—Saiful Islam—
“Bagi saya, yang Muslim, salib itu
hanya sekadar kayu. Tidak kurang, tidak lebih!”
Benarkah salib itu ada Setannya? Atau
ada Jin kafirnya? Terus apakah benar juga bahwa palang merah yang biasa
ditempel di ambulan itu juga ada Setannya? Ada Jin kafirnya?
Jawabannya tidak benar. Salah. Saya
sebagai orang Islam, tidak yakin bahwa salib itu ada Setannya. Atau ada Jin
kafirnya sebagai sesuatu yang gaib metafisik. Alasan saya simpel: Al Qur’an,
sebagai kitab suci yang saya imani, tidak pernah memberi informasi kepada kita
bahwa salib itu ada Setannya. Atau ada Jin kafirnya. Ya, tidak ada dalam Qur’an!
Kalau Qur’an tidak memberi info tentang sesuatu yang gaib metafisik, kita tidak
boleh mengarang-ngarang sendiri tentang hal gaib itu.
Begitu juga tentang simbol palang
merah yang biasa ditempel di ambulan. Tidak benar kalau lambang itu mengandung
sesuatu yang gaib metafisik. Misalnya mengatakan bahwa di dalam palang merah
itu ada Setannya atau Jin kafirnya yang mengajak orang Islam untuk murtad atau
kafir menjelang wafatnya. Sama sekali tidak benar itu. Salah.
Bagi saya, baik salib maupun palang
merah, itu hanya sekadar simbol. Kalau terbuat dari kayu, ya sekadar kayu. Kayu
yang dipalang. Kalau diberi patung, ya cuma begitu saja. Tidak kurang tidak
lebih. Kayu terus diberi patung. Begitu saja selesai. Tidak ada itu Setannya. Atau
Jin kafirnya. Menurut saya, siapa pun yang meyakini bahwa salib atau palang
merah itu ada Jin kafirnya atau ada Setannya, itu terpengaruh keyakinan
dinamisme.
Ciri-ciri warisan
animisme-dinamisme itu menurut saya, misalnya. Ada cincin akik, dikira ada
jinnya. Ada setannya. Ada keris, dikira ada jinnya. Ada setannya. Ada pohon
besar atau batu besar, dikira ada jinnya. Ada setannya. Ada ‘penunggunya’. Ada rumah
kosong yang kumuh, langsung dikira ada jinnya. Ada setannya. Ada perempuan
cantik, dikira ada peletnya. Ada jinnya. Ada laki-laki ganteng (kayak yang
nulis, hehe) langsung dikira ada jinnya. Ada peletnya. Ada guna-gunanya. Dan seterusnya.
Bahkan, saya rasa, orang Kristen
sendiri tidak meyakini bahwa dalam salib itu ada Setannya atau ada Jin
kafirnya. Orang Kristen sendiri pun tidak pernah meyakini itu. Jadi kalau kita
umat Islam, tapi latah meyakini bahwa salib itu ada Setannya atau pun ada Jin
kafirnya, agaknya memang itu keyakinan nenek moyang yang terus kita warisi
tanpa sadar. Budaya animisme-dinamisme yang kita yakini tanpa kritik apa pun
sampai sekarang.
Bagi orang Kristen, yang saya tahu,
salib itu adalah simbol yang melambangkan kasih Tuhan. Atau salib adalah
pertemuan antara kasih Allah dan keadailan Allah. Karena bagi orang Kristen,
Yesus itu mati di palang salib. Dan kematian Yesus di palang salib itu diyakini
bahwa kematian itu untuk menebus dosa dunia. Lebih tepatnya menebus dosa semua
orang yang beriman dan percaya kepada-Nya saja sehingga dijamin kehidupan yang
kekal (Yohanes 3:16).
Jadi bagi orang Kristen sendiri,
salib itu bukan Tuhan. Atau dituhankan. Atau disaktikan misalnya salib itu
tempatnya Setan atau Jin kafir. Tidak ada. Orang Kristen sendiri tidak pernah
meyakini bahwa salib itu Setan. Atau Jin kafir. Atau Tuhan. Atau rumahnya
Setan. Atau rumahnya Jin kafir. Atau rumahnya Tuhan. Tidak ada. Bagi orang
Kristen salib adalah simbol kasih Tuhan.
Bahkan. Berdasar penelitian, salib
Mesir kuno itu menunjuk kepada simbol seksual. Pada saat itu salib identik
dengan penyembahan kepada Dewa Matahari. Jadi, pada masa sebelum kekristenan,
pernah ada salib Mesir kuno yang dihubungkan dengan penyembahan kepada Dewa
Matahari.
Di Mesir purba, salib yang umumnya
berbentuk T itu dijadikan lambang keagamaan. Para pakar menyebut salib ini
dengan Tau. Dijumpai juga salib Tau yang di atasnya dipasang semacam gagang
berupa lingkaran. Lingkaran ini melambangkan kekekalan. Ya. Salib yang di
atasnya bergantung lingkarang tersebut adalah lambang hidup yang kekal. Salib ini
biasa dipakai di leher pada pendeta Mesir kuno. Dijadikan kalung. Salib ini
juga melambangkan hikmah atau kebijaksanaan rahasia. Terutama di sekitar
wilayah Mediterania.
Jadi tidak ada yang mengartikan
bahwa salib itu adalah Setan atau Jin kafir. Yang mengartikan ‘lambang setan’
atau ‘Jin kafir’ saja, itu tidak ada. Apalagi yang meyakini bahwa salib sendiri
itu ada Setannya atau ada Jin kafirnya. Jelas sekali, keyakinan ini adalah warisan
keyakinan aminisme-dinamisme. Atau terpengaruh tanpa disadari.
Sebagaimana diartikan oleh Dictionary
of Musticism and the Occult (Kamus Drury), salib adalah suatu simbol
pra-Kristen kuno yang ditafsirkan oleh beberapa pakar ilmu gaib sebagai
menyatukan zakar lelaki (palang tegaknya) dengan vagina perempuan (palang
melintang). Salib juga merupakan simbol empat arah mata angin. Serta senjata
kuat untuk menentang kejahatan. Nah, inilah yang saya kritisi. Bagi saya,
beragama Islam, salib itu hanya sekadar kayu. Tidak kurang, tidak lebih!
Apalagi simbol palang merah di
ambulan itu. Tepatnya tahun 1863. Ada Konferensi Internasional I di Jenewa,
Swiss. Dihadiri 16 negara. Disadari perlunya ada simbol yang sama untuk anggota
kesatuan medis militer. Simbol itu harus berstatus netaral. Serta bisa menjadi
perlindungan pada mereka di medan perang.
Konferensi Internasional bersepakat
menggunakan simbol Palang Merah di atas dasar putih. Ini sebagai bentuk
penghormatan kepada Swiss. Simbol tersebut sebagai tanda pengenal untuk
kesatuan medis militer dari setiap negara.
Di tahun itu juga, Komite Internasional untuk
Pertolongan Bagi Tentara yang Terluka diganti menjadi ICRC (International Committee
of the Red Cross). Alias Komite Internasional Palang Merah. Jadi, palang
merah ini tidak ada mitosnya. Tidak ada kleniknya. Tidak ada kaitannya dengan
Setan atau Jin kafir gaib metafisik.
Lalu, ada yang mengait-ngaitkan
antara salib dengan ka’bah atau hajar aswad. Sebagai sikap penghormatan,
bisa jadi. Artinya orang Islam menghormati ka’bah atau hajar aswad. Bahkan di
musim haji ini, saya kira banyak yang ingin mencium hajar aswad, batu hitam yang
ada di sudut ka’bah itu. Orang Kristen juga menghormati salib. Tapi ingat! Itu penghormatan.
Bukan penyembahan. Kami orang Islam, tidak menyembah batu berbentuk kubus itu.
Meskipun ka’bah itu namanya baitullah
(rumah Allah), itu tidak berarti Allah berada di dalam ka’bah. Atau Allah ada
di ka’bah. Bukan seperti itu. Ka’bah ya sekadar ka’bah. Hajar aswad ya sekadar
hajar aswad. Jangankan ka’bah yang hanya sekian meter pangkat tiga. Apa saja,
termasuk alam semesta pun, itu diliputi oleh Allah (baca misalnya QS.4:126). Laisa
kamitslihi syay’. Imajinasi apa pun yang bisa dibayangkan oleh manusia,
pastilah itu bukan Allah.
Bagi umat Islam, ka’bah hanyalah
sebuah kiblat (arah) shalat. Kenapa shalat
harus menghadap ke kiblat? Ya karena Nabi Muhammad SAW yang mencontohkan itu.
Titik. Kenapa orang Islam berebut mencium hajar aswad? Ya karena Nabi
mencontohkan itu. Nabi itu the role model of moslems. Memang untuk
ditiru. Jadi tidak ada mitosnya. Tidak ada kleniknya.
“Loh, kenapa ikut?” Pertanyaan ini
seperti pertanyaan, “Kenapa shalat lima kali sehari. Kok tidak sekali saja?”
Atau kenapa shalat subuh dua kali, sementara isya’ empat kali?” Ya jawabannya cuma
ini: karena Nabi, sebagai uswatun hasanah, mencontohkan begitu. Sudah titik.
Begitu juga saya rasa, orang
Kristen tidak ada yang menyembah salib. Namun, apakah orang Islam menghormati
salib, ataukah orang Kristen menghormati ka’bah, saya rasa itu tergantung
pilihan orangnya masing-masing. Kalau ada orang Kristen tidak menghormati ka’bah,
ya wajar. Wong dia memang tidak beriman kepada Nabi Muhammad. Orang Islam tidak
menghormati salib, ya biasa saja. Wong Muslim memang tidak mempercayai Nabi Isa
mati disalib.
Meski tidak harus juga orang
Kristen mencela apa yang dihormati oleh Muslim. Dan sebaliknya, tidak harus
juga Muslim mencela apa yang dihormati oleh umat Kristiani. Bahkan sebaiknya
keduanya harus saling menghormati keyakinan masing-masing. Apalagi kalau
konteksnya adalah sebangsa setanah air. Indonesia. Kalau pun harus diskusi atau
berdebat, sebaiknya tetap dengan cara yang baik dan santun. Mengkritisi
argumentasinya. Tetap santun pada orangnya. Kritis yang santun. Mendebat argumentasinya,
sambil tetap menghormati orangnya.
Dan. Tidak perlu juga terlalu
terburu-buru menyesatkan orang. Atau mengatakan bahwa seseorang telah menista
agama kita. Ah, jangan-jangan cepat menghakimi seseorang telah menista agama
kita, atau kitab suci kita, itu hanya buah dari kebencian kita saja. Yang
dibumbui oleh fanatisme kelompok dan kepentingan politik. Na’uudzu billaah.
Begitu dulu. Semoga bermanfaat.
Bersambung, insya Allah.
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar