya Al Qur’an. Jika ada Hadis yang berbicara soal gaib metafisik itu, pastilah ada cantolannya kepada Qur’an. Perlu kita waspadai jika ada Hadis tapi ternyata tidak menemukan pijakan Qur’annya. Atau isinya yang melebihi informasi Qur’an. Nabi memang hanyalah manusia biasa (QS.18:110). Tidak mungkin Nabi mengetahui hal gaib metafisik kecuali diberi informasinya oleh Allah lewat Qur’an. Bisa dicek misalnya QS.7:188, QS.6:50, dan QS.11:31.

QS. Hud[11]: 31
وَلَا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلَا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلَا أَقُولُ إِنِّي مَلَكٌ وَلَا أَقُولُ لِلَّذِينَ تَزْدَرِي أَعْيُنُكُمْ لَنْ يُؤْتِيَهُمُ اللَّهُ خَيْرًا ۖ اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا فِي أَنْفُسِهِمْ ۖ إِنِّي إِذًا لَمِنَ الظَّالِمِينَ
Dan aku tidak mengatakan kepada kamu (bahwa): "Aku mempunyai gudang-gudang rezki dan kekayaan dari Allah. Dan AKU TIDAK MENGETAHUI YANG GAIB". Dan tidak (pula) aku mengatakan: "Bahwa sesungguhnya aku adalah malaikat". Dan tidak juga aku mengatakan kepada orang-orang yang dipandang hina oleh penglihatanmu: "Sekali-kali Allah tidak akan mendatangkan kebaikan kepada mereka". Allah lebih mengetahui apa yang ada pada diri mereka. Sesungguhnya aku, kalau begitu benar-benar termasuk orang-orang yang zalim.”

OK. Yang perlu kita catat adalah ini: keyakinan bahwa Nabi Muhammad SAW itu hadir saat mahallul qiyam ketika dibacakan shalawat, itu tidak ada dasarnya dari Qur’an. Ini dulu. Soal ruh, Qur’an bercerita dalam kira-kira 60 ayat. Semuanya, tidak ada yang menginfokan kepada kita bahwa Nabi yang telah wafat itu bisa hadir ketika mahallul qiyam. Di antaranya berikut.

QS. Al-Sajdah[32]: 9
ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ ۖ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۚ قَلِيلًا مَا تَشْكُرُونَ
Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya RUH-NYA. Dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.

QS. Al-Hijr[15]: 29
فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ
Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya RUH-KU, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.

QS. Al-Isra’[17]: 85
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ ۖ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: "RUH itu termasuk urusan Tuhan-ku. Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan (tentang ruh itu) melainkan sedikit".

Ruh Nabi bisa hadir itu pun janggal bahkan dengan logika sederhana sekalipun. Misalnya di dunia ini sekarang 2019 ada jutaan orang yang bershalawat. Mahallul qiyam semua. Di ratusan negara yang berbeda. Tidak mungkin ruh Nabi juga menjadi ratusan. Lantas kemudian menghadiri semua majelis shalawatan itu.

Apalagi berdasar 17.85 yang terakhir saya kutip itu. Jelas sekali disebut. Bahwa ruh itu urusan Allah. Infonya tidak banyak yang diberikan kepada manusia. Hanya sedikit saja. Makanya, tidak sepatutnya kita mengarang-ngarang sendiri tentang ruh. Misalnya ruh itu begini dan begitu.

Apalagi jasad beliau. Secara jasad, Nabi Muhammad memang sudah wafat pada 8 Juni 632 Masehi lalu. Di Madinah. Dulu ketika luas masjid Nabawi masih 50 meter persegi, rumah Nabi tepat di sebelah masjid tersebut. Nah, Nabi pun dimakamkan di rumah beliau itu.

Orang-orang Jawa memang masih ada yang yakin bahwa roh orang yang sudah mati, itu bisa pulang ke rumahnya. Gentayangan. Malam jum’at, mbae moleh (nenek—sudah wafat—pulang). Sampai disajikan kopi, dan ketan putih bertabur kacang plus gulanya. Ada yang bilang, “Itu yang dimakan oleh roh adalah aromanya”. Ada-ada saja.

Secara umum, orang yang sudah wafat, itu memang tidak bisa lagi kembali ke dunia ini. Apalagi sampai berinteraksi dengan orang-orang yang masih hidup. Tidak bisa. Di hadapan mereka sudah ada barzakh. Dinding. Orang yang sudah mati, tidak akan bisa hidup lagi. Digambarkan dalam ayat berikut.

QS. Al-Mukminun[23]: 99 – 100
حَتَّىٰ إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ
99. Hingga apabila datang KEMATIAN kepada seseorang dari mereka, dia berkata: "Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia).

لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ ۚ كَلَّا ۚ إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا ۖ وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَىٰ يَوْمِ يُبْعَثُونَ
100. Agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. SEKALI-KALI TIDAK. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada BARZAKH (DINDING) sampal hari mereka dibangkitkan.

Dengan demikian, tidak benar keyakinan bahwa Nabi Muhammad SAW hadir, baik jasad maupun ruhnya, di majelis shalawatan. Di mahallul qiyam sekalipun. Maka, kalau mau shalawatan, ya shalawatan saja. Mau mahallul qiyam, ya mahallul qiyam saja. Tidak perlu ada keyakinan bahwa Nabi Hadir.

Saya saja. Kadang tapi. Kalau pagi, masih terasa ngantuk-ngantuk, daripada mutar musik rock. Tidak enak sama tetangga. Saya lebih memilih memutar shalawatan Habib Syeikh. Saya putar agak kencang. Saya gerakkan badan. Semacam olahraga ringan. Dance ringan. Hehe. Saya ikut shalawatan. Sambil mengingat-ingat perjuangan Nabi yang sangat tulus itu sebisa saya. Uwah. Enak tenan. Seger. Ilang ngantuk e. Hehehe.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah…

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...