—Saiful Islam—
“Saya tidak mengritisi budayanya. Yang
sedang saya kritisi adalah keyakinannya. Akidahnya…”
Memang ada yang mengatakan bahwa
Baginda Nabi Muhammad SAW itu hadir ketika dibacakan shalawat saat mahallul
qiyam. Ya, mahallul qiyam artinya saatnya berdiri ketika membaca yaa Nabiy
salam ‘alaika yaa Rasul salam ‘alaika... Bahkan ada yang lebih jelas
menyatakan bahwa, Nabi Muhammad benar-benar hadir dengan ruh dan jasadnya
ketika dibacakan mahallul qiyam.
Di sini, saya memang sengaja tidak
menggunakan istilah-istilah seperti ustadz (ah), habib (habaib), guru, gos,
kiai, mbah, suhu, dan lain semisalnya. Supaya jika ada dialog, rembugan,
atau musyawarah, kita lebih fokus kepada kekuatan argumentasinya. Sehingga kalau
mau menyanggah, yang disanggah itu adalah argumentasinya. Bukan sang ustadz,
bukan sang habib, bukan sang gos, sang kiai, guru, suhu, dan semisalnya itu. OK
lanjut.
Di masyarakat kita lihat, memang
sebagian umat Islam itu ada yang membaca shalawat bersama. Saya pun sering
ikut. Di tengah-tengah kegiatan shalawatan itu, ada saat dimana sang
pemimpinnya mengatakan, “mahallul qiyaam”. Saatnya berdiri. Kemudian semua
hadirin berdiri. Dan lantas membaca, yaa Nabiy salaam ‘alaika yaa Rasul salaam
‘alaika. Ya Habiib salaam ‘alaika. Shoolaawaatullooh ‘alaika.
Nah, ternyata berdirinya para
audiens tersebut ada yang meyakini bahwa itu adalah penghormatan. Penghormatan apa?
Berdiri itu dianggap sebagai penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW yang sedang
hadir. Karena yakin Nabi Muhammad SAW hadir, baik dengan jasad maupun ruhnya,
maka para audiens tersebut termasuk sang pemimpinnya itu berdiri. Ya, berdiri
karena yakin jasad dan ruh Nabi sedang hadir ketika dibacakan shalawat
tersebut.
Perlu saya tegaskan di sini. Bahwa di
sini saya tidak sedang mengritisi shalawatan sebagai tradisi atau budayanya.
Bagi saya, budaya itu, secara umum, boleh-boleh saja. Halal. Termasuk hal mubah
yang asalnya memang halal. Kecuali ada dalil yang mengharamkan. Yang saya
kritisi adalah keyakinannya. Bahwa Nabi Muhammad SAW hadir dengan jasad dan
ruhnya ketika dibacakan shalawat tersebut, nah inilah yang akan saya kritisi. Sebab
kalau soal keyakinan (akidah), menurut saya asalnya adalah haram. Sampai ada
dalil yang menunjukkan bahwa kita harus beriman.
Nah. Bagi saya, landasan utama
keyakinan soal gaib metafisik itu ya Al Qur’an. Jika ada Hadis yang berbicara
soal gaib metafisik itu, pastilah ada cantolannya kepada Qur’an. Perlu kita
waspadai jika ada Hadis tapi ternyata tidak menemukan pijakan Qur’annya. Atau isinya
yang melebihi informasi Qur’an. Nabi memang hanyalah manusia biasa (QS.18:110).
Tidak mungkin Nabi mengetahui hal gaib metafisik kecuali diberi informasinya
oleh Allah lewat Qur’an. Bisa dicek misalnya QS.7:188, QS.6:50, dan QS.11:31.
QS. Hud[11]: 31
وَلَا أَقُولُ لَكُمْ
عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلَا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلَا أَقُولُ إِنِّي مَلَكٌ
وَلَا أَقُولُ لِلَّذِينَ تَزْدَرِي أَعْيُنُكُمْ لَنْ يُؤْتِيَهُمُ اللَّهُ
خَيْرًا ۖ اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا فِي أَنْفُسِهِمْ
ۖ إِنِّي إِذًا لَمِنَ الظَّالِمِينَ
Dan aku tidak mengatakan kepada
kamu (bahwa): "Aku mempunyai gudang-gudang rezki dan kekayaan dari Allah.
Dan AKU TIDAK MENGETAHUI YANG GAIB". Dan tidak (pula) aku mengatakan:
"Bahwa sesungguhnya aku adalah malaikat". Dan tidak juga aku
mengatakan kepada orang-orang yang dipandang hina oleh penglihatanmu:
"Sekali-kali Allah tidak akan mendatangkan kebaikan kepada mereka".
Allah lebih mengetahui apa yang ada pada diri mereka. Sesungguhnya aku, kalau
begitu benar-benar termasuk orang-orang yang zalim.”
OK. Yang perlu kita catat adalah
ini: keyakinan bahwa Nabi Muhammad SAW itu hadir saat mahallul qiyam ketika
dibacakan shalawat, itu tidak ada dasarnya dari Qur’an. Ini dulu. Soal ruh, Qur’an
bercerita dalam kira-kira 60 ayat. Semuanya, tidak ada yang menginfokan kepada
kita bahwa Nabi yang telah wafat itu bisa hadir ketika mahallul qiyam. Di antaranya
berikut.
QS. Al-Sajdah[32]: 9
ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ
فِيهِ مِنْ رُوحِهِ ۖ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ
وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۚ قَلِيلًا مَا تَشْكُرُونَ
Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan
ke dalamnya RUH-NYA. Dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan
hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.
QS. Al-Hijr[15]: 29
فَإِذَا سَوَّيْتُهُ
وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ
Maka apabila Aku telah
menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya RUH-KU, maka
tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.
QS. Al-Isra’[17]: 85
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ
الرُّوحِ ۖ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا
قَلِيلًا
Dan mereka bertanya kepadamu
tentang ruh. Katakanlah: "RUH itu termasuk urusan Tuhan-ku. Dan tidaklah
kamu diberi pengetahuan (tentang ruh itu) melainkan sedikit".
Ruh Nabi bisa hadir itu pun janggal
bahkan dengan logika sederhana sekalipun. Misalnya di dunia ini sekarang 2019 ada
jutaan orang yang bershalawat. Mahallul qiyam semua. Di ratusan negara yang
berbeda. Tidak mungkin ruh Nabi juga menjadi ratusan. Lantas kemudian
menghadiri semua majelis shalawatan itu.
Apalagi berdasar 17.85 yang
terakhir saya kutip itu. Jelas sekali disebut. Bahwa ruh itu urusan Allah.
Infonya tidak banyak yang diberikan kepada manusia. Hanya sedikit saja.
Makanya, tidak sepatutnya kita mengarang-ngarang sendiri tentang ruh. Misalnya ruh
itu begini dan begitu.
Apalagi jasad beliau. Secara jasad,
Nabi Muhammad memang sudah wafat pada 8 Juni 632 Masehi lalu. Di Madinah. Dulu
ketika luas masjid Nabawi masih 50 meter persegi, rumah Nabi tepat di sebelah masjid
tersebut. Nah, Nabi pun dimakamkan di rumah beliau itu.
Orang-orang Jawa memang masih ada
yang yakin bahwa roh orang yang sudah mati, itu bisa pulang ke rumahnya. Gentayangan.
Malam jum’at, mbae moleh (nenek—sudah wafat—pulang). Sampai disajikan
kopi, dan ketan putih bertabur kacang plus gulanya. Ada yang bilang, “Itu yang
dimakan oleh roh adalah aromanya”. Ada-ada saja.
Secara umum, orang yang sudah
wafat, itu memang tidak bisa lagi kembali ke dunia ini. Apalagi sampai
berinteraksi dengan orang-orang yang masih hidup. Tidak bisa. Di hadapan mereka
sudah ada barzakh. Dinding. Orang yang sudah mati, tidak akan bisa hidup lagi.
Digambarkan dalam ayat berikut.
QS. Al-Mukminun[23]: 99 – 100
حَتَّىٰ إِذَا جَاءَ
أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ
99. Hingga apabila datang KEMATIAN kepada
seseorang dari mereka, dia berkata: "Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke
dunia).
لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا
فِيمَا تَرَكْتُ ۚ كَلَّا ۚ إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا ۖ وَمِنْ وَرَائِهِمْ
بَرْزَخٌ إِلَىٰ يَوْمِ يُبْعَثُونَ
100. Agar aku berbuat amal yang
saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. SEKALI-KALI TIDAK. Sesungguhnya itu
adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada BARZAKH (DINDING)
sampal hari mereka dibangkitkan.
Dengan demikian, tidak benar
keyakinan bahwa Nabi Muhammad SAW hadir, baik jasad maupun ruhnya, di majelis
shalawatan. Di mahallul qiyam sekalipun. Maka, kalau mau shalawatan, ya
shalawatan saja. Mau mahallul qiyam, ya mahallul qiyam saja. Tidak perlu ada
keyakinan bahwa Nabi Hadir.
Saya saja. Kadang tapi. Kalau pagi,
masih terasa ngantuk-ngantuk, daripada mutar musik rock. Tidak enak sama
tetangga. Saya lebih memilih memutar shalawatan Habib Syeikh. Saya putar agak
kencang. Saya gerakkan badan. Semacam olahraga ringan. Dance ringan. Hehe.
Saya ikut shalawatan. Sambil mengingat-ingat perjuangan Nabi yang sangat tulus
itu sebisa saya. Uwah. Enak tenan. Seger. Ilang ngantuk e. Hehehe.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung,
insya Allah…
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar