Senin, 19 Agustus 2019

JINNYA SALIB


—Saiful Islam—

“Bagi saya, yang Muslim, salib itu hanya sekadar kayu. Tidak kurang, tidak lebih!”

Benarkah salib itu ada Setannya? Atau ada Jin kafirnya? Terus apakah benar juga bahwa palang merah yang biasa ditempel di ambulan itu juga ada Setannya? Ada Jin kafirnya?

Jawabannya tidak benar. Salah. Saya sebagai orang Islam, tidak yakin bahwa salib itu ada Setannya. Atau ada Jin kafirnya sebagai sesuatu yang gaib metafisik. Alasan saya simpel: Al Qur’an, sebagai kitab suci yang saya imani, tidak pernah memberi informasi kepada kita bahwa salib itu ada Setannya. Atau ada Jin kafirnya. Ya, tidak ada dalam Qur’an! Kalau Qur’an tidak memberi info tentang sesuatu yang gaib metafisik, kita tidak boleh mengarang-ngarang sendiri tentang hal gaib itu.

Begitu juga tentang simbol palang merah yang biasa ditempel di ambulan. Tidak benar kalau lambang itu mengandung sesuatu yang gaib metafisik. Misalnya mengatakan bahwa di dalam palang merah itu ada Setannya atau Jin kafirnya yang mengajak orang Islam untuk murtad atau kafir menjelang wafatnya. Sama sekali tidak benar itu. Salah.

Bagi saya, baik salib maupun palang merah, itu hanya sekadar simbol. Kalau terbuat dari kayu, ya sekadar kayu. Kayu yang dipalang. Kalau diberi patung, ya cuma begitu saja. Tidak kurang tidak lebih. Kayu terus diberi patung. Begitu saja selesai. Tidak ada itu Setannya. Atau Jin kafirnya. Menurut saya, siapa pun yang meyakini bahwa salib atau palang merah itu ada Jin kafirnya atau ada Setannya, itu terpengaruh keyakinan dinamisme.

Ciri-ciri warisan animisme-dinamisme itu menurut saya, misalnya. Ada cincin akik, dikira ada jinnya. Ada setannya. Ada keris, dikira ada jinnya. Ada setannya. Ada pohon besar atau batu besar, dikira ada jinnya. Ada setannya. Ada ‘penunggunya’. Ada rumah kosong yang kumuh, langsung dikira ada jinnya. Ada setannya. Ada perempuan cantik, dikira ada peletnya. Ada jinnya. Ada laki-laki ganteng (kayak yang nulis, hehe) langsung dikira ada jinnya. Ada peletnya. Ada guna-gunanya. Dan seterusnya.

Bahkan, saya rasa, orang Kristen sendiri tidak meyakini bahwa dalam salib itu ada Setannya atau ada Jin kafirnya. Orang Kristen sendiri pun tidak pernah meyakini itu. Jadi kalau kita umat Islam, tapi latah meyakini bahwa salib itu ada Setannya atau pun ada Jin kafirnya, agaknya memang itu keyakinan nenek moyang yang terus kita warisi tanpa sadar. Budaya animisme-dinamisme yang kita yakini tanpa kritik apa pun sampai sekarang.

Bagi orang Kristen, yang saya tahu, salib itu adalah simbol yang melambangkan kasih Tuhan. Atau salib adalah pertemuan antara kasih Allah dan keadailan Allah. Karena bagi orang Kristen, Yesus itu mati di palang salib. Dan kematian Yesus di palang salib itu diyakini bahwa kematian itu untuk menebus dosa dunia. Lebih tepatnya menebus dosa semua orang yang beriman dan percaya kepada-Nya saja sehingga dijamin kehidupan yang kekal (Yohanes 3:16).

Jadi bagi orang Kristen sendiri, salib itu bukan Tuhan. Atau dituhankan. Atau disaktikan misalnya salib itu tempatnya Setan atau Jin kafir. Tidak ada. Orang Kristen sendiri tidak pernah meyakini bahwa salib itu Setan. Atau Jin kafir. Atau Tuhan. Atau rumahnya Setan. Atau rumahnya Jin kafir. Atau rumahnya Tuhan. Tidak ada. Bagi orang Kristen salib adalah simbol kasih Tuhan.

Bahkan. Berdasar penelitian, salib Mesir kuno itu menunjuk kepada simbol seksual. Pada saat itu salib identik dengan penyembahan kepada Dewa Matahari. Jadi, pada masa sebelum kekristenan, pernah ada salib Mesir kuno yang dihubungkan dengan penyembahan kepada Dewa Matahari.

Di Mesir purba, salib yang umumnya berbentuk T itu dijadikan lambang keagamaan. Para pakar menyebut salib ini dengan Tau. Dijumpai juga salib Tau yang di atasnya dipasang semacam gagang berupa lingkaran. Lingkaran ini melambangkan kekekalan. Ya. Salib yang di atasnya bergantung lingkarang tersebut adalah lambang hidup yang kekal. Salib ini biasa dipakai di leher pada pendeta Mesir kuno. Dijadikan kalung. Salib ini juga melambangkan hikmah atau kebijaksanaan rahasia. Terutama di sekitar wilayah Mediterania.

Jadi tidak ada yang mengartikan bahwa salib itu adalah Setan atau Jin kafir. Yang mengartikan ‘lambang setan’ atau ‘Jin kafir’ saja, itu tidak ada. Apalagi yang meyakini bahwa salib sendiri itu ada Setannya atau ada Jin kafirnya. Jelas sekali, keyakinan ini adalah warisan keyakinan aminisme-dinamisme. Atau terpengaruh tanpa disadari.

Sebagaimana diartikan oleh Dictionary of Musticism and the Occult (Kamus Drury), salib adalah suatu simbol pra-Kristen kuno yang ditafsirkan oleh beberapa pakar ilmu gaib sebagai menyatukan zakar lelaki (palang tegaknya) dengan vagina perempuan (palang melintang). Salib juga merupakan simbol empat arah mata angin. Serta senjata kuat untuk menentang kejahatan. Nah, inilah yang saya kritisi. Bagi saya, beragama Islam, salib itu hanya sekadar kayu. Tidak kurang, tidak lebih!

Apalagi simbol palang merah di ambulan itu. Tepatnya tahun 1863. Ada Konferensi Internasional I di Jenewa, Swiss. Dihadiri 16 negara. Disadari perlunya ada simbol yang sama untuk anggota kesatuan medis militer. Simbol itu harus berstatus netaral. Serta bisa menjadi perlindungan pada mereka di medan perang.

Konferensi Internasional bersepakat menggunakan simbol Palang Merah di atas dasar putih. Ini sebagai bentuk penghormatan kepada Swiss. Simbol tersebut sebagai tanda pengenal untuk kesatuan medis militer dari setiap negara.

 Di tahun itu juga, Komite Internasional untuk Pertolongan Bagi Tentara yang Terluka diganti menjadi ICRC (International Committee of the Red Cross). Alias Komite Internasional Palang Merah. Jadi, palang merah ini tidak ada mitosnya. Tidak ada kleniknya. Tidak ada kaitannya dengan Setan atau Jin kafir gaib metafisik.

Lalu, ada yang mengait-ngaitkan antara salib dengan ka’bah atau hajar aswad. Sebagai sikap penghormatan, bisa jadi. Artinya orang Islam menghormati ka’bah atau hajar aswad. Bahkan di musim haji ini, saya kira banyak yang ingin mencium hajar aswad, batu hitam yang ada di sudut ka’bah itu. Orang Kristen juga menghormati salib. Tapi ingat! Itu penghormatan. Bukan penyembahan. Kami orang Islam, tidak menyembah batu berbentuk kubus itu.

Meskipun ka’bah itu namanya baitullah (rumah Allah), itu tidak berarti Allah berada di dalam ka’bah. Atau Allah ada di ka’bah. Bukan seperti itu. Ka’bah ya sekadar ka’bah. Hajar aswad ya sekadar hajar aswad. Jangankan ka’bah yang hanya sekian meter pangkat tiga. Apa saja, termasuk alam semesta pun, itu diliputi oleh Allah (baca misalnya QS.4:126). Laisa kamitslihi syay’. Imajinasi apa pun yang bisa dibayangkan oleh manusia, pastilah itu bukan Allah.

Bagi umat Islam, ka’bah hanyalah sebuah  kiblat (arah) shalat. Kenapa shalat harus menghadap ke kiblat? Ya karena Nabi Muhammad SAW yang mencontohkan itu. Titik. Kenapa orang Islam berebut mencium hajar aswad? Ya karena Nabi mencontohkan itu. Nabi itu the role model of moslems. Memang untuk ditiru. Jadi tidak ada mitosnya. Tidak ada kleniknya.

“Loh, kenapa ikut?” Pertanyaan ini seperti pertanyaan, “Kenapa shalat lima kali sehari. Kok tidak sekali saja?” Atau kenapa shalat subuh dua kali, sementara isya’ empat kali?” Ya jawabannya cuma ini: karena Nabi, sebagai uswatun hasanah, mencontohkan begitu. Sudah titik.

Begitu juga saya rasa, orang Kristen tidak ada yang menyembah salib. Namun, apakah orang Islam menghormati salib, ataukah orang Kristen menghormati ka’bah, saya rasa itu tergantung pilihan orangnya masing-masing. Kalau ada orang Kristen tidak menghormati ka’bah, ya wajar. Wong dia memang tidak beriman kepada Nabi Muhammad. Orang Islam tidak menghormati salib, ya biasa saja. Wong Muslim memang tidak mempercayai Nabi Isa mati disalib.

Meski tidak harus juga orang Kristen mencela apa yang dihormati oleh Muslim. Dan sebaliknya, tidak harus juga Muslim mencela apa yang dihormati oleh umat Kristiani. Bahkan sebaiknya keduanya harus saling menghormati keyakinan masing-masing. Apalagi kalau konteksnya adalah sebangsa setanah air. Indonesia. Kalau pun harus diskusi atau berdebat, sebaiknya tetap dengan cara yang baik dan santun. Mengkritisi argumentasinya. Tetap santun pada orangnya. Kritis yang santun. Mendebat argumentasinya, sambil tetap menghormati orangnya.

Dan. Tidak perlu juga terlalu terburu-buru menyesatkan orang. Atau mengatakan bahwa seseorang telah menista agama kita. Ah, jangan-jangan cepat menghakimi seseorang telah menista agama kita, atau kitab suci kita, itu hanya buah dari kebencian kita saja. Yang dibumbui oleh fanatisme kelompok dan kepentingan politik. Na’uudzu billaah.

Begitu dulu. Semoga bermanfaat. Bersambung, insya Allah.

Walloohu a’lam bishshowaab. Salam







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...