—Saiful Islam—
“Jadi, semacam ada masa transisi
antara Hindu-Buddha, Kejawen, Animisme ke Islam. Lantas sampai sekarang kita
mendengar istilah Islam Kejawen…”
Kejawen mengakui adanya Tuhan Gusti
Allah. Tetapi juga mengakui adanya mistik yang berkembang dari ajaran tasawuf
agama-agama yang ada sebelum Islam masuk. Bagi orang Jawa, hakikat Kejawen
adalah kebatinan. Dekat dengan mistisisme (tasawuf). Atau dengan kata lain,
ilmu tentang sesuatu yang berada di batin. Karenanya dekat sekali juga dengan
keyakinan (akidah).
Meski begitu, ada dua pendapat
mengenai sumber ajaran tasawuf itu sendiri. Pertama, bahwa tasawuf (mistisisme)
itu berasal dari ajaran Islam. Dan kedua, tasawuf berasal dari luar agama
Islam. Yaitu dari Kristen, neo platonisme, dan pengaruh Persia dan India yang
ikut menentukan paham tasawuf sebagai arah asketis-mistis dalam ajaran Islam.
Bahkan ada yang mengatakan bahwa tasawuf itu berbeda sekali dengan ajaran Qur’an
dan Hadis.
Saya menduga, agama atau keyakinan
mayoritas, itu tergantung apa pemerintahan, agamanya, dan para pemimpin atau
tokohnya. Sebab merekalah yang punya pengaruh kuat kepada masyarakat. Ketika
Majapahit berkuasa, pastinya agama mayoritas penduduknya adalah Hindu-Buddha. Ketika
berganti Kesultanan Demak, pastinya agama masyarakatnya adalah Islam.
Pemerintahan Bani Umayyah adalah
kekhalifahan Islam pertama setelah masa Khulafaur Rasyidin. Kekhalifahan
Umayyah memerintah dari 661 – 750 Masehi di jazirah Arab dan sekitarnya.
Beribu kota Damaskus (ibu kota Suriah atau Syam). Juga memerintah di Cordoba,
Spanyol, sebagai kekhalifahan Cordoba dari tahun 756 sampai 1031 Masehi.
Jika dilihat tahun Bani Umayyah memerintah,
maka kita mendapati tokoh sufi terkenal pada masa ini. Terutama periode di
sekitar jazirah Arab. Yaitu Hasan al-Bashri (lahir di Madinah 642M,
wafat 728M di Basrah, Iraq); dan Rabi’ah al-Adawiyah (lahir di Basrah, Iraq
713M, wafat 801M di Basrah, Iraq).
Mu’awiyah bin Abi Sufyan (memimpin
pemerintahan dari 661 – 680M); Yazid bin Mu’awiyah (memimpin 680 – 683);
Mu’awiyah bin Yazid (memimpin 683 – 684); Marwan bin al-Hakam (memimpin 684 –
685); ‘Abdul Malik bin Marwan (memimpin 685 – 705); Al-Walid bin ‘Abdul Malik
(memimpin dari 705 – 715); Sulaiman bin ‘Abdul Malik (memimpin 715 – 717);
‘Umar bin Abdul ‘Aziz (memimpin 717 – 720); Yazid bin ‘Abdul Malik (memimpin
720 – 724); Hisyam bin ‘Abdul Malik (memimpin 724 – 743); Al-Walid bin Yazid
(memimpin 743 – 744); Yazid bin al-Walid bin ‘Abdul Malik (memimpin hanya 170
hari tahun 744); Ibrahim bin al-Walid bin ‘Abdul Malik (memimpin 61 hari juga
tahun 744); dan Marwan bin Muhammad (memimpin 744 – 750 Masehi).
Pada tahun 750M, berganti
pemerintahan Bani Abbasiyah yang memimimpin. Setelah berhasil merebutnya dari
Bani Umayyah. Ibu kota yang semula di Damaskus, itu lantas dipindahkan ke
Baghdad, Iraq. Di sini, pemerintahan Bani Abbasiyah bertahan sampai tahun 1258M.
Yaitu ketika tentara Mongol menyerang dan membumi hanguskan Baghdad.
Sedangkan pemerintahan Abbasiyah
yang berada di Kairo, Mesir, itu bermula pada tahun 1261M. Tepatnya pada masa
khalifah Al-Mustanshir II. Dan tamat ketika khalifah Al-Mutawakkil III
menjabat. Yaitu pada tahun 1517 Masehi.
Jika melihat tahun pemerintahan
Bani Abbasiyah, (750 – 1517M) itu, maka kita mengenal beberapa tokoh sufi. Yaitu
Al-Qusyairi (986M – 1074M di Naisabur, Iran); Al-Ghazali (1085M –
1111M di Khurasan, Iran); Junaid al-Baghdadi (lahir di Nihawand, Persia 830M,
wafat 910 di Baghdad, Iraq); Al-Hallaj (lahir 866M di Thur, Iran, wafat 922M
di Baghdad, Iraq); Syekh Abdul Qadir Jaelaniy (lahir 1078M, di Amol,
Iran, wafat 1166M Baghdad, Iraq); Ibnu Arabi (lahir 1165 di Murcia,
Spanyol, wafat 1240 di Damaskus, Suriah); Jalaluddin Rumi (lahir 1207 di
Balkh, Afganistan, wafat 1273 di Konya, Turki); Syekh Siti Jenar yang
nama aslinya Raden Abdul Jalil (lahir 1404 di Iran, wafat 1517M di Jepara,
Indonesia); dan Sunan Bonang (lahir 1465M di Tuban, Indonesia, wafat
1525 di pulau Bawean, Indonesia).
Corak Islam yang berkembang di Jawa
adalah Islam yang berwujud ajaran-ajaran tasawuf. Diduga kuat, hal ini
berkaitan dengan kemiripan ajaran tasawuf dengan unsur-unsur mistik yang kuat
di masyarakat peninggalan tradisi animisme sampai era Hindu-Buddha.
Kerajaan Islam pertama dan terbesar
di Jawa adalah Kesultanan Demak. Yaitu antara tahun 1475 – 1554 Masehi. Menurut
tradisi Jawa, Demak itu sebelumnya adalah kadipaten dari kerajaan Majapahit.
Majapahit yang beragama Hindu-Buddha, Kejawen, dan Animisme, itu memang tamat
pada tahun 1527.
Jadi di Jawa ini, semacam ada masa
transisi antara Hindu-Buddha, Kejawen, Animisme ke Islam. Majapahit ke
Kesultanan Demak. Sehingga wajar kalau Islam yang berkembang di sini adalah
Islam mistik (sufisme). Tokoh-tokoh yang kerap diidolakan sehingga sering ‘dimarketingkan’
juga yang sudah saya sebut di atas. Bahkan sampai sekarang telinga kita masih
akrab dengan istilah Islam kejawen.
Para ulama yang dipercaya berjasa
terkait penyebaran Islam di tanah Jawa adalah wali songo. Yaitu Sunan Gresik
(Maulana Malik Ibrahim); Sunan Ampel (Raden Rahmat); Sunan Bonang;
Sunan Drajat (Raden Qasim); Sunan Kudus (Ja’far Shadiq); Sunan
Giri (Raden Paku atau Ainul Yaqin); Sunan Kalijaga (Raden Sahid); Sunan
Muria (Raden Umar Said); dan Sunan Gunung Jati (Syarif
Hidayatullah). Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa. Surabaya-Gresik-Lamongan-Tuban
di Jawa Timur; Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah; dan Cirebon di Jawa Barat. Antara
abad ke-14 dan 16.
Jadi dua diantara 9 tokoh wali
songo itu, tercatat sebagai sufi. Dan Sunan Bonang itu adalah anak Sunan Ampel.
Tokoh sufi lain yang populer di Indonesia selain Sunan Bonang dan Sunan Gunung
Jati adalah Syekh Abdullah Mubarak bin Nur Muhammad (Abah Sepuh) pendiri pondok
pesantren Suryalaya, Hamzah al-Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Syekh Abdurrauf
al-Sinkili, Syekh Yusuf al-Makasari, Syekh Nurjati (guru Sunan Bonang), Syekh
Abdullah Iman (Pangeran Cakra Buana), Syekh Mulyani (Syekh Royani), Mbah
Kriyan, Syekh Tolhah (guru Abah Sepuh), Syekh Jauharul Arifin (pendiri ponpes
Jauhariyah Balerante, dan lain-lain.
Jadi kita bisa melihat benang merah
corak Islam di Indonesia ini. Khususnya di Jawa. Mulai dari kerajaannya, para
tokohnya, tradisi-budaya (kepercayaan) asal, sampai bagaimana gambaran Islam
itu mulai menular dan lantas menggantikan kepercayaan yang terlebih dahulu ada.
Yaitu Islam yang soft. Lembut. Mampu menggandeng tradisi, budaya dan
kepercayaan yang sudah ada. “Mengislamkan perlahan-lahan”.
Bukan Islam yang frontal. Yang mentandingkan
antara ajaran Islam yang murni bersumber dari Qur’an dan Hadis yang sahih
dengan kepercayaan lokal yang sudah ada. Bukan. Tapi Islam yang ramah dan persuasif.
Tepatnya ketika Kerajaan Majapahit berganti dengan Kerajaan Demak. Ketika Islam
masih minoritas. Di abad 14.
Tapi sekarang, sudah abad 21. Sudah
berlangsung kira-kira 600-an tahun. Dan kini Islam sudah mayoritas. Negara sudah
demokrasi. Yang menjamin kebebasan berpendapat yang bertanggung jawab. Era sudah
internet. Informasi bebas. Siapa pun memungkinkan untuk bisa melacak. Menelusuri.
Menelisik dan meneliti. Termasuk keyakinannya sendiri. Islamnya sendiri.
Maka kita temui orang-orang
tertentu yang masih mempertahankan Islam yang bersahabat dengan tradisi itu. Termasuk
tradisi mistisnya. Biasanya diikuti oleh sebagian besar orang awam. Ada pula
yang terang-terangan membersihkan tradisi mistis tersebut. Dan kita, tinggal
memilih dan memilah mana yang benar dan terbaik.
Memang para prinsipnya, Islam itu
ramah dengan tradisi, budaya, atau keyakinan apa pun. Tapi yang sesuai dengan
Al Qur’an dan Hadis yang sahih. Sebaliknya, Islam tegas menolak semua
keyakinan, ritual, budaya, dan tradisi apa pun yang bertentangan dengan Qur’an
dan Hadis sahih. Tetap bijak-situasional dengan situasi dan kondisi. Dan kita
mesti paham, mana yang Islam, mana yang budaya. Supaya tidak mengatakan, “bijak-situasional”,
padahal ternyata kita terjatuh pada kesyirikan!
QS. Al-Isra’[17]: 36
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ
لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ
وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Dan JANGANLAH kamu MENGIKUTI apa
yang kamu TIDAK MEMPUNYAI PENGETAHUAN tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta PERTANGGUNGAN JAWABNYA.
Semoga bermanfaat.
Walloohu a’lam bishshowaab. Salam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar